Tampilkan postingan dengan label konsultasi tesis yogyakarta. Judul Manajemen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label konsultasi tesis yogyakarta. Judul Manajemen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Maret 2020

Pembelian Impulsif (Skripsi dan tesis)

 Penelian sebelumnya menjelaskan bahwa pembelian impulsif merupakan pembelian yang tidak terencana (Stern 1962, p. 59). Baru-baru ini, para peneliti telah membahas pembelian impulsif sebagai perangsang dan dikenakan sebagai pengalaman emosional yang berhubungan dengan emosi tinggi dan perilaku spontanitas yang menghalangi untuk mempertimbangan suatu alternatif atau konsekuensi secara bijaksana (Jones et al., 2003; Rook 1987).

Hypermarket (skripsi dan tesis)

Hypermarket memiliki luas antara 100.000 – 300.000 meter persegi dengan kombinasi produk makanan 60 – 70% dan produk-produk general atau umum 30 – 40%. Hypermarket memiliki persediaan lebih sedikit dibanding supercenter, yaitu 40.000 hingga 60.000 item yang meliputi produk makanan, hardware, dan peralatan olahraga, hingga pada furniture, perlengkapan rumah tangga, komputer dan elektronik. Dengan demikian hypermarket adalah toko eceran yang mengkombinasikan pasar swalayan dan pemberi diskon di dalam ruangan yang berukuran 100.000 – 300.000 meter persegi (Utami, 2008).

Hubungan Kontrol diri terhadap Pengelolaan Keuangan (skripsi dan tesis)

Pengaruh pengontrolan diri dalam manajemen keuangan pribadi sangatlah penting. Dengan melakukan kontrol diri, maka pribadi akan memiliki sikap bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan. Kontrol diri merupakan keseluruhan kemampuan diri untuk mengendalikan diri pribadinya. Ada empat bidang kontrol diri yaitu Kognitif, Impulse ( Dorongan ), Emosi dan Kinerja. Menurut Senduk (2004) mengatakan bahwa manajemen keuangan pribadi meliputi keputusan tentang  
1. Membeli dan memiliki sebanyak mungkin harta produktif. Tentukan harta produktif yang ingin anda miliki. Harta produktif ini merupakan harta yang dapat menekan pengeluaran besar anda dalam kebutuhan sehari-hari. Seperti, jika anda mahasiswa maka memiliki komputer dan printer dapat mengurangi pengeluaran print di rental, dan lainnya. Harta produktif ini harus anda upayakan untuk miliki dengan cara membeli pada saat anda mendapatkan  uang. Prioritaskan harta-harta produktif yang benar-benar mendukung aktivitas anda. 
2. Mengatur Pengeluaran anda. Atur pengeluaran anda dan jangan sampai anda mengalami defisit. Usahakan dalam pengaturan pengeluaran anda, sudah di pastikan pos-pos pengeluaran tetap sudah terakomodir. Pelajari dan biasakanlah diri anda untuk mengeluarkan uang secara bijak dan tidak boros. 
3. Berhati-hati dengan Hutang. Anda harus mengetahui kapan saat yang tepat untuk berhutang, dan kapan saat yang tidak tepat tidak berhutang. Banyak perusahaan dapat memanfaatkan hutang di bank sebagai mdal usaha. Pada manajemen keuangan pribadi, jika anda mengalami defisit dan memaksa anda untuk berhutang, maka usahakanlah hutang tersebut tidak terlalu besar, dan menggangu keuangan anda secara keseluruhan pada saat pengembalian hutang tersebut
. 4. Sisihkan untuk masa depan. Rencanakan masa depan anda secara sistematis. Karena dengan merencanakannya, anda dapat menyisihkan pemasukan anda sebagian untuk diinvestasikan bagi masa depan. Dengan membantu melakukan investasi masa depan dalam pengelolaan keuangan, maka anda mengurangi resiko untuk bergerak jauh dari masa depan yang anda inginkan. 
5. Memiliki proteksi. Milikilah asuransi untuk melindungi anda dari berbagai bentuk resiko yang kemungkinan dapat terjadi. Jika anda belum memiliki penghasilan yang tetap, maka anda dapat membuka rekening tabungan dan menyisihkan uang anda sedikit dari pemasukan untuk ditabung sebagai anggaran proteksi pada resiko yang tidak anda harapkan. 
 Diduga seseorang yang cenderung melakukan tindakan belanja impulsif memilki kaitan dengan tindakan perencanaan keuangan. Menurut Senduk (2001) perencanaan keuangan adalah proses merencanakan tujuan-tujuan keuangan jangka pendek maupun jangka panjang. Yang dimaksud dengan tujuan keuangan itu adalah keinginan keuangan yang ingin direalisasikan. Dalam dunia nyata seseorang yang memilki kecenderungan melakukan tindakan belanja impulsif diduga memiliki perencanaan keuangan yang buruk, dimana praktek manajemen keuangan masih belum diimplementasikan sepenuhnya dalam kehidupan

Sabtu, 14 Maret 2020

Pengertian Nilai Materialisme (Skripsi dan tesis)

Menurut (Richin dan Dawson 1992 dalam Prima Naomi 2008) berpendapat bahwa, materialisme adalah salah satu trait kepribadian yang berkaitan dengan kepemilikan barang atau materi. Trait ini membedakan seseorang dari orang lain terkait dengan apakah materi merupakan sesuatu yang penting dan memberinya identitas ataukah hanya merupakan sesuatu yang sekunder. Salah satu komponen konsep diri yang penting adalah hubungan seseorang dengan dunia material. Peneliti melihat perbedaan individu berkaitan dengan bagaimana konsumen menilai kepemilikan seseorang. Tendensi untuk mencapai kebahagiaan melalui kepemilikan benda tertentu disebut materialisme (Mowen dan Minor, 2002: 280). Para peneliti menemukkan ciri orang yang dapat di kategorikan materialistik yaitu: (1) Individu yang mengutamakan menghargai dan memamerkan kepemilikan, (2) umumnya individu egois dan terpusat pada diri sendiri, (3) individu mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka menginginkan untuk mempunyai tidak hanya ”sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan sederhana, (4) yang dimiliki sekarang tidak dapat memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu mengharapkan kepemilikan yang lebih tinggi agar mendapatkan kebahagian yang lebih besar (Schiffman dan Kanuk, 2007: 129). Konsumen dengan nilai materialistik yang tinggi sangat didorong untuk mengkonsumsi lebih banyak dari konsumen lainnya (Wong, 1997 dalam Phau, 2009). Dalam kamus bahasa Inggris Oxford, materialisme didefinisikan sebagai sebuah pengabdian untuk keinginan dan kebutuhan material dan mengabaikan hal-hal rohani, sebuah cara hidup, pendapat, atau kecenderungan didasarkan sepenuhnya pada kepentingan materi

Pengertian Kontrol Diri (skripsi dan tesis)

Prima Naomi (2008 : 182) mendefinisikan kontrol diri merupakan pola respon yang baru dimulai untuk menggantikan sesuatu dengan yang lain, misalnya respon yang berkaitan dengan mengalihkan perhatian dari sesuatu yang diinginkan, mengubah emosi menahan dorongan tertentu dan memperbaiki kinerja. Dapat dikatakan sebagian besar seseorang mengiginkan dapat mengelola self control untuk di implementasikan dalam pengambilan keputusan yang baik dan terencana untuk jangka panjang kedepan. Pembelian Impulsif atau pembelian tidak terencana adalah pembelian yang terjadi secara spontan karena munculnya dorongan yang kuat untuk membeli dengan segera (Assael, 1998 ; Hanna dan Wozniak, 2001; London dan Bitta, 1993; Mowen dan Minor, 2002; Rook dalam Enggel dkk, 1995; Solomon 2002 pada Fika Ariani 2008). 
Secara umum ada empat tipe pembelian impulsif di masyarakat (Assael, 1998; Enggel dkk, 1995; London dan Bitta, 1993 pada Fika Ariani 2008) yaitu pertama dorongan murni (pure Impulse) berupa dorongan untuk membeli produk yang baru atau menghentikan pola pembelian normal, kedua dorongan atas saran anjuran (suggestion impulse) yang didasarkan stimulus pada toko dan ditunjang pada pembelian saran, baik dari sales promotion, pramuniaga atau teman, ketiga dorongan karena ingatan (reminder impulse) yang  muncul saat melihat barang dan produk pada rak’ display atau teringat iklan dan informasi lainnya tentang suatu produk, keempat dorongan yang direncanakan (planed impulse) berupa intensi membeli berdasarkan harga khusus, kupon dan lain sebagainya tanpa merencanakan produk yang akan dibelinya. Pada pembelian Impulsif, konsumen memilki perasaan yang kuat dan positif terhadap suatu produk yang harus dibeli hingga ahirnya konsumen memutuskan untuk membelinya (Mowen dan Minor, 2002). Proses afektif yang muncul pada konsumen langsung menuju pada perilaku membeli, tanpa konsumen memikirkannya dahulu bahkan memperhitungkan konsekuensi yang diperolehnya. Kontrol diri perlu dimiliki oleh seseorang ketika menghadapi situasi pembelian yang bersifat impulsif maupun kompulsif. Perilaku ini merupakan sesuatu yang tidak teratur dan diakibatkan oleh dorongan yang tidak direncanakan dan spontan. Perilaku ini dianggap sebagai pembelian yang tidak disertai dengan pertimbangan yang matang, sesuai dengan tujuan jangka panjang, dan rasionalitas. Pembelian impulsif akan sulit ditahan bila berkaitan dengan sesuatu yang menarik dan menggugah perhatian seseorang. Individu akan mau mengorbankan segala cara untuk mendapatkan sesegera mungkin. Pembelian impulsif sebenarnya bisa ditahan bila seseorang mempunyai kapasitas untuk menahannya

Dimensi Celebrity worship (skripsi dan tesis)

Keterlibatan dengan celebrity oleh Maltby et.al, (2006) dibagi menjadi tiga dimensi yang disebut sebagai Celebrity Attitude Scale (CAS), yang bisa digambarkan sebagai tingkatan, yaitu: a. Entertaiment social Pada level ini individu biasanya dikaitkan dengan penggunaan media sebagai sarana untuk mencari informasi mengenai idolanya dan senang membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan idola dengan sesama teman  yang mengidolakan idola yang sama sebagai hiburan yang didasari oleh ketertarikan fans terhadap idola. Fans menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh idolanya adalah menarik dan menjadi hiburan bagi fans tersebut. Salah satu contoh tipikal perilaku dalam aspek entertainment-social adalah ketika individu gemar membicarakan tentang idolanya kepada sesama teman yang mempunyai idola yang sama. b. Intense-personal Dimensi ini merefleksikan perasaan intensif dan empati terhadap idola, hampir sama dengan tendesi obsesif pada fans. Hal ini menyebabkan individu menjadi memiliki kebutuhan untuk mengetahui apapun tentang celebrity tersebut, mulai dari berita terbaru hingga informasi mengenai pribadi celebrity. Contoh perilaku yang menggambarkan tipikal Intense-personal, misalnya saat individu merasa idolanya bisa menjadi pasangan hidupnya. c. Borderline-pathological Dimensi ini adalah yang paling tinggi dari hubungan parasosial dengan celebrity. Hal ini digambarkan dalam sikap seperti kesediaan untuk melakukan apapun demi celebrity tersebut meskipun hal tersebut melanggar hukum. Fans yang seperti ini tampak memiliki pemikiran yang tidak terkontrol dan menjadi irasional. Salah satu contoh perilaku yang menggambarkan tahapan borderlinepathological misalnya seorang individu rela memberikan uang sebanyak sepuluh juta demi bisa membeli seprei yang pernah dipakai tidur oleh idolanya.

Pengertian Celebrity worship (skripsi dan tesis)

 Celebrity worship menurut Maltby et. Al, (2005) adalah gangguan obsesif-adiktif saat seseorang terlalu melibatkan diri di setiap detil kehidupan selebriti idolanya,  dimana semakin seseorang memuja, merasa kagum atau terlibat dengan sosok selebriti tertentu, semakin besar pula keintiman (intimacy) yang diimajinasikan terhadap sosok selebriti yang diidolakan, semakin tinggi tingkat pemujaan seseorang terhadap idolanya, maka semakin tinggi pula tingkat keterlibatannya dengan sosok idola. Seiring dengan meningkatnya intensitas keterlibatan seseorang dengan selebriti idolanya, maka ia mulai melihat sosok selebriti idolanya adalah orang yang dianggap dekat dan ia mulai mengembangkan hubungan parasosial. Hubungan parasosial adalah hubungan yang diimajinasikan seseorang dengan sosok yang diidolakan yang bersifat satu arah, dari fans kepada selebriti idolanya (Maltby, 2004). Celebrity worship dipengaruhi oleh kebiasaaan seperti melihat, mendengar, membaca dan mempelajari tentang kehidupan selebriti secara berlebihan (McCutcheon et al., 2005). Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa celebrity worship merupakan segala bentuk perilaku atau perasaan yang timbul dari dalam diri individu untuk memuja sosok idola sebagai suatu hiburan atau pemuasan diri.

Tiga Fitur Inti Pembelian Kompulsif (skripsi dan tesis)

 Dittmar (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga fitur inti dari pembelian kompulsif, yaitu: a. Compulsive buyer memiliki hasrat yang tidak dapat ditahan untuk membeli atau mendapatkan sesuatu b. Individu tersebut tidak mampu mengontrol perilaku compulsive buying-nya. c. Individu tersebut akan terus melakukan kebiasaan utuk membeli sesuatu secara berlebihan tanpa menghiraukan dampak yang mungkin timbul dalam kehidupan pribadi, sosial, ataupun pekerjaan dan kesulitan dalam hal keuangan

Faktor-faktor Pembelian Kompulsif (skripsi dan tesis)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian kompulsif, yaitu:
 a. Celebrity worship 
Menurut Revees (2014) celebrity worship mempengaruhi pembelian kompulsif. Lebih lanjut Revees (dalam Anastasia, 2017) berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat kebutuhan seseorang untuk dihibur oleh idolanya maka semakin tinggi pula tingkat pembelian kompulsif fans. Teori ini didukung oleh penelitian Devi (2014) jika seorang fans merasa terikat secara emosional maka Ia akan mengikuti perkembangan idolanya dengan cara membeli tiket pertunjukan dan bertemu langsung dengan idolanya. 
b. Kontrol Diri 
O’Guinn dan Faber (1989) seseorang yang memiliki perilaku pembeli yang kompulsif biasanya tidak bisa mengontrol diri dan terkesan kurang peduli terhadap apa yang dibelinya. Menurut Naomi & Mayangsari (2008) kontrol diri  perlu dimiliki seseorang ketika menghadapi pembelian yang bersifat impulsive maupun kompulsif, karena perilaku ini diangap sebagai pembelian yang tidak disertai pertimbagan yang matang, sesuai dengan kebutuhan jangka panjang, dan rasionalitas. Seseorang yang tidak memiliki kontrol diri lebih memprioritaskan konsumsi yang bersifat hedonis dari pada fungsional karena memang menginginkan sesuatu yang bersifat luas (Phillips,dkk dalam Naomi & Mayangsari 2008). Teori ini didukung oleh penelitian Maskhuroh & Renanita (2018) semakin tinggi kontrol diri maka semakin rendah kecenderunan pembelian kompulsif. Sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi kecenderunan perikalu pembelian kompulsifnya.
 c. Keluarga 
Menurut Mangestuti (2014), keluarga sebagai faktor dari pembelian kompulsif dapat dipahami melalui teori belajar sosial. Keluarga adalah dasar terbentuknya perilaku pembelian kompulsif, karena awal dari sosialisasi konsumen berasal dari keluarga. Keluarga dengan orang tua berstatus pembeli kompulsif akan menjadi model untuk ditiru. Selain itu, orang tua yang tidak memberikan dukungan berupa kasih sayang dan perhatian namun justru banyak memberikan tekanan menjadi penguat bagi remaja untuk melakukan pembelian kompulsif. 
Workman & Paper (2010) merangkum faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian kompulsif dalam enam kategori: 
a. Variabel Kepribadian Variabel kepribadian yang dimaksud meliputi kompulsifitas, merasa harga dirinya rendah, perasaan negatef atau depresi, rasa kesepian, pencarian gairah, dan berfantasi.
 b. Faktor Demografi Faktor demografi di sini mengenai faktor pendapatan, usia, dan gender.
 c. Intensitas Perasaan Konsumen yang kompulsif cenderung memiliki respon perasaan yang kuat terhadap stimuli tertentu dibandingkan dengan konsumen lain. 
d. Evaluasi normatif dan pengendalian impuls Kurangnya pengendalian impuls telah dikaitkan dengan orang-orang yang tidak mampu menahan ataupun menunda kepuasan ketika sebuah rangsangan untuk membeli muncul. 
e. Penggunaan kartu kredit Konsumen yang kompulsif membuktikan penggunaan kartu kredit yang sangat tinggi atau menyalah gunakan kartu kredit disbanding dengan konsumen lain. 
f. Konsekuensi jangka pendek dan janka panjang dari belanja kompulsif Konsekuensi jangka pendek pembelian kompulsif bersifat positif seperti berkurangnya stress dan tekanan. Namun jika bekelanjutan, konsekuensi jangka panjang dari perilaku ini sifatnya negatif seperti kesulitan pribadi, utang finansial, gangguan dalam kehidupan keluarga. 
 Oleh karena itu dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian kompulsif adalah celebrity worship, kontrol diri, keluarga, variabel kepribadian, demografi, intensitas perasaan, evaluasi normatif dan pengendalian impuls, penggunaan kartu kredit, dan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang pembelian kompulsif

Dimensi Pembelian Kompulsif (Skripsi dan tesis)

 Edwards (1993) pembelian kompulsif memiliki lima dimensi utama, yaitu: 
a. Tendency to Spend 
Keadaan dimana kecenderungan seseorang membeli barang secara berlebihan, menghabiskan uang dengan sering. 
b. Drive to Spend 
Saat individu merasa tergoda untuk berbelanja preokupasi (pemusatan pikiran pada satu hal tertentu), kompulsif (dilakukan secara berulang-ulang) dan adanya perilaku impulsif dalam berbelanja atau membeli barang. 
c. Feelings about shopping and spending 
Keadaan mengenai seberapa besar individu menikmati aktivitas berbelanja dan menghabiskan waktunya untuk berbelanja 
 d. Dysfunctional spending. 
Menjelaskan bahwa pengaruh lingkungan dapat menyebabkan atau menggiring seseorang untuk melakukan aktivitas berbelanja dan menghabiskan waktunya untuk berbelanja. 
e. Post-purchase guilt. 
Keadaan dimana seseorang merasa menyesal setelah melakukan aktivitas berbelanja

Pengertian Pembelian Kompulsif (Skripsi dan tesis)

Edwards (1993) pembelian kompulsif adalah suatu tindakan seseorang dalam mengambil keputusan untuk membeli barang bukan hanya karena kebutuhannya, melainkan juga demi pemuasan keinginannya yang dilakukan secara berlebihan, kronis, dan berulang-ulang sebagai representatif perasaan negatif atau untuk mengurangi perasaan negatif. Pembelian kompulsif ini juga dapat diartikan sebagai bentuk pembelian dengan kontrol yang lemah atau berlebihan, dorongan yang berkenaan dengan pembelajaan dan pengeluaran, yang konsekuensinya bersifat merugikan. Menurut O’Guinn dan Faber (1998), pembelian kompulsif adalah pembelian yang kronis, dilakukan berulang-ulang yang menjadi respon utama dari suatu kejadian atau perasaan yang negatif. Sehingga pembelian kompulsif adalah satu bentuk konsumsi yang dianggap sebagai sisi gelap konsumsi, karena ketidakmampuan konsumen dalam mengendalikan dorongan hati yang kuat untuk selalu melakukan pembelian (Shiffman & Kanuk, 2008).  Konsumen yang kompulsif adalah konsumen yang merasa ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan sikap mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain (Schiffman & Kanuk, 2008). Compulsive buying bisa terjadi pada setiap individu yang memiliki kondisi jiwa yang normal (D’Astous, Maltais, & Roberge dalam Naomi & Mayangsari, 2009).

Tipe Kontrol Diri (skripsi dan tesis)

 Rosenbaum (Putri dkk, 2009 : 8) mengemukakan tipe-tipe kontrol diri yang terdiri dari: a) Kontrol diri tipe redresif, yaitu berfokus pada proses pengendalian diri b) Kontrol diri tipe reformatif, yaitu berfokus pada bagaimana mengubah gaya hidup, pola perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan yang destruktif. c) Kontrol diri tipe eksperiensial, yaitu kemampuan seseorang untuk menjadi sensitif dan menyadari perasaan-perasaannya dan penghayatan akan stimuli dari lingkungan yang spesifik.

Aspek-aspek Kontrol Diri (skripsi dan tesis)

 Averill (Diba, 2014: 319) mengungkapkan beberapa aspek yang terdapat dalam kontrol diri seseorang, yaitu:
 a. Kontrol Perilaku 
Merupakan sikap yang menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya (Azwar, 2013 : 27). Kaitan ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku. Sementara Diba (2014 : 319) menyatakan kontrol perilaku sebagai kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi keadaan yang tidak menyenangkan dan langsung mengantisipasinya. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa 36 lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan yang bersangkutan, yang mana kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang berada dalam kondisi yang lemah (Azwar, 2013 : 13). Kemampuan ini diperinci lebih lanjut ke dalam dua komponen, yakni kemampuan mengontrol pelaksanaan yang ditunjukkan dengan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu di luar dirinya. Dan kedua adalah kemampuan mengontrol stimulus yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Stimulus adalah hal-hal yang merangsang terjadinya kegiatan pembelajaran, seperti pikiran, perasaan dll yang dapat ditangkap melalui alat indera. 
b. Kontrol Kognitif 
Yaitu kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Secara sederhananya, kontrol kognitif ini merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, yakni kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap (Azwar, 2013 : 24).
 Komponen kognitif mengacu pada kesadaran responden dan pengetahuannya terhadap beberapa obyek atau fenomena yang terkadang disebut juga dengan komponen keyakinan, yang diekspresikan seperti: “saya mempercayai produk A mempunyai .... ” 37 atau “saya tahu bahwa produk B akan ... “. Komponen kognitif penting bagi berbagai kebutuhan informasi. Banyak situasi keputusan membutuhkan informasi yang menyangkut kesadaran/pengetahuan pasar tentang ciri-ciri produk, kampanye periklanan, penetapan harga, ketersediaan produk, dan lain sebagainya. Kemampuan ini diperinci lebih lanjut ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan memperoleh informasi, dan kemampuan melakukan penilaian. Kemampuan memperoleh informasi ini dengan informasi yang dimiliki, individu dapat mengantisipasi keadaan dengan berbagai pertimbangan secara objektif. Sedangkan kemampuan melakukan penilaian ditunjukkan dengan melakukan penilaian dimana individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara objektif.
c. Kontrol Keputusan 
Yaitu kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakininya atau disetujuinya. Ghufron dan Rini (Heni, 2011: 5) mengungkapkan 2 faktor yang mempengaruhi kontrol diri, yaitu: 
1. Faktor Internal Salah satu faktor yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrol diri seseorang itu. 
 2. Faktor Eksternal Salah satu faktor yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah keluarga. Lingkungan keluarga dapat menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Bila lingkungan keluarganya menerapkan disiplin yang konsisten kepada anaknya, maka konsisten ini akan diinternalisasi oleh anak dan kemudian akan menjadi kontrol diri baginya

Definisi Kontrol Diri (skripsi dan tesis)

 Lazarus (Diba, 2014: 315) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi yang positif. Messina (Naomi dan Mayasari, 2009: 4) mendefinisikan kontrol diri sebagai kemampuan seseorang untuk tidak melakukan pembelian secara spontan atau kemampuan diri untuk menunda pembelian dengan melakukan pertimbangan terlebih dahulu. Kontrol diri biasanya melibatkan upaya untuk menghindari preferensi jangka pendek agar mencapai preferensi jangka panjang (Putra dkk, 2012 : 4). Seseorang yang tidak memiliki kontrol diri lebih mengutamakan konsumsi yang bersifat hedonis daripada fungsional karena ia menginginkan sesuatu yang bersifat kemewahan dan kesenangan. Berdasarkan beberapa pengertian kontrol diri tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam mengontrol segala perilaku, pikiran, dan perasaannya dalam keinginannya untuk melakukan hal-hal negatif. Hal-hal negatif dalam bahasan ini ialah pola perilaku pembelian kompulsif. Jadi kontrol diri ini perlu dimiliki oleh seseorang ketika menghadapi situasi pembelian yang bersifat impulsif maupun kompulsif (Naomi dan Mayasari, 2009: 3). 
 Rotter (Friedman & Schustack, 2008 : 50) membagi kontrol diri ke dalam 2 elemen utama, yakni kontrol eksternal, dan kontrol internal. Kontrol eksternal diakibatkan karena adanya sebuah keyakinan bahwa hal-hal di luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan lainnya itu menentukan apakah hasil akhir yang diinginkan akan terjadi. Seseorang dengan kontrol eksternal cenderung kurang independen dan lebih mungkin menjadi depresif dan stres. Sedangkan kontrol internal merupakan ekspektasi umum di mana tindakan individu sendiri akan menyebabkan munculnya hasil akhir yang diinginkan. Seseorang dengan kontrol internal lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high achiever

Metode AIO (Activity, Interest, Opinion) (skripsi dan tesis)

 Menurut Kasali (Susanto, 2013: 3) para peneliti pasar yang menganut pendekatan gaya hidup cenderung mengklasifikasikan konsumen berdasarkan variabel AIO (Activity, Interest, Opinion). Berikut ini adalah : 
 1. Aktivitas 
Aktivitas mengacu pada cara setiap individu menghabiskan waktu dan uang yang mereka miliki terkait dengan tindakan nyata, seperti pekerjaan atau tindakan yang wajib dilakukan sehari-hari, bekerja, rekreasi, menonton, berbelanja, dll (Aresa, 2012: 29). Jadi dapat dikatakan bahwa indikator dari aktivitas ini meliputi hobi, hiburan, dan berbelanja. 
2. Minat 
Minat adalah sesuatu yang membuat seseorang merasa tertarik, seperti ketertarikannya terhadap makanan, teknologi, fashion, dll. (Susanto, 2013: 4). Aresa (2012: 31) mendefinisikan minat sebagai faktor pribadi yang terdapat pada diri individu dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang diukur melalui minat individu terhadap keluarga, rumah, pekerjaan, komunitas, rekreasi, fashion, makanan, media, dan achievement. 
3. Pendapat
Pendapat-pendapat yang diucapkan oleh seseorang akan membantu kita untuk mengetahui karakter orang tersebut, dan apa yang dia butuhkan untuk memperkuat karakternya (Susanto, 2013: 4). Engel, Blackwell, dan Miniard mengungkapkan bahwa opini digunakan untuk mendeskripsikan harapan dan evaluasi, seperti kepercayaan, antisipasi terhadap peristiwa di masa depan, dan pertimbangan konsekuensi dari adanya tindakan alternatif (Aresa, 2012: 32). Jadi opini ini merupakan pendapat dari setiap individu, baik lisan maupun tulisan yang diberikan seseorang sebagai respon terhadap stimulus. Dan opini ini biasanya berbentuk pertanyaan yang  diajukan. Opini sendiri ini dapat diukur melalui opini mengenai diri sendiri, isu-isu sosial, politik, bisnis, ekonomi, pendidikan, produk, masa depan, dan budaya

Klasifikasi Gaya Hidup (skripsi dan tesis0

 
David Chaney (dalam Aresa, 2012: 24) mengklasifikasikan gaya hidup berdasarkan kebutuhan seseorang dalam memenuhi keinginan dan rutinitasnya, yaitu : 
a) Industri Gaya Hidup “Kamu bergaya maka kamu ada!” adalah sebuah ungkapan yang mungkin cocok untuk menggambarkan kegandrungan manusia modern akan gaya karena gaya hidup sebagai penunjuk penampilan diri mengalami estetisisasi dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan. 
b) Iklan Gaya Hidup Di dalam era globalisasi informasi saat ini, yang berperan besar dalam membentuk gaya hidup adalah budaya citra dan budaya cita rasa. Iklan dapat dapat mempresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus arti pentingnya citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga secara perlahan namun pasti akan mempengaruhi pilihan cita rasa yang akan dipilih. 
 c) Public Relation dan Jurnalisme Gaya Hidup Dalam hal ini celebrity endorser turut membantu dalam pembentukan identitas dari para konsumen. Dalam budaya konsumen, identitas menjadi suatu sandaran “aksesoris fashion”. 
d) Gaya Hidup Mandiri Kemandirian adalah kemampuan hidup untuk tidak bergantung secara mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Dengan gaya hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi mengajarkan manusia karena manusia akan bebas untuk menetukan pilihannya sendiri secara bertanggung jawab, serta dapat memunculkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian tersebut. e) Gaya Hidup Hedonis Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang akitivitasnya hanya untuk mencari kesenangan hidup, seperti lebih banyak bermain, lebih menyukai keramaian kota, senang membeli barang mahal, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian (Boedeker, Arnold dan Reynold, dan Sproles dan Kendal dalam Arifianti dkk, 2010: 85).

Definisi Gaya Hidup (skripsi dan tesis)

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa gaya hidup merupakan bagian dari faktor pribadi yang turut mempengaruhi konsumen dalam berperilaku dan mengambil keputusan pembelian. Gaya hidup adalah sebuah konsep yang lebih baru dan mudah terukur dibandingkan dengan kepribadian. Orang-orang yang berasal dari sub kebudayaan, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama dapat memiliki gaya hidup yang berbeda. Kotler dan Armstrong (2001 : 208) mendefinisikan gaya hidup sebagai sebuah pola kehidupan seseorang seperti yang diperlihatkannya dalam kegiatan, minat, dan pendapat-pendapatnya atau dapat disingkat AIO (Activities, Interest, dan Opinions). AIO ini merupakan dimensi utama konsumen dalam mengukur gaya hidupnya. Suryani (2012 : 74) menjelaskan bahwa pertanyaan aktivitas (Activities) menanyakan apa yang dilakukan konsumen, apa yang dibeli, dan bagaimana konsumen menghabiskan waktunya yang meliputi pekerjaan, hobi, belanja, olahraga, kegiatan sosial. Minat (Interest) menanyakan preferensi dan prioritas konsumen, seperti makanan, pakaian, keluarga, rekreasi. Sedangkan pendapat (Opinion) ialah menanyakan pandangan dan perasaan konsumen mengenai berbagai topik kejadian-kejadian 30 yang berlangsung di lingkungan sekitar, baik lokal maupun internasional, masalah-masalah ekonomi, sosial, bisnis, dan produk maupun pendapat tentang diri mereka sendiri.
 Gaya hidup merupakan salah satu cara mengelompokkan konsumen secara psikografis. Gaya hidup ini mencakup lebih dari sekedar kelas sosial ataupun kepribadian seseorang, tetapi gaya hidup saat ini sudah dapat menampilkan pola perilaku seseorang dan interaksinya di dunia. Sementara Sumarwan (2003: 56) menyatakan bahwa gaya hidup itu mencerminkan pola konsumsi yang menggambarkan pilihan seseorang bagaimana seseorang itu menggunakan uang dan waktunya. Dan gaya hidup bersifat tidak permanen karena seseorang akan cepat mengganti model dan merek pakaiannya karena menyesuaikan diri dengan perubahan hidupnya. Sementara itu, Piliang (Wijayanti dan Seminari, 2012 : 642) mengemukakan bahwa gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan, serta objek-objek yang mendukungnya, dalam pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu. Sedangkan Jackson (2004, dalam Japarianto & Sugiharto, 2011 :33) mengatakan bahwa gaya hidup berbelanja merupakan ekspresi tentang gaya hidup dalam berbelanja yang mencerminkan perbedaan status sosial.

Konsekuensi Perilaku Pembelian Kompulsif (skripsi dan tesis )

Berikut ini adalah konsekuensi yang dapat muncul dari adanya perilaku pembelian kompulsif (Lisan dan Ida, 2010: 7). 
1. Dorongan Tak Terkendali
 Untuk Berbelanja Keinginan untuk menghilangkan perasaan negatif melalui kegiatan berbelanja sangat kuat dalam diri si pembeli kompulsif. Jika keinginan kuat tersebut selalu muncul ketika mereka mengalami perasaan negatif, maka tidak mengherankan dalam diri mereka akan selalu muncul keinginan berbelanja yang tidak terkendali. Faber dan O’Guinn menjelaskan bahwa perilaku kompulsif dilakukan secara berulang-ulang. 
2. Sikap Terhadap Iklan
 Kwak et al (dalam Lisan dan Ida, 2010: 8) mengatakan bahwa pembeli kompulsif memiliki reaksi yang berbeda terhadap iklan dibandingkan dengan konsumen normal lainnya. Berdasarkan Teori Perbandingan Sosial, Kwak et al (dalam Lisan dan Ida, 2010: 8) juga mengatakan bahwa konsumen membandingkan kehidupan nyatanya dengan kehidupan ideal yang ditampilkan di dalam iklan. Oleh karena itu, pembeli kompulsif akan merasa tidak puas dengan kehidupan nyatanya yang sekarang, akibatnya konsumen ingin menyamai kehidupan ideal yang ditampilkan dalam iklan tersebut, dan cara untuk mendapatkan kehidupan idealnya adalah dengan melakukan pembelian atas produk yang diiklankan. Selain itu, pembeli kompulsif juga cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh iklan atau hal semacamnya.
 3. Masalah Keuangan 
Individu yang cenderung melakukan pembelian kompulsif tidak mempermasalahkan hal keuangan meskipun itu berarti ia harus berhutang atau harus menggunakan kartu kredit untuk memenuhi keinginannya berbelanja. Seperti yang dikatakan oleh Dittmar bahwa finansial bukan halangan bagi pembeli kompulsif mengingat dorongan untuk membeli suatu produk sangatlah kuat. Jika kondisi tersebut terjadi secara berulangulang, maka kemungkinan hutang para pelaku kompulsif akan semakin banyak dan akibatnya akan menimbulkan masalah keuangan bagi dirinya seperti kesulitan dalam membayar hutang. Roberts mengatakan hal yang senada dengan Dittmar bahwa meningkatnya kebangkrutan individu dan penggunaan kartu kredit yang melebihi batas merupakan bagian dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perilaku pembelian kompulsif

Aspek-aspek Perilaku Pembelian Kompulsif (skripsi dan tesis)

Menurut Desarbo dan Edward (1996 : 235) aspek yang mempengaruhi seseorang berperilaku kompulsif terbagi ke dalam 2 aspek, yaitu aspek predispostional dan aspek circumstansial.
 1. Aspek Predispostional 
Faktor ini merupakan konstruk-konstruk yang mempengaruhi individu untuk melakukan perilaku pembelian kompulsif dan mengindikasikan kecenderungan secara umum yang mengarah pada perilaku pembelian kompulsif. Faktor predispositional terdiri dari : 
 a) Kecemasan : Pada tingkat ini individu memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dari pada non kompulsif. Untuk dapat keluar dari kecemasan ini si individu akan termotivasi untuk melakukan perilaku kompulsif. Pembeli kompulsif menggunakan aktivitas berbelanja sebagai cara untuk menghilangkan kecemasannya, dan pola ini dilakukan secara terus-menerus yang dalam artiannya adalah apabila tiap kali si individu mengalami kecemasan yang berlebihan, ia cenderung mengobati kecemasannya dengan berbelanja. 
b) Perfeksionis : Perfeksionis dicirikan dengan harapan yang terlalu berlebihan untuk mendapatkan suatu pencapaian yang lebih besar. Orang-orang yang perfeksionis melakukan pembelian kompulsif untuk mendapatkan kompetensi, kontrol dan harga diri meskipun hanya sementara. 
c) Harga Diri : Harga diri ini didefinisikan sebagai suatu penilaian terhadap diri sendiri bahwa dirinya begitu berharga. Seseorang yang berperilaku kompulsif cenderung memiliki harga diri yang rendah, karena dengan melakukan pembelian kompulsif akan memunculkan perasaan memiliki kekuasaan melalui aktivitas berbelanja. 
d) Fantasi : Pada tingkat ini si individu memiliki khayalan yang terlalu tinggi dan kebebasan akibat dari suatu perilaku yang dilakukannya. Pembelian kompulsif merupakan pelarian dari rasa cemas dan perasaan negatif seseorang yang berarti dengan melakukan pembelian kompulsif maka seakan-akan masalah yang dihadapi menjadi hilang. Disitulah letak fantasi nya. 
 e) Impulsif : Pembelian impulsif terjadi karena adanya ketidakmampuan seseorang untuk menolak melakukan pembelian, rendahnya kontrol tersebut sangat erat kaitannya dengan pembelian kompulsif, dan perilaku impulsif umumnya terjadi karena adanya stimulus eksternal. Pembelian kompulsif dideskripsikan sebagai sebuah impulse control disorder dalam kajian ilmu psikologi. Oleh karena itu, perilaku kompulsif dapat dikatakan sebagai perilaku yang tidak dapat dikendalikan karena begitu kuatnya dorongan untuk berperilaku. 
f) Pencari Kesenangan : Para pembeli kompulsif cenderung melakukan aktivitas belanja sebagai kegiatan untuk mencari kesenangan semata yang berada di antara kontrol dan rendahnya kontrol. 
g) General Kompulsif : Dalam hal ini orang-orang yang cenderung memiliki perilaku kompuslif dapat diketahui dari ciri-ciri: suka menunda pekerjaan, sering mengalami kebimbangan, pola makan tidak teratur, kecanduan obat dan alkohol, dll. 
h) Ketergantungan : Orang-orang yang mudah bergantung pada orang lain memiliki kecenderungan untuk berperilaku kompulsif. 
i) Approval Seeking : Pembeli kompulsif memiliki kebutuhan untuk mendapat pujian dari orang lain dalam rangka untuk membuat diri mereka menjadi bahagia walaupun itu hanya untuk sementara waktu, seperti mendapatkan pujian dari si penjual di dalam toko akan mengakibatkan mereka melakukan pembelian kompulsif. 
j) Locus of Control : Orang yang memiliki hidup yang dikendalikan oleh faktor dari luar memiliki kecenderungan berperilaku kompulsif. 
 k) Depresi : Orang yang memiliki tingkat depresi yang tinggi akan cederung melakukan pembelian kompulsif karena tujuannya untuk keluar dari perasaan depresi yang tidak menyenangkan tersebut. 
2. Faktor Circumstantial Faktor ini merupakan faktor yang dihasilkan dari kondisi individu pada saat ini dan juga mungkin menjadi pemicu munculnya perilaku-perilaku pembelian kompulsif selanjutnya (Desarbo dan Edwards, 1996 : 238), antara lain seperti : 
a) Menghindari Masalah
 Menghindari masalah adalah sebuah kecenderungan umum menggunakan cara-cara tertentu untuk menghindari diri dari sebuah permasalahan, dan para pelaku pembelian kompulsif memiliki kecenderungan untuk menghindari masalah. 
b) Penyangkalan 
Penyangkalan merupakan penyangkalan terhadap permasalahan yang dihadapi. Pembeli kompulsif memiliki kecenderungan untuk menyangkal keberadaan dari permasalahan yang dihadapinya. Bagi mereka, denial adalah cara untuk menghindari rasa cemas, rasa marah, rasa takut atau emosi negatif lainnya yang biasanya tidak ada hubungannya dengan pengalaman berbelanja.
 c) Pengasingan
 Terdapat dugaan bahwa pembelian kompulsif merupakan sebuah gambaran dari perilaku individu yang terisolasi dari lingkungan sosialnya. Isolasi tersebut mendorong individu untuk memiliki perilaku  berlebihan yang tidak diterima secara sosial sehingga menyebabkan mereka mengisolasi dirinya sendiri. Kebutuhan untuk berkomunikasi dengan orang lain mungkin mendorong para pembeli kompulsif untuk berbelanja pada sebuah toko karena di sana lah merasa merasa mendapatkan perhatian dari tenaga penjual toko.
 d) Materialistis 
Faber dan O’Guinn menggunakan materialism scale yang dikemukakan oleh Belk’s untuk menilai nilai materialisme dalam sampel pembeli kompulsif mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa pembeli kompulsif lebih materialistik dibandingkan dengan populasi umum lainnya. Tetapi meskipun demikian, kepemilikan terhadap suatu barang tidak menjadi perhatian utama bagi mereka. Pembeli Kompulsif lebih fokus pada proses berbelanja daripada barang-barang yang mereka beli. 
Sementara itu, Kurnia (2013: 3) mengungkapkan faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku pembeli kompulsif adalah : 
1. Faktor Keluarga Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam membantu individu untuk melakukan proses sosialisasi melalui pembelajaran, dan penyesuaian diri dalam berpikir dan juga bertindak di dalam masyarakat. Keluarga yang utuh dan harmonis akan memberikan dampak positif bagi individu dan perilakunya. Robert (dalam Kurnia, 2013: 3) menyatakan bahwa pada beberapa penelitian yang telah dilakukan ternyata pembelian kompulsif dipengaruhi oleh perilaku dari anggota keluarga yang lain. 
2. Faktor Psikologi 
Pembelian kompulsif terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga. Dengan kata lain, hasrat untuk melakukan pembelian pada pembeli kompulsif lebih disebabkan oleh dorongan psikologis dari dalam diri mereka. 
3. Faktor Sosiologi 
Robert (dalam Kurnia, 2013: 3) menyatakan bahwa terdapat pengaruh tayangan televisi, teman sebaya, frekuensi berbelanja, serta kemudahan mengakses dan menggunakan kartu kredit pada pembelian kompulsif. 
4. Faktor Situasional 
Faktor situasional merupakan faktor eksternal yang muncul karena seseorang melakukan kontak dengan lingkungan dan produk yang nantinya dapat menyebabkan pembelian impulsif dan pembelian kompulsif. Faktor situasional membuat konsumen melakukan pengambilan keputusan di dalam toko pada saat itu juga (Gor dalam Kurnia, 2013: 3).
 5. Materialisme 
Materialistik adalah tingkatan seseorang dianggap sebagai materialis. Konsumen menganggap suatu kepemilikan sebagai suatu yang berharga, maka ia semakin materialistis. Demikian juga sebaliknya.  Kemudian, Sari (2013: 6) mengungkapkan 5 dimensi dari perilaku pembelian kompulsif yang terdiri dari :
 1. Tendency to Spend 
Yaitu sebagian besar mengarah pada kecenderungan seseorang untuk melakukan aktivitas berbelanja dan lebih sering menghabiskan uang, dimana ada episode tertentu pada aktivitas berbelanjanya. 
2. Drive To Spend
 Mendeskripsikan tentang adanya dorongan, preokupasi (pemusatan pikiran pada satu hal tertentu), kompulsif (dilakukan secara berulang-ulang) dan adanya perilaku impulsif dalam berbelanja. 
3. Feelings about Shopping
 Mendeskripsikan seberapa besar seseorang menikmati aktivitas berbelanja dan menghabiskan waktunya untuk berbelanja. 
4. Dysfunctional Spending 
Mendeskripsikan bahwa disfungsinya lingkungan dapat menyebabkan atau menggiring seseorang untuk melakukan aktivitas berbelanja dan menghabiskan waktunya untuk berbelanja. 
5. Post Purchase Guilt 
Menjelaskan bahwa ada Perasaan menyesal dan pengalaman yang memalukan setelah melakukan aktivitas berbelanja.

Tingkatan Pembelian Kompulsif (skripsi dan tesis)

Edwards (dalam Poetra, 2012: 4) mengklasifikasikan konsumen berdasarkan tingkat kompulsivitas dalam berbelanja, yaitu:
 1. Low (Borderling) Level Konsumen dengan tingkat berbelanja ini adalah seorang yang berada di antara menghibur diri dan menghamburkan uang. 
2. Medium (Compulsive) Level Konsumen dengan tingkat berbelanja ini sebagian besar berbelanja untuk menghilangkan kecemasan. 
3. High (Addicted) Level Pada tingkatan ini seseorang yang berbelanja sebagian besar untuk menghilangkan kecemasan, tetapi pada addicted level ini seseorang memiliki perilaku berbelanja yang ekstrim