Garansi (warranty) adalah
suatu perjanjian krontraktual yang mengharuskan produsen untuk memperbaiki atau
mengganti produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi. Baik konsumen
maupun produsen mendapatkan manfaat dari garansi. Bagi konsumen, garansi
melindungi dari membeli produk yang cacat, dan bagi produsen, garansi membatasi
klaim yang tidak rasional dari konsumen. Disamping itu, produsen dapat memanfaatkan garansi sebagai alat
promosi yang efektif karena produk dengan masa garansi yang lebih lama
memberikan sinyal kepada konsumen bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang
lebih baik. Namun, memberikan garansi berarti tambahan ongkos (disebut ongkos
garansi) bagi produsen. Ongkos garansi berkisar 2-10% dari harga produk. Untuk
suatu perusahaan otomotif di Indonesia, ongkos garansi yang harus ditanggung
dapat mencapai 50-100 milyar rupiah per tahun. Dengan demikian, gagal dalam
mengelola garansi secara efektif dapat berakibat bukan saja ongkos garansi yang
tidak terkendali tapi juga berdampak pada ketidakpuasan konsumen dan kehilangan
penjualan. Dan ini kemudian berdampak pada penurunan kinerja perusahaan secara
keseluruhan. Pengelolaan garansi produk, awalnya, hanya melibatkan aspek
teknikal seperti desain produk, proses manufaktur dan pemeliharaan yang
memengaruhi keandalan produk. Namun, kemudian perlu juga mempertimbangkan aspek
komersial (yang meliputi pemasaran dan pelayanan purna-jual), karena garansi
produk dapat digunakan sebagai alat promosi yang efektif. Dengan demikian,
diperlukan pendekatan komprehensif untuk mengelola garansi produk yang efektif,
yang melibatkan aspek teknikal dan komersial. Pada makalah ini, dibahas
pengelolaan garansi yang tidak saja untuk penurunan ongkos garansi, tapi juga
untuk meningkatkan kepuasan konsumen, citra produk, dan akhirnya penjualan perusahaan. Disamping
itu, juga dibahas perkembangan manajemen garansi di Indonesia yang umumnya
masih pada tahap I, masih bersifat reaktif, lebih memfokuskan pada pemrosesan
klaim garansi dan penyelesaian permasalahan yang muncul akibat dari garansi.
Perusahaan belum banyak menggunakan garansi sebagai an offensive tool dalam
pemasaran produk. Kebanyakan perusahaan menawarkan garansi untuk memenuhi
persyaratan memasuki suatu pasar (atau digunakan sebagai a deffensive tool).
Sekarang ini, produsen yang memproduksi durable products seperti
produk otomotif, produk elektronik, mesin/peralatan, menjual produk tersebut
dengan garansi. Garansi (warranty)
adalah suatu perjanjian krontraktual (contractual
agreement) yang mengharuskan produsen untuk merektifikasi (memperbaiki atau
mengganti) produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi. Umumnya
perbaikan produk rusak tidak dikenakan biaya kepada konsumen. Untuk garansi
tertentu, rektifikasi mengharuskan pengembalian uang (money back) sebagian atau
100% dari harga jual kepada konsumen.
Sangat sulit untuk mengetahui kapan tepatnya garansi pertama kali
dikenalkan. Namun, jika garansi dipandang sebagai liabilitas produk (pertanggung-jawaban produsen), maka
pada zaman Raja Babilonia, Hammurabi pada tahun 1800 sebelum Masehi, ditemukan
undang-undang yang memberikan hukuman keras untuk craftmen yang terbukti
melakukan kesalahan sehingga menghasilkan produk cacat (Blischke dan Murthy,
1994). Di Amerika, undang-undang yang berhubungan dengan garansi produk
terdapat dalam The Magnuson-Moss Act dan Uniform Commercial Code (UCC) yang
efektif sejak tahun 1975. Sejak saat itu, hak konsumen untuk mendapatkan produk
yang baik dalam transaksi pembelian produk dilindungi oleh undang-undang,
karena undang-undang tersebut mengharuskan produsen memberikan garansi untuk
durable products yang harganya lebih dari $15. Dengan demikian, aturan umum
yang sebelumnya berlaku yaitu caveat emptor (let
the buyer beware) atau konsumen harus waspada dalam memilih produk agar
terhidar dari membeli produk cacat, berubah menjadi let the manufacturer beware
karena produsen wajib untuk mengganti dengan yang baru atau memperbaikinya
(merektifikasi) jika produk rusak selama masa garansi dan kerusakan bukan
karena kesalahan pakai (missuse). Di
Indonesia, undang-undang yang melindungi hak konsumen terdapat pada
Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Dengan
undang-undang ini, produsen/pelaku usaha yang memproduksi produk/barang yang
umur pakainya 1 (satu) tahun atau lebih, wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual serta memberikan garansi.
Garansi, pada kenyataannya, tidak saja memberikan manfaat kepada
konsumen tetapi juga kepada produsen. Bagi konsumen, garansi melindungi dari
membeli produk yang cacat, dan bagi produsen, garansi membatasi klaim yang
tidak rasional dari konsumen. Disamping itu, produsen juga dapat memanfaatkan garansi sebagai alat
promosi yang efektif untuk produknya, karena produk dengan masa garansi yang
lebih lama memberikan sinyal kepada konsumen bahwa produk tersebut memiliki
kualitas yang lebih baik.
Memperhatikan penjelasan di atas, garansi memiliki 2 peranan penting
yaitu (1) sebagai instrumen untuk melidungi konsumen dari membeli produk cacat
dan juga melindungi produsen dari klaim konsumen yang tidak masuk akal, serta
(2) sebagai alat promosi yang efektif untuk meningkatkan penjualan produk.
Untuk produk baru, konsumen umumnya ragu terhadap kinerja produk
tersebut. Pada konteks ini, garansi memainkan peranan penting dalam memberikan
jaminan kepada konsumen bahwa produk akan berfungsi sesuai dengan yang
dijanjikan.
Sekarang ini, dengan berkembangnya kompleksitas dari produk, maka
sangat sulit bagi konsumen untuk mengevaluasi mutu produk pada saat
membeli. Jenis produk yang sebanding
dari produsen yang berbeda sangat sulit dibedakan kualitasnya, sebagai contoh,
TV, komputer, telepon genggam, dan lain-lain. Apabila produk sejenis dengan
merek berbeda sangat sulit dibedakan, maka faktor-faktor purna jual, garansi,
ketersediaan dan ongkos suku cadang, layanan, pemeliharaan, dan lain-lain
menjadi penentu bagi konsumen dalam memilih produk (Lele dan Karmarkar, 1983).
Namun, menawarkan produk dengan garansi berarti tambahan ongkos bagi
produsen, karena harus memperbaiki produk rusak (atau disebut layanan garansi)
selama masa garansi. Ongkos garansi ini membebani produsen secara signifikan
dengan sebaran ongkos 1,5-3% dari total penjualan (Blischke dan Murthy, 1994).
Sebagai contoh, industri otomotif di Amerika Utara mengeluarkan 10 milyar
dollar (100 triliyun rupiah) untuk pelayanan garansi per tahun (Roehm, 2003).
Sekarang ini di Eropa, belum pernah terjadi sebelumnya, garansi telah menjadi
salah satu tantangan besar bagi manajemen perusahaan, karena ongkos garansi
yang semakin besar (dapat mencapai 10 juta euro per tahun (120 milyar rupiah)
untuk satu produsen produk elektronik di Eropa) dan meningkatnya ketidakpuasan
konsumen terhadap layanan garansi (Thomann, 2005).