Tampilkan postingan dengan label kebijakan publik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebijakan publik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Maret 2020

model formulasi kebijakan (skripsi dan tesis)

Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan publik. Perumusan kebijakan tidak selamanya akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan perundang-undangan. Seringkali pembuat kebijakan memutuskan untuk tidak mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan membiarkannya selesai sendiri. Atau seringkali pembuat kebijakan tidak berhasil mencapai kata sepakat mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu masalah tertentu (Rusli, 2013:72). Model perumusan kebijakan publik merupakan pengambilan keputusan dari berbagai alternatif. Dalam pengambilan keputusan biasanya mempertimbangkan anatara untung rugi dan keefisiennya suatu kebijakan (model rasional kompreherensif). Dalam model perumusan kebijakan publik dalam proses ini factor aktor akan melakukan pendefinisian suatu masalah (input) kemudian di konvertasi untuk dibuat kebijakan yang pas dan hasil dari input dan konversi adalah output yang berupa kebijakan. Namun dalam prosis input koversi dan output faktor lingkungan sebagai penerima kebijakan berpengaruh cukup besar. Karena nantinya setelah kebijkan dibuat dan ditolak oleh lingkungan penerima  kebijakan maka akan diproses kembali untuk dibuat model kebijakan yang baru, yang sesuai dengan lingkungan penerima kebijakan. 
Di lingkungan para pembelajar perumusan kebijakan publik terdapat sejumlah model. Dye (1992:20) merumuskan model-model secara lengkap dalam sembilan model formulasi kebijakan yaitu : 
1. Model Kelembagaan (Institutional) Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi apapun yang dibuat pemerintah dengan cara apa pun adalah kebijakan publik. Ini adalah model yang paling sempit dan sederhana di dalam formulasi kebijakan publik. Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, di setiap sektor dan tingkat, di dalam formulasi kebijakan. Disebutkan Dye, ada tiga hal yang membenarkan pendekatan ini, yaitu pemerintah memang sah membuat kebijakan publik, fungsi bersifat universal, dan memang pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama. Pendekatan kelembagaan (institutionalism) merupakan salah satu perhatian ilmu politik yang tertua. Kehidupan politik umumnya berkisar pada lembaga pemerintah seperti: legislatif, eksekutif, pengadilan dan partai politik; lebih jauh lagi kebijakan publik awalnya berdasarkan kewenangannya ditentukan dan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah. Tidak mengherankan kemudian bila ilmuan politik banyak mencurahkan perhatian pada pendekatan ini. Secara tradisional pendekatan kelembagaan menitikberatkan pada penjelasan lembaga pemerintah dengan aspek yang lebih formal dan legal yang meliputi organisasi formal, kekuasaan legal, aturan prosedural, dan fungsi atau aktivitasnya. Hubungan formal dengan lembaga lainnya juga menjadi titik berat dari pendekatan kelembagaan. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terabaikannya masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu diterapkan. Dalam model kelembagaan, kebijakan dianggap sebagai hasil dari lembaga-lembaga pemerintah (parlemen, kepresidenan, kehakiman, pemerintah daerah dan sebagainya) yang meliputi proses-proses perumusan, pelaksanaan dan pemaksaan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Karakteristik kebijakan model kelembagaan ini meliputi: a. Pemerintah memebrikan lgitimasi terhadap kebijaksanaan yang akan ditempuhnya, sedangkan rakyat sebagai penerima kebijakan tersebut b. Pemerintah melaksanakan kebijakannya secara universal dan tidak ada seorangpun yang bisa menghindar c. Hanya pemerintah yang berhak memaksakan pelaksanaan kebijakan kepada masyarakat. 
2. Model Proses (Process) Di dalam model ini, para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Model ini memberitahukan kepada kita bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun kurang memberikan tekanan kepada substansi seperti apa yang harus ada. Misalnya mulai dari : a. Proses identifikasi permasalahan b. Menata agenda formulasi kebijakan c. Perumusan proposal d. Legitimasi kebijakan e. Implementasi kebijakan f. Evaluasi kebijakan. 
 3. Model Kelompok (Group) Model pengambilan kebijakan dalam teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya adalah interaksi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah yang terbaik. Di sini individu di dalam kelompokkelompok kepentingan berinteraksi secara formal dan informal, secara langsung atau tidak langsung melalui media masa menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Di sini peran dari sistem politik adalah untuk mengelola konflik yang muncul dari adanya perbedaan tuntutan, melalui: a. Merumuskan aturan main antar kelompok kepentingan b. Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan c. Memungkinkan terbentuknya konpromi di dalam kebijakan publik d. Memperkuat kompromi-kompromi tersebut. Model teori kelompok sesungguhnya merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. 
4. Model Elit (Elitte) Model teori elit berkembang dari teori politik elit, massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa di dalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan atau elite dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini menggambarkan diri kepada kenyataan bahwa sedemokratis apapun, selalu ada bias di dalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya 23 kebijakan-kebijakan yang di lahirkan merupakan referensi politik dari para elite – tidak lebih. Ada dua penilaian dalam pendekatan ini, yaitu penilaian negatif dan positif. Pada pandangan negatif dikemukakan bahwa pada akhirnya di dalam sistem politik, pemegang kekuasaan politik lah yang akan menyelenggarakan kekuasaan sesuai dengan selerah dan keinginannya. Dan pandangan positif melihat bahwa seorang elit menduduki puncak kekuasaan karena berhasil memenangkan gagasan membawa negara-negara ke kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Kebijakan publik dalam model elite dapat dikemukakan sebagai preferensi dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Teori model elite menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat apatis atau miskin informasi. Dalam model elite lebih banyak mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai elite dibandingkan dengan memperhatikan tuntutan-tuntutan rakyat banyak. Sehingga perubahan kebijakan publik hanyalah dimungkinkan sebagai suatu hasil dari merumuskan kembali nilainilai elite tersebut yang dilakukan oleh elite itu sendiri. Gambar di bawah ini merupakan model teori elit, di mana tampak bahwa elit secara top down membuat kebijakan publik untuk di implementasikan oleh administrator publik kepada rakyat banyak atau massa. Pendekatan ini dapat dikaitkan dengan paradigma pemisahan antara politik dengan administrasi publik yang diikonkan dalam konstanta where politics and,administrations begin
adi model elite merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan di mana kebijakan publik merupakan harapan elite politik. Prinsip dasarnya adalah karena setiap elite politik ingin mempertahankan status quo maka kebijakannya menjadi bersifat konsevatif. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elite politik tidaklah berarti selalu mementingkan kepentingan masyarakat, ini adalah kelemahan-kelemahan dari model elite. 5. Model Rasional (Rational) Dalam teori ini gagasan yang dikedepankan adalah kebijakan publik sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberi manfaat optimum bagi masyarakat. Tidak dipungkiri, model ini adalah model yang paling banyak diikuti dalam praktek formulasi kebijakan publik di seluruh dunia. Elit Administratur Massa Arah Kebijakan Eksekusi Kebijakan 25 Model ini mengatakan bahwa proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Dengan kata lain, model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis. Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan (Winarno, 2002:75): a. Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya b. Menemukan plihan-pilihan c. Menilai konsekuensi masing-masing pilihan d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. Apabila dirunut, kebijakan ini merupakan model ideal dalam formulasi kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Studi-studi kebijakan biasanya memberikan fokus kepada tingkat efisiensi dan keefektifan kebijakan. 6. Model Incremental Model Inkrementalis pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional. Dikatakannya, para pembuat kebijakan tidak pernah melakukan proses seperti yang disyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki cukup waktu, intelektual maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan, dan menghindari konflik (Winarno, 2002:77-78). Kebijakan seperti ini dapat dilihat pada kebijakan pemerintah hari ini untuk mengambil alih begitu saja kebijakan-kebijakan di masa lalu, seperti kebijakan desentralisasi, kepartaian, rekapitalisasi kebijakan PPN dan lain-lain. Pada model ini para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya. karena beberapa alasan, yaitu: a. Tidak punya waktu, intelektualitas, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai-nilai sosial masyarakat yang merupakan landasan bagi perumusan tujuan kebijakan b. Adanya kekhawatiran tentang bakal munculnya dampak yang tidak diinginkan sebagai akibat dari kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya c. Adanya hasil-hasil program dari kebijakan sebelumnya yang harus dipertahankan demi kepentingan tertentu d. Menghindari konflik jika harus melakukan proses negoisasi yang melelahkan bagi kebijakan baru.
 7. Model Teori Permainan (Game Theory) Model seperti ini biasanya di cap sebagai model konspiratif. Gagasan pokok dari kebijakan dalam model permainan adalah, pertama formulasi kebijakan berada di dalam situasi kompetisi yang instensif, kedua, para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independent. Sama seperti permainan catur, setiap langkah akan bertemu dengan kombinasi langkah lanjut dan langkah balasan yang masing-masing relatif bebas. Inti dari teori permainan yang terpenting adalah untuk mengakomodasi kenyataan paling riil, bahwa setiap negara, setiap pemerintah, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum. Ketika kita mengambil keputusan, maka lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang bisa menurunkan keefektifan keputusan kita. Di sini teori permainan memberikan konstribusi yang paling optimal. 
 8. Model Pilihan Publik (Public Choice) Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang bekepentingan atas keputusan tersebut. Akar kebijakan ini sendiri berekar dari teori ekonomi pilihan publik (Economic of public choise) yang mengandaikan bahwa manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand. Pada initinya, setiap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (benifisiaris atau customer dalam konsep bisnis). Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan publik yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkonstribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Sebuah pemikiran yang dilandasi gagas Jhon Locke bahwa, pemerintah adalah sebuah lembaga yang muncul dari kontrak sosial diantara individu-individu warga masyarakat. 
9. Model Sistem (System) Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen: input, proses, dan output. Kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakantindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah. Formulasi kebijakan publik dengan model sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik).

E-Procurement (Skripsi dan tesis)

E-procurement adalah sebuah konsep pengadaan barang/ jasa pemerintah yang dilakukan dengan pemanfaatan teknologi secara elektronik demi memudahkan proses transaksi agar terciptanya pelayanan Publik yang lebih maksimal. Pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, e-tendering merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem elektronik dengan cara menyampaikan satu kali penawaran sampai dengan waktu yang telah ditentukan. Kedua, e-Purchasing merupakan tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik.
Adapun yang meliputi pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik adalah sebagai berikut  : a) Pengadaan Barang meliputi, namun tidak terbatas pada: 1. Bahan baku; 2. Barang setengah jadi; 3. Barang jadi/peralatan; 4. Mahluk hidup. b) Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Pekerjaan Konstruksi adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pelaksanaan konstruksi bangunan atau pembuatan wujud fisik lainnya. Yang dimaksud dengan pelaksanaan konstruksi bangunan, meliPuti keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan, masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan. 
Yang dimaksud dengan pembuatan wujud fisik lainnya, meliPuti keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan pelaksanaan yang mencakup pekerjaan untuk mewujudkan selain bangunan antara lain, namun tidak terbatas pada: 1. Konstruksi bangunan kapal, pesawat atau kendaraan temPur; 2. Pekerjaan yang berhubungan dengan persiapan lahan, penggalian dan/atau penataan lahan (landscaping); 3. Perakitan atau instalasi komponen pabrikasi; 4. Penghancuran (demolition) dan pembersihan (removal); Reboisasi. c) Pengadaan Jasa Konsultasi Pengadaan Jasa Konsultansi meliPuti, namun tidak terbatas pada: 1. Jasa rekayasa (engineering); 2. jasa perencanaan (planning), perancangan (design) dan pengawasan (supervision) untuk pekerjaan konstruksi; 3. Jasa perencanaan (planning), perancangan (design) dan pengawasan (supervision) untuk pekerjaan selain pekerjaan konstruksi, seperti transportasi, pendidikan, kesehatan, kehutanan, perikanan, kelautan, lingkungan hidup, kedirgantaraan, pengembangan usaha, perdagangan, pengembangan sdm, pariwisata, pos dan telekomunikasi, pertanian, perindustrian,pertambangan, energi; 4. jasa keahlian profesi, seperti jasa penasehatan, jasa penilaian, jasa pendampingan, bantuan teknis, konsultan manajemen, konsultan 5. Hukum. d) Pengadaan Jasa lainnya Pengadaan Jasa Lainnya meliputi, namun tidak terbatas pada: 1. Jasa boga (catering service); 2. Jasa layanan kebersihan (cleaning service); 3. Jasa penyedia tenaga kerja; 4. Jasa asuransi, perbankan dan keuangan; 5. Jasa layanan kesehatan, pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, kependudukan; 6. Jasa penerangan, iklan/ reklame, film, pemotretan; 7. jasa percetakan dan penjilidan; 8. Jasa pemeliharaan/perbaikan; 9. Jasa pembersihan, pengendalian hama (pest control) dan fumigasi; 10. Jasa pengepakan, pengangkutan, pengurusan dan penyampaian barang; 11. Jasa penjahitan/konveksi; 12. Jasa impor/ekspor;  13. Jasa penulisan dan penerjemahan; 14. Jasa penyewaan; 15. Jasa penyelaman; 16. Jasa akomodasi; 17. Jasa angkutan penumpang; 18. Jasa pelaksanaan transaksi instrumen keuangan; 19. Jasa penyelenggaraan acara (event organizer); 20. jasa pengamanan; 21. Jasa layanan internet; 22. Jasa pos dan telekomunikasi; 23. Jasa pengelolaan aset. Dalam pengadaan barang/ jasa pemerintah perlu diterapkannya prinsip – prinsip agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses Pengadaan Barang/Jasa karena hasilnya dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan. AdaPun prinsip – prinsip dalam pengadaan barang/ jasa menurut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah adalah sebagai berikut : a) Efisien, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum. b) Efektif, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesarbesarnya.Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barang/Jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya. d) Terbuka, berarti Pengadaan Barang/Jasa dapat diikuti oleh semua Penyedia Barang/Jasa yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas. e) Bersaing, berarti Pengadaan Barang/Jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barang/Jasa yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam Pengadaan Barang/Jasa. f) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. g) Akuntabel, berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan

E-Government (Skripsi dan tesis)

 E-Government adalah aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam dan dengan pihak luar yang diharapkan mamPu meningkatkan performance pemerintahan dan memenuhi ekspektasi masyarakat akan peningkatan kualitas pemerintah. E-Government merupakan sekumPulan konsep untuk semua tindakan dalam sektor Publik yang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengoptimalisasi proses pelayanan Publik yang efisien, transparan dan efektif.16 Pengembangan e-government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan Publik secara efektif dan efisien. 
Melalui pengembangan e-government dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalisasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup 2 (dua) aktivitas yang berkaitan yaitu Pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis, Pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan Publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Adapun sejarah munculnya e-Government terdiri dari tiga penyebab. Pertama, era globalisasi yang datang lebih cepat sehingga emajuan teknologi informasi (komPuter dan telekomunikasi) terjadi sedemikian pesatnya sehingga data, informasi dan pengetahuan dapat diciptakan dengan teramat sangat cepat dan dapat segera disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat di berbagai belahan di dunia dalam hitungan detik. Kedua, meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat di dunia tidak terlepas dari semakin membaiknya kinerja industri swasta dalam melakukan kegiatan ekonominya. Ketiga, kedekatan antara masyarakat (sebagai pelanggan) dengan pelaku ekonomi telah membuat terbentuknya sebuah standar pelayanan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Ketiga aspek di atas menyebabkan terjadinya tekanan dari masyarakat yang menginginkan pemerintah memperbaiki kinerjanya secara signifikan dengan cara memanfaatkan berbagai teknologi informasi yang ada

Pelayanan Publik (skripsi dan tesis)

 Pelayanan Publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan Universitas Sumatera Utara 16 16 haknya.12 Pelayanan Publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di daerah dan lingkungan BUMN/D dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat mauPun dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan.13 Pelayanan Publik meliputi pelayanan barang Publik, pelayanan jasa Publik dan pelayanan administratif. Adapun asas-asas dalam pelayanan Publik, yaitu kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu dan kecepatan, kemudahan serta keterjangkauan

Teori George C. Edward III (1980) (skripsi dan tesis)


 Menurut George Edward III, terdapat empat faktor atau variabel dalam implementasi kebijakan publik, yaitu : 
1. Komunikasi Variabel utama dalam implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa pembuat keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusankeputusan harus diteruskan kepada implementor secara tepat, selain itu komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat.
 2. Sumber Daya
 Sumber daya adalah faktor yang paling penting dalam implementasi kebijakan agar berjalan secara efektif. Sumber daya itu dapat berupa sumber daya manusia, sumber daya finansial dan sumber daya fasilitas pendukung. Tanpa adanya sumber daya, maka kebijakan yang telah dibuat tidak dapat diimplementasikan. Adapun indikator dari sumber daya adalah sebagai berikut : 
a) Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan implementor dari sebuah kebijakan, sehingga berhasil ataupun tidaknya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh staff atau pegwainya. Apabila sumber daya manusianya cukup memadai dan kompeten dalam bidangnya, maka implementasi kebijakan publik dapat berjalan secara efektif. 
b) Sumber Daya Finansial Sumber daya finansial adalah kecukupan modal yang dimiliki dalam menjalankan sebuah kebijakan publik, sumber daya finansial juga akan mendukung segala fasilitas yang dibutuhkan untuk terlaksananya kebijakan publik.
 c) Sumber Daya Fasilitas Pendukung Fasilitas pendukung merupakan fasilitas fisik yang sangat penting dalam implementasi teknis sebuah kebijakan publik. Apabila sumber daya manusia sudah memadai, namun tanpa adanya fasilitas pendukung yang memadai (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tidak akan berjalan secara maksimal. 
3. Disposisi 
 Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor dalam implementasi sebuah kebijakan. Apabila disposisi implementor baik, maka ia akan dapat mengimplementasikan kebijakan seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki difat dan pandangan yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga akan terhambat. 4. Struktur Birokrasi Struktur birokrasi yang dalam implementasi kebijakn publik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan publik. Ada dua karakteristik utama struktur birokrasi, yaitu SOP dan penyebaran tugas antar implementor

proses kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Adapun proses kebijakan Publik menurut James E. Anderson adalah sebagai berikut : 
1. Identifikasi Masalah dan Agenda Setting Fokus pada tahap ini adalah bagaimana masalah – masalah bisa dijadikan sebagai kebijakan Publik yang dispesifikasikan dan diidentifikasikan. Mengapa hanya beberapa masalah dari semua yang ada, yang dapat menerima pertimbangan oleh pembuat kebijakan yang membutuhkan sebuah pemeriksaan dari agenda setting. Hal ini mengenai bagaimana badan – badan pemerintah memutuskan masalah apa yang layak. Apakah sebuah kebijakan Publik, mengapa hanya beberapa ? Keadaan atau persoalan apa yang bisa menjadi masalah Publik ? Bagaimana masalah bisa menjadi agenda pemerintahan ? Mengaapa beberapa masalah tidak berhasil menjadi agenda kebijakan ? 
2. Formulasi Hal ini meliPuti berbagai macam tindakan berupa pembuatan dan pengidentifikasian, seringkali disebut pilihan untuk memecahkan atau memperbaiki masalah Publik. Siapa yang ikut serta dalam perumusan kebijakan ? Bagiamana pilihan untuk menghadapi sebuah masalah pembangunan? Adakah kesulitan dan penyimpangan dalam usulan perumusan kebijakan ?
 3. Adopsi Tahap ini tentang memutuskan pilihan yang dimaksud, termasuk tidak mengambil tindakan yang digunakan untuk mengatasi masalah. Di Badan Legislatif Amerika fungsi ini dilakukan oleh sebagian besar/ kaum mayoritas.yang harus dipenuhi ? Apa isi dari kebijakan yang ditetapkan ? 
4. Implementasi/ Pelaksanaan Pada tahap ini, perhatiannya pada apa yang terselesaikan untuk melaksanakan atau menerapkan kebijakan yang telah ditetapkan. Seringkali pembangunan lebih lanjut atau pengembangan kebijakan akan menjadi bagian dari pelaksanaan mereka. Siapa yang dilibatkan ? Apakah sesuatu hal sudah terlaksana sesuai kebijakan yang diselenggarakan atau ditetapkan ? Bagiamana bentuk bantuan pelaksanaan atau menentukan isi dari kebijakan ? 
5. Evaluasi Kegiatan ini memerlukan maksud untuk menentukan apakah sebuah kebijakan terpenuhi, apakah kebijakan tersebut memiliki akibat yang lain ? Siapakah yang dilibatkan ? Siapakah yang diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan ? Apakah akibat dari evaluasi kebijakan ? Apakah ada permintaan untuk perubahan atau pencabutan kebijakan ? Apakah terdapat permasalahan baru yang teridentifikasikan ? Apakah proses kebijakan diulangi kembali karena evaluasi 

Konsep Kebijakan Publik (Skripsi dan tesis)

 Thomas R. Dye memberikan pengertian dasar mengenai kebijakan Publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan Easton memberikan pengertian kebijakan Publik sebagai pengalokasian nilai – nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannnya mengikat, sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai – nilai kepada masyarakat.
 Menurut Woll, Kebijakan Publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memcahkan masalah di masyarakat baik secara langsung mauPun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sedangkan James E. Anderson memberikan definisi kebijakan Publik sebagai kebijakan – kebijakan yang dibangun oleh badan – badan dan pejabat – pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah : 1) kebijakan Publik selalu memPunyai tujuan tertentu atau memPunyai tindakan – tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan Publik berisi tindakan pemerintah; 3) kebijakan Publik merupakan apa yang benar – benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan Publik yang diambil bisa ersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan kePutusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak – tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. 
 Berdasarkan pengertian dari beberapa para ahli diatas, dapat disimPulkan bahwa pada dasarnya kebijakan Publik adalah segala sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah Publik demi kepentingan masyarakat yang bersifat mengikat dan memaksa.

Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

 Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, di mana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan (Agustino 2008). Ada tiga hal penting dari pengertian implementasi kebijakan, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan. Fokus analisis implementasi kebijakan berkisar pada masalah-masalah pencapaian tujuan formal yang telah ditentukan. Fokus tersebut membawa konsekuensi pada perhatian terhadap aspek organisasi atau birokrasi sebagai ukuran efesiensi dan efektivitas pelaksanaan kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan, karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan kebijakan. Pemahaman mengenai implementasi kebijakan publik, tidak hanya menyoroti perilaku lembaga-lembaga administrasi atau badan-badan yang bertanggungjawab atas suatu program tetapi perlu memperhatikan secara cermat berbagai jaringan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat program dan yang pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun tidak diharapkan dari suatu program.
Baginski dan Soussan (2002) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan merupakan bagian dari proses pembuatan kebijakan, bukan merupakan kegiatan yang terpisah. Hal ini dapat terwujud apabila hasil kebijakan dilakukan komunikasi dan desiminasi serta adanya interpretasi kebijakan yang sama dari berbagai pihak yang terlibat di tingkat pelaksana. Program-program atau kegiatan sebagai perwujudan implementasi suatu kebijakan perlu dilakukan untuk mencapai tujuan kebijakan dan dampak yang diharapkan. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam implementasi kebijakan yaitu pendekatan top down dan pendekatan button up (Agustino 2008). Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa keputusan-keputusan politik yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan di tingkat pusat dilaksanakan oleh birokrat pada level bawahnya. Pendekatan button up adalah model implementasi kebijakan di mana formulasi kebijakan berada di tingkat warga, sehingga lebih memahami dan menganalisis kebijakan-kebijakan yang cocok dengan sumberdaya daerahnya, sistem sosio-kultur yang ada agar kebijakam tersebut tidak kontradiktif. Semua kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengawasi perilaku manusia untuk suatu tujuan tertentu. Apabila kebijakan tersebut tidak dapat merubah perilaku manusia atau tidak mematuhi kebijakan yang ditentukan, maka kebijakan tersebut dikatakan tidak efektif. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan, antara lain: a. Faktor penentu pemenuhan kebijakan 1. Respek anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah 2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan 3. Adanya sanksi hukum 4. Adanya kepentingan publik 5. Adanya kepentingan pribadi 6. Masalah waktu b. Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan 1. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada 2. Tidak adanya kepastian hukum 3. Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi 4. Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum. 

Proses Pembuatan Kebijakan (skripsi dan tesis)

Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik. Proses ini dapat divisualisasikan sebagai proses pembuatan kebijakan, yang memiliki lima tahap penting yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Dunn 2004)Perhatian yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan adalah proses perumusan masalah publik pada tahapan penyusunan agenda publik. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai. Perumusan masalah menurut Dunn (2004) akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis masalah publik, memetakan tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yangberseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan baru. Lebih lanjut dikatakan, dalam perumusan masalah terdapat fase-fase yang harus dilakukan secara hati-hati yaitu pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem defenision), spesifikasi masalah (problem specification) dan pengenalan masalah (problem sensing). Hal terpenting lain dalam pembuatan kebijakan selain merumuskan masalah adalah menemukan masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat. Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatankesempatan yang tidak terealisir tetapi dapat dicapai melalui tindakan publik (Dunn 2004)
. Ciri-ciri yang menonjol dari masalah kebijakan sebagai berikut: a. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan, yang mengharuskan perlunya pendekatan yang holistic. b. Subyektifitas. Masalah merupakan elemen dari banyak situasi masalah yang diabstraksikan oleh analis. Hal yang sangat penting dalam analisis kebijakan yaitu membedakan situasi masalah dengan masalah kebijakan. c. Sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan sebenarnya adalah apa yang ada dalam masyarakat itu sendiri. d. Dinamika masalah kebijakan, menjelaskan bahwa solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang. Proses pembuatan kebijakan berhubungan dengan didapatkannya persetujuan dari alternatif kebijakan yang dipilih. Proses ini dapat dipelajari sebagai suatu proses individual atau kolektif. Ada beberapa kriteria yang dapat mempengaruhi pilihan kebijakan yang bersifat individual manakala hendak diputuskan yaitu nilai (sosial, ekonomi, religius, politik, dan lain-lain), afiliasi pada partai politik, kepentingan para pemilih (konstituen), pendapat publik, dan perbedaan (Agustino 2008). Untuk memahami formulasi kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye (1995) dalam Agustino (2008) setidaknya ada sembilan model formulasi kebijakan yang banyak digunakan selama ini oleh negara/lembaga/institusi dalam menetapkan keputusannya, yaitu: model sistem, model elite, model institusional, model kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan 23 publik, dan model teori permainan. Penjelasan dari beberapa model formulasi kebijakan tersebut, yaitu: a. Model proses: kebijakan publik sebagai suatu aktivitas yang menyertakan rangkaian-rangkaian kegiatan (yang berproses) yang berujung evaluasi kebijakan. b. Model rasional. Prinsip dasar dari model rasional adalah bagaimana keputusan yang diambil oleh pemerintah harus sudah diperhitungkan rasionalitas cost and benefits-nya bagi warga masyarakat. Tahapan yang harus dilakukan yaitu: (1) mengetahui pilihan-pilhan dan kecenderungan yang diinginkan warga; (2) menemukan pilihan-pilihan kebijakan yang mungkin untuk diimplementasikan; (3) menilai konsekuensi masing-masing dari pilihan kebijakan; (4) menilai perbandingan perhitungan keuntungankeuntungan dan kerugian-kerugian apabila kebijakan diimplementasikan; (5) memilih alternatif kebijakan yang efesien dan ekonomis. Model ini dikenal juga sebagai Model Rasional Komprehensif. c. Model inkremental, merupakan model formulasi yang “melanjutkan” atau “memodifikasi” kebijakan yang tengah berlangsung ataupun kebijakan yang telah lalu. Model ini disebut juga sebagai Model Praktis. d. Model pilihan publik menyatakan kebijakan yang dibuat pemerintah haruslah kebijakan yang memang berbasis pada publik, yang sesuai dengan konteks negara demokratis yang mengedepankan one man one vote. Kebijakan publik yang mayoritas merupakan rancang bangun teori kontrak sosial yang sangat tergantung pada preferensi publik atas pilihan-pilihan yang ada. e. Model teori permainan (game theory). Kebijakan publik berada pada kompetisi yang sempurna, sehingga pengaturan strategi kebijakan yang ditawarkan pada pengambil keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh para penentang. Tahapan dalam model teori permainan, pengaturan/pemilihan strategi menjadi hal yang paling utama. Grindle dan Thomas (1990) dalam Kartodihardjo (2008) dan Sutton (1999) menyatakan proses pembuatan kebijakan selama ini menggunakan pendekatan rasional atau linier yaitu: mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah, kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan kondisi harapan 24 yang diinginkan, merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah atau gap, memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi, memilih tindakan, pelaksanaan kebijakan, serta evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Asumsi yang digunakan dalam model linier adalah pembuat kebijakan melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui setiap tahapan proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang dimaksudkan, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau pengelolaan dalam implementasi kebijakan tersebut (Juma & Clark 1995 dalam Sutton 1999). Kegagalan dalam pelaksana kebijakan biasanya ditujukan pada lemahnya “political will”, keterbatasan sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), dan manajemen. Model pembuatan kebijakan menurut Sutton (1999) berdasarkan adanya berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu: a. Model tahap demi tahap (incremental model). Suatu kebijakan menetapkan isu sebagai alternatif yang dianggap kritis dan tidak ada perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya. b. Kebijakan sebagai argumen. Suatu kebijakan yang baru merupakan argumen, yang dikembangkan melalui perdebatan antara pemerintah dengan pihak lain. Pihak-pihak yang terlibat melakukan klaim dan justifikasi terhadap sesuatu dan pihak lain menanggapi secara kritis. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi ide menampilkan posisi politik dan fakta sosial dari berbagai pandangan dan ideologi. c. Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaharuan kebijakan memperhatikan perubahan sosial yang berjalan sebagai suatu trial dan error, melalui pembuktian sejumlah hipotesis yang diuji berdasarkan realitas. Model ini menggunakan pendekatan eksperimen ilmu-ilmu alam. d. Kebijakan sebagai proses belajar secara interaktif (interactive learning). Kebijakan ini berakar dari kritik kebijakan pembangunan top down, dimana 25 kebijakan dibuat berdasarkan perpektif aktor secara terbatas oleh individuindividu, lembaga atau kelompok sosial yang mengendalikan dan menjalankan sistem pemerintahan. Pendekatan ini mempromosikan interaksi antara para pembuat kebijakan dan para pihak yang langsung terkena dampak kebijakan. Contohnya pendekatan partisipatoty rural appraisal (PRA). IDS (2006) menjelaskan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Proses pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik dan bukan semata-mata masalah teknis, 2) Proses pembuatan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang) dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan, 3) Selalu diwarnai kepentingan yang tumpang tindih dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang terabaikan, 4) Keputusan tidak tersendiri dan mempertimbangkan hal teknis, tetapi nilai dan fakta sangat berperan penting, 5) Implementasi melibatkan pertimbangan dan negoisasi oleh pelaksana di tingkat lapangan, 6) Para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan. Penelitian yang dilakukan oleh IDS (2006) di beberapa negara menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan dalam prakteknya tidak mengikuti pendekatan rasional (non_linier) tersebut. Penetapan masalah serta solusi atas suatu fenomena tertentu seringkali melibatkan berbagai kepentingan, kerangka pikir (discourse/narrative) maupun aktor dan jaringan, sehingga tidak lagi dapat menggunakan kerangka pendekatan rasional. 
Studi kasus terhadap tiga perumusan kebijakan pemerintah di bidang kehutanan yang dilakukan Kartodihardjo (2008) menunjukkan hal yang sama bahwa para pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan menghadapi situasi ketidakpastian, berbagai skenario muncul dengan berbagai perspektif yang senantiasa bersaing satu sama lain. Proses pembuatan kebijakan tidak terlepas dari adanya narasi-narasi yang telah terbangun. Narasi dibangun sebagai upaya mengatasi adanya interaksi dan proses oleh orang banyak yang kompleks yang menjadi karakteristik situasi pembangunan. Kegiatan pembangunan mempunyai sifat ketidak-pastian. Birokrat dan para pembuat kebijakan mengartikulasikan ketidak-pastian tersebut dengan membuat narasi dan skenario melalui sejumlah penyederhanaan. Beberapa kasus  menunjukkan, narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi kebijakan (policy space) yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru. Diskursus berdasarkan pendekatan antropologi mempunyai peranan yang penting dalam proses pembuatan kebijakan. Diskursus sebagai cara berpikir dan menentukan argumentasi biasanya menyertakan politik dalam pemberian penamaan (misalnya perambah hutan, kapitalis, dll) dan pengklasifikasian yang secara tegas menolak cara berpikir yang lain. Berbeda dengan “narasi” sebagai cara pikir untuk ruang yang lebih spesifik, diskursus digunakan sebagai bentuk kerangka pikir yang lebih luas.

Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

Pemahaman dan penjelasan tentang proses pembuatan keputusan dilihat dengan beberapa pendekatan teoritis dalam sistem politik. Pendekatan teoritis sangat berguna untuk mempermudah cara berpikir kita dan memberikan saran yang mungkin bagi kegiatan politik atau khususnya dalam menganalisis masalah kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima macam pertanyaan: Apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang diharapkan? Jawaban terhadap pertanyaan di atas membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa-depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan (Dunn 2004). Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: definisi, prediksi, preskripsi,  deskripsi, dan evaluasi (Dunn 2004). Prosedur-prosedur dalam analisis kebijakan memperoleh nama-nama khusus yaitu: a. Perumusan masalah (definisi): menghasilkan informasi mengenai kondisikondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. b. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. c. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. d. Pemantauam (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. e. Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah

Lingkungan Publik (skripsi dan tesis)

Lingkungan kebijakan publik yaitu konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekelilig isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik (Dunn 2004). Kebijakan publik akan dibentuk dan membentuk lingkungan sekitarnya (sosial, politik, ekonomi maupun budaya). Suatu keadaan akan terjadi di mana kebijakan menyalurkan masukannya pada lingkungan sekitarnya, namun pada saat yang sama atau yang lain, lingkungan sekitar membatasi dan memaksakan pada perilaku yang harus dikerjakan oleh para pengambil keputusan/kebijakan. Artinya, interaksi antara lingkungan  kebijakan dan kegiatan kebijakan publik memiliki hubungan yang saling berpengaruh. Pemahaman lingkungan kebijakan yang spesifik perlu ditingkatkan dengan pemaknaan yang plural, dalam tiga ketegori luas yaitu:
 a. Lingkungan umum di luar pemerintahan dalam arti pola-pola yang melibatkan faktor-faktor sosial ekonomi, politik dan nilai-nilai tertentu 
b. Lingkungan di dalam pemerintahan dalam arti institusional, seperti karakteristik birokrasi, sumberdaya yang dimiliki, sumberdaya finansial yang tersedia, dan sebagainya.
 c. Lingkungan khusus yang mempengaruhi kebijakan. Beberapa bentuk lingkungan yang mempengaruhi dapat dilihat dari sisi formulasi, implementasi, hingga evaluasi bahkan perubahan kebijakan publik seperti karakteristik geografis (sumber-sumber alam, iklim, topografi), variabel demografi (populasi masyarakat, persebaran usia, lokasi), budaya politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi. Negara lain juga menjadi penting dalam struktur lingkungan kebijakan khususnya berkaitan dengan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri. Khusus untuk ilmuwan/studi kebijakan publik dan ilmuwan politik, lebih menitikberatkan pada pembahasan variabel kondisi budaya politik dan variabel sosial ekonomi.
 Kedua variabel di atas menjadi hal penting untuk memahami pengaruhnya terhadap kebijakan yang terjadi.
 a. Kondisi dan Budaya Politik Setiap masyarakat mempunyai kebiasaan, tradisi, dan budaya yang membedakan nilai serta perilaku anggota masyarakat dari yang lain. Budaya masyarakat pada umumnya dapat membentuk budaya politik, yang secara luas memberikan nilai, kepercayaan, dan sikap mengenai apa yang yang harus dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana mereka harus menjalankan, serta hubungan antara warga negara dan pemerintah. Yang menjadi perhatian dalam budaya politik suatu negara adalah bagaimana suatu kebijakan publik diformulasi dan implementasikan dengan mengkaji kondisi dan budaya politik yang terjadi. 
 b. Kondisi Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi sangat sulit dipisahkan dalam proses formulasi kebijakan publik. Tingkat masyarakat dalam perkembangan ekonomi akan menentukan batasan yang dapat dikerjakan pemerintah dalam menyediakan barang-barang dan pelayanan publik kepada masyarakat. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap apa yang dikerjakan pemerintah dalam program kesejahteraan adalah sumber-sumber ekonomi yang dipakai. 
Penelitian yang dilakukan Thomas R. Dye (1966) dengan mengikutsertakan analisis statistik mengenai output kebijakan di 50 negara, menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi (dengan variabel: pendapatan perkapita, persentasi populasi urban, tingkat rata-rata pendidikan dan pekerjaan industri) mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kebijakan negara dalam hal pendidikan, kesejahteraan, jalan raya dan peraturan publik). Sedangkan variabel politik (partisipasi pemberi suara, persaingan antar partai, kekuatan partai politik dan pembagian legislatif) hanya mempunyai hubungan yang lemah (Agustino 2008). 

Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan (Skripsi dan tesis)

Pelaku kebijakan adalah para individu atau kelompok yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Para pelaku kebijakan antara lain kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, dan para analis kebijakan (Dunn 2004). Pejabat pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik, walau dalam kenyataannya beberapa orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak dikendalikan oleh orang lain, seperti pimpinan partai politik atau kelompok penekan (Agustino 2008). Yang termasuk dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah legislatif, eksekutif, administrator, dan para hakim (Agustino 2008). Masing-masing mempunyai tugas dalam pembuatan kebijakan yang relatif berbeda dengan lembaga lainnya. Selain lembaga-lembaga tersebut di atas yang secara formal membuat kebijakan publik, masih ada elemen lain yang berpartisipasi dalam proses kebijakan di antaranya kelompok kepentingan, partai politik, dan warganegara secara pribadi. Kelompok di atas dikenal sebagai partisipan nonpemerintah karena bagaimanapun elemen ini dianggap penting atau dominan dalam situasi yang berlainan, walau pada dasarnya kelompok ini tidak memiliki wewenang yang sah untuk membuat kebijakan. 

Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

 Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn 2004). Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh „otoritas” dalam sistem politik yaitu para Pelaku Publik Lingkungan Publik Kebijakan Publik 15 senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965 dalam Agustino 2008). Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis (Wahab 2008). Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah: 
a. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal.
 b. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata rantai berkesinambungan.
 c. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.
 d. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang hampir mungkin menjadi mungkin.
 e. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat. Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan. Pada prinsipnya ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh karena itu perlu adanya ukuran efektifitas dari kebijakan itu. 
Yang diperlukan dalam pengukuran efektifitas suatu kebijakan adalah: 
a. Efesien, artinya kebijakan harus dapat meningkatkan efesiensi kondisi sekarang dibanding kondisi yang lalu. 
b. Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. 
c. Insentif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan. 
d. Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan hukum. Kebijakan tidak akan berjalan efektif apabila kondisi penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement). 
e. Public acceptability, artinya dapat diterima oleh masyarakat. 
f. Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan etika. Beberapa pokok pikiran yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan kebijakan kehutanan dapat dirumuskan sebagai berikut: 
a. Mengembangkan iklim berusaha serta kehidupan bermasyarakat yang memperhatikan dan peduli terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
 Langkah ini sangat jelas berhubungan dengan insentif dan disentif ekonomi, peran serta masyarakat dan penegakan hukum dalam rangkaian kebijakan tataguna lahan serta pengelolaan sumberdaya alam, kehutanan, dan daerah aliran sungai. Alokasi lahan yang secara de facto mengakui tanah adat dan lahan masyarakat harus ditegakkan. 
b. Kepedulian dan sense of possession dari masyarakat terhadap situasi negatif, akan tumbuh jika terdapat pengakuan masyarakat. Demikian pula, luas unit usaha dalam kebijakan tataguna lahan harus disesuaikan dengan resiko yang terjadi dan degradasi sumberdaya alam lainnya. Sistem insentif dan disentif bagi pengelola hutan harus ditegakkan, sehingga apabila terjadi kerusakan lahan, para pemilik konsesi dan masyarakat ikut merasakan dan bertanggungjawab.
c. Memperbaiki penegakan hukum dan kebijakan di tingkat pemerintah daerah dan pusat. Disamping itu, masyarakat adat dan masyarakat lainnya harus secara luas dapat melakukan kontrol (dan penuntutan hukum) atas kelalaian pemerintah dalam penanggulangan bencana sumberdaya alam dan kehutanan serta degradasi alam lainnya.
 d. Meningkatkan porsi dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam berbagai urusan yang berhubungan dengan perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan kehutanan. Hal ini sebenarnya sangat relevan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang saat ini sedang digalakkan, walaupun kita tidak harus berharap banyak terhadap paket kebijakan desentralisasi, karena kemungkinan untuk 17 terjadinya kesalahan pengelolaan (mismanajemen), masih cukup besar sehingga tragedi lama mungkin terjadi (Arifin 2001).

Analisis Kebijakan (skripsi dan tesis)

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented), sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan (Suharto 2006). Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Dunn 2004). Lebih lanjut Dunn (2004) menyatakan analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan dan dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan kebijakan tentang proses pembuatan kebijakan dilakukan dengan menganalisis tentang sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Hal ini dapat tercapai jika pengetahuan tentang kebijakan dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota-anggota badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan publik, dapat menggunakan hasil-hasil analisis kebijakan untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Efektifitas pembuatan kebijakan tergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang tersedia, komunikasi, dan penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali dalam praktek dan teori pembuatan kebijakan publik. Analisis kebijakan lebih fokus kepada bagaimana pengambil keputusan mendapatkan sejumlah alternatif kebijakan yang terbaik, sekaligus alternatif yang terpilih sebagai rekomendasi dari analisis kebijakan atau tim analisis kebijakan. Peran analisis kebijakan adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan. Analisis kebijakan adalah salah satu di antara sejumlah banyak faktor dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola  institusional di mana kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara 3 unsur yaitu: kebijakan publik, pelaku publik dan lingkungan publik. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Berikut tiga unsur dalam sistem kebijakan. 

Pemberdayaan Masyarakat (skripsi dan tesis)

