Tampilkan postingan dengan label judul sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label judul sastra. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Oktober 2019

Psikologi dalam Sastra (skripsi dan tesis)


Pendekatan psikologi adalah pendekatan penelaahan sastra yang menekankan pada segisegi psikologi yang terdapat pada sebuah karya sastra. Psikologi sastra tercakup dalam dua aspek karya sastra.Pertama terkandung dalam ekstrinsiknya dan aspek kedua dalam intrinsiknya. Dalam aspek ekstrinsiknya psikologi dibicarakan berkenaan dengan faktor-faktor kepengarangan dan proses kreatifitasnya. Pengarang tidak mungkin ditiadakan dalam rangka penciptaan karya sastranya (Sukada, 1987: 16). Sedangkan menurut pendapat Aminuddin (1990)psikologi sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang,yang berarti didalamnya terdapat suasana rasa atau emosi. Karya sastra lahir dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada dalam jiwanya dan telah mengalami proses pengolahan jiwa secara mendalam melalui prosees imajinasi. Jika endapan pengalaman ini telah cukup kuat memberikan dorongan pada batin sang pengarang untuk melakukan proses kreatif, maka dilahirkannya endapan-endaapan pengalaman tersebut dalam wahana bahasa yang dipilihnya dan diekspresikan menjadi sebuah karya sastra yang diciptakannya melalui ciri-ciri kejiwaan para tokoh imajinernya (Aminuddin, 1990: 92).
Sastra dan psikologi mempunyai hubungan langsung, artinya hubungan itu ada karena sastra atau psikologi kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama yakni kejiwaan manusia (Damono, 2002: 11). Psikologi jelas terlibat erat karena psikologi mempelajari perilaku.Perilaku manusia tidak terlepas dari aspek kehidupan yang mewarnai makna, pada umumnya aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra. Wellek dan Warren (1995: 90) menunjukkan empat model pendekatan psikologis, yang dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra, dan pembaca. Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu: pengarang, karya sastra, dan pembaca, dengan pertimbangan bahwa pendekatan psikologis lebih banyak berhubungan dengan pengarang dan karya sastra. Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra ditopang oleh tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yaitu kajian aspek psikologi penulis dalam proses kreativitas yang terproyeksi lewat karya sastra, (2) pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra, (3) pendekatan reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologi sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya (Roekhan, dalam Endraswara, 2003: 97- 98). Penelitian psikologi sastra memang memiliki landasan pijak yang kokoh. Karena, baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya, kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil. Namun, sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukkan kemiripan, sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan. Meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pencipta tetap sering memanfaatkan hukumhukum psikologi untuk menghidupkan karakter tokoh-tokohnya (Endraswara, 2003: 99)

Kamis, 05 September 2019

Psikoanalisis Dalam Sastra (skripsi dan tesis)

Teori psikoanalisis Freud tampaknya yang banyak mengilhami para pemerhati psikologi sastra. Dia membedakan kepribadian menjadi tiga macam Id, Ego, dan Super Ego. Ketiga ranah psikologi ini tampaknya yang menjadi dasar pijakan penelitian psikologi sastra. Memang harus diakui bahwa Freud yang menjadi titik pangkal keberhasilan mengungkapkan genesis karya sastra. Penelitiannya amat dekat dengan penelitian proses kreatif. Oleh karena konsep yang ditawarkan sebatas masalah gejolak ketiga ranah jiwa itu, relevansi teori Freud dianggap sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok dalam sastra. Hubungan yang erat antara psikoanalisis, khususnya teori-teori Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra. Teori Freud dengan demikian tidak terbatas untuk menganalisis asal-usul proses kreatif. Denagn cara bercakap-cakap, berdialog sehingga dapat menganalisis  psikologis.
 Bahasa inilah yang kemudian dianalisis sehingga menghasilkan dalam menganalisis terhadap karya sastra (Endraswara 2008:3). Bahasa dalam sastra adalah simbol psikologis. Bahasa sastra adalah bingkisan makna psikis yang dalam. Maka, perlu memahami bahasa estetis menggunakan psikoanalisis. Teori Freud dimanfaatkan untuk menggungkapkan berbagai gejala psikologis di balik gejala bahasa. Unsur-unsur yang disajikan dalam bahasa adalah bagaimana tokoh-tokoh, gaya bahasa, latar dan lain-lain yang memiliki kataksadaran bahasa dan memiliki arti yang khas. Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar. Teori psikologi yang sering digunakan dalam melaksanakan penelitian karya sastra adalah psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sejak tahun 1990-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari lmu psikologi yang memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (concious), bawah sadar (perconcious), dan tidak sadar (unconcious). Alam sadar adalah apa yang anda sadari pada saat itu, penginderaan langsung, ingatan, persepsi, pemikiran, partisipasi, perasaan yang anda miliki. Terkait erat dengan alam sadar ini, apa yang dinamakan Freud dengan alam bawah sadar yaitu apa yang kita sebut saat ini dengan “kenangan yang sudah tersedia” (available memory), yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat dipanggil ke dalam alam bawah sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak anda ingat waktu berpikir, tetapi dapat dengan mudah dipanggil lagi. 
Adapun bagian  terbesar adalah alam tidak sadar (unconscious mind). Bagian ini mencakup segala sesuatu yang tidak kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan kita. Sekalipun kita sadar akan perilaku kita yang nyata, sering kali kita tidak menyadari proses mental yang ada di balik perilaku tersebut. Konsep Freud naluri atau insting adalah representasi psikologi bawahan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan munculnya suatu kebutuhan tubuh (Koeswara,1991:36). Naluri akan menghimpun sejumlah energi psikis apabila suatu kebutuhan muncul dan pada gilirannya naluri ini akan menekan atau mendorong individu untuk bertindak kearah pemuasan kebutuhan yang bisa mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh tekanan energi psikis itu. Freud membagi naluri menji dua macam yakni naluri kematian dan naluri kehidupan. Naluri kematian adalah naluri yang ditujukan untuk merusak atau mengahancurkan apa yanng telah ada. Naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego dan pemeliharaan kelangsungan jenis. Dengan kata lain naluri kehidupan ditujukan kepada pemeliharaan kehidupan manusia (Koeswara 1991:39). Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap. Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga sistem antara lain id, ego,dan super ego.

Keterkaitan Perwatakan dan Konflik (skripsi dan tesis)

Tokoh dan penokohan yang terdapat di dalam karya-karya sastra menampilkan berbagai watak dan perilaku yang berkaitan dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau konflik-konflik yang dialami para tokoh. Tingkah laku tokoh sebenarnya berhubungan erat dengan kajian ilmu psikologi. Sebuah novel adalah cerita tentang tokoh manusia dalam konflik. Konflik adalah sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya menurut Meredith dan Fitzgerald (dalam Nurgiyantoro, 2007: 122). Menurut Nurgiyantoro (2007: 122) konflik menyaran pada konotasi yang negatif, sesuatu yang tidak menyenangkan.
 Nurgiyantoro (2007: 179) menyatakan bahwa tokoh penyebab konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis tersebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung atau tidak langsung, bersifat fisik maupun batin. Karyakarya sastra memungkinkan ditelaah melalui pendekatan psikologi karena karya sastra menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif, dapat menampilkan berbagai problem psikologis (Minderop 2010:55). Dengan memusatkan perhatian  pada tokoh-tokoh, maka dapat dapat dianalisis konflik batin atau konflik psikis. Keterkaitan perwatakan dengan konflik, perwatakan tokoh yang dimiliki seorang tokoh sangat mempengaruhi terjadinya konflik. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hubungan antar tokoh yang memiliki perbedaan watak, sikap, kepentingan, cita-cita dan harapan menjadi penyebab terjadinya konflik dalam cerita. Hubungan perwatakan dan konflik dalam sebuah cerita imajinatif dipengaruhi oleh sikap atau tingkah laku tokoh yang selalu berhubungan antara tokoh satu dengan lainnya yang akhirnya dapat mengakibatkan konflik. Konflik yang terjadi dalam diri tokoh tersebut diantaranya dapat berupa konflik psikis atau kejiwaan. 

Konflik (skripsi dan tesis)

Konflik merupakan kejadian yang tergolong penting dan merupakan unsur yang esensial dalam pengembangan plot. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa (baik aksi maupun kejadian) akan sangat menentukan kadar kemenarikan, kadar suspense, cerita yang dihasilkan. Misalnya, peristiwa-peristiwa manusiawi yang seru, sensasional, saling berkaitan satu dengan yang lain dan menyebabkan munculnya konflik yang kompleks, biasanya cenderung disenangi pembaca. Bahkan sebenarnya, yang menyita perhatian pembaca sewaktu membaca karya naratif adalah pada peristiwa-peristiwa konflik, konfik yang semakin memuncak, klimaks dan kemudian penyelesaian. Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek dan Warren, 1989:285). Dengan demikian, konflik dalam pandangan kehidupan yang normal artinya bukan dalam cerita, mengarah pada konotasi yang negatif, sesuatu yang tidak menyenangkan. Itulah sebabnya orang lebih suka memilih menghindari konflik dan menghendaki kehidupan yang tenang. Namun tidak demikian halnya untuk cerita yang di teks naratifkan. Peristiwa dalam cerita (plot) jika memunculkan konflik, masalah yang sensasional, bersifat dramatik, akan menarik untuk diceritakan. Jika hal itu tidak dapat ditemui dalam kehidupan nyata pengarang sengaja menciptakan konflik secara imajinatif dalam karyanya.peristiwa dan konflik berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pada hakikatnya merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Sebaliknya, karena terjadinya konflik peristiwa-peritiwa pun dapat bermunculan. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1965: 16) mengemukakan bahwa bentuk peristiwa dalam cerita dapat berupa fisik ataupun batin. Peristiwa fisik melibatkan aktifitas fisik, ada interaksi antara seorang tokoh cerita dengan sesuatu diluar dirinya. Peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin. Peristiwa tersebut saling berkaitan, saling berhubungan satu dengan yang lain.
 Bentuk konflik sebagai bentuk kejadian dapat pula dibedakan kedalam dua kategori : konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal (external conflict) dan konflik internal (internal conflict).  Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya dengan demikian konflik eksternal dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu konflik fisik dan konflik sosial (Jones dalam Nurgiyantoro, 1968:30). Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam. Sedangkan, konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antar manusia. Konflik internal (konflik kejiwaan) adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh cerita. Maka, ia merupakan konflik yang dialamai manusia dengan dirinya sendiri misalnya, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan dan sebagainya. Pada hakikatnya kedua konflik tersebut saling berkaitan dan dapat pula dialami seorang tokoh cerita secara bersamaan walaupun tingkat intensitasnya berbeda. Tingkat kompleksitas konflik yang ditampilkan dalam sebuah karya fiksi sangat menentukan kualitas intensitas dan kemenarikan karya itu. Bahkan, dapat dikatakan bahwa menulis cerita sebenarnya tidak lain adalah membangun dan mengembangkan koflik. Konflik tersebut dapat ditemukan, dimajinasikan dan dikembangkan berdasarkan konflik yang ditemui pengarang di dalam dunia nyata. Dengan demikian, dalam penelitian ini lebih mengkhususkan konflik internal (konflik kejiwaan) yakni konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh cerita. Pengarang menghadirkan konflik dalam karyanya sama halnya dengan konflik yang dialami manusia dalam kehidupan nyata. Misalnya konflik dengan dirinya sendiri, hal itu terjadi akibat adanya pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, pilihan yang berbeda, harapan dan sebagainya maupun konflik antar tokoh yang mempengaruhi kejiwaan tokoh. Maka, konflik yang akan diteliti dalam hal ini adalah konflik psikis (kejiwaan) tokoh dalam cerita dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud.

Perwatakan (skripsi dan tesis)

 Unsur intrinsik karya sastra yang akan dibahas dalam penelitian ini lebih mengkhususkan pada perwatakan tokoh utama saja. Salah satu unsur atau bagian dalam karya fiksi yang memegang peranan penting adalah tokoh. Tokoh merupakan unsur yang menggerakan cerita lewat tindakan yang dilakukannya, sekaligus merupakan sarana dalam penyampaian pesan dan tujuan yang ingin disampaikan oleh pengarang.  Tokoh menunjuk pada orang atau pelaku cerita. Tokoh adalah salah satu unsur pembangun cerita. Tokoh utama merupakan tokoh yang sering mendominasi cerita. Watak, perwatakan dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih merujuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. 
Seperti yang dikemukakan oleh Jones (dalam Nurgiyantoro, 1968: 33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh utama adalah pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, dalam sebuah karya fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara ilmiah dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau berciri “hidup”, atau memiliki derajat lifelikeness (kesepertian hidup), (Sayuti, 2000:68). Sama halnya dengan manusia yang ada di dunia nyata, bersifat tiga dimensi maka tokoh dalam fiksipun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka dan sebagainya. Dimensi sosiologis meliputi status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan di dalam masyarakat, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktifitas sosial, organisasi, bangsa, suku, keturunan dan sebagainya. Dimensi psikologis meliputi mentalitas, ukuran moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan (tempramen) juga intelektualitasnya. 14 Dunia sastra mengenal istilah tokoh dan penokohan juga mengenal istilah watak dan perwatakan. Istilah tersebut sekilas tampak sama namun sebenarnya berbeda. Tokoh menunjuk pada orang atau pelaku cerita sedangkan watak menunjukan sifat dan sikap para tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165). Penokohan merupakan cara penggambaran tokoh dalam fiksi sedangkan perwatakan mengarah pada penempatan watak-watak tertentu pada tokoh-tokoh tertentu. Perwatakan merupakan orang yang ditampilkan dalam sebuah karya sastra yang memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam pikiran, ucapan dan tindakan atau penyajian watak, tokoh dan penciptaan citra tokoh atau kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan tokoh tersebut dengan tokoh lain.
 Setiap tokoh mempunyai perwatakan yang berbeda, maka dari itu berdasarkan perwatakannya tokoh cerita dapat dibedakan kedalam tokoh sederhana (simple character) dan tokoh bulat (complex character) (Nurgiyantoro, 2002: 181-182). Tokoh sederhana adalah tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, perwatakan tokoh sederhana yang benar-benar sederhana dapat dirumuskan hanya dengan sebuah kalimat atau bahkan sebuah frase saja. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002: 183) Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai sisi kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam dan sulit diduga. Tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia sesungguhnya, karena disamping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan juga sering memberikan kejutan kepada para pembaca. Namun demikian, 15 unsur-unsur kejutan yang ditampilkan tokoh cerita harus dapat dipertanggungjawabkan. Kejutan yang ditampilkan harus logis sesuai dengan tuntutan kohesi cerita.

Psikologi dan Sastra (skripsi dan tesis)

Ditinjau dengan ilmu bahasa, kata “psikologi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yaitu psyches dan logos. Kata psyches berarti jiwa atau roh dan kata logos berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. Ilmu psikologi menurut Hardjana (1985: 66) juga dimanfaatkan untuk nmengamati tingkah laku tokoh dalam sebuah novel atau karya sastra. Jika tingkah laku tokoh sesuai dengan apa yang diketahui tentang aspek kejiwaan manusia, penggunaan teori psikologi dapat dikatakan berhasil. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra (Ratna, 2004: 342). Selain itu, pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai aktifitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsanya dalam menciptakan karya sastra. Disamping itu, ia juga menangkap gejala jiwa tersebut yang kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan teks kejiwaannya. Pengalaman sendiri dan pengalaman jiwa pengarangnya akan terproyeksi menjadi satu rangkaian teks sastra secara imajiner (Wellek Warren, 1989: 108).
 Menurut Wellek Warren (1995: 90), istilah psikologi sastra memiliki empat kemungkinan pengertian, yaitu; (1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, (2) studi proses kreatif, (3) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, (4) mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu (1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, (3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca (Ratna, 2004: 343). Dalam penelitian ini, 12 cara yang digunakan untuk menghubungkan psikologi dan sastra adalah memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra. Dengan demikian, antara psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional yaitu sama-sama berguna sebagai sarana mempelajari aspek kejiwaan manusia. Bedanya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan manusia yang imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia riil. Meskipun sifat-sifat manusia dalam karya sastra bersifat imajiner tetapi di dalam menggambarkan karakter dan jiwanya, pengarang menjadikan manusia yang hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaanya. Oleh karena itu, dalam sastra ilmu psikologi digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk meneladani atau mengkaji tokoh-tokohnya. Maka, dalam menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya seorang pengkaji sastra harus berdasarkan pada teori dan hukumhukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia.

Hakikat Novel (skripsi dan tesis)

Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang bersifat imajinatif. Walaupun bersifat noneksistensial, karena dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang, dibuat mirip, diimitasikan atau dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa dan latar aktualnya, sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi, akan tetapi semuanya itu berjalan dengan sistem koherensinya sendiri (Nurgiyantoro, 2000: 4). Novel merupakan hasil karya sastra yang berisi tentang karya-karya para pengarang yang mengkerasikan daya imajinasinya dengan menjadikan manusia sebagai model dalam proses penciptaan karya sastra. Sugihastuti dan Suharto (2005: 43) menjelaskan bahwa novel merupakan struktur yang bermakna. Novel tidak sekedar merupakan serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang tersusun dari unsur yang terpadu. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna-makna atau pikiran tersebut, karya sastra harus dianalisis. Menurut Nurgiyantoro (2000: 22) sebuah novel yang dikreasikan oleh pengarang sehingga hadir ke hadapan pembaca merupakan sebuah totalitas, yakni suatu 9 kemenyeluruhan yang bersifat artisitik. Sebuah karya sastra, novel dibangun dari sejumlah unsur, dan setiap unsur akan saling berhubungan secara erat dan menentukan, semua itu akan menjadikan novel menjadi sebuah karya sastra yang bermakna dan hidup. 
Tiap-tiap unsur pembangun novel itu hanya akan bermakna jika berkaitan dengan keseluruhannya. Dengan kata lain, dalam keadaan terisolasi, terpisah dari totalitasnya, unsur-unsur tersebut tidak ada artinya atau tidak berfungsi (Nurgiyantoro, 2000: 30-31). Secara umum, unsur-unsur pembangun sebuah novel terdiri dari dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur-unsur tersebut meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang peneritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur-unsur inilah yang akan menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Sebagai unsur yang membangun sebuah karya sastra, kehadiran unsur intrinsik sangat diperlukan. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra, misalnya keadaan kejiwaan pengarang dan keadaan lingkungan pengarang seperti geografi, sosial, ekonomi dan politik. Walaupun secara tidak langsung, unsur ekstrinsik ini tetap mempunyai peranan yang besar dalam proses terbentuknya karya sastra. Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2002: 25) membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana 10 pengucapan (sastra). Fakta (fact) dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan (literary devices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang bermakna”. Menurut Nurgiyantoro (2002: 25-26) “setiap novel memiliki tiga unsur pokok yang sekaligus merupakan unsur terpenting, yaitu tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiga unsur utama itu saling berkaitan erat dan membentuk satu kesatuan yang terpadu, kesatuan organisme cerita”, ketiga unsur itu yang terutama membentuk dan menunjukkkan sosok cerita dalam fiksi

Tokoh Utama (skripsi dan tesis)

Dalam novel biasanya kita akan mendapatkan sejumlah tokoh yang dihadirkan di dalamnya. Namun, peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama. Ada tokoh utama (central character) dan ada tokoh tambahan (peripheral character). Tokoh utama biasanya ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, sedangkan tokoh tambahan hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita., dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. 
Menurut Nurgiyantoro (2000:176), tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan. Tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot keseluruhan karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh utama selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik. Tokoh utama dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari seorang, walau kadar keutamaanya tidak selalu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan  pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan.
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi manusia (Altenbernd & Lewis, 1966: 59). Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan pembaca, harapan-harapan pembaca, maka  pembaca sering mengidentifikasi diri terhadap tokoh yang demikian. Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan dengan tokoh protagonis dan antagonis sering digabungkan, sehingga menjadi tokoh utama protagonis, tokoh utama antagonis, tokoh tambahan protagonis dan seterusnya. Tokoh Maridi di dalam novel Garuda Putih merupakan tokoh utama antagonis 

Konflik (skripsi dan tesis)

Konflik yang notabene adalah adalah kejadian yang tergolong penting merupakan unsur yang esensial dalam perkembangan plot. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui berbagai peristiwa (baik aksi maupun kejadian) akan sangat menentukan kadar kemenarikan, kadar superse, cerita yang dihasilkan (Nurgiyantoro:2000:122). Peritiwa-peristiwa seru  yang saling berkaitan satu sama lain dan menyebabkan munculnya konflik-konflik yang kompleks, biasanya disenangi pembaca. Menurut Wallek dan Warren (1995:285) konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Konflik, dengan demikian, dalam pandangan kehidupan yang normal, wajar, faktual, artinya bukan dalam cerita, menyarankan pada konotasi yang negatif, sesuatu yang tak menyenangkan, itulah sebabnya orang lebih suka menghindari konflik dan menghendaki kehidupan yang tenang. Peristiwa dan konflik biasanya berhubungan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu sama lain, bahkan konflikpun hakikatnya merupakan peristiwa. Ada peristiwa tertentu yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Sebaliknya, karena terjadinya konflik, peristiwa-peristiwa lainnya dapat bermunculan sebagai akibatnya. Peristiwa dalam sebuah cerita, dapat berupa peristiwa fisik maupun batin (Nurgiyantoro:2000:123). Peristiwa fisik melibatkan aktifitas fisik, ada interaksi antar tokoh cerita dengan suatu diluar dirinya, misalnya dengan lingkungannya. Sedangkan peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, hati seorang tokoh. Kedua peristiwa itu saling berkaitan. Nurgiyantoro (2000:10) menyatakan bahwa tokoh yang menjadi penyebab konflik tersebut disebut tokoh antagonis. 
Tokoh antagonis tersebut berposisi dengan tokoh protagonis secara langsung dan tidak langsung, bersifat fisik maupun batin. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa hubungan antar tokoh  yang memiliki perbedaan watak, sikap, kepentingan, cita-cita, dan harapan menjadi penyebab terjadinya konflik dalam cerita. Bentuk peristiwa dalam sebuah cerita, sebagaimana telah dikemukakan, dapat berupa fisik maupun batin. Peristiwa fisik melibatkan aktifitas fisik, ada interaksi antara seorang tokoh cerita dengan sesuatu yang diluar dirinya. Peristiwa batin adalah sesuatu yang terjadi dalam batin, hati, seseorang tokoh. Kedua bentuk peristiwa tersebut saling berkaitan, saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain. Bentuk konflik, sebagai bentuk kejadian, dapat pula dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal dan konflik internal (Stanton, 1965: 16). Konflik dapat terjadi dikarenakan faktorfaktor tertentu baik dari dunia luar maupun dari dirinya sendiri yang digolongkan menjadi konflik eksternal yaitu dari dunia luar dan konflik internal yang terjadi dalam jiwa seorang tokoh. Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang diluar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam mungkin lingkungan manusia. Dengan demikian, konflik eksternal dapat dibedakan kedalam dua kategori, yaitu konflik fisik dan konflik sosial (Jones, 1968: 30). Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia. Konflik yang disebabkan oleh kontak sosial, seperti peperangan, penindasan, percekcokan, dan lain-lain. Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam hati, jiwa seorang tokoh cerita. Konflik tersebut merupakan konflik yang terjadi dan berasal dari dalam tokoh itu sendiri. Perwujudan dari konflik internal itu antara lain dapat berupa 20 pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, dan pilihan yang berbeda, harapanharapan, dan masalah-masalah yang dialami oleh tokoh dan merupakan permasalahan intern seorang manusia.

Perwatakan (skripsi dan tesis)

 Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2000:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan meliputi suatu tokoh yang ada dalam cerita novel. Tokoh dalam cerita novel memiliki perwatakan yang berbeda-beda. Perwatakan tersebut dapat memberikan keunikan dalam sebuah cerita. Keunikan tersebut dapat berupa permasalahan antar tokoh yang kemudian menimbulkan suatu jalan cerita yang menarik dalam sebuah novel. Perwatakan (character) menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton via Nurgiyantoro, 2000 : 165). Suatu peristiwa dalam novel terjadi karena aksi atau tokoh-tokohnya. Tokoh menunjukkan pada orangnya atau pelaku cerita. 
Tokoh cerita menurut Abrams via Nurgiyantoro (2000 : 165-166) adalah orangorang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan apa yang disebutkan dalam tindakan. Berdasarkan wataknya dikenal tokoh sederhana dan kompleks (Sayuti, 2000). Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi karakternya saja. Sementara tokoh  kompleks, sebaliknya lebih menggambarkan keutuhan personalitas manusia, yang memiliki sisi baik dan buruk secara dinamis. Sayuti (2000: 74) meninjau dari keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal atau tokoh tambahan. Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita. Peristiwa itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. 
Tokoh sentral karya fiksi dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu (1) tokoh itu yang paling terlibat dengan tema, (2) tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Tokoh cerita dilengkapi dengan karakteristik dan watak tertentu. Watak adalah kualitas tokoh yang meliputi kualitas nalar dan jiwa yang membedakannya dengan tokoh cerita lain. Perbedaan watak dan kejiwaan setiap para tokoh itulah yang menyebabkan pertentangan atau benturan keinginan yang menyebabkan terjadinya konflik

Novel (skripsi dan tesis)

 Dalam Tinjauan Psikologi Sastra Novel pada dasarnya merupakan bentuk penceritaan tentang kehidupan manusia yang bersifat fragmentaris. Teknik pengungkapannya bersifat padat dan antar unsurnya merupakan struktur yang terpadu. Novel menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan para tokohnya. Cerita yang baik hanya akan melukiskan detail-detail tertentu yang dipandang perlu agar tidak membosankan dan mengurangi kadar ketegangan cerita (Nurgiyantoro, 2000 : 14). Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa agar tercapai maksud yang dituju pengarang maka dalam menceritakan kejadian haruslah bersifat penting, luar biasa, dan yang dianggap perlu saja agar ceritanya tidak melenceng dari tema. Novel terdiri atas unsur-unsur pembentuk, yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur struktural formal yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur-unsur tersebut antara lain tema, penokohan, alur, latar judul, sudut pandang, gaya dan suasana. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur dari dunia luar karya sastra yang berpengaruh. Unsur-unsur itu adalah : ekonomi, politik, filsafat, dan psikologi (Nurgiyantoro, 2000 : 23-24). Psikologi merupakan unsur ekstrinsik dari karya sastra, namun peran psikologi dalam karya sastra sangatlah penting. Peran psikologi dalam karya sastra yaitu digunakan untuk menghidupkan karakter para tokoh yang tidak secara sadar diciptakan oleh pengarang. Berdasarkan penokohan itu sendiri tokoh dapat diterima bila dapat dipertanggungjawabkan dari segi fisiologis, sosiologis, dan psikologis yang menunjang pembentukan tokoh-tokoh cerita yang hidup. Secara fisiologis, rincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia, kondisi fisik/kesehatan dan tingkat kesejahteraan para tokoh. 
Walaupun dalam kehidupan sehari-hari kita kerap kali terkecoh oleh penampilan seseorang, bahkan kita dapat tertipu oleh  penampilannya, demikian pula dalam suatu karya sastra, faktor penampilan fisik para tokoh memegang peranan penting sehubungan dengan karakterisasi. Dimensi fisiologis meliputi ciri-ciri tubuh, raut muka, pakaian, dan segala perlengkapan yang dikenakan oleh sang tokoh, seperti sepatu, topi jam tangan, tas, perhiasan. Dari segi sosiologis, novel tidak menampilkan tokoh sebagai manusia secara individual, namun lebih sebagai manusia secara sosial yang saling berinteraksi dengan tokoh lainnya dalam kehidupan bermasyarakat layaknya dalam kehidupan nyata. Sebagai sistem simbol, dalam novel terkandung keberagaman tokoh sebagai representasi multikultural tokoh-tokoh sebagai spesies. Dimensi sosiologis yakni unsur-unsur status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, pendidikan, kehidupan pribadi dan keluarga, pandangan hidup, agama dan kepercayaan, ideologi, aktifitas sosial, organisasi, kegemaran, ketutrunan, suku bangsa. Berdasarkan segi psikologisnya ada kaitannya antara penokohan dengan psikologi karena tokoh dalam cerita novel biasanya ditampilkan secara lebih lengkap, misalnya yang berhubungan dengan tingkah laku, sifat dan kebiasaan. Kejiwaan para tokoh dalam novel sesungguhnya adalah penggambaran manusia yang hidup di alam nyata sebagai model didalam penciptaan seorang pengarang. Tokoh berperan penting dalam jalannya cerita, dengan adanya tokoh timbullah suatu peristiwa. Tokoh dipergunakan pengarang untuk menyampaikan maksud melalui ucapan, tingkah laku / perilaku dari tokoh. Bisa dikatakan bahwa unsur psikologi sangat berpengaruh terhadap unsur penokohan di dalam sebuah karya sastra.
 Dimensi psikologis yaitu mentalitas, norma-norma, moral yang dipakai,   tempramen, perasaan-perasaannya, keinginan pribadi, sikap dan watak, kecerdasan, keahlian, kecakapan khusus. Menurut Wiyatmi (2006 : 14) sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak yang dibatasi hanya pada “mahakarya”, yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya yang diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra juga mengungkapkan bahwa karya sastra yang dijadikan subyek penelitian perlu diberlakukan secara lebih manusiawi. Karya sastra bukanlah barang mati dan fenomena yang lumpuh, namun penuh daya imajinasi yang hidup. Karya sastra tak jauh berbeda dengan fenomena manusia yang bergerak, fenomena alam yang kadang-kadang ganas, dan fenomena apapun yang ada di dunia dan akherat. Karya sastra dapat menyebrang ke ruang dan waktu yang kadang-kadang jauh dari jangkauan nalar manusia karenanya membutuhkan metode sendiri. Antara psikologi dan novel mempunyai hubungan yang fungsional yaitu sama-sama berguna sebagai sarana mempelajari aspek kejiwaan manusia. Bedanya gejala yang ada dalam karya sastra novel adalah gejala-gejala kejiwaan manusia yang imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia riil. Meski sifat-sifat manusia dalam karya sastra novel bersifat imajiner, tetapi dalam menggambarkan karakter dan jiwanya pengarang menjadikan manusia yang hidup di alam nyata sebagai model dalam penciptaannya. Berdasarkan novel, ilmu psikologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekataan untuk menelaah atau mengkaji tokoh-tokohnya. Menganalisis tokoh dalam karya novel dan perwatakanya seorang pengkaji sastra juga harus berdasarkan pada teori dan hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perwatakan dan kejiwaan manusia. 

Psikoanalisis Dalam Satra (skripsi dan tesis)

Teori psikologi yang sering digunakan dalam melakukan penelitian sebuah karya sastra adalah psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmun Freud. Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (Conscious),  bawah sadar (Preconscious), dan tidak sadar (Unconscious). Alam sadar adalah apa yang anda sadari pada saat tertentu, penginderaan langsung, ingatan, persepsi, pemikiran, fantasi, perasaan yang anda miliki. Terkait erat dengan alam sadar ini adalah apa yang dinamakan Freud dengan alam bawah sadar, yaitu apa yang kita sebut dengan saat ini dengan „kenangan yang sudah tersedia‟ (available memory), yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat di panggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak anda ingat waktu berpikir, tapi dapat dengan mudah dipanggil lagi. Adapun bagian terbesar adalah alam tidak sadar (unconscious mind). Bagian ini mencakup segala sesuatu yang tak kita sadari tetapi ternyata mendorong perkataan, perasaan, dan tindakan kita. Sekalipun kita sadar akan perilaku kita yang nyata, sering kali kita tidak menyadari proses mental yang ada di balik perilaku tersebut. a. Struktur Kepribadian Sigmund Freud Sigmund Freud adalah tokoh pertama yang menyelidiki kehidupan jiwa manusia berdasarkan pada hakikat ketidaksadaran. 
Teori psikologi ala Freud membedakan kepribadian manusia menjadi tiga unsur kejiwaan, yaitu Id, Ego, dan Super Ego. Ketiga aspek itu masing-masing mempunyai fungsi, sifat komponen, prinsip kerja dan dinamika sendiri-sendiri, namun ketiganya saling berhubungan sehingga sukar (tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia, tingkah laku selalu merupakan hasil kerja sama dari ketiga aspek itu. Ketiga sistem itu diuraikan sebagai berikut. 
 i. Id
 Id dalam Bahasa Jerman adalah Das es. Id atau Das Es merupakan wadah dari jiwa manusia yang berisi dorongan primitif. Dorongan primitif adalah dorongan yang ada pada diri manusia yang menghendaki untuk segera dipenuhi atau dilaksanakan keinginan atau kebutuhanya. Apabila dorongan tersebut terpenuhi dengan segera maka akan menimbulkan rasa senang, puas serta gembira. Sebaliknya apabila tidak dipenuhi atau dilaksnakan dengan segera maka akan terjadi hal yang sebaliknya. Id adalah istem kepribadian manusia yang paling dasar. Id merupakan aspek kepribadian yang paling gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa “energy buta”. (Endraswara, 2003: 101). Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa id merupakan dorongan dari aspek biologis yang terjadi secara spontan. 
ii. Ego 
Ego dalam Bahasa Jerman disebut Das Ich. Ego terbentuk dengan diferensiasi dari Id karena kontaknya dengan dunia luar. Ego timbul karena kebutuhankebutuhan organisme yang memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif. Orang yang lapar harus mencari, menemukan, dan memakan makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Hal itu berarti orang harus belajar membedakan antara makanan dan persepsi aktual terhadap makanan seperti yang ada didunia aktual terhadap makanan seperti yang ada di dunia luar. Setelah melakukan pembedaan makanan perlu mengubah gambaran ke dalam persepsi yang terlaksana dengan menghadirkan makanan di lingkungan. Dengan kata lain, orang mencocokan gambaran ingatan tentang makanan dengan  penglihatan atau penciuman terhadap makanan yang dialaminya dengan panca indera. Das ich atau The ego merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada dunia objek dari kenyataan dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego merupakan kepribadian implementatif yaitu berupa kontak dengan dunia luar (Endraswara, 2004: 101). Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa ego timbul karena dorongan dari aspek psikologis yang memerlukan sebuah proses.
 iii. Super Ego 
Super ego adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik dan buruk). Super ego merupakan penyeimbang dari id. Semua keinginan-keinginan id sebelum menjadi kenyataan, dipertimbangkan oleh super ego. Apakah keinginan id itu bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat. Super ego berisi nilai-nilai moral yang ditanamkan pada diri seseorang. Pada dasarnya, super ego sama dengan kesadaran. Aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan

Psikologi dan Sastra (skripsi dan tesis)

 Manusia dijadikan objek sastrawan sebab manusia merupakan gambaran tingkah laku yang dapat dilihat dari segi kehidupannya. Tingkah laku merupakan bagian dari gejolak jiwa sebab dari tingkah laku manusia dapat dilihat gejalagejala kejiwaan yang pastinya berbeda satu dengan yang lain. Pada diri manusia dapat dikaji dengan ilmu pengetahuan yakni psikologi yang membahas tentang kejiwaan. Oleh karena itu, karya sastra disebut sebagai salah satu gejala kejiwaan (Ratna, 2004: 62). Karya sastra yang merupakan hasil dari aktivitas penulis sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan sebab karya sastra merupakan hasil dari penciptaan seorang pengarang yang secara sadar atau tidak sadar menggunakan teori psikologi. Dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar selalau mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra. Kedua, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologi juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan ketika menciptakan karya tersebut (Endraswara, 2003:26). 8 Dua hal dasar penelitian psikologi sastra tersebut merupakan aspek psikologi pengarang, sehingga kejwaan dan pemikiran pengarang sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra tersebut. Pengarang dalam menuangkan ide-idenya ke dalam karyanya terkadang terjebak dalam situasi tak sadar atau halusinasi yang dapat membelokan rencana pengarang semula. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” didalamnya terkandung fenomena-fenomena yang terkait dengan psikis atau kejiwaan. Dengan demikian, karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi. Hal ini dapat diterima, karena antara sastra dan psikologi memiliki hubungan yang bersifat tak langsung dan fungsional (Jatman via Aminuddin, 1990:101). Penelitian psikologi sastra merupakan sebuah penelitian yang menitikberatkan pada suatu karya sastra yang menggunakan tinjauan tentang psikologi. Psikologi sastra dapat mengungkapkan tentang suatu kejiwaan baik pengarang, tokoh karya sastra, maupun pembaca karya sastra. Penelitian psikologi sastra membutuhkan kecermatan dan ketelitiaan dalam membaca supaya dapat menemukan unsur-unsur yang mempengaruhi kejiwaan. Perbedaan gejala-gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah gejala kejiwaan pada manusia riil (Endraswara, 2003: 97). Antara psikologi dan sastra akan saling melengkapi dan saling berhubungan sebab hal tersebut dapat digunakan untuk menemukan proses penciptaan sebuah karya sastra. Psikologi digunakan untuk menghidupkan karakter para tokoh yang tidak secara sadar diciptakan oleh pengarang. 
Wellek dan Warren (1995: 91) psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan, yakni
 1) studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, 
2) studi proses kreatif,
 3) studi hukum psikologi dan sastra memiliki hubungan yang fungsional yakni sama-sama mempelajari keadaan jiwa seseorang dan 
4) mempelajari dampak sastra pada pembaca.
 Karya sastra dipandang sebagai fenomena psikologis sebab menampilkan aspek kejiwaan yang digambarkan melalui tokoh dan menjadikan manusia sebagai penggerak jiwa. 
Tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu
 (1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
 (2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, 
(3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca (Ratna, 2004: 343). Berdasarkan penelitian ini cara yang digunakan untuk menghubungkan psikologi dan sastra adalah memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra. Menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya seorang pengkaji sastra juga harus berdasarkan pada teori dan hukum-hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia. Teori psikologi yang sering digunakan dalam melakukan penelitian sebuah karya sastra adalah psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmun Freud

Psikologi Sastra (skripsi dan tesis)

Dalam prosesnya peneliti melakukan penelitian dengan mempergunakan teori psikologi sastra melalui pendekatan psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Freud meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, impuls, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dipuaskan atau dipenuhi. Dimensi jiwa adalah dimensi yang ada dalam diri manusia. Ini berarti segala aktivitas manusia tidak terlepas dari dimensi tersebut. Segala aspek kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi. Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan mengenai hidup dan kehidupan (Hardjana, 1985). 
Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh, baik yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2009:350). Menurut Hardjana (1991:60) pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi kehidupan. Fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan ke dalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya terhadap tindakan lainnya. Endraswara berpendapat dalam bukunya (2008:99) bahwa meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pencipta tetap memanfaatkan hukum-hukum psikologi yang menghidupkan karakter tokoh-tokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam-diam. Kemudian Ratna (2004:343) yang mengemukakan bahwa ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra yaitu: 
a)memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
 b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksi dalam karya sastra, dan
 c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca

Konflik (skripsi dan tesis)

