Tampilkan postingan dengan label konsultan skripsi jogja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label konsultan skripsi jogja. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 November 2019

Pengaruh dari Hubungan Politik Perusahaan terhadap Penerapan Tata Kelola Perusahaan (skripsi dan tesis)

Vermonte (2012) menyatakan bahwa pendanaan dari partai politik di Indonesia tidak cukup hanya dari iuran anggota partainya, partai juga memerlukan sumber pendanaan lain dari sumbangan perusahaan atau individu yang tak jarang turut melibatkan perjanjian transaksional. Bentuk timbal balik terhadap pemberi dana dapat berupa lobi politik, tender proyek, atau kebijakan yang menguntungkan bagi perusahaan atau individu terkait. Dasar pemikiran ini juga yang membuat perusahaan berusaha melakukan lobi politik untuk mempertahankan status quo di dalam kebijakan terkait tata kelola perusahaan agar tetap mendapatkan kontrol atas pemegang saham minoritas. Micco, Panizza, dan Yanet (2007) menyatakan bahwa perusahaan dengan hubungan politik memiliki kemungkinan untuk melakukan penyesuaian di dalam pelaporan keuangan untuk kepentingan pemegang saham pengendali sehingga mengorbankan pemegang saham minoritas. 
Penelitian dari Bebchuk dan Neeman (2005) menunjukkan bahwa transaksi insider di dalam perusahaan yang kepemilikannya terkonsentrasi di keluarga menggunakan aset dari perusahaan untuk kepentingan pribadi, salah satu penggunaan aset perusahaan ialah untuk mempengaruhi politisi dan birokrat untuk tetap menjaga perlindungan investor yang rendah. Dengan perlindungan investor yang tetap rendah maka pemegang saham pengendali akan dapat terus memanfaatkan pemegang saham minoritas melalui ekspropriasi. Selain melalui perlindungan investor yang lemah, penerapan tata kelola juga dipengaruhi oleh transparansi dari perusahaan yang terkoneksi politik. Leuz dan Gee (2006) memiliki argumen bahwa koneksi politik dapat menjadi substitusi bagi pinjaman dari luar negeri. Perusahaan terkoneksi politik dapat memperoleh akses pembiayaan hutang (Amelia 2013). 
Menurut Leuz dan Gee (2006) efek substitusi ini membuat tingkat transparansi dari perusahaan akan lebih buruk akibat dari tidak perlunya mengikuti keperluan pelaporan dan transparansi sesuai dengan standar pembiayaan dari luar negeri. Perusahaan terkoneksi politik akan membiarkan transparansi seadanya dan mendapatkan pembiayaan hutang akibat koneksi politik yang dimilikinya. Perusahaan yang terkoneksi politik akan memanfaatkan kontrol yang dimilikinya untuk melakukan lobi politik agar standar, aturan, dan penegakan atas tata kelola perusahaan tetap di posisi status quonya, posisi tidak maksimal (Haque, Arun, dan Kirkpatrick 2011). Selain itu perusahaan yang memiliki koneksi politik, tingkat transparansinya akan menjadi lebih rendah karena transparansi tidak dinilai menjadi sebuah nilai tambah akibat telah mendapat akses pembiayaan dari koneksi politiknya (Leuz dan Gee 2006).

Pengaruh Kepemilikan Keluarga dan Komposisi Dewan Komisaris dan Direksi terhadap Implementasi Tata Kelola Perusahaan (skripsi dan tesis)

Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011) menunjukkan adanya pengaruh negatif dari struktur kepemilikan dan proses politik penentuan dewan komisaris dan direksi terhadap penerapan tata kelola perusahaan di Bangladesh. Semakin banyak direksi dan komisaris yang terafiliasi dengan keluarga maka keputusan yang diambilpun akan semakin menguntungkan pemegang saham pengendali dan merugikan pemegang saham. Siagian (2011) membuktikan bahwa di Indonesia secara empiris tingkat kepemilikan keluarga memiliki pengaruh negatif terhadap penerapan tata kelola perusahaan karena menghindari tata kelola yang cenderung mengurangi kontrol dari pemegang saham pengendali

Pengaruh dari Kepemilikan Keluarga terhadap Komposisi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris yang Terafiliasi dengan Keluarga (skripsi dan tesis)

Menurut Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011), jika pemegang saham pengendali adalah keluarga, maka keluarga cenderung memiliki insentif dan kekuatan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dalam bentuk kompensasi yang berlebih, transaksi hubungan istimewa, atau dividen di dalam bentuk pengeluaran perusahaan untuk kepentingan pribadi. Hasil penelitiannya memperkuat hasil penelitian Fama dan Jensen (1983), Shleifer dan Vishny (1997), dan Faccio, Lang, dan Young (2001). Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang didominasi oleh kepemilikan keluarga secara langsung akan memberikan pengaruhnya di dalam manajemen perusahaan tersebut. Claessens et al. (2002) menyatakan bahwa sebanyak 84,6% manajer perusahaan di Indonesia ditetapkan oleh pengendali akhir. Dengan cara itu juga perusahaan lebih berpeluang untuk memanfaatkan kontrolnya dalam mengekspropriasi pemegang saham minoritas melalui manajemen yang mereka pilih. Anderson dan Reeb (2005) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan perusahaan keluarga akan menghindari adanya dewan komisaris yag berasal dari kalangan independen untuk menjaga kepentingan keluarga sebagai pemegang kendali. Kepemilikan terkonsentrasi pada keluarga diduga memiliki pengaruh terhadap pengendalian dalam proses politik untuk penentuan dewan komisaris dan dewan direksi. Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan dari keluarga pemegang saham pengendali

Hubungan Politik Perusahaan (skripsi dan tesis)

Perusahaan dapat dikatakan memiliki hubungan politik apabila paling tidak salah satu dari pimpinan perusahaan, pemegang saham mayoritas atau kerabat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat tinggi negara, anggota parlemen, atau pengurus partai yang berkuasa (Faccio 2006). Penelitian awal mengenai hubungan politik ialah mengenai hubungan kedekatan antara perusahaan dengan penguasa, salah satunya ialah oleh Fisman (2001) yang meneliti tentang nilai dari koneksi politik. Dalam penelitian tersebut subjek penelitiannya ialah perusahaan terbuka di Indonesia pada masa Suharto yang memiliki kedekatan politik dengan Suharto kala itu. Penelitian tersebut menunjukkan adanya pengaruh terhadap volatilitas harga saham perusahaan yang memiliki kedekatan politik ketika ada isu yang menggoyang Presiden Suharto.
 Carney dan Child (2013) menyatakan bahwa hubungan politik perusahaan dengan kroni Suharto telah menurun semenjak reformasi, hubungan politik perusahaan di Indonesia pada tahun 2008 pun turun sampai 51% (dari tahun 1996). Contoh lain mengenai pengaruh hubungan politik antara perusahaan dengan partai penguasa juga tercermin di Amerika, perusahaan dengan hubungan politik memiliki nilai perusahaan yang lebih tinggi (Goldman, Rocholl, dan So 2009) Pengaruh lain dari hubungan politik perusahaan ialah dapat meningkatkan nilai perusahaan jika melalui koneksi politik dapat menghapus rente ekonomi yang tidak adil. Hal ini perlu juga didukung dengan tata kelola yang baik agar nilai perusahaan tidak hanya diperuntukkan kepentingan pemilik dan politisi yang memiliki hubungan saja. Jika indikator hubungan politik juga menjadi penentu investasi maka dengan adanya hubungan politik nilai perusahaan juga akan meningkat (Faccio 2006).
 Hubungan politik perusahaan juga dapat menjadi substitusi atas pembiayaan dari luar negeri, dan dapat dimanfaatkan untuk mempermudah perusahaan dalam memperoleh pinjaman dalam negeri sehingga tidak perlu mencari pembiayaan dari investor luar negeri. Bagi perusahaan yang memiliki hubungan politik keuntungan lainnya ialah perusahaan dengan hubungan politik memiliki akses yang lebih terhadap pembiayaan hutang, pajak yang lebih rendah, dan kekuatan pasar yang kuat (Leuz dan Gee 2006). Di Indonesia penelitian mengenai hubungan politik perusahaan dimulai pada era Suharto oleh Fisman (2001) yang menghasilkan bahwa ada pengaruh dari kedekatan politik perusahaan dengan penguasa terhadap harga saham perusahaan. Penelitian lain di Indonesia terkait dengan hubungan politik perusahaan ialah oleh Wulandari (2012) yang membahas mengenai pengaruh koneksi politik dan struktur kepemilikan terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan politik memiliki kinerja yang lebih buruk dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki hubungan politik. Purwoto (2011) juga melakukan penelitian atas hubungan politik dan keburaman laporan keuangan dengan kesinkronan dan risiko crash harga saham. Proksi untuk hubungan politik menggunakan tiga pendekatan yaitu anggota dewan komisaris dan direksi yang pernah atau sedang menjabat di pemerintahan, CAR (cumulative abnormal return) ketika ada peristiwa politik, dan juga pinjaman dari bank pemerintah. Hasilnya ialah hubungan politik akan memiliki dampak terhadap ketersediaan informasi spesifik terhadap perusahaan tersebut, perusahaan cenderung mengaburkan informasi spesifik melalui pelaporan yang kurang berkualitas. 
Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011), dalam penelitiannya di Bangladesh sebagai salah satu negara berkembang menemukan bahwa pengusaha atau pemegang saham pengendali atau keluarga memiliki kepentingan ekonominya dan memanfaatkan proses politik untuk kepentingan ekonominya tersebut. Pemegang saham pengendali memanfaatkan celah pada sistem politik di negara berkembang yang banyak mengaitkan hubungan kroni dan tingkat korupsi yang masih tinggi untuk kepentingan ekonomi dirinya dan perusahaanya. Selain itu dengan hak pengendaliannya terhadap perusahaannya yang sangat kuat dari pemegang saham pengendali dan tidak adanya penegakan aturan ketat atas praktek tata kelola yang baik sehingga berdampak pada implementasi tata kelola perusahaan yang buruk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haque, Arun, dan Kirkpatrick (2011), menjelaskan adanya pengaruh negatif dari kepemilikan yang terkonsentrasi, susunan direksi yang terkoneksi dengan keluarga, serta hubungan politik dari perusahaan terhadap kualitas dari tata kelola perusahaanya

Teori Keagenan dan Kepemilikan Keluarga (skripsi dan tesis)

Permasalahan keagenan tidak hanya terjadi antara pemegang saham dengan manajemen, melainkan di perusahaan yang kepemilikannya dapat juga terjadi antara pemilik saham mayoritas dan manajemen dengan pemegang saham minoritas (Villalonga dan Amit 2006). Salah satu kelemahan praktik tata kelola di Indonesia terkait dengan minimnya pengungkapan mengenai kepemilikan tidak langsung di dalam perusahaan, selain itu juga masih banyak yang belum mengungkapkan anggota dewan direksi atau komisaris yang menjabat di tempat lain, dan minimnya pengungkapan mengenai proses nominasi di jajaran dewan komisaris atau direksi. Kelemahankelemahan tersebut dapat disebabkan dengan struktur kepemilikan yang secara langsung akan mempengaruhi siapa pengendali dari perusahaan tersebut. 
Secara umum struktur kepemilikan dari perusahaan-perusahaan di Asia masih banyak didominasi oleh unsur kekeluargaan (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Classen, Djankov, dan Lang (2000) melakukan penelitian di negara-negara Asia Selatan yang menunjukkan bahwa sulit untuk membedakan batasan antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan sebagai manajemen, banyak diantaranya dijalankan oleh anggota keluarga pemilik. Di Indonesia sendiri masih didominasi oleh perusahaan keluarga, perusahaan yang struktur kepemilikannya sudah tersebar hanya sebesar 0,6% (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Carney dan Child (2013) melakukan penelitian kembali mengenai perkembangan struktur kepemilikan di Asia Selatan. Indonesia mengalami sedikit peningkatan di dalam perusahaan yang kepemilikannnya tersebar menjadi 3,8% dan penurunan kepemilikan keluarga di perusahaan terbuka sebesar 11,3% dari survey Classen, Djankov, dan Lang (2003) yaitu dari 68,6% menjadi 57,3% (Carney dan Child 2013). 
Perusahaan dengan dominasi kepemilikan keluarga dapat memiliki kinerja yang lebih efisien dikarenakan biaya untuk melakukan pengawasan yang lebih kecil (Fama dan Jensen, 1983). Biaya pengawasan lebih kecil disebabkan karena kepemilikannya yang terkonsentrasi sehingga konflik yang terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan dengan kepemilikan tersebar. Di samping itu perusahaan dengan kepemilikan keluarga yang dominan dikelola oleh anggota keluarganya sendiri sehingga dapat lebih dipercaya, sehingga konflik keagenan menjadi berkurang (Fama dan Jensen 1983). Di sisi lain permasalahan keagenan yang timbul bukan lagi antara pemilik dan manajemen, melainkan pemegang saham minoritas dengan pemilik keluarga, termasuk manajemen yang berasal dari keluarga. Pemegang saham mayoritas, dalam hal ini keluarga, memiliki kecenderungan untuk mempertahankan dominasinya di dalam perusahaan, melalui manajemennya dan juga pembatasan praktik GCG (Classen, Djankov, dan Lang 2000). Pembatasan praktik GCG pada akhirnya membatasi perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan untuk perlakuan yang setara terhadap pemegang saham. Sehingga akhirnya konflik kepentingan ini berujung pada ekspropriasi oleh pemegang saham keluarga terhadap pemegang saham minoritas, dengan praktik tata kelola perusahaan yang tidak cukup baik (Faccio, Lang, dan Young 2001).

Audit tenure dan Manajemen Laba Riil (skripsi dan tesis)

Nihlati dan Meiranto (2014) menjelaskan bahwa terdapat asimetri informasi antara agen dan prinsipal. Asimetri informasi ini dimanfaatkan oleh manajemen perusahaan yang bertindak sebagai agen untuk melakukan manajemen laba. Agen melakukan manajemen laba dengan tujuan untuk memaksimalkan kesejahteraannya, selain itu dengan melakukan manajemen laba kinerja agen akan terlihat baik di mata stakesholders perusahaan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan auditor dalam perusahaan. Setiap auditor memiliki masa penugasan atau masa perikatan yang berbeda-beda di setiap perusahaan, yang sering disebut dengan istilah audit tenure. Audit tenure merupakan jumlah tahun seorang auditor dapat ditugaskan oleh sebuah perusahaan (Myers et al., 2003 dalam Inaam et al., 2012). 
Menurut Giri (2010) semakin lama masa perikatan seorang auditor, maka semakin tinggi pengetahuan auditor tentang perusahaan tersebut. Program audit yang telah dirancang oleh auditor akan berjalan dengan maksimal, sehingga dapat meningkatkan nilai dari laporan keuangan yang telah dibuat oleh perusahaan. Oleh karena itu, dengan keberadaan auditor dalam sebuah perusahaan dan telah ada di perusahaan sejak periode sebelumnya (dalam kurun waktu yang lama), maka akan memudahkan auditor untuk mengetahui manajemen laba yang terjadi dalam perusahaan. Sehingga perusahaan akan memilih manajemen laba melalui aktivitas riil, karena manajemen laba riil ini cenderung lepas dari pengawasan auditor perusahaan (Chi et al. 2010). 
Chi et al. (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara audit tenure dengan manajemen laba riil. Penelitian Cohen dan  Zarowin (2010) dalam Inaam et al. (2012) juga mengatakan bahwa semakin lama audit tenure dalam perusahaan, maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan untuk melakukan manajemen laba riil. Hal ini dikarenakan semakin lama masa penugasan membuat auditor akan lebih kompeten dalam menjalankan program audit yang telah direncanakan karena auditor telah memahami entitas dan lingkungan perusahaan dengan baik, sehingga perusahaan akan melakukan manajemen laba riil untuk menutupi manajemen laba yang terjadi di perusahaan dari auditor perusahaan

Ukuran KAP dan Manajemen Laba Riil (skripsi dan tesis)

Teori agensi menjelaskan adanya asimetri informasi yang terjadi antara manajer (agen) dan pemegang saham (prinsipal). Dalam hal ini manajer yang lebih banyak mengetahui informasi terkait kondisi perusahaan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban dari manajer, maka dibuat laporan keuangan yang menunjukkan kinerja dari manajer. Namun pemegang saham tidak dapat percaya sepenuhnya kepada manajer, karena sering kali manajer menginginkan kinerjanya selalu terlihat baik dimata para pemegang saham sehingga manajer melakukan manajemen laba (Luhgiatno, 2010 dalam Christiani dan Nugrahanti, 2014). Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibutuhkan auditor untuk menjembatani kepentingan pemegang saham dan manajer yang mengelola keuangan perusahaan. Christiani dan Nugrahanti (2014) menjelaskan bahwa dalam asimetri informasi membutuhkan pihak ketiga yang mampu menghubungkan kepentingan pemegang saham (prinsipal) dan manajer (agen) dalam pengelolaan perusahaan. Auditor KAP yang digunakan oleh perusahaan merupakan pihak ketiga dalam perusahaan untuk menyelesaikan masalah terkait asimetri informasi dalam perusahaan. Auditor tersebut dapat berasal dari KAP Big-4 atau KAP Non Big-4. Pada saat auditor perusahaan merupakan auditor dari KAP Big-4, maka dianggap lebih ahli daripada KAP Non Big-4 baik dilihat dari segi pendidikan, pelatihan dan pengalaman di bidang akuntansi dan auditing (Amijaya dan Prastiwi, 2013).
 Selain itu dengan reputasi baik yang dimiliki KAP Big-4 maka proses audit dalam perusahaan akan dilakukan dengan hati-hati (Christiani dan Nugrahanti, 2014). Dengan kompetensi lebih yang dimiliki oleh auditor KAP Big-4 dalam perusahaan, yang telah ada di perusahaan tersebut dari periode sebelumnya, maka akan lebih memudahkan auditor untuk mengetahui manajemen laba yang telah dilakukan oleh manajemen perusahaan. Sehingga perusahaan akan memilih manajemen laba melalui aktivitas riil agar tidak mudah teridentifikasi oleh auditor KAP Big-4. Chi et al. (2010) mengatakan bahwa perusahaan justru akan berpindah untuk melakukan manajemen laba riil dari manajemen laba akrual pada saat auditor perusahaan berasal dari KAP Big N (bereputasi baik). Hal ini ditunjukkan dengan adanya nilai abnormal CFO yang rendah pada perusahaan. Penelitian Inaam et al. (2012) menunjukkan bahwa ukuran KAP auditor perusahaan berpengaruh positif terhadap manajemen laba riil yang diukur dengan abnormal CFO, yang berarti semakin efektif pengawasan yang dilakukan oleh auditor KAP tersebut, maka akan memotivasi manajemen untuk melakukan teknik manajemen laba yang tidak mudah diidentifikasi. Dari uraian diatas, semakin besar ukuran KAP auditor perusahaan yang digunakan, maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan akan melakukan manajemen laba riil. Hal ini dikarenakan perusahaan ingin menyembunyikan manajemen laba yang sedang dilakukan oleh perusahaan dari auditor

Hubungan Politik dan Manajemen Laba Riil (skripsi dan tesis)

Kinerja perusahaan tidak selalu sama dari tahun ke tahun. Pada saat kinerja perusahaan baik manajer (agen) akan mendapatkan insentif, namun jika kinerja perusahaan buruk maka manajer justru akan mendapatkan punishment. Oleh karena itu, manajer akan selalu berusaha untuk memenuhi target laba perusahaan salah satunya dengan melakukan manajemen laba. Hubungan politik dalam perusahaan seharusnya dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang ada di perusahaan, dikarenakan perusahaan mendapatkan pengawasan ketat dari publik, media, maupun rekan partai politik (Chaney et al., 2010 dan Braam et al., 2015). Namun antara manajer (agen) dan pemegang saham (prinsipal) sering kali terdapat perbedaan kepentingan atau conflict of interest (Jensen dan Meckling, 1976), manajer selalu ingin memenuhi target laba untuk mendapatkan insentif atau dapat dikatakan ingin memaksimalkan kesejahteraannya. Sedangkan para pemegang saham berharap manajer dapat mencapai target laba yang sebenarnya untuk memaksimalkan nilai perusahaan, sehingga deviden atau keuntungan yang didapatkan oleh pemegang saham semakin banyak. Dengan kondisi yang demikian, kemungkinan manajer akan melakukan manajemen laba dan memilih metode yang tidak mudah terdeteksi oleh publki maupun rekan politik, salah satunya dengan manajemen laba melalui aktivitas riil. 
Braam et al. (2015) menyatakan bahwa pada saat perusahaan mempunyai hubungan politik akan memilih melakukan manajemen laba riil dibandingkan dengan manajemen laba akrual. Hal ini dikarenakan perusahaan tidak ingin kehilangan reputasi dan menjaga hak-hak istimewa atas hubungan politik yang telah terjalin, seperti mendapatkan kemudahan terkait alokasi modal dari pemerintah, pengadaan kontrak dengan pemerintah dan peluang bisnis lainnya. Fisman (2001) dalam Braam et al. (2015) mengatakan jika perusahaan yang memiliki hubungan politik maka akan mempengaruhi alokasi modal dan menambah peluang bisnis yang lebih baik. Goldman et al. (2010) menunjukkan bahwa perusahaan di Amerika Serikat yang memiliki hubungan politik dengan partai yang sedang berkuasa akan mendapatkan alokasi pengadaan kontrak. Walaupun sistem hukum pemerintah Amerika Serikat cukup kuat, ternyata hubungan politik masih mempunyai dampak terhadap alokasi sumber daya pemerintah.
 Begitu pula dengan Faccio et al. (2006) dalam Braam et al. (2015) yang menunjukkan jika perusahaan yang memiliki hubungan politik lebih mudah mendapatkan dana talangan (bailouts) dari pemerintah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki hubungan politik. Selain itu, baik atau tidaknya reputasi suatu perusahaan dapat dilihat dari kinerja perusahaan dan biasanya diukur dari laba yang dihasilkan oleh perusahaan (Christiani dan Nugrahanti, 2014). Braam et al. (2015) menunjukkan jika perusahaan tidak mampu mempertahankan reputasi perusahaan dengan baik, maka perusahaan akan kehilangan hak istimewa dari hubungan politik yang telah terjalin. Rekan politik akan mempertimbangkan laba yang mencerminkan reputasi perusahaan sebelum memberikan hak istimewa kepada perusahaan. Hal ini yang mengakibatkan perusahaan akan melakukan berbagai macam tindakan untuk mempertahankan reputasinya. Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki hubungan politik cenderung akan melakukan manajemen laba riil dibandingkan manajemen laba akrual untuk memenuhi laba yang telah ditargetkan, karena manajemen laba riil tidak mudah terdeteksi oleh oleh publik maupun rekan politik dibandingkan dengan manajemenlaba akrual (Braam et al., 2015). 

Audit Tenure (skripsi dan tesis)

 Tenure merupakan jangka waktu penugasan audit oleh KAP tertentu di perusahaan klien yang sesuai dengan peraturan pemerintah (Chi et al., 2010 serta Nihlati dan Meiranto, 2014). Menurut Keputusan Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) No: KEP310/BL/2008 tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa di Pasar Modal, masa perikatan atau penugasan audit terkait jasa audit umum atas laporan keuangan klien dapat dilakukan oleh KAP paling lama 6 tahun buku berturut-turut dan oleh Akuntan Publik paling lama 3 tahun buku berturut-turut. KAP dan Akuntan Publik dapat menerima penugasan audit kembali atas permintaan klien setelah 1 tahun buku tidak mengaudit klien tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku bagi laporan keuangan interim yang diaudit untuk kepentingan Penawaran Umum

Ukuran KAP (skripsi dan tesis)

Laporan keuangan setiap perusahaan perlu diaudit terlebih dahulu sebelum diterbitkan dan digunakan oleh user laporan keuangan tersebut. Audit atas laporan keuangan perusahaan dapat dilakukan oleh Akuntan Publik maupun Kantor Akuntan Publik (KAP). Kantor Akuntan Publik di Indonesia dapat diklasifikasikan menurut ukurannya. Di Indonesia, besar atau kecilnya ukuran KAP dilihat dari dua kelompok, yaitu kelompok KAP Big-4 dan kelompok KAP Non Big-4, dimana pengelompokan ukuran KAP dilihat dari KAP di Indonesia yang berafiliasi dengan KAP Big-4 dan KAP Non Big-4. KAP Big-4 di Indonesia merupakan KAP yang bekerjasama dengan jaringan KAP Internasional yang meliputi Tanudiredja, Wibisana dan Rekan merupakan jaringan internasional dari Pricewaterhouse Coopers (PWC); Osman, Bing, Satrio merupakan jaringan internasional dari Deloitte Tohce Tomatsu Limited (Deloitte); Purwantono, Suherman dan Surja merupakan jaringan internasional dari Ernst & Young (EY), dan Siddharta dan Widjaja merupakan jaringan internasional dari KPMG.

Hubungan Politik (skripsi dan tesis)

Faccio (2006) dalam Braam et al. (2015) menjelaskan bahwa sebuah perusahaan dapat dikatakan mempunyai hubungan politik jika setidaknya dalam perusahaan terdapat pemegang saham terbesar (mempunyai hak suara setidaknya 10 persen) atau salah satu top officers dalam perusahaan menjabat sebagai anggota parlemen, menteri, atau berhubungan erat dengan politisi ternama ataupun partai politik. Menurut Chaney et al. (2010) terdapat beberapa manfaat yang didapatkan oleh perusahaan yang memiliki hubungan politik, yang pertama perusahaan mendapatkan manfaat dari relasi hubungan politik yang ada di perusahaan. Kedua, para politisi memberikan perlindungan kepada perusahaan sebagai tempat mereka dalam menanamkan investasi. Dengan adanya hal tersebut maka manajer juga tidak menaruh perhatian lebih terhadap kualitas pelaporan keuangan. Ketiga, pada saat perusahaan memiliki kualitas laba yang rendah maka perusahaan tersebut akan mencoba membangun koneksi politik untuk mendapatkan perlindungan. 

Manajemen Laba (skripsi dan tesis)

Laporan keuangan merupakan bentuk pertanggungjawaban dari manajemen kepada stakesholders perusahaan. Menurut Christiani dan Nugrahanti (2014) komponen laporan yang menjadi pusat perhatian dan dijadikan acuan penilaian kinerja perusahaan adalah laba. Melihat pentingnya informasi laba, maka laba menjadi sasaran manipulasi oleh pihak manajemen agar kinerja manajemen perusahaan terlihat baik. Sesuai dengan perspektif oportunis bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunis manajer untuk mengelabuhi investor dan memaksimalkan kesejahteraannya karena manajer mendapatkan informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain terutama investor (Sulistyanto, 2008). Terdapat dua teknik dalam melakukan manipulasi laba, yaitu melalui aktivitas akrual dan aktivitas riil. Manajemen laba melalui aktivitas akrual adalah manipulasi laba yang dilakukan melalui pencatatan-pencatatan akuntansi dengan basis akrual, dimana pengakuan hak dan kewajiban perusahaan tidak melihat kapan kas perusahaan akan masuk atau keluar (Sulistyanto, 2008). Misalnya pada saat perusahaan akan memperkecil laba, perusahaan akan menunda pengakuan pendapatan periode berjalan menjadi pendapatan periode berikutnya. Sedangkan manajemen laba melalui aktivitas riil adalah tindakan yang dilakukan oleh manajer perusahaan yang menyimpang dari praktik bisnis normal dengan melakukan manipulasi di kegiatan operasional perusahaan (Roychowdhury, 2006). 
Menurut Roychowdhury (2006), terdapat beberapa teknik dalam melakukan manajemen laba riil, yaitu: 
1. Manipulasi Penjualan. Manipulasi penjualan dapat dilakukan dengan cara memberikan potongan harga dan persyaratan kredit yang lebih lunak agar dapat meningkatkan target laba. Hal ini akan menimbulkan adanya peningkatan penjualan yang berakibat pada peningkatan laba di perusahaan, namun arus kas perusahaan justru akan mengalami penurunan karena arus kas masuk perusahaan kecil yang disebabkan oleh pemberian potongan harga dan syarat kredit yang lunak yang telah diberikan oleh perusahaan. Sehingga manipulasi penjualan akan mengakibatkan arus kas kegiatan operasi atau cash flow operation (CFO) menurun dan lebih rendah jika dibandingkan dengan level penjualan secara normal. 
2. Overproduction (Produksi Secara Berlebihan). Pada saat perusahaan melakukan produksi terlalu banyak (overproduction), maka akan menyebabkan biaya overhead tetap per unit menjadi lebih kecil karena jumlah barang yang diproduksi lebih banyak. Dengan melakukan overproduction maka akan menurunkan cost of goods sold (harga pokok penjualan).
 3. Pengurangan Biaya Diskresioner Pengurangan biaya diskresioner dapat dilakukan dengan mengurangi biaya penelitian dan pengembangan, biaya iklan, dan biaya penjualan, biaya umum dan administrasi seperti pelatihan karyawan dan perjalanan dinas. Dengan berkurangnya beban-beban tersebut maka laba perusahaan akan meningkat, sehingga arus kas periode berjalan akan meningkat namun pada periode yang akan datang arus kas kegiatan operasi perusahaan akan menurun atau lebih rendah dari periode sebelumnya

Teori Agensi (skripsi dan tesis)

 Jensen dan Meckling (1976) mengatakan bahwa teori agensi merupakan kontrak antara prinsipal (pemegang saham) dan agen (manajemen perusahaan), dimana agen bertugas untuk mengelola penggunaan dan pengendalian sumber daya perusahaan untuk kemakmuran prinsipal. Terdapat dua masalah keagenan yaitu conflict of interest dan asimetri informasi. Conflict of interest merupakan perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal. Manajer sebagai agen seolah-olah bekerja untuk kesejahteraan prinsipal namun pada kenyataan manajer hanya bekerja untuk kepentingan diri sendiri, karena manajer tidak ingin berkorban sepenuhnya untuk memaksimalkan nilai perusahaan (Godfrey et al., 2009). Sedangkan asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana salah satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain. Pihak manajer selaku pengelola perusahaan sering kali memiliki informasi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pemegang saham di perusahaan. Kedua kondisi tersebut akan mudah dimanfaatkan oleh manajer dalam melakukan manajemen laba baik dengan aktivitas akrual atau aktivitas riil. Hal ini dikarenakan manajer perusahaan mempunyai otoritas dalam pengambilan keputusan (Godfrey et al., 2009).

Jumat, 15 November 2019

Tata Cara Pemungutan Pajak (skripsi dan tesis)

 Tata cara Pemunugutan Pajak Menurut Mardiasmo (2016:8): 
1. Stelsel Pajak Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel: 
a. Stelsel nyata (riel stelsel) 
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
 b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) 
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undangundang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya. 
c. Stelsel campuran 
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

Pengertian Pajak (skripsi dan tesis)

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH. dalam Mardiasno (2016:1) mendefinisikan bahwa pajak merupakan “… iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Waluyo (2011:2) menjelaskan bahwa pajak adalah “… prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum) tanpa adanya kontraprestasi da semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaranpengeluaran.” M.J.H Smeets dalam Sukrino Agoes (2014:6) mengemukakan bahwa pajak adalah “… prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang ditunjukan secara individual; maksudnya untuk membiayai pengeluaran pemerintah.” Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (UU KUP) mendefinisikan pajak sebagai “… kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, denga tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarya kemakmuran rakyat.” Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran atau kontribusi wajib masyarakat kepada negara yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang yang tidak mendapat imbalan langsung dan digunakan untuk membiayai negara dan pembangunan nasional demi kemakmuran rakyat.

Manfaat Hubungan Politik (skripsi dan tesis)

Faccio (2006) dalam Sriayu (2018) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki hubungan politik memiliki tiga sumber potensi manfaat yaitu : 
1. Akses istimewa ke kredit, 
2. Diskon pajak,
 3. Kekuatan pasar

Pengertian Hubungan Politik (skripsi dan tesis)

Purwoto (2011:7) mengemukakan bahwa “… perusahaan berkoneksi politik ialah perusahaan yang dengan cara-cara tertentu mempunyai ikatan secara politik atau mengusahakan adanya kedekatan dengan politisi atau pemerintah.” Faccio (2006:369) dalam Andriana dan Yeterina (2016) Menjelaskan bahwa “…Perusahaan dapat dikatakan memiliki hubungan politik apabila paling tidak salah satu dari pimpinan perusahaan, pemegang saham utama (orang yang memiliki setidaknya 10 persen hak suara berdasarkan jumlah saham yang dimiliki), atau kerabat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai pejabat tinggi negara, anggota parlemen, atau pengurus partai yang menjadi perwakilan di parlemen.” Adhikari (2006:538) juga menjelaskan bahwa “… hubungan politik suatu perusahaan dapat dilihat dari ada atau tidaknya kepemilikan langsung oleh pemerintah pada perusahaan.” Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan politik adalah hubungan yang dapat membantu perusahaan dalam aktivitas pemerintahan, sehingga perusahaan mendapat kemudahan dalam melaksanakan kegiatan dan urusan yang berkaitan dengan kenegaraan

Pengkuran Kepemilikan Keluarga (skripsi dan tesis)

Kepemilikan keluarga didefinisikam sebagai “…presentase kepemilikan saham perusahaan oleh anggota keluarga, dimana kepentingan keluarga teradap perusahaan akan semakin besar seiring dengan peningkatan jumlah presentase saham tersebut.” Dalam penelitian Adiarti (2015), kepemilikan keluarga diukur dengan cara menghitung presentase pengendali akhir dan mengaitkan hubungan kekerabatan pada pengendali akhir. Dalam penelitian Stanley (2016), perusahaan dianggap memiliki kepemilikan keluarga apabila “…keseluruhan individu dan perusahaan yang kepemilikannya tercatat (kepemilikan 5% ke atas yang wajib dicatat), kecuali perusahaan asing, perusahaan publik, negara, institusi keuangan (seperti asuransi, dana pensiun, lembaga investasi, reksa dana) dan masyarakat yang kepemilikan individu kurang dari 5% (tidak wajib dicatat).” Chaney et al. (2011) dalam Adirati (2015) mendefinisikan perusahaan yang dimiliki oleh keluarga sebagai suatu perusahaan yang “…kepemlikan terbesarnya adalah keluarga atau terdapat kepemilikan dari seorang individu sebesar 20%.” Harijono (2013) dalam Sri Rezeki (2015) menjelaskan kepemilikan keluarga dapat diukur dengan diukur dengan “…besarnya jumlah saham individu ditambah jumlah saham perusahaan selain perusahaan publik, pemerintah, manajemen, institusi lembaga keuangan dan kepemilikan asing

Pengertian Kepemilikan Keluarga (skripsi dan tesis)

 Salah satu struktur kepemilikan yang sering dimiliki perusahaan adalah kepemilikan individu yang biasanya dijabat oleh keluarga dalam istilah lain disebut kepemilikan keluarga. Berikut definisi kepemilikan saham berdasarkan para ahli: Chaney et al. (2011) dalam Adiarti (2015:36) mendefinisikan “…perusahaan yang dimiliki oleh keluarga sebagai suatu perusahaan yang kepemlikan terbesarnya adalah keluarga atau terdapat kepemilikan dari seorang individu sebesar 20%.” Chi et al (2014) dalam Adiarti (2015:36) mendefinisikan “… suatu perusahaan di miliki keluarga apabila suatu keluarga memiliki kepemilikan akhir sebesar 10% atau lebih dan keluarga memiliki jabatan pada jajaran direksi atau dewan komisaris.” Kepemilikan keluarga menurut Arifin (2003) dalam Siregar Utama (2008:42) adalah “…meliputi perusahaan-perusahaan yang memiliki kepemilikan yang terdaftar di bursa (kepemilikan > 5%) tidak termasuk pemerintah, lembaga keuangan, atau publik.” Sedangkan menurut Claessens, et al, (2000) dalam Warsini dan Rossietta (2013) kepemilikan keluarga dapat diukur dengan “…besarnya presentase kepemilikan individu ditambah presentease kepemilikan perusahaan selain perusahaan publik, pemerintah, manajemen, institusi lembaga keuangan dan kepemilikan asing.” Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan kepemilikan keluarga adalah perusahaan yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh seorang individu setidaknya lebih dari 5% dari total saham perusahaan

Jenis-jenis Saham (skripsi dan tesis)

 Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2016:6), ada beberapa jenis saham yaitu:
 1. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagih atau klaim, maka saham terbagi atas: 
a. Saham biasa (common stock), yaitu merupakan saham yang menempatkan pemiliknya paling junior terhadap pembagian dividen dan hak atas harta kekayaan perusahaan apabila perusahaan tersebut dilikuidasi. 
b. Saham preferen (preferred stock), merupakan saham yang memiliki karakteristik gabungan antara obligasi dan saham biasa, karena bisa menghasilkan pendapatan tetap (seperti bunga obligasi), tetapi juga bisa tidak mendatangkan hasil seperti ini dikehendaki oleh investor.
 2. Dilihat dari cara pemeliharaannya, saham dibedakan menjadi: 
a. Saham atas unjuk (bearer stock) artinya pada saham tersebut tidak tertulis nama pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke investor lain. 
b. Saham atas nama (registered stock), merupakan saham yang ditulis dengan jelas siapa pemiliknya, dan dimana cara peralihannya harus melalui prosedur tertentu. 
3. Ditinjau dari kinerja perdagangangannya, maka saham dapat dikategorikan menjadi:
 a. Saham unggulan (blue-chip stock), yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.
 b. Saham pendapatan (income stock), yaitu saham biasa dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar dividen lebih tinggi dari rata-rata dividen yang dibayarkan pada tahun sebelumnya. 
c. Saham pertumbuhan (growth stock-well known), yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang mempunyai reputasi tinggi. Selain itu terdapat juga growth stock lesser known, yaitu saham dari emiten yang tidak sebagai leader dalam industri namun memiliki ciri growth stock.
 d. Saham spekulatif (spekulative stock), yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secra konsisten memperoleh penghasilan yang tinggi di masa mendatang, meskipun belum pasti.