Secara etimologis, kata hermenutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein (kata kerja) yang berarti menafsirkan atau hermeneia (kata benda) yang dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Kata tersebut berasal dari tokoh mitologis bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa manusia (Sumaryono, 1999: 23). Hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (E. Palmer, 1969: 3)
Salah satu tokoh hermeneutik adalah Hans Georg Gadamer. Gadamer lahir di Marburg pada tahun 1900. Gelar doktor filsafat ia peroleh pada tahun 1922. Sejak tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai ia pensiun. Menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, karier filsafat Gadamer mencapai puncaknya, yaitu ditandai dengan munculnya buku yang berjudul Kebenaran dan Metode karya Gadamer (Sumaryono, 1999: 67). Teorinya menarik untuk analisis teks karena pandangannya tentang interpretasi teks yaitu perpaduan antar cakrawala. Disamping itu, gadamer tidak berfikir melalui kalimat-kalimat pernyataan ataupun proposisi, melainkan lebih mengarah pada berfikir melalui bertanya (Sumaryono, 1999: 69).
Hermeneutika sebagai ilmu maupun metode mempunyai peran luas dan penting dalam filasfat. Dalam sastra pembicaraanya sebatas sebagai metode. Sebagai metode, hermeneutik diartikan sebagai cara menafsirkan teks sastra untuk diketahui maknanya. Dalam sastra dan filsafat hermeneutika disejajarkan dengan interpretesi dan pemahaman. Metode Hermeneutik pada dasarnya sama dengan metode analisis isi. Diantara metode-metode yang lain, hermeneutik adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam penelitian teks sastra (Ratna, 2006: 44). Namun demikian, menurut Sumaryono (1999: 21) hermeneutik belum bisa diterima sebagai metode yang universal, namun metode ini setidaknya mendukung pemahaman tentang sebuah pemahaman dan interpretasinya.
Setiap peneliti sastra bertanggung jawab terhadap suatu karya sastra yang sedang dikajinya. Peneliti karya sastra wajib memberikan penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh orang pada masa kini (Damono, 1978: 5). Jadi, tugas peneliti sastra adalah mengungkap kandungan makna pada sebuah teks dalam perspektif masa kini atau pada saat teks tersebut dibaca oleh pembaca.
Permasalahan yang dihadapi peneliti dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut adalah bagaimana peneliti mampu memahami makna terdalam yang terkandung dalam teks lagu Ahmad Dhani. Inti permasalahan tersebut adalah bagaimana peneliti dapat memahami kandungan sufistik dalam teks lagu Ahmad Dhani, padahal teks lagu itu ditulis pada waktu dan latar belakang sosial budaya yang berbeda dengan peneliti. Salah satu kerangka pemahaman yang dapat membantu untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah hermeneutika yang kemudian dirumuskan metodenya. Pradopo (1994: 90) menjelaskan dalam penelitian sastra, dengan menggunakan salah satu teori sastra, pertama kali, harus dimengerti dahulu mengenai teori itu, kemudian dirumuskan metodenya.
Secara etimolagis hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa yunani, yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan. Hermeneutik pada awalnya digunakan untuk menafsirkan kitab suci (Ratna, 2006: 45). Palmer (1969: 3) mendefinisaikan hermeneutik sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, sehingga yang menjadi tugas pokok hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik menjadi milik kita yang hidup di jaman dan tempat yang berbeda. Hermeneutik merupakan usaha memahami atau mengiterpretasikan sebuah teks (Sumaryono, 199: 83).
Tugas hermeneutik adalah mencari dalam teks kemampuan karya untuk memproyeksikan diri keluar dari dirinya dan melahirkan suatu dunia yang merupakan pesan teks itu. Dalam bidang kajian sastra, hermeneutik diartikan sebagai ilmu atau keahlian menginterpretasikan karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya (Teeuw, 2003: 102).
Hans-Georg Gadamer, seorang pemikir hermeneutik, berpendapat bahwa maksud sebuah teks harus dibedakan dari maksud pengarangnya. Teks bersifat otonom, teks mempunyai kehidupan sendiri, lepas dari penulis dan pembacanya. Interpretasi teks itu oleh seorang pembaca tidak dapat tidak berarti pemberian makna sesuai dengan situasi si pembaca. Interpretasi teks selalu merupakan fusion of horison (pembauran cakrawala), yakni dalam proses pemahaman oleh seorang pembaca berlangsung atau terjadi persesuaian perpaduan cakrawala, perpaduan antara cakrawala masa lampau saat teks itu tercipta dan cakrawala masa kini si pembaca (Teeuw, 2003: 143).
Gadamer menaruh perhatiannya terhadap seni karena hermeneutik dengan seni memiliki hubungan yakni di dalam seni terdapat suatu kebenaran. Sebagai contoh, dalam sebuah lukisan, garis-garis yang mestinya ditarik lurus justru ditarik miring, atau campuran warnanya yang tidak menurut kombinasi yang lazim, seringkali menghasilkan efek kenikmatan yang estetis. Artinya, interpretasi tidak bersifat kaku atau statis (Sumaryono: 1999: 70-71).
Menurut konsep Gadamer interpretasi adalah penciptaan kembali. Interpretasi terjadi jika adanya perpaduan cakrawala atau fusion of horison (Sumaryono, 1999: 78). Gadamer juga menegaskan bahwa interpretasi akan benar jika interpretasi tersebut mampu menghilang dibalik bahasa yang digunakan. Artinya interpretasi yang baik bila tidak menurut kata per kata, tetapi disesuaikan menurut ragam bahasanya sendiri (Sumaryono, 1999: 81). Dalam penelitian ini, peneliti hanya dapat memahami teks dari pusat pandangan peneliti dan dari sejarahnya sendiri. Interpretasi selalu bersifat perspektival karena interpretasi selalu dibatasi oleh horison atau cakrawala peneliti yang hidup pada saat sekarang. Interpretasi tidak akan pernah sampai pada interpretasi yang menyeluruh karena perhatian peneliti hanya diarahkan pada elemen-elemen yang berkaitan dengan kondisi kontemporer si peneliti. Puncak atau hasil maksimal dari interpretasi adalah fusion of horizons atau bertemunya cakrawala masa lalu ketika teks diciptakan dan masa kini saat teks ditafsirkan.
Guna mendukung pencapain fusion of horison, setiap penelitian selalu diawali dengan orientasi awal yang didasarkan pada teks atau yang menjadi pijakan pertama adalah teks (Suwondo, 1994: 74). Dalam metode hermeneutik ini, orientasi awal itu kurang lebih sama pengertiannya dengan praanggapan atau menurut gadamer adalah bildung yang dapat diartikan sebagai gambaran umum. Bildung itu diperoleh peneliti dari pemahaman sejarah dan pemahaman budayanya sendiri. Peneliti sebagai seorang manusia memiliki akal budi, yakni kemampuan untuk mengaitkan makna-makna itu ke dalam rangkaian-rangkaian yang koheren dan terpadu. Pemahaman tentang sejarah hidup dan pemahaman tentang kebudayaannya sendiri menyebabkan ia mampu memahami sejarah dan kebudayaan orang lain. Misalnya, bila seorang membaca suatu teks kesusastraan keseluruhan latar belakangnya ikut berperan. Dua orang yang berbeda latar pendidikan, usia, kebudayaannya tidak akan melakukan interpretasi dengan cara yang sama (Sumaryono, 1999:72).
Karya sastra merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 1994: 93). Dalam hermeneutika, bahasa merupakan jembatan antara pengalaman hermeneutik dan interpretasi. Hal ini terjadi karena manusia dalam merumuskan makna dan mengaitkan makna yang satu dengan makna yang lain ke dalam rangkaian-rangkaian yang koheren dan terpadu, melalui proses berbahasa. Pemahaman manusia tentang dunia ini terjadi melalui bahasa dan konsep atau rangkaian-rangkaian makna yang koheren dan terpadu.
Visi sastra modern menyebutkan bahwa dalam karya sastra terkandung ruang-ruang kosong, ditempat itulah pembaca memberikan berbagai penafsiran. Makin besar sebuah karya sastra, maka semakin banyak mengandung ruang-ruang kosong, sehingga semakin banyak investasi penafsiran yang dapat ditanam didalmnya. Dalam interpretasi ruang-ruang kosong tersebut, metode hermeneutika tidak mencari makna yang benar, melainkan makna yang paling optimal (Ratna, 2006: 46)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar