Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam
proses politik. Proses ini dapat divisualisasikan sebagai proses pembuatan
kebijakan, yang memiliki lima tahap penting yaitu: penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan
(Dunn 2004)Perhatian yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan adalah
proses perumusan masalah publik pada tahapan penyusunan agenda publik.
Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan
kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai. Perumusan
masalah menurut Dunn (2004) akan sangat membantu para analis kebijakan untuk
menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis masalah publik,
memetakan tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yangberseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan baru.
Lebih lanjut dikatakan, dalam perumusan masalah terdapat fase-fase yang harus
dilakukan secara hati-hati yaitu pencarian masalah (problem search),
pendefinisian masalah (problem defenision), spesifikasi masalah (problem
specification) dan pengenalan masalah (problem sensing). Hal terpenting lain
dalam pembuatan kebijakan selain merumuskan masalah adalah menemukan
masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat.
Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatankesempatan yang tidak terealisir tetapi dapat dicapai melalui tindakan publik
(Dunn 2004)
. Ciri-ciri yang menonjol dari masalah kebijakan sebagai berikut:
a. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan, yang mengharuskan perlunya
pendekatan yang holistic.
b. Subyektifitas. Masalah merupakan elemen dari banyak situasi masalah yang
diabstraksikan oleh analis. Hal yang sangat penting dalam analisis kebijakan
yaitu membedakan situasi masalah dengan masalah kebijakan.
c. Sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan sebenarnya adalah apa yang ada
dalam masyarakat itu sendiri.
d. Dinamika masalah kebijakan, menjelaskan bahwa solusi terhadap masalah
dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang.
Proses pembuatan kebijakan berhubungan dengan didapatkannya
persetujuan dari alternatif kebijakan yang dipilih. Proses ini dapat dipelajari
sebagai suatu proses individual atau kolektif. Ada beberapa kriteria yang dapat
mempengaruhi pilihan kebijakan yang bersifat individual manakala hendak
diputuskan yaitu nilai (sosial, ekonomi, religius, politik, dan lain-lain), afiliasi
pada partai politik, kepentingan para pemilih (konstituen), pendapat publik, dan
perbedaan (Agustino 2008).
Untuk memahami formulasi kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye
(1995) dalam Agustino (2008) setidaknya ada sembilan model formulasi
kebijakan yang banyak digunakan selama ini oleh negara/lembaga/institusi dalam
menetapkan keputusannya, yaitu: model sistem, model elite, model institusional,
model kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan
23
publik, dan model teori permainan. Penjelasan dari beberapa model formulasi
kebijakan tersebut, yaitu:
a. Model proses: kebijakan publik sebagai suatu aktivitas yang menyertakan
rangkaian-rangkaian kegiatan (yang berproses) yang berujung evaluasi
kebijakan.
b. Model rasional. Prinsip dasar dari model rasional adalah bagaimana
keputusan yang diambil oleh pemerintah harus sudah diperhitungkan
rasionalitas cost and benefits-nya bagi warga masyarakat. Tahapan yang
harus dilakukan yaitu: (1) mengetahui pilihan-pilhan dan kecenderungan yang
diinginkan warga; (2) menemukan pilihan-pilihan kebijakan yang mungkin
untuk diimplementasikan; (3) menilai konsekuensi masing-masing dari
pilihan kebijakan; (4) menilai perbandingan perhitungan keuntungankeuntungan dan kerugian-kerugian apabila kebijakan diimplementasikan; (5)
memilih alternatif kebijakan yang efesien dan ekonomis. Model ini dikenal
juga sebagai Model Rasional Komprehensif.
c. Model inkremental, merupakan model formulasi yang “melanjutkan” atau
“memodifikasi” kebijakan yang tengah berlangsung ataupun kebijakan yang
telah lalu. Model ini disebut juga sebagai Model Praktis.
d. Model pilihan publik menyatakan kebijakan yang dibuat pemerintah haruslah
kebijakan yang memang berbasis pada publik, yang sesuai dengan konteks
negara demokratis yang mengedepankan one man one vote. Kebijakan publik
yang mayoritas merupakan rancang bangun teori kontrak sosial yang sangat
tergantung pada preferensi publik atas pilihan-pilihan yang ada.
e. Model teori permainan (game theory). Kebijakan publik berada pada
kompetisi yang sempurna, sehingga pengaturan strategi kebijakan yang
ditawarkan pada pengambil keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh
para penentang. Tahapan dalam model teori permainan, pengaturan/pemilihan
strategi menjadi hal yang paling utama.
Grindle dan Thomas (1990) dalam Kartodihardjo (2008) dan Sutton (1999)
menyatakan proses pembuatan kebijakan selama ini menggunakan pendekatan
rasional atau linier yaitu: mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan
sebagai masalah, kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan kondisi harapan
24
yang diinginkan, merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah atau gap,
memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan
hambatan yang mungkin terjadi, memilih tindakan, pelaksanaan kebijakan, serta
evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.
Asumsi yang digunakan dalam model linier adalah pembuat kebijakan
melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui setiap tahapan
proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati
berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang
dimaksudkan, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan pada kebijakan itu
sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau pengelolaan dalam
implementasi kebijakan tersebut (Juma & Clark 1995 dalam Sutton 1999).
Kegagalan dalam pelaksana kebijakan biasanya ditujukan pada lemahnya
“political will”, keterbatasan sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), dan
manajemen.
Model pembuatan kebijakan menurut Sutton (1999) berdasarkan adanya
berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu:
a. Model tahap demi tahap (incremental model). Suatu kebijakan menetapkan isu
sebagai alternatif yang dianggap kritis dan tidak ada perubahan yang mendasar
dalam perumusan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya.
b. Kebijakan sebagai argumen. Suatu kebijakan yang baru merupakan argumen,
yang dikembangkan melalui perdebatan antara pemerintah dengan pihak lain.
Pihak-pihak yang terlibat melakukan klaim dan justifikasi terhadap sesuatu dan
pihak lain menanggapi secara kritis. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi
ide menampilkan posisi politik dan fakta sosial dari berbagai pandangan dan
ideologi.
c. Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaharuan kebijakan memperhatikan
perubahan sosial yang berjalan sebagai suatu trial dan error, melalui
pembuktian sejumlah hipotesis yang diuji berdasarkan realitas. Model ini
menggunakan pendekatan eksperimen ilmu-ilmu alam.
d. Kebijakan sebagai proses belajar secara interaktif (interactive learning).
Kebijakan ini berakar dari kritik kebijakan pembangunan top down, dimana
25
kebijakan dibuat berdasarkan perpektif aktor secara terbatas oleh individuindividu, lembaga atau kelompok sosial yang mengendalikan dan menjalankan
sistem pemerintahan. Pendekatan ini mempromosikan interaksi antara para
pembuat kebijakan dan para pihak yang langsung terkena dampak kebijakan.
Contohnya pendekatan partisipatoty rural appraisal (PRA).
IDS (2006) menjelaskan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses
yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Proses pembuatan
kebijakan harus dipahami sebagai proses politik dan bukan semata-mata masalah
teknis, 2) Proses pembuatan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang)
dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan, 3) Selalu diwarnai
kepentingan yang tumpang tindih dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir
ada juga yang terabaikan, 4) Keputusan tidak tersendiri dan mempertimbangkan
hal teknis, tetapi nilai dan fakta sangat berperan penting, 5) Implementasi
melibatkan pertimbangan dan negoisasi oleh pelaksana di tingkat lapangan, 6)
Para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses
membangun kebijakan.
Penelitian yang dilakukan oleh IDS (2006) di beberapa negara
menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan dalam prakteknya tidak mengikuti
pendekatan rasional (non_linier) tersebut. Penetapan masalah serta solusi atas
suatu fenomena tertentu seringkali melibatkan berbagai kepentingan, kerangka
pikir (discourse/narrative) maupun aktor dan jaringan, sehingga tidak lagi dapat
menggunakan kerangka pendekatan rasional.
Studi kasus terhadap tiga perumusan
kebijakan pemerintah di bidang kehutanan yang dilakukan Kartodihardjo (2008)
menunjukkan hal yang sama bahwa para pihak yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan menghadapi situasi ketidakpastian, berbagai skenario muncul dengan
berbagai perspektif yang senantiasa bersaing satu sama lain.
Proses pembuatan kebijakan tidak terlepas dari adanya narasi-narasi yang
telah terbangun. Narasi dibangun sebagai upaya mengatasi adanya interaksi dan
proses oleh orang banyak yang kompleks yang menjadi karakteristik situasi
pembangunan. Kegiatan pembangunan mempunyai sifat ketidak-pastian. Birokrat
dan para pembuat kebijakan mengartikulasikan ketidak-pastian tersebut dengan
membuat narasi dan skenario melalui sejumlah penyederhanaan. Beberapa kasus menunjukkan, narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi
kebijakan (policy space) yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan
alternatif atau pendekatan baru.
Diskursus berdasarkan pendekatan antropologi mempunyai peranan yang
penting dalam proses pembuatan kebijakan. Diskursus sebagai cara berpikir dan
menentukan argumentasi biasanya menyertakan politik dalam pemberian
penamaan (misalnya perambah hutan, kapitalis, dll) dan pengklasifikasian yang
secara tegas menolak cara berpikir yang lain. Berbeda dengan “narasi” sebagai
cara pikir untuk ruang yang lebih spesifik, diskursus digunakan sebagai bentuk
kerangka pikir yang lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar