Tampilkan postingan dengan label konsultasi tesis yogyakar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label konsultasi tesis yogyakar. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Maret 2020

bentuk dan sifat penyelenggaraan pelayanan publik (skripsi dan tesis)

Adapun bentuk dan sifat penyelenggaraan pelayanan umum harus mengandung sendi-sendi: kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan, dan ketepatan waktu (Boediono, 2003:68-70). Uraiannya sebagai berikut: 1. Kesederhanaan Yang dimaksud dengan kesederhanaan meliputi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit– belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. 2. Kejelasan dan kepastian Arti adanya kejelasan dan kepastian di sini adalah hal-hal yang berkaitan dengan: a. Prosedur atau tata cara pelayanan umum; b. Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif; c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwewenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum; d. Rincian biaya / tarif pelayanan umum dan tata cara poembayarannya; e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum; f. Hak dan Kewajiban, baik bagi pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan / kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan pemprosesan pelayanan umum; 28 g. Pejabat yang menerima keluhan masyarakat. 3. Keamanan Artinya bahwa dalam proses dan hasil pelayanan umum dapat memberikan kepastian hukum. 4. Keterbukaan Hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat. 5. Efisiensi a. Persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan; b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan, persyaratan dalam hal proses pelayanannya mempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerja /instansi pemerintah lain yang terkait. 6. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan: a. Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum dan tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran; b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum; c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Keadilan Dimaksud dengan sendi keadilan disini adalah keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. 29 8. Ketetapan Waktu Yang dimaksud dengan ketetapan waktu di sini adalah dalam pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan

Aduan Pelayanan Publik (Skripsi dan tesis)

Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara pengawasan eksternal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: 
 1. Pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
 2. Pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 
3. Pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan serta berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan. Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan tersebut. Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik, apabila: 
1. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan; 
2. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.

Asas-asas pelayanan publik (skripsi dan tesis)

Asas-asas pelayanan publik adalah: 
1. Kepentingan umum, yaitu pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan. 2. Kepastian hukum, yaitu jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan. 3. Kesamaan hak, yaitu pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. 4. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan. 5. Keprofesionalan, yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas. 6. Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam penyeleng- garaan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. 7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. 8. Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. 21 9. Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. 11. Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. 12. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau

Pelayanan Publik (skripsi dan tesis)

Untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia, maka pada tanggal 18 Juli 2009 Indonesia mensahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Menurut Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009, bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Ruang lingkup pelayanan publik menurut Undang-Undang Pelayanan Publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam ruang lingkup tersebut, termasuk pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumberdaya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Dalam melaksanakan pelayanan publik pemerintah membentuk Organisasi Penyelenggara. Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas  ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan. Organisasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana maksud di atas, sekurang-kurangnya meliputi:
1. Pelaksanaan pelayanan; 
2. Pengelolaan pengaduan masyarakat; 
3. Pengelolaan informasi;
 4. Pengawasan internal;
 5. Penyuluhan kepada masyarakat; dan
 6. Pelayanan konsultasi. Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dalam bentuk penyerahan sebagian tugas penyelenggaraan pelayanan publik kepada pihak lain, dengan syarat kerja sama tersebut tidak menambah beban bagi masyarakat. Ketentuan-ketentuan dalam kerjasama tersebut adalah: 
1. Perjanjian kerja sama penyelenggaraan pelayanan publik dituangkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dalam pelaksanaannya didasarkan pada standard pelayanan; 
2. Penyelenggara berkewajiban menginformasikan perjanjian kerja sama kepada masyarakat;
 3. Tanggung jawab pelaksanaan kerja sama berada pada penerima kerja sama, sedangkan tanggung jawab penyelenggaraan secara menyeluruh berada pada penyelenggara;
 4. Informasi tentang identitas pihak lain dan identitas penyelenggara sebagai penanggung jawab kegiatan harus dicantumkan oleh penyelenggara pada tempat yang jelas dan mudah diketahui masyarakat; dan 
 5. Penyelenggara dan pihak lain wajib mencantumkan alamat tempat mengadu dan sarana untuk menampung keluhan masyarakat yang mudah diakses, antara lain telepon, pesan layanan singkat (short message service (sms)), laman (website), pos-el (e- mail), dan kotak pengaduan. Selain kerjasama di atas, penyelenggara juga dapat melakukan kerja sama tertentu dengan pihak lain untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Kerja sama tertentu merupakan kerja sama yang tidak melalui prosedur seperti yang dijelaskan di atas, dan penyelenggaraannya tidak bersifat darurat serta harus diselesaikan dalam waktu tertentu, misalnya pengamanan pada saat penerimaan tamu negara, transportasi pada masa liburan lebaran, dan pengamanan pada saat pemilihan umum. Dalam melaksanakan pelayanan publik, penyelenggara berkewajiban:
 1. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan; 
2. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan; 
3. Menempatkan pelaksana yang kompeten; 
4. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
 5. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan penyelenggaraan pelayanan publik; 
6. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan; 
7. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
 8. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan; 
9. Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya; 
10. Bertanggungjawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan publik; 
11. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatan; 
12. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dua Karakteristik Birokrasi (skripsi dan tesis)

Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Berdasakan penjelasan di atas, maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni:
 1. Standard Operational Procedure (SOP) 
SOP merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150). Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan. Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005:152) menjelaskan bahwa: “SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula 16 probabilitas SOP menghambat implementasi.Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat. Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.
 2. Fragmentasi
 Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa “fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan dengan implementasi kebijakan publik. (Budi Winarno,2005:153-154):
 a. Pertama; tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk.
 b. Kedua; pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru

Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Dalam pendekatan teori ini terdapat empat variabel yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi suatu kebijakan, yaitu : komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Iimplementasi kebijakan berspektif yang dikembangkan oleh George C. Edward III. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 149-154) adalah: menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan teori ini terdapat empat variabel yang mempengaruhi keberhasilan impelementasi suatu kebijakan, yaitu : komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.Iimplementasi kebijakan berspektif yang dikembangkan oleh George C. Edward III. Edward III (dalam Agustino, 2008:149-154) adalah: 
1. Komunikasi 
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008:150) adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan impelementasi harus ditansmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin  konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu: 
a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akandapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (misscommunication).
 b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level- bureuarats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua) ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi impelementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. 
c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. 
2. Sumberdaya 
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008:151-152). Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu: 
a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan 13 jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum. 
c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya.
 d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung sarana dan prasarana maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. 
 3. Disposisi 
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah: a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksanaakan menimbulkan hambatan- hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Oleh karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan. b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau organisasi. 
4. Struktur Birokrasi
 Menurut Edward III (dalam Agustino, 2008:153-154), yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber daya untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena  terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan

Definisi Kebijakan Publik dan Pemerintah Menurut Para Ahli (skripsi dan tesis)

1. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt mengatakan Kebijakan dapatlah diberi definisi sebagai suatu keputusan yang siap dilaksanakan dengan ciri adanya kemantapan perilaku dan berulangnya tindakan, baik oleh mereka yang membuatnya maupun oleh mereka yang harus mematuhinya. (Soenarko, 2003:41). 
2. Chandier & Piano (1988) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang srategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya, Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masaiah-masalah publik. (Tangkilisan, 2003:1). 
3. Thomas R. Dye mengatakan Kebijaksanaan pemerintah itu adalah apa saja yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Definisi Thomas R. Dye itu didasarkan pada kenyataan, bahwa banyak sekali masalah-masalah yang harus diatasinya, banyak sekali kainginan dan kehendak rakyat yang harus dipenuhinya. (Soenarko, 2003:41). 
4. Robert Eyestone mengatakan kebijaksanaan pemerintah adalah hubungan suatu lembaga pemerintah terhadap lingkungannya. (Soenarko, 2003:42). 
5. Easton (1969) memberikan pengertian kebijakan publik sebagai penga1okasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersehut merupakan bentuk dan sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dan pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. (Tangkilisan, 2003:2). 
6. Carl J. Friedrich mengatakan kebijakan pemerintah adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang, golongan, atau Pemerintah dalam suatu lingkungan 10 dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut di dalam rangka mencapai suatu cita- cita atau mewujudkan suatu kehendak serta suatu tujuan tertentu. (Soenarko, 2003:42) 
7. Sedangkan James E Anderson (1975) memberikan definisi kebijakan publik sehagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dan kebijakan itu adalah: 
a. kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakantindakan yang berorientasi pada tujuan; 
b. kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 
c. kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 
d. kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 
e. kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. (Tangkilisan, 2003:2)
 8. Nugroho menguraikan beberapa konsep kebijakan publik, yaitu : 
(a) Hal-hal yang diputuskan oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan;
 (b) Berbentuk peraturan pemerintah secara tertulis maupun konvensi-konvensi;
 (c) Kerjasama legislasi dan eksekutif. (Riant Nugroho, 2012:173). 11 9. Model Implementasi Kebijakan Goerge C. Edward III, model implementasi kebijakan yang berspektif top down yang dikembangkan oleh George C. Edward III. (dalam Agustino, 2008 : 149-154) menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation.

Komponen Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Menurut. Charles   Jones (1977) Kebijakan terdiri dari komponen-komponen: a. Goal atau tujuan yang diinginkan; b. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan; c. Program, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan; d. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program. e. Efek, yaitu akibat-akibat dan program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder).(Tangkilisan, 2003:3)