Pada dasarnya, pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk mengatasi tantangan pembangunan yang mengakibatkan makin lebarnya jurang kesenjangan dan ketidakseimbangan dalam kemampuan serta kesempatan untuk mendapatkan peluang dan sumber daya yang ada. Dalam upaya mengatasi tantangan itu, diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat. Agar upaya proses pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan strategi untuk memberdayakan masyarakat yang menurut Kartasasmita (1996), dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu:
 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memugkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kondisi ini didasarkan asumsi bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Hakikat dari kemandirian dan keberdayaan rakyat adalah keyakinan bahwa rakyat memiliki potensi untuk mengorganisasi dirinya sendiri dan potensi kemndirian tiap individu perlu diberdayakan. Proses pemberdayaan rakyat berakar kuat pada proses kemandirian tiap indivdu, yang kemudian meluas ke keluarga, serta kelompok masyarakat baik di tingkat lokal maupun nasional. 
2. Memperkuat potensi yang dimiliki oeh rakyat dengan mnerapkan langkahlangkah yang nyata menampung berbagai masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik atau social yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan bawah. Terbukanya pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan dan pemasaran di pedesaan. Dalam upaya memberdayakan rakyat ini yang penting antara lain adalah peningkatan mutu dan perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan serta pada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar.
 3. Memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan rakyat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi terhadap yang lemah. Memberdayakan masyarakat dalam upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan mendirikian masyarakat. Setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang tanpa daya, karena jika hal tersebut terjadi, maka populasi manusia akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong/memotivasi dan membangkitkan kesadaran dan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk membangkitkannya (Kartasasmita, 1996:146).
 Pemberdayaan masyakat dalam skripsi ini diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada masyarakat setempat, dimana landasan bagi pengambilan suatu keputusan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dan lainnya secara berkelanjutan yang bersumber dari masyarakat setempat, dimana masyarakat diberikan kesempatan dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya sendiri, menentukan kebutuhannya, menentukan sasaran dan aspirasinya serta membuat keputusan yang menyangkut kesejahteran mereka. Selain itu, penduduk setempat memiliki akses dan mengendalikan sumber daya, termasuk pengetahuan, keahlian, serta jenis teknologi yang dibutuhkan dalam memanfaatkan sumber daya secara produktif dan berkelanjutan. Langkah-langkah operasional pemberdayaan masyarakat dapat didentifikasi atas enam tahap berikut: 1. Pemahaman diri, yaitu komunitas local dan lingkungannya. Dengan dibantu oleh fasilitator pembelajaran, komunitas local belajar melakukan “studi kasus” tentang dirinya dalam hubungan dengan sumber daya lingkungan local yang dikuasainya. 2. Penilaian diri, yaitu warga komunitas local diajak bersama-sama untuk melakukan penilaian aik secara intuitif (perasaan) maupun secara rasional, komponen-komponen apa dari komunitas maupun sumber daya dari lingkungan yang perlu dan dapat diubah dengan menggunakan potensi internal ataupun potensi dari luar. 3. Merancang dan mrerencanakan tindakan-tindakan bersama terhadap komponen-komponen yang pada fase (2) telah diidentifikasi sebagai target perubahan-perubahan dengan sasarannya. Hal ini akan memerlukan diskusi-diskusi kelompok secara terarah dengan bantuan fasilititator yang bersangkutan. 4. Menetapkan manejer-manejer pelaksana di antara sesame warga komunitas dalam rangka implementasi rancangan dan rencana tadi, termasuk pula pemantauan tahap demi tahap dari proses pelaksanaan tersebut. 5. Evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian keberhasilan pelaksanaan rencana. Penyimpangan-penyimpangan dari rencana perlu dinilai aspek positif maupun negatifnya. 6. Refleksi kolektif. Pada tahap ini, pemimpin-pemimpin komunitas local bersama dengan fasilitator dari luar brerdialog untuk menemukan pelajaran-pelajaran berharga baik dari aspek keberhasilan-keberhasilan maupun kegagalan-kegagalannya dan menjadikannya sebagai masukan baru bagi siklus belajar berikutnya. Lalu siklus enam langkah tadi bergulir kembali, dan demikianlah siklus pembelajaran social berlangsung secara berkelanjutan

Pembangunan masyarakat (skripsi dan tesis)

Pembangunan menyangkut pengertian bahwa manusia adalah obyek pembangunan dan subjek pembangunan. Oleh karena itu, manusia memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembangunan. Dalam hal ini, diperlukan partisipasi dari masyarakat untuk dapat mensukseskan pembangunan, sebab keberhasilan pembangunan ditentukan oleh partisipasi unsure masyarakat yang dapat bercorak pasif (memang tidak menolak pembangunan) atau bercorak aktif (sangat menerima program tersebut), bahkan aktif mngajak orang lain untuk memperluas jangkauan (pemerataan) dan meningkatkan hasil pembangunan. (Pasaribu & Simandjuntak, 1982:62). Ndraha (1990:72) menyatakan bahwa pembangunan masyarakat mempunyai dua pengertian, yaitu secara luas dan secara sempit, dimana dalam arti luas dapat diartikan sebagai perubahan social yang berencana dengan sasaran perbaikan dan peningkatan pada bidang social, ekonomi, poitik serta teknologi. Sedang dalam arti sempit adalah perubahan social di suatu wilayah tertentu baik di kampung, desa, kota kecil mapun kota besar. Pembangunan masyarakat dalam arti sempit ini dikaitkan dengan berbagai proyek atau program yang langsung berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan dan pengurusan kepentingan lokalitas atau masyarakat setempat dan sepanjang mampu dikelola oleh itu sendiri. United Nation atau PBB (Ndraha, 1990:72) mengemukakan bahwa pembangunan masyarakat atau pembangunan kominitas adalah suatu proses dengan usaha masyarakat yang bersatu dengan pemerintah untuk memperbaiki kondisi eknomi, sosial dan kebudayaan berbagai komunitas, mengintegrasikan berbagai masyarakat untuk dapat meberikan sumbangan sepenuhnya demi kemajuan bangsa dan negara, serta dapat berjalan secara terpadu di dalam proses tersebut.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih pendekatan yang dikemukakan oleh Edward III, yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari obyek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi teori-teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori implementasi kebijakan publik, melainkan lebih mengarahkan kepada peneliti agar lebih fokus terhadap variable-variabel yang dikaji melalui penelitian ini, sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini. Edward III (dalam Nawawi, 2007) menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu: 
a. Komunikasi (communication) 
Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Komunikasi menyangkut proses penyampaian informasi atau transmisi, kejelasan informasi tersbut serta konsistensi informasi yang disampaikan. Komunikasi sangat penting, karena suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana, dimana komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementer akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan di masayarakat. Ada tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini, yaitu: 
1) Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian, hal ini terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui beberap tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan
. 2) Kejelasan informasi, yaitu petunjuk pelaksanaan dari sebuah kebijakan harus jelas agar pengimplementasiannya berjalan sebagaimana yang diinginkan. 
3) Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas, perintah tersebut tidak bertentangan sehingga dapat memudahkan para pelaksana kebijakan untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila perintah yang diberikan seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan. b. Sumber daya (resources) Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak akan efektif. Sumber daya yang penting meliputi: 1. Staf (staff) Staf yang memadai, dalam pengimplementasian kebijakan, staf merupakan salah satu faktor yang penting. Jumlah staf dan mutuatau keahlian-keahlian yang dimiliki staf harus memadai. 2. Informasi (information) Informasi dalam hal ini memilik dua bentuk yaitu informasi mengenai bagaimana melaksanakan kebijakan dan data tentang ketaatan personil-personil lain terhadap peraturan pemerintah. 3. Wewenang (authority) Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program yang lain serta mempunyai bayak bentuk yang berbeda, seperti misalnya menarik dana dari suatu program, membeli barang-barang dan jasa, dan lain sebaginya. 
4. Fasilitas (facilities) Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai, mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil. 
c. Disposisi (attitudes) Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan, hal tersebut berarti bahwa adanya dukungan, kemungkinan besar mereka melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku atau perspekif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan, maka dapat menyebabkan proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi semakin sulit. Edwards III (dalam Nawawi, 2007) mengemukakan dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengatasi dampak dari kekuatan-kekuatan seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan oleh pejabat tinggi, yaitu:
 1. Penempatan Pegawai (staffing the bureaucracy), dimana sikap dari para aparart birokrasi kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap ataupun cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan.
 2. Insentif (Incentives), Mengubah personil dalam birokrasi pemeritah merupakan pekerjaan yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan lancar. Salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentifinsentif. d. Struktur birokrasi Struktur organisasi adalah susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan. Selain itu, struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Adapun aspek-aspek dari struktur birokrasi, yaitu: 
1) Adanya suatu SOP (Standard Operating Procedure) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksana program. SOP juga memberikan keseragaman dalam tindakan para pegawai dalam organisasi yang komplek dan luas, dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan fleksibilitas yang sangat baik, serta adanya keadilan dalam pelaksanaan aturan. 
2) Fragmentasi (fragmentation) adalah adanya penyebaran tanggung jawab pada suatu area kebijakan di antara beberapa unit organisasi. Hal ini mengakibatkan koordinasi kebijakan menjadi sulit, dimana sumber daya dan kebutuhan atas kewenangan untuk menyelesaikan masalah yang timbul kadangkala tersebar di antara beberapa unit birokrasi. Oleh sebab itu perlu adanya kekuatan pemusatan koordinasi antara unit-unit yang terkait dan hal tersebut bukan hal yang mudah.

Teori-teori Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Nawawi (2007:138) megemukakan beberapa teori dari beberapa ahli mengenai implementasi kebijakan, yaitu: 
a. Teori George C. Edward III 
Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: 
1) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implmentor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target groups), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
 2) Sumber daya, dimana meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya finansial.
 3) Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oeh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dll. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Edward III menyatakan bahwa sikap dari pelaksana kadangkala menyebabkan masalah apabila sikap atau cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan. Oleh karena itu, untuk mengantispasinya, dapat mempertimbangkan/ memperhatikan aspek penempatan pegawai (pelaksana) dan insentif. 4) Struktur birokrasi, merupakan susunan komponen (unit-unit) kerja dalam organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda diintegrasikan atau dikoordinasikan, selain itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pegawasan dan menimbulkan red-tape yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan fregmentasi.
 b. Teori Merilee S. Grindle 
Teori ini berpendapat bahwa kebeerhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan mencakup; 
(1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan;
 (2) Jenis manfaat yang diterima oleh target groups; 
(3) Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan;
 (4) Apakah letak suatu program sudah tepat;
 (5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan
 (6) Apakah sebuah program kebijakan didukung oleh sumber daya yang memadai. Sedangkan Variabel lingkungan kebijakan, yaitu mencakup; 
(1) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; 
(2) Karakteristik institusi dari rezim atau pemerintahan yang sedang berkuasa dimana program tersebut dilaksanakan; dan
 (3) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. 
c. Teori G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli 
Teori ini berpendapat bahwa terdapat empat kelompok variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni kondisi lingkungan; hubungan antar organisasi; sumber daya organisasi untuk implementasi program; karakteristik dan kemampuan agen pelakasana. 
d. Teori David L. Weimer dan Aidan R. 
Vining Weimer dan Vining mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok variabel besar yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yaitu:
 1) Logika kebijakan, dimana hal ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal (reasonable) dan mendapat dukungan teoritis. 
2) Lingkungan tempat kebijakan dioperasikan akan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan, dimana yang dimaksud lingkungan dalam hal ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, dan fisik atau geografis. Suatu kebijakan yang berhasil pada suatu daerah, bisa saja gagal diimplementasikan pada daerah lain yang berbeda. 
3) Kemampuan implementor kebijakan. Tingkat kompetensi impelementor mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan

Implementasi Kebijakan (skripsi dan tesis)

Pembicaraan tentang konsep implementasi senantiasa dikaitkan dengan istilah kebijakan. Artinya setiap kali orang berbicara tentang implementasi, maka yang dimaksudkan adalah implementasi kebijakan. Masalah implementasi kebijakan publik sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat karena implementasi inilah yang menentukan “siapa memperoleh apa” dalam masyarakat. Proses serta perumusan kebijakan tidak berakhir, apabila suuatu kebijakan telah ditetapkan, karena baik tidaknya atau tepat tidaknya suatu kebijakan yang telah ditetapkan akan terbukti dari hasil-hasil yang diperoeh dalam pelaksanaannya. Wahab (2008:43) mengemukakan beberapa definisi dari beberapa sumber mengenai implementasi kebijakan: 
1) Kamus Webster, menyatakan bahwa implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan, yang biasanya dalam bentuk UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Kempmen, dll. 
2) Van Moter dan Van Horn, merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh invidu-individu (pejabat) atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. 
3) Mazmanian dan Sabatier, menjelaskan makna implementasi yaitu behwa memahami apa yang senyatanya terjadi, sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau suatu peristiwa. Implemetasi adalah seperangkat kegiatan ynag dilakukan menyusul suatu keputusan, dimana suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk mencapai sasaran tertentu, guna merealisasikan gagasan itu, maka diperlukan serangkaian aktivitas. 
Dunn (2000:23) mengemukakan bahwa dalam pembuatan kebijakan, agar daptat mencapai sasaran yang diharapkan, maka dibutuhkan suatu formulasi kebijakan berupa penyusunan serta tahapan yang jelas dan transparan. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu tahap atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terus terjadi sepanjang waktu, dimana setiap tahap berhubungan dengan berikutnya dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda). Abdullah (1987:11) menyatakan bahwa dalam proses implementasi, sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak, yaitu;
 a. Adanya program atau kebijakan yang akan dilaksanakan 
b. Target groups, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan dapat menerima manfaat dari program tersebut
 c. Unsur pelaksana (implementor), baik organisasi ataupun perorangan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses implementasi tersebut

Konsep Kebijakan Publik (skripsi dan tesis)

 Kebijakan memiliki banyak pengertian, Suharto (2005:7) mengemukakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengerahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana, dan konsistensi dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Wahab (2008:32) mengemukakan beberapa bentuk kebijakan publik yang secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi tiga: a. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum/mendasar. Sesuai dengan UU No.10/2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 7, hirarkinya yaitu; (1) UUD Negara RI Thn 1945; (2) UUD/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; (3) Pereaturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. b. Kebijakan publik yang bersifat meso (menengah) atau penjelas pelaksana, dimana kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati. Kebijakannya dapat pula berbentuk surat keputusan bersama antar Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota. c. Kebijakan publik yang bersifat mikro, adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementai dari kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik di bawah Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota. Abidin (2002:193) menyatakan bahwa secara umum, suatu kebijakan dianggap berkualitas dan mampu dilaksanakan bila mengandung beberapa elemen, yaitu: a. Tujuan yang ingin dicapai atau alasan yang dipakai untuk mengadakan kebijakan itu, dimana tujuan suatu kebijakan dianggap baik apabila tujuannya: 1) Rasional, yaitu tujuan dapat dipahami atau diterima oleh akal yang sehat. Hal ini terutama dilihat dari faktor-faktor pendukung yang tersedia, dimana suatu kebijakan yang tidak mempertimbangkan faktor pendukung tidak dapat dianggap kebijakan yang rasional. 2) Diinginkan (desirable), yaitu tujuan dari kebijakan menyangkut kepentingan orang banyak, sehingga mendapat dukungan dari banyak pihak. b. Asumsi yang dipakai dalam proses perumusan kebijakan itu realistis, asumsi tidak mengada-ada. Asumsi juga menentukan tingkat validitas suatu kebijakan. c. Informasi yang digunakan cukup lengkap dan benar, dimana suatu kebijakan menjadi tidak tepat jika didasarkan pada informasi yang tidak benar atau sudah kadarluarsa.