Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan
tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan publik.
Perumusan kebijakan tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya
sebagai sebuah produk peraturan perundang-undangan. Seringkali pembuat
kebijakan memutuskan untuk tidak mengambil tindakan terhadap sebuah
permasalahan dan membiarkannya selesai sendiri. Atau seringkali pembuat
kebijakan tidak berhasil mencapai kata sepakat mengenai apa yang harus
dilakukan terhadap suatu masalah tertentu (Rusli, 2013:72).
Model perumusan kebijakan publik merupakan pengambilan keputusan
dari berbagai alternatif. Dalam pengambilan keputusan biasanya
mempertimbangkan anatara untung rugi dan keefisiennya suatu kebijakan (model
rasional kompreherensif). Dalam model perumusan kebijakan publik dalam proses
ini factor aktor akan melakukan pendefinisian suatu masalah (input) kemudian di
konvertasi untuk dibuat kebijakan yang pas dan hasil dari input dan konversi
adalah output yang berupa kebijakan. Namun dalam prosis input koversi dan
output faktor lingkungan sebagai penerima kebijakan berpengaruh cukup besar.
Karena nantinya setelah kebijkan dibuat dan ditolak oleh lingkungan penerima kebijakan maka akan diproses kembali untuk dibuat model kebijakan yang baru,
yang sesuai dengan lingkungan penerima kebijakan.
Di lingkungan para pembelajar perumusan kebijakan publik terdapat
sejumlah model. Dye (1992:20) merumuskan model-model secara lengkap dalam
sembilan model formulasi kebijakan yaitu :
1. Model Kelembagaan (Institutional)
Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna
bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi apapun
yang dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Ini
adalah model yang paling sempit dan sederhana di dalam formulasi kebijakan
publik. Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari
pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, di dalam formulasi kebijakan.
Disebutkan Dye, ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu
pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi bersifat universal,
dan memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan (koersi) dalam
kehidupan bersama.
Pendekatan kelembagaan (institutionalism) merupakan salah satu
perhatian ilmu politik yang tertua. Kehidupan politik umumnya berkisar pada
lembaga pemerintah seperti: legislatif, eksekutif, pengadilan dan partai politik;
lebih jauh lagi kebijakan publik awalnya berdasarkan kewenangannya
ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Tidak mengherankan
kemudian bila ilmuan politik banyak mencurahkan perhatian pada pendekatan
ini. Secara tradisional pendekatan kelembagaan menitikberatkan pada
penjelasan lembaga pemerintah dengan aspek yang lebih formal dan legal yang meliputi organisasi formal, kekuasaan legal, aturan prosedural, dan
fungsi atau aktivitasnya. Hubungan formal dengan lembaga lainnya juga
menjadi titik berat dari pendekatan kelembagaan. Salah satu kelemahan dari
pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana
kebijakan itu diterapkan.
Dalam model kelembagaan, kebijakan dianggap sebagai hasil dari
lembaga-lembaga pemerintah (parlemen, kepresidenan, kehakiman,
pemerintah daerah dan sebagainya) yang meliputi proses-proses perumusan,
pelaksanaan dan pemaksaan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga
pemerintah tersebut. Karakteristik kebijakan model kelembagaan ini meliputi:
a. Pemerintah memebrikan lgitimasi terhadap kebijaksanaan yang akan
ditempuhnya, sedangkan rakyat sebagai penerima kebijakan tersebut
b. Pemerintah melaksanakan kebijakannya secara universal dan tidak ada
seorangpun yang bisa menghindar
c. Hanya pemerintah yang berhak memaksakan pelaksanaan kebijakan
kepada masyarakat.
2. Model Proses (Process)
Di dalam model ini, para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik
merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Model ini
memberitahukan kepada kita bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya
dibuat, namun kurang memberikan tekanan kepada substansi seperti apa yang
harus ada. Misalnya mulai dari :
a. Proses identifikasi permasalahan
b. Menata agenda formulasi kebijakan
c. Perumusan proposal
d. Legitimasi kebijakan
e. Implementasi kebijakan
f. Evaluasi kebijakan.
3. Model Kelompok (Group)
Model pengambilan kebijakan dalam teori kelompok mengandaikan
kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya adalah
interaksi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan
keseimbangan adalah yang terbaik. Di sini individu di dalam kelompokkelompok kepentingan berinteraksi secara formal dan informal, secara
langsung atau tidak langsung melalui media masa menyampaikan tuntutan
kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Di
sini peran dari sistem politik adalah untuk mengelola konflik yang muncul
dari adanya perbedaan tuntutan, melalui:
a. Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan
b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan
c. Memungkinkan terbentuknya konpromi di dalam kebijakan publik
d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.
Model teori kelompok sesungguhnya merupakan abstraksi dari proses
formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan
berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.
4. Model Elit (Elitte)
Model teori elit berkembang dari teori politik elit, massa yang
melandaskan diri pada asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat pasti
terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak
memiliki kekuasaan atau massa.
Teori ini menggambarkan diri kepada kenyataan bahwa sedemokratis
apapun, selalu ada bias di dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya
23
kebijakan-kebijakan yang di lahirkan merupakan referensi politik dari para
elite – tidak lebih. Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, yaitu penilaian
negatif dan positif.
Pada pandangan negatif dikemukakan bahwa pada akhirnya di dalam
sistem politik, pemegang kekuasaan politik lah yang akan menyelenggarakan
kekuasaan sesuai dengan selerah dan keinginannya. Dan pandangan positif
melihat bahwa seorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil
memenangkan gagasan membawa negara-negara ke kondisi yang lebih baik
dibandingkan dengan pesaingnya.
Kebijakan publik dalam model elite dapat dikemukakan sebagai
preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Teori model elite menyarankan
bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat
apatis atau miskin informasi. Dalam model elite lebih banyak mencerminkan
kepentingan dan nilai-nilai elite dibandingkan dengan memperhatikan
tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Sehingga perubahan kebijakan publik
hanyalah dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilainilai elite tersebut yang dilakukan oleh elite itu sendiri.
Gambar di bawah ini merupakan model teori elit, di mana tampak
bahwa elit secara top down membuat kebijakan publik untuk di
implementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau massa.
Pendekatan ini dapat dikaitkan dengan paradigma pemisahan antara politik
dengan administrasi publik yang diikonkan dalam konstanta where politics
and,administrations begin
adi model elite merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan di
mana kebijakan publik merupakan harapan elite politik. Prinsip dasarnya
adalah karena setiap elite politik ingin mempertahankan status quo maka
kebijakannya menjadi bersifat konsevatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh para elite politik tidaklah berarti selalu mementingkan kepentingan
masyarakat, ini adalah kelemahan-kelemahan dari model elite.
5. Model Rasional (Rational)
Dalam teori ini gagasan yang dikedepankan adalah kebijakan publik
sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus memilih kebijakan yang memberi manfaat optimum bagi
masyarakat. Tidak dipungkiri, model ini adalah model yang paling banyak
diikuti dalam praktek formulasi kebijakan publik di seluruh dunia.
Elit
Administratur
Massa
Arah Kebijakan
Eksekusi Kebijakan
25
Model ini mengatakan bahwa proses formulasi kebijakan haruslah
didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya.
Dengan kata lain, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek
ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan (Winarno,
2002:75):
a. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya
b. Menemukan plihan-pilihan
c. Menilai konsekuensi masing-masing pilihan
d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.
Apabila dirunut, kebijakan ini merupakan model ideal dalam formulasi
kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan.
Studi-studi kebijakan biasanya memberikan fokus kepada tingkat efisiensi dan
keefektifan kebijakan.
6. Model Incremental
Model Inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap model
rasional. Dikatakannya, para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan
proses seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak
memiliki cukup waktu, intelektual maupun biaya, ada kekhawatiran muncul
dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat
sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus
dipertahankan, dan menghindari konflik (Winarno, 2002:77-78). Kebijakan
seperti ini dapat dilihat pada kebijakan pemerintah hari ini untuk mengambil
alih begitu saja kebijakan-kebijakan di masa lalu, seperti kebijakan
desentralisasi, kepartaian, rekapitalisasi kebijakan PPN dan lain-lain. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau
melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang
dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu:
a. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian
terhadap nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi
perumusan tujuan kebijakan
b. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak
diinginkan sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat
sebelumnya
c. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus
dipertahankan demi kepentingan tertentu
d. Menghindari konflik jika harus melakukan proses negoisasi yang
melelahkan bagi kebijakan baru.
7. Model Teori Permainan (Game Theory)
Model seperti ini biasanya di cap sebagai model konspiratif. Gagasan
pokok dari kebijakan dalam model permainan adalah, pertama formulasi
kebijakan berada di dalam situasi kompetisi yang instensif, kedua, para aktor
berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan
situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independent. Sama seperti
permainan catur, setiap langkah akan bertemu dengan kombinasi langkah
lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas.
Inti dari teori permainan yang terpenting adalah untuk mengakomodasi
kenyataan paling riil, bahwa setiap negara, setiap pemerintah, setiap
masyarakat tidak hidup dalam vakum. Ketika kita mengambil keputusan,
maka lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang bisa
menurunkan keefektifan keputusan kita. Di sini teori permainan memberikan
konstribusi yang paling optimal.
8. Model Pilihan Publik (Public Choice)
Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi
keputusan kolektif dari individu-individu yang bekepentingan atas keputusan
tersebut. Akar kebijakan ini sendiri berekar dari teori ekonomi pilihan
publik (Economic of public choise) yang mengandaikan bahwa manusia
adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus
dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand.
Pada initinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah
harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (benifisiaris atau
customer dalam konsep bisnis). Proses formulasi kebijakan publik dengan
demikian melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara
umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis
karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkonstribusikan
pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah
pemikiran yang dilandasi gagas Jhon Locke bahwa, pemerintah adalah sebuah
lembaga yang muncul dari kontrak sosial diantara individu-individu warga
masyarakat.
9. Model Sistem (System)
Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen: input, proses, dan output.
Kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakantindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan
perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah. Formulasi
kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan
merupakan hasil atau output dari sistem (politik).