Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap :
a (1) Tahap pertama, masih didominasi oleh strategi
militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.Di tahap
pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang
memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk
menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry
point) proses resolusi konflik. Tahap
ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi
konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer.
Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa
pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik
(2) Tahap kedua, memiliki orientasi politik yang
bertujuan untuk memulai proses-proses re-integrasi elit politik dari
kelompok-kelompok yang bertikai.Ketika
de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka Tahap kedua proses resolusi konflik
dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk
meringankan beban penderitaan korban-korban konflik. Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip
mid-war operations. Prinsip ini yang merupakan salah satu perubahan dasar dari
intervensi kemanusiaan di dekade 90-an– mengharuskan intervensi kemanusiaan
untuk tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi
harus bisa mendekati titik sentral peperangan.
(3) Tahap ketiga, tujuannya lebih mengarah ke nuansa
sosial dan berupaya untuk menerapkan ”problem-solving
approach”. Tahap
ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak
antagonis untuk melakukan transformasi suatu
konflik yang spesifik ke arah resolusi[6]. Transformasi konflik dapat dikatakan
berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik
(mutual understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif
penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing
komunitas. Alternatif-alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada
suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab
fundamental dari suatu konflik.
d(4) Tahap terakhir, memiliki nuansa kultural yang kental
karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur
sosial dan budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian
yang langgeng. Tahap keempat ini disebut juga sebagai peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap
konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling
lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar