Rabu, 16 Januari 2019

Bentuk-bentuk Kemitraan Pemerintah dan Swasta (skripsi dan tesis)


Menurut Setiawan, (2002), secara umum terdapat empat bentuk kemitraan yaitu :
1)      Contributory  Partnership atau Kemitraan melalui Kontribusi.
Yaitu suatu kesepakatan yang mana sebuah organisasi swasta atau publik menyetujui memberikan sponsor atau dukungan umumnya berupa dana untuk beberapa kegiatan yang akan mempunyai sedikit atau sama sekali efek terhadap proses partisipasi. Sementara kontribusi dana selalu merupakan hal yang esensial bagi suksesnya kegiatan.
2)      Operational Partnership atau Kemitraan Operasional.
Merupakan jenis kemitraan dengan peserta atau mitra melakukan pembagian kerja tidak hanya dalam pengambilan keputusan. Disini penekanannya untuk mencapai kesepakatan atau tujuan yang diinginkan bersama kemudian bekerja sama untuk mencapainya. Kerjasama ini dapat begitu tinggi yang mana peserta saling berbagi sumber daya bukan uang dalam jumlah besar. Kekuasaan utama masih dipegang oleh peserta yang mempunyai sumber dana dan ini biasanya dipegang oleh lembaga-lembaga pemerintah.

3)      Consultative Partnership.
Yaitu bentuk kemitraan dimana instansi yang bertugas mengelola sumber daya atau lingkungan secara aktif mencari masukan dari perseorangan, kelompok serta organisasi lain diluar pemerintah. Mekanismenya melalui pembentukan komite yang dirancang terutama untuk memberikan saran pada instansi publik tentang isu atau kebijakan khusus. Kontrol jelas masih dipegang instansi publik yang mempunyai kebebasan untuk memilih saran yang diberikan, walaupun demikian kemitraan dapat memberikan pengaruh cukup besar terhadap keputusan karena instansi publik mengetahui harga politis yang harus dibayarkan dengan tidak dipakainya saran publik yang mereka kumpulkan.

4)      Collaborative Partnership
Dalam kemitraan ini terjadi pembagian kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang sesungguhnya. Tujuannya untuk mencapai tujuan yang diterima oleh semua pihak yang mana informasi, dana dan tenaga saling dipertukarkan. Ini merupakan satu-satunya bentuk kemitraan yang mana setiap peserta mempumyai otonomi. Lebih khusus 1agi, dalam bentuk ini instansi pemerintah memberikan beberapa kekuasaannya kepada organisasi di luar pemerintah. Umumnya perlimpahan ini tidak disertai dengan tanggung jawab yang tetap secara formal dipegang oleh instansi pemerintah. Dalam bentuknya yang terbaik keputusan dicapai melalui konsesus.
Selain itu menurut Marsono (dalam Suhady et.al,2002 : 69) terdapat beberapa konsep kerja sama dalam bentuk aliansi strategik antara lain :
1)      Kerja Sama Operasi (KSO)
Bentuk kerja sama usaha yang dapat dilakukan oleh salah satu pihak (perusahan daerah) dengan pihak lain (swasta) untuk mengusahakan suatu peralatan operasi atau fasilitas penyediaan pelayanan misalnya air bersih dimana sistem operasi dan kepemilikannya diatur dalam kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama.
2)      Kerja Sama Manajemen (KM)
Bentuk kerja sama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahan daerah) dengan pihak lain untuk menyelenggarakan suatu kegiatan tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan karyawan baik dalam bidang operasi dan produksi, usaha dan pemasaran, sumber daya manusia, keuangan dan akuntansi, organisasi dan manajemen, hukum dan hubungan masyarakat, sistem informasi maupun dalam bidang pengkajian dan pengembangan.
3)      Penyertaan Modal (PM)
Bentuk kerja sama usaha yang dapat di lakukan oleh satu pihak (perusahaan daerah) untuk menyertakan modalnya dalam kegiatan usaha yang terlibat dalam kerja sama usaha.
4)      Perusahaan Patungan (PP)
Bentuk kerja sama usaha yang dapat dilakukan oleh satu pihak (perusahan daerah), dimana masing-masing pihak yang terlibat dalam kerja sama usaha menyertakan modal dan/ atau sumber daya lainnya untuk membentuk suatu badan usaha tertentu. Pembagian resiko dan keuntungan usaha dilakukan menurut kesepakatan berdasarkan penyertaan yang diberikan.
Dalam modul II yang disusun sebagai hasil kerjasama Menteri Negara Otonom Daerah  dengan PAU-SE Universitas Gadjah Mada dijelaskan bahwa bentuk dasar dari kemitraan pemerintah daerah atau badan usaha milik daerah dengan pihak swasta dalam penyediaan pelayanan umum dapat berupa :
1)      Kerja sama pengelolaan (joint operation) yaitu pemerintah daerah atau badan usaha milik daerah bersama-sama mengelola suatu usaha tanpa membentuk usaha baru.
2)      Kerja sama patungan (joint venture) yaitu pemerintah daerah atau badan usaha milik daerah bersama-sama membentuk perseroan terbatas patungan dengan tidak menghilangkan keberadaan lembaga-1embaga yang terlibat.
Atas dasar kerjasama di atas   dapat dilakukan dan dikembangkan bentuk kemitraan gabungan seperti :
a.       Bangun-Operasikan-Serahkan (Build, Operate, Transfer (BOT)).
Pihak swasta melaksanakan kegiatan konstruksi (pembiayaan suatu fasilitas infrastruktur) termasuk proses pengoperasian dan pemeliharaan proyek. Proyek dioperasikan oleh pihak swasta selama jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian kontrak yang telah disepakati. Selama masa pengoperasian diijinkan untuk menarik biaya penggunaan terhadap pemakai yang nilainya tidak boleh melebihi nilai yang ditetapkan perjanjian kontrak yang disepakati. Biaya penggunaan yang dipungut oleh pelaksana proyek ditujukan agar pihak penyelenggara proyek mendapatkan biaya pengembalian investasi, operasi dan pemeliharaan proyek. Setelah jangka waktu yang disepakati berakhir (tidak boleh melebihi 25 tahun kecuali diperpanjang oleh keputusan lainnya), pihak penyelenggara proyek harus menyerahkan seluruh fasilitas asset (kekayaan) proyek kepada pemerintah daerah/ badan usaha milik daerah yang bersangkutan.
b.      Bangun dan Serahkan (Build and Transfer (BT)).
Pihak swasta melaksanakan kontruksi dan pembiayaan suatu proyek dalam suatu jangka waktu tertentu yang disepakati dalam kontrak perjanjian. Setelah konstruksi Proyek selesai (proyek siap dioperasikan) pihak penyelenggara menyerahkan proyek kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditetapkan dalam kontrak perjanjian. Bagi pemerintah diwajibkan membayar pihak penyelenggara sebesar nilai investasi yang dikeluarkan untuk proyek ditambah nilai pengembalian yang wajar bagi investasi yang dilakukan.
c.       Bangun-Miliki-Operasikan (Build-Own-Operate (BOO)).
Pihak penyelenggara proyek (swasta) diberi kewenangan untuk membangun dan membiayai, mengoperasikan dan memelihara suatu fasilitas infrastruktur. Sebagai imbalannya pihak penyelenggara diberi kewenangan untuk mendapatkan biaya pengembalian investasi serta biaya operasikan dan pemeliharaan termasuk keuntungan yang wajar dengan cara menarik biaya dari para pemakai jasa fasilitas infrastruktur tersebut.
d.      Bangun-Miliki-Sewakan (Build, Own, Lease (BOL).
Setelah investor melaksanakan pembangunan di atas tanah pemerintah daerah, pihak swasta langsung memberikan proyek tersebut secara hibah kepada pemerintah daerah. Sementara itu, pihak swasta memperoleh hak opsi untuk menyewakan bangunan komersial tersebut.
e.       Management contract (Gerance)
Dalam bentuk kemitraan ini, pemerintah mengalihkan seluruh kegiatan operasional dan pemeliharaan suatu bidang kegiatan tertentu kepada pihak swasta.
f.       Service Contract
Pemerintah menyerahkan suatu kegiatan pelayanan jasa tertentu kepada pihak swasta sedangkan pihak swasta harus memberikan jasa-jasa tertentu kepada pemerintah.
g.      Leasing (Afferment)
Pemerintah menyewakan fasilitas-fasilitas tertentu kepada pihak swasta. Pihak swasta wajib memikul resiko komersial dari kegiatan yang dijalankannya.
h.      Konsesi (Concession).
Pemerintah memberikan ijin kepada swasta untuk melakukan suatu kegiatan eksploitasi tertentu (dengan menanggung resiko komersial yang mungkin muncul) sedangkan pihak swasta dibebani kewajiban untuk membayar fee atau retribusi kepada pihak pemerintah.
Bentuk usaha kemitraan pemerintah-swasta yang belakangan ini kerap dilaksanakan adalah kerja sama patungan (joint venture). Pola kerja sama yang di terapkan adalah BOT (Build, Operate and Transfer). Menurut Nurmandi (l999:210), Build. Operate and Transfer (BOT) adalah suatu bentuk konsesi dimana pihak swasta membiayai dan membangun sebuah fasilitas, mengoperasikannya dan memeliharanya. Kemudian proyek dioperasikan oleh pihak swasta selama jangka waktu tertentu dan mengalihkannya kembali kepada pemerintah setelah masa kontraknya habis.
Menurut Ir. Nazarkham Yasin implementasi BOT di Indonesia adalah sebagai berikut:
1)      Pengembangan pengelolaan/asset, lahan atau fasilitas.
2)      Analisa pasar yang terdiri dari kondisi pasar yang ada sekarang serta proyek di masa datang, kecenderungan permintaan, harga sewa penjualan dan nilai modal.
3)      Fasilitas pengelolaan yang direncanakan seperti luas dan harga tanah.
4)      Analisa keuangan.
Alasan yang menjadi penyebab diperlukannya kemitraan pemerintah dan swasta menurut Jaleniewski (1994) adalah :
1)      Untuk meningkatkan kualitas hidup di kota.
2)      Untuk meningkatkan volume investasi di kota.
3)      Untuk mengatasi masalah kompleksitas yang tinggi atau skala besar yang terpisah dari mekanisme pasar yang biasanya efektif.
4)      Untuk meningkatkan keuntungan bersama.
5)      Untuk memaksimalkan pemanfaatan karakteristik sektor pemerintah dan swasta.

Terdapat keuntungan dan kerugian  dalam  partisipasi  swasta. Menurut Soedjito (1997), keuntungan partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur antara lain adalah:
1)      Sektor Pemerintah seringkali kekurangan sumber pendanaan dan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk melaksanakan proyek-proyek yang diperlukan.
2)      Perusahaan-perusahaan swasta biasanya dijalankan dan dikelola lebih baik dan lebih efisien dari pada badan-badan usaha milik Negara.
3)      Partisipasi swasta membantu menyaring proyek-proyek yang bersifat white elephants (tidak jelas kelayakan ekonominya),
4)      Penetapan tarif pemakai User (user fees) yang dihitung berdasarkan pada biaya lebih mudah diterima secara politis jika penyedia infrastrukturnya adalah sektor swasta.
5)      Menciptakan paradigma baru dalam penyediaan jasa pelayanan infrastruktur yaitu monopoli dan publik ke suatu model kompetitif.
Dalam praktik kemitraan bagaimanapun bentuk yang dipilih sudah tentu memiliki konsekuensi-konsekuensi logis terhadap kedua pihak begitu pula terhadap kerjasama BOT seperti terlihat dalam tabel 2.1. berikut :
Keuntungan Pemerintah
Daerah
Kerugian Pemerintah Daerah
1.  Dapat memiliki suatu properties (fasilitas   tanpa mengeluarkan dana selain asset yang dapat dimiliki (tanah).
2.   Selama masa pengelolaan memperoleh penerimaan (royalty) tanpa menanggung resiko.
3.   Kemungkinan dapat mengagunkan tanah
      untuk usaha lain.
1.  Nilai fasilitas yang sudah dibangun setelah berakhir masa pengelolaan sudah sangat rendah (ketinggalan jaman).
2.  Sehubungan dengan perkembangan kota, lokasi fasilitas menjadi kurang menarik bagi calon penyewa.

Pengembang (swasta)
Pengembangan (swasta)
1.  Dapat menekan biaya investasi untuk membangun fasilitas (proyek) karena lahan tersedia.
2.  Dapat menambah keuntungan bila pengembalian investasi dana dapat dipercepat.
3.  Kemungkinan masa pengelolaan lebih     panjang dari semestinya yang di minta tanpa diketahui owner.
1.  Perlu modal dasar yang cukup besar.
2.  Resikonya cukup lama (pendapatan menurun)
Sumber: Modul II, Pembekalan teknis managemen stratejik teknis penganggaran /keuangan 2000.

Secara ringkas Davidson (1992) memberikan gambaran sederhana mengenai keuntungan dan kerugian dijalinnya kemitraan pemerintah dan swasta yang dapat dilihat dalam tabel 2.2. berikut :
Bentuk hubungan
Keuntungan
Kerugian
a.     Joint Venture antara pihak pemerintah dan swasta untuk menjalankan pmbangunan pelayanan perkotaan . pemerintah mendapat bagian untuk masalah pembangunan misalnya menyangkut penataan proses partisipasi dan perencanaan koordinasi. Bentuk usaha yang dibentuk pemerintah tidak harus dalam satu perusahaan. Kepentingan pihak kedua ditentukan dengan jelas.
Sektor umum diatur dalam bentuk yang membatasi campur tangan swasta dan akan lebih percaya dengan sektor publik/pemerintah.

Mungkin ada kekacauan dalam pembangunan kepentingan pihak swasta berbeda dengan pemerintah dan itu dapat menimbulkan konflik dan dilalaikannya kepentingan umum. Konflik kemungkinan menyangkut masalah kesediaan menanggung resiko sehingga partisipasi masyarakat terbatas.
b.     Build, Operate, Transfer (BOT) pihak swasta bertugas membiayai, membangun, mengoperasikan pelayanan selama periode tertentu dan dengan ketentuan yang disetujui bersama sebelum menyerahkannya  kepada pemerintah daerah.
Sektor swasta harus menyediakan dana dan teknologi, pemerintah mengambil alih asset sesudah periode tertentu.
Kemungkinan konflik muncul dalam hal pembagian peran. Pemerintah daerah kurang pengalaman dan kurang memiliki sarana untuk perbandingan.
c.     Investasi bersama kedua pihak sama-sama memiliki investasi dalam proyek pemerintah mungkin terlibat dalam hal penyediaan tanah dan infrastruktur
Keuntungan tergantung pada persetujuan kedua pihak, setiap pihak dapat berpartisipasi tanpa menaruh uangnya dalam proyek
Kepentingan pemerintah daerah untuk menjamin keberhasilan proyek dari segi finansial mungkin akan bertentangan dengan kepentingan umum.
Namun di sisi lain terdapat juga beberapa kerugian akibat keikutsertaan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur sebagaimana pendapat Engel dalam Soedjito (1997) yaitu :
1)      Pemberian monopoli kepada perusahan swasta mungkin akan menimbulkan masalah regulator yang rumit.
2)        Privatisasi perusahan besar mungkin akan meningkatkan lobi yang kuat yang akan sangat mempengaruhi upaya untuk melakukan perubahan dalam peraturan yang memungkinkan mereka akan mengambil keuntungan yang berlebihan.
3)        Banyak proyek-proyek infrastruktur harus menghadapi resiko komersial dan kebijaksanaan yang cukup besar sehingga secara eksplisit maupun implisit menuntut adanya jaminan Pemerintah.

Tidak ada komentar: