Djajasudarma (1977 : 31) menyatakan bahwa ketetapan suatu kata untuk mewakili suatu hal, barang atau orang tergantung dari maknanya. Tetapi dari waktu ke waktu kata-kata dapat mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1) faktor kebahasaan (linguistic causes). Berhubungan dengan morfologi, fonologi dan sintaksis.
2) faktor sejarah (historical causes).
3) faktor sosial (social causes).
4) faktor psikologis (psychological causes) yang berwujud faktor emotif dan hal-hal tabu yang muncul karena takut, kesopanan dan kehalusan.
5) pengaruh bahasa asing.
6) karena kebutuhan akan kata-kata baru.
Menurut Ullmann (1972: 193-195) perubahan makna kata dapat terjadi karena beberapa faktor seperti:
1) bahasa diturunkan dari satu generasi satu ke generasi lainnya. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan arti dari kata-kata.
2) kekaburan (vagueness) arti sebuah kata juga merupakan salah satu penyebab berubahnya makna kata tersebut.
3) kata yang keberadaannya terlalu terkekang pada lingkungannya juga bisa berubah menjauh dari arti sebenarnya.
4) keberadaan polisemi menambah faktor fleksibilitas dalam bahasa.e. ketaksaan (ambiguity) makna dari sebuah kata juga dapat menimbulkan perubahan semantik kata tersebut.
5) struktur perbendaharaan kata yang lebih mudah berubah dibandingkan dengan sistem fonologis dan gramatikal dari bahasa.
Oleh karena itu, dapat ditarik simpulan bahwa makna dapat berubah-ubah, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada makna bergantung kepada berbagai faktor.
C.2. Jenis Makna
Para ahli bahasa mempunyai pendapat yang beragam mengenai penggolongan makna ke dalam jenis-jenisnya. Berikut akan dijabarkan makna menurut Soedjito (1990: 52-59):
1) makna leksikal dan makna gramatikal (berdasarkan hubungan unsur bahasa yang satu dengan yang lain). Makna leksikal, menurut Djajasudarma, adalah “makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini dimiliki unsur-unsur bahasa secara tersendiri, lepas dari konteks” (1993 : 13). Misalnya kata mata dalam kalimat mata saya sakit berarti alat / organ tubuh manusia yang berfungsi untuk melihat. Sedangkan makna gramatikal, masih menurut Djajasudarma, adalah makna yang menyangkut hubungan intra bahasa, atau makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat (1993 : 13). Misalnya kata mata pada kalimat adik ingin telur mata sapi berarti goreng telur yang rupanya mirip dengan mata sapi.
2) makna denotatif dan makna konotatif (berdasarkan penunjukannya). Alwasilah (1995 : 147) berpendapat bahwa makna denotatif mengacu kepada makna leksikal yang umum dipakai atau singkatnya makna yang biasa, objektif, belum dibayangi perasaan, nilai, dan rasa tertentu. Misalnya terlihat pada kata gadis di dalam kalimat seorang gadis berdiri di depan rumah sakit. Kata gadis di sini adalah kata umum dan netral. Sebaliknya, mengutip pendapat Alwasilah (1995 : 147), makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Sebagai contoh terlihat pada kalimat seorang perawan berdiri di depan rumah sakit. Kata perawan di sini walaupun artinya sama, yaitu gadis muda, bagi beberapa orang mungkin diasosiasikan dengan ketaatan beragama, moral, atau modernisasi.
3) makna lugas/sebenarnya dan makna kiasan/figuratif (berdasarkan penerapannya terhadap acuan).
a) makna lugas ialah makna yang acuannya cocok dengan makna kata yang bersangkutan. Misalnya kata mahkota pada kalimat mahkota raja dicuri orang tadi malam.
b) makna kiasan ialah makna yang referennya tidak sesuai dengan kata yang bersangkutan. Misalnya kata mahkota pada kalimat rambut adalah mahkota wanita.
c) makna kontekstual ialah makna yang ditentukan oleh konteks pemakaiannya. Makna ini akan menjadi jelas jika digunakan dalam kalimat. Makna kontekstual sebagai akibat hubungan antara ujaran dan situasi.
Sebagai contoh seorang ibu berkata Jangan! Kepada anaknya yang sedang bermain api. Di sini kata jangan! Dapat berarti jangan masukkan tanganmu ke dalam api, berbahaya!.
Sedangkan Larson mengungkapkan adanya makna implisit. Dia juga membagi makna implisit menjadi tiga golongan (1984: 34-37), sebagai berikut:
a. makna referensial implisit (implicit referential meaning).
b. Makna organisasional/kontekstual implisit (implicit organizational meaning).
c. makna situasional implisit (implicit situational meaning).
C.3. Makna Implisit
Larson (1984: 34) menyatakan bahwa makna implisit merupakan makna yang tidak ditampilkan tetapi merupakan bagian dari pembicaraan atau maksud yang ingin disampaikan penutur. Di dalam proses memahami makna implisit ini, penanggap tutur terkadang harus berusaha keras untuk tiba pada tafsiran yang tepat antara lain dengan melalui pembayangan atau penafsiran. Penanggap harus mengetahui hal tertentu yang menjadi acuan, situasi dan konteks. Pengetahuan konteks akan sangat membantu penanggap untuk mendapat tafsiran yang tepat.
Aminuddin, mengutip pendapat Samuel dan Kiefer, mengemukakan adanya ungkapan reading the lines, yakni membaca untuk memahami makna yang tersurat dan ungkapan reading between the lines, yaitu membaca untuk memahami makna yang implisit. Jadi, makna dapat dibedakan antara makna yang tersurat dan makna yang tersirat (1985: 92).
Masih menurut Aminuddin (1985: 50) agar seorang penanggap dapat mencapai tafsiran yang tepat, dalam proses penafsirannya makna harus diperhatikan keterkaitannya dengan hal-hal sebagai berikut.
a. ciri-ciri atau unsur internal kebahasaan.
b. sistem sosial budaya yang melatari.
c. pemakai, baik sebagai penutur atau penanggap tutur.
d. ciri informasi dan ragam tuturan yang disampaikan.
C.4. Makna Referensial Implisit
Keberadaan referen dalam menginterpretasikan makna sangatlah penting. Makna akan sulit untuk dimengerti apabila referennya tidak diketahui. Gambaran makna yang dihasilkan oleh elemen kebahasaan yang berupa kata, kalimat maupun elemen lainnya sehubungan dengan unsur luar bahasa baik itu berupa realitas maupun pengalaman disebut referen, demikian Aminuddin (1985: 88).
Kridalaksana (1993: 186) mengatakan bahwa referen adalah unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa. Yang dimaksud dengan unsur bahasa di sini diantaranya kata atau kalimat.
Makna referensial, menurut Kridalaksana, adalah makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar bahasa (objek atau gagasan), dan yang dapat dijelaskan oleh analisis komponen (1993 : 199). Dengan kata lain makna ini mengacu langsung pada benda, kejadian, atribut, atau relasi tertentu yang dapat dilihat atau dibayangkan yang merupakan isi informasi atau sesuatu yang dikomunikasikan.
Halliday dan Hasan (1976: 37) mengemukakan bahwa referen dalam suatu teks bisa bersifat eksoforik, yaitu yang mengacu pada hal-hal di luar konteks, ataupun endoforik yaitu yang referennya terdapat dalam konteks itu sendiri. Referen endoforik terbagi dalam anaforik, yang mengacu pada referen yang telah disebutkan dan kataforik yaitu yang mengacu pada konteks yang mengikutinya. Kemudian Halliday dan Hasan mengelompokkan referen ke dalam tiga jenis, yaitu:
a. referen personal, yaitu referen yang terdapat pada kategori persona.
b. referen demonstratif, yaitu referen yang terdapat pada penunjukan lokasi atau tempat.
c. referen komparatif adalah referen tidak langsung yang terdapat pada pemakaian ciri-ciri atau kesamaan sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar