Tampilkan postingan dengan label konsultasi tesis jogja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label konsultasi tesis jogja. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 November 2023

Ciri-Ciri Work Engagement


Karyawan yang memiliki work engagement terhadap perusahaan memiliki
karakteristik tertentu. Hakanen, Bakker, dan Schaufeli (2006) mengatakan bahwa
karyawan yang memiliki work engagement tinggi dicirikan sebagai berikut :
a. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang
berikutnya.
b. Merasakan dirinya adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih
besar daripada diri mereka sendiri.
c. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah
lompatan dalam pekerjaan.
d. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku
yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan bekerja lebih
dari kata ‘cukup baik’, mereka bekerja dengan berkomitmen pada tujuan,
menggunakan intelegensi untuk membuat pilihan bagaimana cara yang terbaik untuk
menyelesaikan suatu tugas, memonitor tingkah laku mereka untuk memastikan apa
yang mereka lakukan benar dan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, dan akan
mengambil keputusan untuk mengkoreksi jika diperlukan.
Menurut Schaufeli dan Bakker (2010), karyawan yang memiliki work
engagement yang tinggi secara konsisten akan mendemonstrasikan 3 perilaku umum,
yaitu :
a. Say
Secara konsisten berbicara positif mengenai perusahaan dimana ia bekerja
kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial, dan juga kepada
pelanggan.
b. Stay
Memiliki keinginan untuk menjadi anggota perusahaan dimana ia bekerja
dibandingkan kesempatan bekerja di perusahaan lain.
c. Strive
Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat berkontribusi
pada kesuksesan bisnis perusahaan.
Karyawan yang engaged juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara
antusias terlibat dalam pekerjaannya (Schaufeli, Taris, dan Rhenen, 2008). Ketika
karyawan engaged, mereka merasa terdorong untuk berusaha maju menuju tujuan
yang menantang, mereka menginginkan kesuksesan. Lebih lanjut work engagement
merefleksikan energi karyawan yang dibawa dalam pekerjaan (Leiter dan Bakker,
2010).
Berdasarkan uraian di atas, ciri-ciri karyawan yang engaged tidak hanya
mempunyai kapasitas untuk menjadi energik, tetapi mereka secara antusias
mengaplikasikan energi yang dimiliki pada pekerjaan mereka. Work engagement
juga merefleksikan keterlibatan yang intensif dalam bekerja, karyawan yang
memiliki work engagement memiliki perhatian yang lebih terhadap perusahaan,
memikirkan detail penting, menikmati pekerjaannya, merasakan pengalaman untuk
hanyut dalam pekerjaan sehingga melupakan waktu dan mengurangi segala macam
gangguan dalam pekerjaan

Dimensi Work Engagement


Work engagement merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan
pikiran yang ditandai dengan vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption
(penyerapan) (Sang-Hoon Lee et al, 2017). Vigor atau semangat mencerminkan
kesiapan untuk mengabdikan upaya dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk
terus energik saat bekerja, dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam
menghadapi tugas kesulitan atau kegagalan. Dedikasi mengacu pada identifikasi
yang kuat dengan pekerjaan seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi,
kebanggaan, dan tantangan. Dimensi ketiga dari work engagement adalah
penyerapan atau absorption. Absorption ditandai dimana seseorang menjadi benarbenar menikmati pekerjaannya, dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk
melupakan diri dari pekerjaannya. Seorang karyawan yang tergolong memiliki work
engagement, dapat didefinisikan dengan melakukan pekerjaan yang ditandai dengan
semangat, dedikasi, dan penyerapan dalam menyelesaikan semua penugasannya.
Secara ringkas Sang-Hoon Lee et al, (2017) menjelaskan mengenai dimensi
yang terdapat dalam work engagement, yaitu :
a. Vigor
Merupakan curahan energi dan mental kuat selama bekerja, keberanian untuk
berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, tekun dalam
menghadapi kesulitan kerja, memiliki kemauan untuk menginvestasikan segala
upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
b. Dedication
Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi, dan tantangan.
c. Absorption
Dalam bekerja, karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu
pekerjaan. Dalam bekerja, waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan
kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan.

Definisi Work Engagement


Secara spesifik Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker
mendefinisikan work engagement sebagai positivitas, pemenuhan, kerja dari pusat
pikiran yang dikarakteristikkan (Schaufeli et al., 2008). Schaufeli, Salanova, dan
Bakker (2008) memberikan batasan mengenai work engagement sebagai persetujuan
yang kuat terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
pekerjaan. Menurut Gallup (2010) karyawan yang engaged akan bekerja dengan
semangat dan merasakan hubungan yang mendalam dengan perusahaan dimana
mereka bekerja, mereka mendorong inovasi dan mendorong kemajuan perusahaan.
Anteseden dan konsekuensi dari job crafting karyawan pada PT Daya Alam Mandiri
Work engagement merupakan gabungan antara kepuasan dan komitmen, dan
kepuasan tersebut mengacu lebih kepada elemen emosional atau sikap, sedangkan
komitmen lebih melibatkan pada elemen motivasi dan fisik (Mujiasih dan
Ratnaningsih, 2012). Work engagement bergerak melampaui kepuasan yang
menggabungkan berbagai persepsi karyawan yang secara kolektif menunjukan
kinerja yang tinggi, komitmen, serta loyalitas (Mujiasih dan Ratnaningsih, 2012).
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian teori diatas mengenai work
engagement merupakan sikap dan perilaku dari tingkat sejauh mana karyawan dalam
bekerja dapat mengekspresikan dirinya secara total baik secara fisik, kognitif, afektif,
dan emosional. Karyawan menemukan arti dalam bekerja, kebanggaan telah menjadi
bagian dari perusahaan tempat ia bekerja, bekerja untuk mencapai visi dan misi
keseluruhan sebuah perusahaan. Karyawan akan bekerja ekstra dan mengupayakan
sesuatu untuk pekerjaan di atas apa yang diharapkan baik dalam waktu dan energi.

Faktor yang Berkaitan dengan Knowledge Sharing


Knowledge sharing tidak hanya melibatkan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap
karyawan, namun juga dari proses memberi dan menerima pengetahuan dari orang lain.
Selain faktor organisasi dan teknologi, terdapat beberapa faktor yang dapat mendorong
atau melatar belakangi kemampuan knowledge sharing.
Okyere‐Kwakye dan Nor (2011) dalam artikelnya yang berjudul Individual
Factors and Knowledge Sharing menganalisis tentang knowledge sharing. Terdapat
empat faktor individu yang dianggap mempengaruhi perilaku individu untuk melakukan
knowledge sharing terdiri dari altruism, self efficacy, mutual reciprocity and trust.
Berikut penjelasannya lebih lanjut.
a. Altruism merupakan sikap untuk mau berbagi dan membantu karyawan lain tanpa
ada unsur paksaan pada tugas-tugas yang berkaitan dengan operasi – operasi
organisasional demi kepentingan kebutuhan organisasi.
b. Self-efficacy adalah penilaian diri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi
dalam situasi tertentu. Self – efficacy berhubungan dengan keyakinan diri
memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan yang diharapkan.
c. Mutual reciprocity merupakan hubungan timbal balik yang memiliki hubungan
positif dengan knowledge sharing. Semakin baik hubungan antar pribadi maka
akan menghasilkan timbal balik dalam berbagi pengetahuan.
d. Trust merupakan kepercayaan terhadap integritas, keadilan, dan keandalan dari
seseorang atau suatu organisasi. Trust adalah kerelaan dari salah satu pihak untuk
menerima tindakan yang dilakukan oleh pihak lain dan mneghasilkan kerjasama,
terlebih pada organisasi besar

Dimensi Knowledge Sharing


Knowledge Sharing memiliki dua dimensi menurut Hooff dan Weenen (2004)
yaitu :
a. Knowledge Collecting adalah usaha untuk mempersuasi orang lain untuk
membagi apa yang mereka ketahui dengan berkonsultasi kepada orang lain
mengenai modal intelektual yang dimiliki.
b. Knowledge Donating merupakan perilaku mengkomunikasikan modal intelektual
(intellectual capital) yang dimiliki seseorang kepada orang lain.
Kedua dimensi diatas merupakan proses aktif, dengan secara aktif berkomunikasi
dengan orang lain apa yang orang ketahui, atau aktif berkonsultasi dengan orang lain
untuk mengetahui apa yang mereka ketahui. Dimana menyumbangkan pengetahuan
merupakan modal intelektual seseorang dengan orang lain, dan mengumpulkan
pengetahuan berarti memungkinkan seseorang memperoleh keuntungan dari modal
intelektual orang lain

Definisi Knowledge Sharing


Sebelum memahami konsep knowledge sharing, terlebih dahul kita pahami
konsep knowledge itu sendiri. Davenport dan Prusak (1998) mendefinisikan pengetahuan
secara luas dengan campurna dari pengalaman, nilai, informal kontekstual, dan
pandangan yang memberikan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman
baru dan informasi. Konwledge merupakan suatu hal yang tercipta dari proses kognitif
seseorang. Ipe (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan pencetus dari inovasi.
Maka dari itu, perusahaan harus dapat mengelola pengetahuan secara efektif dan efisien
sehingga dapat menjadikan sumber kekuatan bagi karyawannya.
Wang dan Noe (2010) menyatakan bahwa kunci sukses dari manajemen
pengetahuan adalah knowledge sharing. Knowledge sharing merupakan sebuah ide,
pengalaman, dan pengetahuan di antara individu dan kelompok (Davenport & Prusak,
1998). Senge (1997) menyatakan knowledge sharing sebagai pertukaran pengetahuan
diantara individu dapat dicapai melalui interaksi sosial. Knowledge sharing merupakan
sebuah mekanisme dimana pengetahuan ditransmisikan dari satu pihak ke pihak yang lain
(Kuo, 2013).
Hoff dan Ridder (2004) mendefinisikan bahwa knowledge sharing adalah proses
dimana para individu saling mempertukarkan pengetahuan mereka (Tacit Knowledge dan
Eksplicit Knowledge). Sedangkan Hooff dan Weenen (2004) mendefinisikan knowledge
sharing sebagai aktivitas para individu berbagi dan bertukar pengetahuan tacit dan
eksplisit mereka. Interaksi harian menciptakan pengetahuan baru melalui proses
pertukaran, sumbangan, dan pengumpulan pengetahuan. Definisi ini mengimplikasikan
bahwa setiap perilaku knowledge sharing terdiri atas knowledge donating dan knowledge
collecting. Knowledge donating yaitu kemampuan karyawan untuk menyampaikan
pengetahuan yang dimiliki, meliputi pengalaman kerja, gagasan, keahlian dan informasi
kontekstual kepada karyawan yang lain. Sedangkan, knowledge collecting adalah
kemampuan karyawan untuk mengumpulkan pengetahuan dari karyawan, meliputi
pengetahuan pengalaman kerja, gagasan, keahlian dan informasi kontekstual.

Faktor-faktor yang Berkaitan dalam Employee Engagement


Karyawan yang engaged akan beperan dalam membantu perusahaan mencapai
visi dan misi perusahaan, melaksanakan strategi, dan meraih hasil bisnisnya. Mereka
memiliki ikatan yang positif, antusiasme, dapat dipercaya dan saling percaya satu sama
lain. Disamping itu, selain interaksi dengan rekan kerja satu sama lain, karyawan yang
engaged juga akan menghormati atasannya. Mereka mengetahui bahwa atasan mereka
menghormati mereka juga, sehingga mereka akan berusaha memberikan yang terbaik
kepada atasannya.
Bakker (2009) menyebutkan terdapat tiga faktor yang berkaitan dengan employee
engagement, yaitu:
a. Job Resources
Job resources merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional
dari pekerjaan yang memungkinkan individu untuk mengurangi tuntutan
pekerjaan dan biaya psikologis maupun fisiologis yang berhubungan
dengan pekerjaan tersebut, mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi
pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan personal.
b. Salience of Job Resources
Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya
pekerjaan yang dimiliki oleh individu.
c. Personal Resources
Personal Resources merujuk kepada karekteristik yang dimiliki oleh
karyawan seperti kepribadian, sifat, usia, dan lain-lain. Karyawan yang
engaged akan memiliki karakteristik personal yang berbeda dengan
karyawan lainnya karena mreka memilki inisiatif yang tinggi

Dimensi Employee Engagement


Dimensi atau aspek-aspek dari employee engagement terdiri dari tiga (Schaufeli et
al, 2003), yaitu:
a. Aspek Vigor
Vigor merupakan aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan dan
resiliensi mental dalam bekerja, keinginan untuk berusaha dengan sungguhsungguh di dalam pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan (Schaufeli &
Bakker, 2003).
b. Aspek Dedication
Aspek dedikasi ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias,
inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Individu yang memiliki
skor dedication yang tinggi secara kuat menidentifikasi pekerjaan mereka karena
menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Mereka
merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan individu
dengan skor rendah pada dedication tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan
karena mereka tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau
menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap
pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003).
c. Aspek Absorption
Aspek absorption ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang mendalam
dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan individu sulit melepaskan
diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan segala sesuatu disekitarnya,
(Schaufeli & Bakker, 2003). Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada
absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa
tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari
pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya terlupa dan waktu terasa berlalu
cepat. Sebaliknya orang dengan skor absorption yang rendah tidak merasa tertarik
dan tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah
dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu disekeliling mereka,
termasuk waktu (Schaufeli & Bakker, 2003)

Definisi Employee Engagement


Gagasan employee engagement pertama kali di pelopori oleh Kahn (1990) yang
percaya bahwa seseorang dapat menggunakan berbagai tingkat dirinya secara fisik,
kognitif, dan emosional pada peran yang sedang mereka tampilkan. Bahkan mereka bisa
mempertahankan keutuhan batasan antara peran yang sedang ditampilkan dan siapa diri
mereka sebenarnya. Employee engagement merupakan seseorang yang akan
mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional selama menunjukan
performa mereka. Aspek kognitif dalam employee engagement mencakup keyakinan
yang dimiliki oleh karyawna mengenai perusahaannya, para pemimpinnya, dan kondisi
kerja. Aspek emosional meliputi bagaimana perasaan karyawan terhadap perusahaan dan
pemimpinnya. Sedangkan aspek fisik meliputi energi fisik yang dikeluarkan oleh
karyawan dalam melaksanakan tugas peran yang dimiliki di perusahaan (Kahn, 1990).
Lockwood (2005) berpendapat bahwa employee engagement dilihat sebagai
pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual komit terhadap perusahaan,
yang dilihat melalui tiga perilaku utama: berbicara positif mengenai perusahaannya,
memiliki gairah yang intens untuk menjadi bagian dari perusahaan, dan menunjukan
usaha ekstra dan perilaku yang memiliki kontribusi terhadap kesuksesan perusahaan.
Schaufeli & Bakker (2003) mendefinisikan employee engagement adalah perasaan
positif yang dimiliki individu, diukur terhadap pekerjaannya dengan disertai kesediaan
untuk mencurahkan kemampuan dan energi yang dimunculkan melalui perialku, dimana
mereka akan merasa memiliki kepentingan, dapat fokus dengan pekerjaan, adanya
perasaan intens dalam bekerja, dan memiliki antusiasme yang tinggi dengan
pekerjaannya. Hal tersebut ada karena terdapat karakteristik karyawan yang memiliki
keterlibatan dengan pekerjaannya, seperti memiliki keyakinan terhadap kemampuannya
sendiri serta memiliki tanggapan bahwa “ work is fun”, dimana karyawan merasa positif
dan puas terhadap pekerjannya yang ditandai dengan tiga hal, yaitu dengan adanya vigor
(semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (keasyikan) pada karyawan. Ketiga hal
tersebut dapar diartikan sebagai keadaan motivasional yang positif. Vigor adalah level
energi dan resiliensi yang tinggi, adanya kemauan untuk investasi tenaga, presistensi, dan
tidak mudah lelah. Dedication adalah keterlibatan yang kuat ditandai oleh antusiasme,
rasa bangga, dan inspirasi. Absorption adalah keadaan totalitas pada karyawan yang
dikarakteristikan oleh cepatnya waktu berlalu dan sulitnya memisahkan seseorang dari
pekerjaannya.
Selain itu, terdapat juga pandangan lain mengenai employee engagement. Thomas
(2007) menyebutkan bahwa employee engagement merupakan suatu keadaan psikologis
yang stabil dan adalah hasil interaksi antara seorang individu dengan lingkungan tempat
individu bekerja. Employee engagement adalah komitmen emosional karyawan pada
perusahaan dan tujuannya. Mereka tidak hanya bekerja karena untuk gaji atau promosi,
tetapi bekerja atas nama tujuan perusahaan tersebut (Kruse, 2012). Wiley & Blakweel
(2009) menyatakan bahwa Employee engagement adalah penghayatan karyawan terhadap
tujuan dan pemusatan energi yang muncul dalam bentuk inisiatif, adaptibilitas, usaha, dan
kegigihan yang mengarah kepada tujuan perusahaan.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement


Schaufeli dan Bakker menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi prediktor
penting bagi Work Engagement. Menurut Schaufeli dan Bakker Job demand, job resources,
dan personal resources merupakan faktor-faktor yang kuat bagi Work Engagement (Bakker &
Leiter, 2010, h. 87).
a. Tuntutan kerja (Job demands)
Diartikan sebagai derajat lingkungan pekerjaan dalam memberikan stimulus yang
bersifat menuntut dan memerintah sehingga perlu diberikan respon. Respon yang diberikan
seringkali harus mengeluarkan usaha baik fisik ataupun psikis dari individu atau karyawan
terkait dikarenakan tuntutan kerja ini dapat mengarah pada aspek fisik, sosial atau
organisasional. Beberapa fakor yang dapat mempengaruhi tuntutan kerja antara lain adalah:
tekanan kerja (work pressure), tuntutan emosi (emotional demands), tuntutan mental (mental
demands), dan tuntutan fisik (physical demands)
b. Sumber daya kerja (job resources)
Sumber daya kerja atau yang sering disebut job resources diartikan sebagai aspek fisik,
psikologis, sosial, dan organisasi pada pekerjaan yang antara lain digunakan untuk: 1)
mengurangi tuntutan dari pekerjaan dan usaha yang dikerluarkan secara fisik maupun psikis, 2)
meraih suatu tujuan/goal dari pekerjaan 3) dan menstimulasi perkembangan, pertumbuhan dan
pembelajaran pribadi. Menurut model teori job demands- resources, Halbesleben (dalam
Bakker & Leiter, 2010, h. 109) menyatakan bahwa sumber daya kerja merupakan penahan
hubungan antara tuntutan kerja dan kelelahan (exhaution). Dibawah kondisi pekerjaan, pekerja
yang memiliki level tinggi dari resources memberikan lebih masukan dan kemudian lebih
mampu berhubungan dengan tuntutan (demands). Hasilnya, pekerja akan cenderung memiliki
tingkat kelelahan yang rendah dalam bekerja.
c. Sumber daya pribadi (Personal resources)
Diartikan sebagai aspek kognitif dan afektif dari kepribadian, yang merupakan
kepercayaan positif terhadap diri sendiri dan lingkungan serta bersifat dapat dikembangkan,
yang mana hal ini dapat memotivasi dan memfasilitasi pencapaian tujuan bahkan saat
menghadapi kesulitan dan tantangan. (Bakker, 2008, h. 8-13).

Ciri-ciri dari Work Engagement


Terdapat berbagai macam pendapat mengenai ciri-ciri yang dimiliki oleh karyawan
dengan Work Engagement yang tinggi dan dikemukakan dalam beberapa literatur, antara lain
menurut Hewitt (dalam Schaufeli & Bakker, 2010, h.12), menyatakan karyawan yang memiliki
engagement yang tinggi akan secara konsisten mendemonstrasikan tiga perilaku umum, antara
lain yaitu:
a. Say – secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja kepada
rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan
b. Stay – Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja
dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain
c. Strive – Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat berkontribusi
pada kesuksesan bisnis organisasi ditampat ia bekerja.
Federman (2009, h.21-22) mengemukakan bahwa karyawan yang memiliki engagement
yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
a. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang berikutnya
b. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar daripada diri
mereka sendiri
c. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah lompatan
dalam pekerjaan
d. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku yang dewasa
Leiter & Bakker (2010, h.2), menyatakan bahwa ciri karyawan yang memiliki Work
Engagement yaitu mereka yang merasa terdorong untuk berusaha terus maju menuju tujuan
yang menantang, dan selalu menginginkan kesuksesan. Selain itu, Work Engagement juga
merefleksikan energi karyawan yang dibawa dalam pekerjaan.
Marciano (2010, h. 42) mengemukakan terdapat 10 karakteristik respon yang
dimunculkan oleh para karyawan yang memiliki Work Engagement yaitu:
a. Membawa ide baru dalam pekerjaan,
b. Bersemangat dan antusias tentang pekerjaan,
c. Memiliki inisiatif,
d. Aktif dalam meningkatkan diri, orang lain dan bisnis,
e. Konsisten dalam mencapai tujuan dan harapan, bahkan melebihinya,
f. Ingin tahu dan tertarik terhadap pekerjaan, misalnya dengan bertanya,
g. Mengenal dan mendukung anggota tim,
h. Bersikap positif dan optimis dalam bekerja,
i. Mengatasi masalah atau tantangan dan tetap fokus terhadap tugas, dan
j. Berkomitmen terhadap organisasi
Karyawan yang memiliki Work Engagement akan menikmati pekerjaan yang mereka
lakukan dan berkeinginan untuk memberikan segala bantuan yang mereka mampu untuk
dapat mensukseskan organisasi dimana mereka bekerja. Selain itu karyawan yang engaged
juga mempunyai tingkat energi yang tinggi dan secara antusias terlibat dalam pekerjaannya
(Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris, 2008, h. 173).

Aspek-aspek Work Engagement


Menurut Schaufeli, & Bakker, (dalam Bakker dan Leiter 2010, h 13) terdapat tiga aspek
penting yang mewakili Work Engagement, yaitu :
a. Vigor
Merupakan level energi yang tinggi dan resiliensi mental ketika bekerja, kemauan untuk
mengerahkan upaya, dan persisten ketika menghadapi hambatan dalam bekerja (Bakker &
Leiter, 2010:13). Aspek vigor juga mencerminkan kemauan untuk menginvestasikan segala
upaya dalam suatu pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
b. Dedication
Mengarah pada pelibatan diri yang kuat terhadap suatu pekerjaan dan merasakan
keberartian (significance), antusiasme (enthusiasm), inspirasi (inspiration), kebanggaan
(pride), dan tantangan (challenge). Dedikasi yang tinggi berhubungan dengan cara kerja
karyawan yang mampu menimbulkan antusiasme dan tantangan dalam menyelesaikan tugas
pekerjaannya.
c. Absorption
Aspek yang terakhir adalah absorption yang ditandai dengan konsentrasi yang penuh
ketika bekerja, dimana Individu merasa ketika ia bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat
dan menemukan kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan (Bakker & Leiter, 2010,
h.13).

Pengertian Work Engagement


Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker menjelaskan Work Engagement adalah
suatu penghayatan positif dan rasa terpenuhi pada pekerjaan yang ditandai dengan adanya
vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma & Bakker, 2002,
dalam Bakker dan Leiter 2010, h. 13).
Definisi yang dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker pada
tahun 2002 tersebut membedakan konsep work engagement dengan konsep burnout dan
menjadikan konsep work engagement sebagai suatu konstruk yang independen. Selain itu
dalam definisi yang dikemukakan tercakup aspek afektif dan kognitif dari work engagement
sehingga secara tidak langsung disamping mencakup aspek kognitif, work engagement juga
mencakup penggunaaan emosi dan perasaan secara aktif (Salanova &Schaufeli, 2008). Seperti
yang sudah dijelaskan di atas, definisi work engagement mencakup tiga aspek yaitu vigor,
dedication, dan absorption yang dapat dianalisis secara terpisah.

Hubungan antara Dukungan Sosial Atasan dengan Work Engagement


Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah sebuah
kondisi dari seseorang yang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan
pekerjaan. Menurut Macey (dalam Steven dan Prihatsanti, 2017), karyawan yang
memiliki work engagement selalu punya pemikiran yang luas apabila sewaktuwaktu tuntutan pekerjaan terjadi perubahan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi dari work engagement, salah satunya ialah dukungan sosial.
Dukungan sosial diartikan sebagai rasa nyaman berkat kepedulian, penghargaan,
atau pertolongan yang diterima oleh seseorang dari orang atau kelompok lain
(Sarafino dan Smith, 2014). Seseorang merasa bahwa dukungan sosial dapat
membuatnya menjalani tantangan dengan lebih mudah. Cohen dan Syme (1985)
mengemukakan bahwa dukungan sosial secara lebih umum yaitu segala sumber
daya yang diberikan oleh orang lain. Dukungan sosial dapat bersumber dari
berbagai pihak, seperti sahabat, rekan kerja, keluarga, dan atasan, serta dukungan
dapat diberikan dalam bentuk pujian, pertolongan, materi, dan lain sebagainya.
Salah satu dukungan sosial yang dapat diberikan adalah dukungan sosial atasan.
Bagi pegawai dukungan yang paling berpengaruh adalah dukungan dari atasan,
atasan atau pemimpin dalam sebuah instansi adalah orang yang memiliki
kedudukan yang lebih tinggi, sehingga memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap
proses dan hasil kerja yang berada di bawahnya (Septianingrum dan Supraba,
2021).
Menurut Rosliana (2018) mendefinisikan pemimpin atau atasan sebagai
kelompok sosial yang memiliki peran dalam mendukung kinerja bawahannya.
Lebih lagi dijelaskan pengertian atasan yang disampaikan oleh Hersey, Blanchard
dan Natemeyer (dalam Thoha, 2010) menyatakan bahwa atasan memiliki tugas
dalam mendukung bawahannya agar dapat bekerja dengan efektif serta tujuan yang
telah ditentukan dapat tercapai, sehingga atasan tidak hanya menilai perilakunya
sendiri untuk mempengaruhi orang lain, tetapi juga mengerti posisi dan tanggung
jawabnya agar menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang baik. Hal ini juga
didukung dari pendapat Agustina, Soedjatmiko, dan Zainab (2019) yang
menyatakan bahwa dukungan atasan merupakan faktor pendukung internal yang
dapat menunjang kualitas sumber daya manusia, seperti pegawai yang
mendapatkan perhatian dan motivasi dari atasan yang akan berdampak positif
terhadap kinerja dari pegawai tersebut.
Terdapat aspek dari dukungan sosial atasan menurut Sarafino dan Smith
(2014) yaitu (1) dukungan emosional, (2) dukungan penghargaan, (3) dukungan
instrumental, dan (4) dukungan informasi. Pada aspek dukungan emosional yaitu
berupa ungkapan empati, simpati, kasih sayang, kepedulian seseorang terhadap
orang lain (Sarafino dan Smith, 2014). Menurut Dorio (2009) menerangkan bahwa
karyawan yang memiliki dukungan secara emosional, akan memberikan pengaruh
baik pada work engagement. Dorio (2009) juga menambahkan bahwa salah satu
sumber dukungan yaitu pasangan, keluarga, maupun atasan akan senantiasa
mendengarkan permasalahan yang dialami oleh karyawan, meluangkan waktunya,
menunjukkan bahwa atasan memahami apa yang sedang dirasakan oleh
karyawannya. Hal ini akan menyebabkan emosi positif pada diri karyawan sehingga
berpengaruh pada semangat (vigor) yang ditunjukkan ketika karyawan sedang
mengerjakan pekerjaannya (Dorio, 2009). Sebaliknya, karyawan yang memiliki
dukungan emosional rendah, karyawan memiliki kecenderungan untuk tertutup
dengan permasalahan yang dimilikinya, merasa atasan tidak memahami apa yang
dirasakan karyawan, serta karyawan merasa tidak adanya kepedulian dari
sekitarnya (Dorio, 2009).
Pada aspek dukungan penghargaan yaitu suatu bentuk dukungan yang
berupa ungkapan yang diberikan oleh orang lain yang disekelilingnya dalam
membantu seseorang untuk membangun kompetensi dan mengembangkan harga
dirinya (Sarafino dan Smith, 2014). Menurut Bakker dan Demerouti (2007)
menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement
yaitu sumber daya organisasi (job resources) dan sumber daya pribadi (personal
resources). Sumber daya organisasi meliputi aspek fisik, sosial, dan organisasi yang
dapat menurunkan tuntutan kerja, serta dapat berfungsi untuk mencapai tujuan
pekerjaan serta memberikan stimulus terhadap individu untuk tumbuh, belajar dan
berkembang (Bakker dan Demerouti, 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rezkinda (2019), menunjukkan karyawan yang memiliki dukungan penghargaan
tinggi, akan memberikan pengaruh baik pada work engagement. Karyawan yang
mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliknya serta mendapatkan tempat
untuk mengembangkannya, hal ini dikarenakan adanya dukungan yang diberikan
oleh atasan, sehingga karyawan merasa dirinya berharga dan mampu memberikan
kemampuan terbaiknya di tempat kerja (Rezkinda, 2019). Sebaliknya, karyawan
yang memiliki dukungan sosial rendah, karyawan tersebut belum mampu untuk
mengembangkan kompetensi yang dimiliki serta adanya rasa kurang percaya diri
dari karyawan tersebut (Rezkinda, 2019).
Pada aspek dukungan instrumental menekankan pada bentuk dukungan
yang berupa material dan lebih bersifat bantuan, sumbangan dana, uang dan lain
sebagainya (Sarafino dan Smith, 2014). Hasil penelitian Nugraha (2018)
menjelaskan bahwa dukungan instrumental dapat berpengaruh baik terhadap
engaged karyawan. Hal ini dikarenakan adanya berupa dukungan yang bersifat
material, seperti adanya keringanan terhadap pekerjaannya yang diakibatkan
dengan adanya bantuan, sehingga karyawan menjadi memiliki motivasi tersendiri
karena merasa dihargai dan pekerjaannya mendapatkan dukungan dari pihak lain
(atasan). Hal ini sesuai dengan penelitian dari Sedarmayanti (2009) karyawan yang
dengan motivasi tinggi akan bersedia mengeluarkan usaha terbaiknya untuk
mencapai tujuan organisasi. Sebaliknya, karyawan yang memiliki dukungan
instrumental rendah, karyawan akan merasa tidak dihargai karena tidak
mendapatkan bantuan maupun dukungan yang membuat karyawan tersebut
terbebani, serta karyawan selalu merasa adanya tekanan yang membuat karyawan
tersebut tidak dapat berkembang. Hal ini akan membuat engaged karyawan menjadi
rendah (Nugraha, 2018).
Pada aspek dukungan informasi lebih bersifat nasihat, memberitahukan hal
yang baik, terhadap apa yang sudah dilakukan oleh individu tersebut (Sarafino dan
Smith, 2014). Hasil penelitian Rezkinda (2019) menyatakan bahwa atasan yang
dapat membantu karyawan mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan
dan pemahaman dari individu karyawan terhadap masalah yang dihadapi, serta
informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan
masalah secara praktis. Maka, karyawan dapat memperluas wawasan dan
pemahamannya dengan baik, serta karyawan tersebut akan memiliki engaged yang
tinggi. Hal ini juga berkaitan dengan pendapat Kerns (2006) yaitu dengan adanya
informasi yang memberitahukan hal positif kepada karyawan, maka karyawan
tersebut memiliki rasa berharga dan membuat kinerja karyawan menjadi
meningkat, serta dapat menguntungkan suatu organisasi. Sebaliknya, karyawan
yang tidak mendapatkan dukungan informasi yang baik dari atasannya, maka
karyawan tersebut tidak dapat mengatasi masalah yang dihadapinya, karyawan
tidak dapat memperluas wawasan yang tentunya menjadi tidak dapat berkembang
di tempat kerja, serta karyawan tersebut tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya
maupun kewajibannya dengan baik (Rezkinda, 2019).
Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah menurut Sarafino dan Smith
(2014) dukungan sosial atasan meliputi dukungan emosional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi berpengaruh positif
terhadap work engagement. Keempat aspek dari dukungan sosial ini memiliki
pengaruh terhadap work engagement. Hal ini diperkuat dengan penjelasan dari
Bakker dan Demerouti (2007) yang memberikan beberapa contoh dari job
resources yaitu berupa dukungan sosial, pemberian feedback, pemberian pelatihan,
otonomi, serta memicu motivasi kerja karyawan yang mengarah pada work
engagement dalam meningkatkan maksimalitas kerjanya. Kemudian penjelasan di
atas juga didukung oleh pendapat dari Schaufeli dan Bakker (2004) yang
menjelaskan work engagement disebabkan oleh beberapa hal, yaitu otonomi
pekerjaan, dukungan sosial, coaching, dan lain sebagainya. Hal ini juga didasarkan
pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2012) yaitu menunjukkan
adanya korelasi positif antara dukungan sosial dengan work engagement. Kemudian
juga terdapat hasil penelitian dari Rezkinda (2019) yaitu menunjukkan bahwa
terdapat hubungan signifikan antaran dukungan sosial atasan dengan keterikatan
kerja. Serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiani dan Nurtjahjanti (2017)
yaitu menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial
dengan keterikatan kerja (work engagement). Semakin tinggi dukungan sosial
atasan yang dirasakan karyawan maka semakin tinggi work engagement.
Sebaliknya, semakin rendah dukungan sosial atasan yang dirasakan karyawan maka
semakin rendah work engagement.

Hubungan antara Resiliensi dengan Work Engagement


Menurut Schaufeli dan Bakker (2004), work engagement adalah sebuah
kondisi dari seseorang yang memiliki pikiran yang positif sehingga mampu
mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif dan afektif dalam melakukan
pekerjaan. Menurut Macey (dalam Steven dan Prihatsanti, 2017), karyawan yang
memiliki work engagement selalu punya pemikiran yang luas apabila sewaktuwaktu tuntutan pekerjaan terjadi perubahan. Menurut Agustian (2012) work
engagement tidak hanya perlu untuk perusahaan swasta, namun juga penting untuk
perusahaan negara (BUMN) juga instansi pemerinatahan, sehingga pegawai dalam
instansi yang berkaitan dengan pemerintahan dapat juga memiliki komitmen,
antusias, dan kompetensi. Hal ini akan membuat pegawai dapat melakukan
pekerjaannya dengan penuh semangat, tepat waktu dalam menyelesaikan
pekerjaan, serta fokus terhadap pekerjaannya. Hal ini dapat diperkuat dari pendapat
Bakker dan Demerouti (2006) menyatakan bahwa pegawai yang memiliki work
engagement lebih tinggi akan cenderung kreatif, produktif, dan mau untuk bekerja
ekstra. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dari work engagement, salah
satunya ialah resiliensi. Hal ini diperkuat dan didasarkan pada hasil penelitian yang
dilakukan Steven dan Prihatsanti (2017), yang menunjukkan adanya hubungan
positif dan signifikan antara resiliensi dengan work engagement. Hasil penelitian
Santoso dan Jatmika (2017), juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
kuat dan positif antara resiliensi dengan work engagement. Berdasarkan dari
penelitian yang dilakukan Luthans (dalam Yuniar, Nurtjahjanti, dan Rusmawati,
2011) resiliensi menjadi faktor yang sangat diperlukan untuk dapat mengubah
sebuah ancaman yang menjadi kesempatan untuk bertumbuh, berkembang, dan
meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi demi perubahan yang lebih baik.
Menurut Mase dan Tyokya (dalam Astika dan Saptoto, 2016) karyawan yang
mampu bertahan dan mampu mengatasi segala bentuk kejadian negatif dalam
organisasi cenderung memilik work engagement yang tinggi. Menurut Rushton,
Batcheller, Schroader dan Donuhue (dalam Astika dan Saptoto, 2016), karyawan
yang resiliensi akan terkoneksi secara psikologis terhadap pekerjaannya. Setiap
tantangan dan kesulitan yang dihadapi tidak dipandang sebagai suatu penghalang.
Hal tersebut akan berkebalikan dengan orang yang memiliki resiliensi rendah,
karyawan akan cenderung mengalami burnout pada pekerjaannya.
Menurut Mcewen (2011), resiliensi diartikan sebagai kemampuan bertahan
atau mengatasi kesulitan dari persitiwa tidak menyenangkan dan berhasil
beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian. Mcewen (2011) menyatakan
aspek aspek resiliensi, yaitu (1) mental toughness, (2) physical endurance, (3)
emotional balance, dan (4) purpose and meanings. Pada aspek mental toughness
merupakan individu yang mampu beradaptasi dengan keadaan, dapat
mengendalikan keadaan yang terjadi di sekitarnya, dan optimis untuk berhasil
dalam situasi tertentu (Mcewen, 2011). Bakker (2003), mengatakan dari salah satu
dimensi work engagement ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan
mental saat bekerja, kemauan untuk berinvestasi usaha dalam pekerjaan dan
ketekunan bahkan dalam menghadapi keadaan yang sulit. Hasil Penelitian Ayu,
Maarif, dan Sukmawati (2015), menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki
ketahanan dan keyakinan pada dirinya yang besar, dapat membuat diri karyawan
mampu mengontrol, dan memberikan dampak baik pada lingkungan tempat bekerja
sesuai dengan kemampuan, dengan hal itu mendorong karyawan untuk
meningkatkan work engagement. Sebaliknya, jika karyawan merasa pesimis, tidak
mampu bertahan dan tidak mampu mengatasi segala kejadian negatif dalam
perusahaan cenderung memiliki work engagement yang rendah (Astika dan
Saptoto, 2016). Individu yang meragukan kemampuan cenderung menganggap
pekerjaan yang sulit sebagai ancaman (Federichi dan Skaalviv dalam Bulit, 2018).
Pada umumnya, individu yang memandang rendah terhadap kemampuan dirinya
akan merasa ragu atau tidak yakin terhadap dirinya sendiri apabila dihadapkan pada
situasi yang sulit, dan individu tersebut cenderung untuk menarik diri dari kegiatan
yang dianggap mengancam atau menantang (Federichi dan Skaalviv, 2012).
Pada aspek physical endurance menekankan perlunya seseorang untuk
merawat tubuh dengan cara yang diketahui (Mcewen, 2011). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti (2017), menunjukkan karyawan yang
memiliki physical endurance baik, akan memberikan pengaruh baik pada work
engagement. Karyawan yang melakukan dan menyelesaikan pekerjaannya dengan
semangat, berusaha sebaik mungkin, antusias dan berkontribusi baik dalam
pekerjaannya, berarti memiliki resiliensi yang baik, ditunjukkan dengan karyawan
yang melatih daya tahan tubuhnya dengan cara berolahraga, mengistirahatkan
tubuhnya sementara, hal tersebut dilakukan agar karyawan dapat bertahan dan
mengatasi masalah atau keadaan yang sulit dalam perusahaan (Steven dan
Prihatsanti, 2017). Sebaliknya, karyawan yang memiliki aspek physical endurance
yang rendah, karyawan tersebut belum mampu merawat tubuhnya dengan baik,
belum memahami kemampuan tubuh sedini mungkin dan belum mampu
mengembangkan kekuatan fisik dan daya tahan, yang ditunjukkan pada perilaku
karyawan yang jarang melatih daya tahan tubuhnya seperti berolahraga, hal itu yang
akan mempengaruhi work engagement, karyawan menjadi kurang semangat dan
antusias dalam menyelesaikan pekerjaan (Steven dan Prihatsanti, 2017).
Pada aspek emotional balance adalah kemampuan untuk mengelola
perasaan negatif yang berarti dalam tingkat tertentu dapat mengontrol emosi dan
mengetahui apa yang dibutuhkan dari diri individu tersebut pada situasi tertentu
(Mcewen, 2011). Hasil penelitian Steven dan Prihatsanti (2017), karyawan yang
dapat mengontrol emosi dan bertahan pada keadaan yang sulit, berarti karyawan
tersebut memiliki resiliensi. Menurut Wakhyuni (2016), kemampuan individu
menciptakan emosi positif terhadap pekerjaannya merupakan salah satu cerminan
dari tingkat work engagement individu. Menurut Fredrickson (dalam Boniwell,
2012) emosi positif terdiri dari kebahagiaan, kepuasan, persahabatan yang hangat,
cinta dan kasih sayang, semua itu akan meningkatkan ketahanan dan kemampuan
untuk mengatasi setiap masalah, terutama pada pekerjaan yang sulit. Sebaliknya,
individu yang memiliki emosi yang negatif terhadap pekerjaannya maka individu
tersebut akan memiliki keyakinan yang rendah terhadap hal yang berkaitan dengan
pekerjaannya, hal tersebut dapat mempengaruhi work engagement (Wakhyuni,
2016). Menurut Fredrickson (dalam Boniwell, 2012) emosi negatif terdiri dari
adanya kecemasan atau kemarahan, yang dikaitkan dengan kecenderungan untuk
bertindak dengan cara tertentu, sehingga pada situasi emosi tersebut yang tidak
dapat dikendalikan, akan menurunkan ketahanan dan kemampuan individu dalam
mengatasi masalah, terutama pada hal pekerjaan yang sulit.
Pada aspek purpose and meanings digambarkan dengan seseorang yang
mempunyai tujuan dan makna hidup sehingga mau berkontribusi pada lingkungan
sekitarnya (Mcewen, 2011). Steven dan Prihatsanti (2017), menyatakan bahwa rasa
bermakna dan berkontribusi bagi lingkungan sekitar menandakan adanya
keterkaitan antara aspek purpose and meanings dan aspek dedication pada
karyawan. Menurut Kahn (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), karyawan yang
memiliki rasa kebermaknaan dan mau berkontribusi terhadap pekerjaanya dengan
baik dapat membangun work engagement, hal itu dilakukan dengan cara berusaha,
semangat dan mengeluarkan setiap energinya, rasa memiliki emosional yang baik
dan tenang, dengan itu karyawan akan mencapai target dan tujuan dalam
penyelesaian pekerjaan dengan baik. Sebaliknya, karyawan yang belum
berkontribusi terhadap perusahaannya, akan mempengaruhi work engagement pada
diri karyawan tersebut, hal ini ditunjukkan pada perilaku karyawan yang tidak
semangat dan tidak berusaha untuk mencapai tujuan dan terget yang ditentukan oleh
individu maupun perusahaan, sehingga karyawan tidak menyelesaikan pekerjaann
dengan baik (Steven dan Prihatsanti, 2017).
Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah menurut Mcewen (dalam Steven
dan Prihatsanti, 2017) resiliensi meliputi mental thoughnes, physical endurance,
emotional balance, purpose and meaning berpengaruh positif terhadap work
engagement. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Steven dan Prihatsanti (2017),
adanya hubungan positif dan signifikan antara resiliensi dengan work engagement.
Hasil penelitian Santoso dan Jatmika (2017), juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang kuat dan positif antara resiliensi dengan work engagement. Semakin
tinggi resiliensi karyawan maka semakin tinggi work engagement. Sebaliknya,
semakin rendah resiliensi karyawan maka semakin rendah work engagement.

Aspek Dukungan Sosial Atasan


Sarafino dan Smith (2014) menyatakan ada beberapa aspek dari dukungan
sosial, yaitu:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional yaitu berupa ungkapan empati, simpati, kasih sayang,
kepedulian seseorang terhadap orang lain.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan yaitu suatu bentuk dukungan yang berupa ungkapan
yang diberikan oleh orang lain yang disekelilingnya dalam membantu
seseorang untuk membangun kompetensi dan mengembangkan harga dirinya.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental yaitu bentuk dukungan yang berupa material dan
lebih bersifat bantuan, sumbangan dana, uang dan lain sebagainya.
d. Dukungan informasi
Dukungan informasi yaitu lebih bersifat nasihat, memberitahukan hal yang
baik, terhadap apa yang sudah dilakukan oleh individu tersebut.
Menurut Cutrona dalam (Pinkerton dan Dolan, 2007) menyatakan bahwa
terdapat beberapa aspek dari dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan konkret yang berkaitan dengan tindakan berupa bantuan praktis di
antara individu-individu.
b. Dukungan emosional yang terdiri dari tindakan empati, mendengarkan, dan
umumnya untuk individu ketika dibutuhkan.
c. Dukungan saran yang melampaui nasihat itu sendiri ke jaminan yang
menyertainya.
d. Dukungan harga diri yang berpusat pada bagaimana satu individu menilai dan
memberitahu individu lainnya tentang nilai pribadinya.

Pengertian Dukungan Sosial Atasan


Sarafino dan Smith (2014) mendefinisikan dukungan sosial sebagai rasa
nyaman berkat kepedulian, penghargaan, atau pertolongan yang diterima oleh
seseorang dari orang atau kelompok lain. Seseorang merasa bahwa dukungan
sosial dapat membuatnya menjalani tantangan dengan lebih mudah. Cohen dan
Syme (1985) mengemukakan bahwa dukungan sosial secara lebih umum yaitu
segala sumber daya yang diberikan oleh orang lain. Cutrona (dalam Pinkerton
dan Dolan, 2007) menambahkan jika dukungan sosial merupakan perilaku
membantu orang yang mengalami stres agar dari individu tersebut mampu dalam
menghadapi masalah. Dukungan sosial akan memberikan rasa nyaman ketika
diperlukan maupun berikan (Baron dan Byrne, 1997).
Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa dukungan sosial adalah rasa nyaman berkat kepedulian, penghargaan,
atau pertolongan yang diterima oleh seseorang dari orang atau kelompok lain.
Dukungan sosial dapat bersumber dari berbagai pihak, seperti sahabat, rekan
kerja, keluarga, dan atasan, serta dukungan dapat diberikan dalam bentuk pujian,
pertolongan, materi, dan lain sebagainya. Salah satu dukungan sosial yang dapat
diberikan adalah dukungan sosial atasan. Bagi pegawai dukungan yang paling
berpengaruh adalah dukungan dari atasan, atasan atau pemimpin dalam sebuah
instansi adalah orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, sehingga
memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap proses dan hasil kerja yang berada
di bawahnya (Septianingrum dan Supraba, 2021).
Menurut Rosliana (2018) mendefinisikan pemimpin atau atasan sebagai
kelompok sosial yang memiliki peran dalam mendukung kinerja bawahannya.
Lebih lagi dijelaskan pengertian atasan yang disampaikan oleh Hersey,
Blanchard dan Natemeyer (dalam Thoha, 2010) menyatakan bahwa atasan
memiliki tugas dalam mendukung bawahannya agar dapat bekerja dengan efektif
serta tujuan yang telah ditentukan dapat tercapai, sehingga atasan tidak hanya
menilai perilakunya sendiri untuk mempengaruhi orang lain, tetapi juga mengerti
posisi dan tanggung jawabnya agar menghasilkan kualitas sumber daya manusia
yang baik. Hal ini juga didukung dari pendapat Agustina, Soedjatmiko, dan
Zainab (2019) yang menyatakan bahwa dukungan atasan merupakan faktor
pendukung internal yang dapat menunjang kualitas sumber daya manusia, seperti
pegawai yang mendapatkan perhatian dan motivasi dari atasan yang akan
berdampak positif terhadap kinerja dari pegawai tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
atasan adalah bantuan yang diterima dari atasan untuk memberikan dorongan,
nasihat agar membuat bawahan yang bekerja merasa dihargai, diperhatikan,
memiliki rasa nyaman, serta mendapatkan bantuan secara nyata yang terintegrasi
secara sosial di lingkungan kerja.

Aspek Resiliensi


Mcewen (2011), yang menyatakan bahwa resiliensi terdiri dari aspekaspek mental toughness, physical endurance, emotional balance, purpose and
meanings. Adapun penjelasannya yaitu:
a. Mental Toughness
Mental Toughness yaitu individu yang mampu beradaptasi dengan
keadaan, dapat mengendalikan keadaan yang terjadi di sekitarnya, dan
optimis untuk berhasil dalam situasi tertentu. karyawan yang lebih optimis
diketahui lebih minim stres dibandingkan dengan karyawan yang kurang
optimis (Makikangas dan Kinnunen, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Steven dan Prihatsanti (2017), adanya aspek mental thougnes membuat
karyawan dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan yang terjadi di
tempat kerja.
b. Physical Endurance
Physical Endurance menekankan perlunya seseorang untuk merawat
tubuh dengan cara yang diketahui. Individu memahami kemampuan tubuh
sedini mungkin dan dapat mengembangkan kekuatan fisik dan daya tahan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti (2017),
menunjukkan karyawan yang memiliki physical endurance baik, maka
karyawan tersebut memiliki daya tahan yang baik, sehingga karyawan
tersebut dapat bertahan dan beradaptasi untuk menyelesaikan pekerjaannya.
c. Emotional Balance
Emotional Balance merupakan kemampuan untuk mengelola perasaan
negatif yang berarti dalam tingkat tertentu dapat mengontrol emosi dan
mengetahui apa yang dibutuhkan dari diri individu tersebut pada situasi
tertentu. Hasil penelitian Steven dan Prihatsanti (2017), karyawan yang dapat
mengontrol emosi dan bertahan dalam keadaan yang sulit, berarti karyawan
tersebut memiliki resiliensi.
d. Purpose and Meanings
Purpose and Meanings digambarkan dengan seseorang yang mempunyai
tujuan dan makna hidup sehingga mau berkontribusi pada lingkungan
sekitarnya. Menurut Santoso dan Jatmika (2017), memiliki tujuan dan makna
hidup juga dapat mempengaruhi seseorang dalam menjalankan kehidupan
yang seimbang, memberikan energi kepada karyawan kenyamanan, dan
kemampuan untuk menampilkan dirinya tanpa ada rasa takut terhadap citra
diri, status, dan karir. Teori tersebut diperkuat dengan penelitian yang
dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti (2017), karyawan yang memiliki
purpose and meanings, menunjukkan karyawan yang mau untuk
berkontribusi bagi lingkungan pekerjaanya, sehingga dapat membantu untuk
kesuksesan perusahaannya.
Williams dan Wilkins (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), menjelaskan
beberapa aspek resiliensi yang dirangkum dari beberapa penelitian sebelumnya.
Adapun aspek tersebut adalah:
a. Hidup otentik (hidup dengan benar), dipandang mewakili mengetahui dan
memegang nilai-nilai pribadi, penggelaran kekuatan pribadi, dan memiliki
tingkat yang baik kesadaran emosional dan regulasi.
b. Mencari panggilan diri, terkait dengan mencari pekerjaan yang sejalan dengan
tujuan dan nilainilai pribadi. Selain itu faktor ini juga berhubungan dengan
rasa memiliki seseorang terhadap pekerjaannya.
c. Mempertahankan perspektif, berbicara mengenai bagaimana seseorang dapat
fokus pada penyelesaian masalah daripada hal-hal negatif dari suatu masalah.
Bagaimana seseorang dapat menyikapi suatu kegagalan.
d. Mengelola stress, berbicara tentang menggunakan rutinitas pekerjaan dan
kehidupan sehari-hari untuk mengelola stresor, menjaga keseimbangan antara
pekerjaan dan kehidupan pribadi, dan waktu untuk relaksasi.
e. Berinteraksi dengan kooperatif, berbicara mengenai budaya dan sikap kerja
terkait dengan hal feedback, saran, dan dukungan baik terhadap diri sendiri
ataupun orang lain.
f. Menjaga kesehatan, berbicara mengenai bagaimana individu daat menjaga
kesehatan fisik dan pola makan yang baik.
g. Membangun jaringan, berbicara mengenai bagaimana seseorang membangun
dan mempertahankan relasi baik ditempat kerja maupun di luar tempat kerja.
Menurut Jackson, dkk (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), mengenai
resiliensi mengusulkan bahwa strategi pengembangan diri salah satunya
adalah membangun hubungan positif yang professional, agar dapat
mengembangankan dan menjaga jaringan dengan orang luar dan mengekspos
profesionalitas perusahaan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin menggunakan aspek dari
resiliensi menurut Mcewen (2011), yaitu meliputi mental toughness, physical
endurance, emotional balance, purpose and meanings. Pertimbangan pemilihan
aspek pada penelitian ini juga berdasarkan penelitian yang dilakukan Steven dan
Prihatsanti (2017), adanya aspek mental toughness, physical endurance,
emotional balance, purpose and meaning, pegawai akan dengan mudah untuk
mengendalikan keadaan, mengelola atau mengontrol emosi, dan merawat
tubuhnya sebaik mungkin sehingga karyawan dapat berkontribusi dengan baik
terhadap pekerjaannya

Pengertian Resiliensi


Menurut Mcewen (2011), resiliensi diartikan sebagai kemampuan
bertahan atau mengatasi kesulitan dari persitiwa tidak menyenangkan dan
berhasil beradaptasi dengan perubahan dan ketidakpastian. Menurut Yuniar
(dalam Santoso dan Jatmika, 2017), resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan
beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit dalam kehidupan. Seorang yang
memiliki resiliensi akan mampu mengatur emosinya dan berinteraksi lebih
efektif dalam lingkungan sosial. Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi
merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi
kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Menurut McCann, dkk. (dalam Santoso dan Jatmika, 2017)
mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk menjaga kesejahteraan
pribadi dan professional dalam menghadapi stres kerja yang sedang berlangsung
dan kesulitan yang ada. Williams dan Wilkins (2013), menjelaskan bahwa
resiliensi terkait dengan proses negosiasi, mengelola, dan beradaptasi dengan
sumber signifikan dari stress atau trauma di tempat kerja. Sehingga dari segi
pekerjaan resiliensi memiliki definisi sebagai proses dan pengalaman terganggu
oleh perubahan, peluang, tekanan, dan kesulitan, dan setelah beberapa
introspeksi, pada akhirnya mengakses karunia dan kekuatan (resiliensi) untuk
tumbuh lebih kuat melalui masalah (Naswall dkk., 2013).
Menurut Keye dan Pidgeon (dalam Utami dan Helmi, 2017), resiliensi
didefinisikan sebagai kemampuan individu memilih untuk pulih dari peristiwa
kehidupan yang menyedihkan dan penuh tantangan, dengan cara meningkatkan
pengetahuan untuk adaptif dan mengatasi situasi serupa yang merugikan di masa
mendatang. Menurut Siebert (2005) resiliensi adalah kemampuan untuk
mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga
kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi
kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi
dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan
kekerasan. Menurut Wagnild dan Young (1993) resiliensi merupakan
kemampuan seorang individu untuk beradaptasi dalam menghadapi kesulitan
hidup.
Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa resiliensi adalah kemampuan seorang individu untuk bertahan,
beradaptasi dan mengatasi kesulitan dari peristiwa atau perubahan yang terjadi
pada situasi-situasi sulit atau tidak menyenangkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi Work Engagement


Menurut Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa work
engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Personal resources
Personal resources adalah evaluasi diri secara positif yang dihubungkan
dengan resiliensi dan mengacu kemampuan individu untuk mengontrol dan
memiliki dampak pada lingkungannya. Penelitian Bakker dan Demerouti
(2007) juga menegaskan engagement berhubungan dengan sumber daya
personal (personal resources) yang pada akhirnya akan memperlihatkan
tingkat kinerja. Semakin besar sumber daya pribadi individu, semakin positif
pula diri individu dan tujuan keharmonisan diri diharapkan muncul, individu
dengan tujuan keharmonisan diri secara intrinsik termotivasi untuk mengikuti
tujuannya dan hasilnya memicu kinerja yang lebih tinggi dan kepuasan, empat
konstruk seperti hope, optimism, self-efficacy, dan resiliensi merupakan
bagian dari kekuatan psikologis dan personal resources (Herbert, 2011).
b. Job demands
Job demands adalah derajat lingkungan pekerjaan dalam memberikan
stimulus yang bersifat menuntut sehingga perlu diberikan respon. Menurut
Ayu, Maarif, dan Sukmawati (2015), job demands adalah seluruh aspek yang
berhubungan dengan kondisi fisik, kondisi psikologis, atau mental pribadi
manusia, kondisi sosial atau hubungan antara pribadi manusia, dan kondisi
organisasional atau keadaan pribadi di dalam kelompok yang membutuhkan
usaha yang harus dikeluarkan dari seseorang. 1) Aspek fisik terdiri dari waktu
kerja, kelelahan fisik, lingkungan kerja. 2) Aspek psikologis terdiri dari
tekanan deadline dari pekerjaan, kesulitan untuk melakukan pekerjaan. 3)
Aspek sosial terdiri dari hubungan emosional dengan klien kerja, hubungan
dengan rekan kerja, dan hubungan dengan atasan kerja. 4) Aspek
organisasional terdiri dari perasaan terkait dengan pekerjaan, dan peran yang
ambigu dalam pekerjaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu, Maarif,
dan Sukmawati (2015), faktor job demands berpengaruh terhadap work
engagement, apabila karyawan merasakan kelelahan secara fisik, psikologis,
sosial, dan organisasi maka akan berdampak menurunkan tingkat work
engagement. Sebaliknya, apabila karyawan merasa secara fisik, psikologis,
sosial, dan organisasi secara baik maka akan meningkatkan tingkat work
engagement pada karyawan.
c. Job resources
Job resources merupakan aspek fisik, psikologis, sosial, dan organisasi
pada pekerjaan, yang memungkinkan individu untuk mengurangi dari
tuntutan pekerjaan. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho, Mujiasih, dan
Prihatsanti (2013), yaitu tingginya job resources tersebut secara teoritis akan
mempengaruhi pula job demands sebagai faktor penting lain yang
mempengaruhi work engagement, ketika job resources dirasakan tinggi maka
akan menimbulkan motivasi yang tinggi pula pada karyawan. Job
resources terdiri dari 1) Level organisasi yaitu adanya kesesuaian gaji yang
didapatkan, adanya kesempatan pengembangan karir, dan ketersedian
informasi yang ada pada organisasi. 2) Level interpersonal terdiri dari
komunikasi yang baik antar sesama rekan kerja, dukungan atasan, dan iklim
kelompok. 3) Level tugas terdiri dari keikutsertaan dalam pengambilan
keputusan, kejelasan peran, dan jenis pekerjaan yang variatif.
Menurut Hewitt (dalam Titien, 2016), work engagement dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain, penghargaan (total rewards), kondisi perusahaan
(company practise), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan
(opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work), dan orang lain
disekitar pekerjaan (people). Menurut Vazirani (dalam Titien, 2016),
mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penting yang menyebabkan
karyawan menjadi engaged, yakni adanya kesempatan untuk pengembangan
pribadi, manajemen yang efektif atas potensi atau bakat individu, kejelasan dari
nilai inti perusahaan, perlakuan organisasi yang penuh hormat kepada karyawan,
perilaku etis yang sesuai standar perusahaan, adanya pemberdayaan, image
organisasi, serta faktor-faktor lainnya yang meliputi kesempatan yang sama dan
perlakuan yang adil, penilaian kinerja, gaji dan bonus, kesehatan dan
keselamatan, kepuasan kerja, dan komunikasi.
Berdasarkan uraian faktor di atas, work engagement dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu 1) Personal resources, adalah evaluasi diri secara positif
yang dihubungkan dengan resiliensi dan mengacu kemampuan individu untuk
mengontrol dan memiliki dampak pada lingkungannya. Personal resources ini
terdiri dari empat seperti hope, optimism, self-efficacy, dan resiliensi. 2) Job
demands adalah derajat lingkungan pekerjaan dalam memberikan stimulus yang
bersifat menuntut sehingga perlu diberikan respon. Job demands terdiri dari
beberapa aspek. Aspek fisik terdiri dari waktu kerja, kekuatan fisik, lingkungan
kerja. Aspek psikologis terdiri dari tekanan deadline dari pekerjaan, kesulitan
untuk melakukan pekerjaan. Aspek sosial terdiri dari hubungan emosional
dengan klien kerja, hubungan dengan rekan kerja, dan hubungan dengan atasan
kerja. Aspek organisasional terdiri dari perasaan terkait dengan pekerjaan, dan
peran yang ambigu dalam pekerjaan. 3) Job resources merupakan aspek fisik,
psikologis, sosial, dan organisasi pada pekerjaan, yang memungkinkan individu
untuk mengurangi dari tuntutan pekerjaan Job resources terdiri dari level
organisasi , level interpersonal, dan level tugas.
Berdasarkan uraian dari beberapa faktor, peneliti ingin memilih faktor
resiliensi. Alasan peneliti memilih resiliensi, karena salah satu faktor yang dapat
membuat work engagement seorang karyawan tinggi yaitu resiliensi, ini
didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Steven dan Prihatsanti
(2017), yang menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara
resiliensi dengan work engagement. Hal ini juga diperkuat dengan penelitian
oleh Vernold (dalam Santoso dan Jatmika, 2017), mengenai resiliensi
menunjukkan bahwa individu yang dapat bertahan atau terus di perusahaan
tersebut dikarenakan memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap faktor
pembentuk resiliensi, sedangkan orang-orang yang berencana meninggalkan
pekerjaannya memiliki tingkat kepuasan yang rendah.
Selanjutnya, berdasarkan uraian dari beberapa faktor, peneliti ingin
memilih faktor dukungan sosial atasan. Alasan peneliti memilih dukungan sosial
atasan, karena salah satu faktor yang dapat membuat work engagement seorang
karyawan tinggi yaitu dukungan sosial, hal tersebut berkaitan dengan penjelasan
Bakker dan Demerouti (2007) yang memberikan beberapa contoh dari job
resources yaitu berupa dukungan sosial, pemberian feedback, pemberian
pelatihan, otonomi, serta memicu motivasi kerja karyawan yang mengarah pada
work engagement dalam meningkatkan maksimalitas kerjanya. Kemudian
penjelasan di atas juga didukung oleh pendapat dari Schaufeli dan Bakker (2004)
yang menjelaskan work engagement disebabkan oleh beberapa hal, yaitu
otonomi pekerjaan, dukungan sosial, coaching, dan lain sebagainya. Hal ini juga
didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspita (2012) yaitu
menunjukkan adanya korelasi positif antara dukungan sosial dengan work
engagement. Kemudian juga terdapat hasil penelitian yang dilakukan oleh
Septiani dan Nurtjahjanti (2017) yaitu menunjukkan adanya hubungan positif
yang signifikan antara dukungan sosial dengan keterikatan kerja (work
engagement)