Konflik adalah suatu yang dramatik mengacu pada dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balas (Wellek and Warren, 1993:25). Konflik dibagi atas dua bagian, yaitu eksternal- internal.
1) Konflik Eksternal atau Konflik Fisik 
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan tersebut di antaranya adalah menyangkut fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciriciri individual dalam interkasi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antaranggotanya atau dengan kelompok lain. Konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik ini dapat timbul karena minat yang berlawanan, tidak ada keuletan, tidak ada kemampuan untuk mengembangkan diri, serta tidak adanya semangat hidup. 
2) Konflik Internal atau Konflik Batin 
Salah satu kondisi psikologis yang akan dibahas adalah konflik batin. Hardjana (1994:23) mengemukakan bahwa konflik terjadi manakala hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Konflik adalah percekcokan, perselisihan, atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama yakni pertentangan anatara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya. 
Freud menyatakan bahwa faktor–faktor yang memegang peranan penting dalam beberapa gangguan batin antara lain:
 a. Teori Agresi 
Teori ini menunjukkan bahwa depresi terjadi karena perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri. Agresi yang diarahkan pada diri sendiri  sebagai bagian dari nafsu bawaan yang bersifat merusak. Prosesnya terjadi akibat kehilangan atau perasaan terhadap objek yang sangat dicintai. 
b. Teori Kehilangan 
Teori kehilangan merujuk pada perpisahan traumatik individu dengan benda atau seseorang yang sebelumnya dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Hal penting dalam teori ini adalah kehilangan dan perpisahan sebagai faktor predisposisi terjadinya depresi dalam kehidupan yang menjadi faktor pencetus terjadinya stress.
 c. Teori Kepribadian
Teori kepribadian merupakan konsep diri yang negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan penilaian seseorang terhadap stressor. Pandangan ini memfokuskan pada variable utama dari psikososial yaitu harga diri rendah
. d. Teori Kognitif 
Teori kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sendiri, dunia seseorang dan masa depannya. Individu dapat berpikir tentang mencoba memahami kemampuannya. 
e. Teori Ketidakberdayaan
 Teori ketidakberdayaan menunjukkan bahwa konflik batin dapat menyebabkan depresi dan keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang adaptif.
 f. Teori Perilaku
 Teori perilaku menunjukkan bahwa penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan. Individu tidak dipandang sebagai objek yang tidak berdaya terhadap lingkungan, tetapi juga bebas dari pengaruh lingkungan dan melakukan apa saja yang mereka pilih tetapi antar individu dengan lingkungan memiliki pengaruh yang bermakna antar satu dengan yang lainnya

Tokoh (skripsi dan tesis)

 Tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. (Jones dalam Nurgiyantoro, 2007:165). Tokoh adalah orang-orang yang berperan dalam suatu drama.
 Berdasarkan perannya terhadap jenis cerita, tokoh bisa dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:
1. Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita.
 2. Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita.
 3. Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk tokoh antagonis maupun tokoh protagonis. 
Pada hakikatnya, tokoh dan alur cerita di dalam sebuah karya sastra tidak dapat dibicarakan secara terpisah karena kedua unsur itu mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam hal membentuk sebuah cerita yang memadai. Sebuah cerita tidak akan mungkin terbentuk apabila salah satu unsurnya tidak terpenuhi. Oleh karena itu, antara unsur latar, tokoh, dan alur cerita saling berkaitan dan hubungannya pun sangat erat. (Hasyim, 1984:85). 

Drama (skripsi dan tesis)

Drama berarti perbuatan, tindakan. Berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak. Konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama (Wiyanto, 2002:1-2). Menurut Kintoko (2008:104, Ardiyansyah) drama adalah proses pemeranan diri kita menjadi seseorang yang harus diperankan di dalam pementasan. Drama adalah kehidupan sehari hari yang di pentaskan dengan sistematis dan menarik. Menurut Zaidan (1994: 60) drama adalah ragam sastra dalam bentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas pentas. Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera (Wiyanto, 2002:1-2). Universitas Sumatera Utara 16 16 Menurut Aeschylus (2008: 26, Karsito) drama berasal dari bahasa Yunani ”draomai” yang berarti berbuat, berlaku, bertindak dan sebagainya. Drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak. Drama juga berarti risalah, kejadian, atau karangan

Senin, 14 November 2016

Jenis Pantun


            Ada beberapa jenis pantun yaitu. Jika dilihat dari bentuknya kita kenal sebagai berikut:
1.    Pantun Biasa  (  Pantun biasa sering juga disebut pantun  saja.)

      Contoh :

            Kalau ada jarum patah
            Jangan dimasukkan ke dalam peti
            Kalau ada kataku yang salah
            Jangan dimasukan ke dalam hati

2.    Seloka (Pantun Berkait)
Seloka adalah pantun berkait yang tidak cukup dengan satu bait saja sebab pantun berkait merupakan jalinan atas beberapa bait.

Ciri-ciri Seloka :
a.    Baris kedua dan keempat  pada bait pertama dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait kedua.
b.    Baris kedua dan keempat pada bait kedua dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait ketiga
c.    Dan seterusnya

Contoh :
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan


3.    Talibun
Talibun adalah pantun jumlah barisnya lebih dari empat baris, tetapi harus genap misalnya 6, 8, 10 dan seterusnya.
Jika satu bait berisi enam baris, susunannya tiga sampiran dan tiga  isi.
      Jika satu bait berisi delapan baris, susunannya empat sampiran dan empat  isi.

      Jadi :
Apabila enam baris sajaknya a – b – c – a – b – c.
      Bila terdiri dari delapan baris, sajaknya a – b – c – d – a – b – c – d

      Contoh :
            Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli                sampiran
            Ikan panjang beli dahulu


            Kalau anak pergi berjalan
            Ibu cari sanak pun cari                   isi
            Induk semang cari dahulu


4.    Pantun Kilat ( Karmina) )
      Ciri-cirinya :
a.    Setiap bait terdiri dari 2 baris
b.    Baris pertama merupakan sampiran
c.    Baris kedua merupakan isi
d.    Bersajak a – a
e.    Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata

Contoh :
Dahulu parang, sekarang besi     (a)
Dahulu sayang sekarang benci   (a)

Berdasarkan isi nya pantun dibagi menjadi :

a)    Pantun muda mudi
Dari jauh kapal melintang
tampak haluan dengan kemudi
dari jauh kanda datang
apa maksud datang ke sini
b)    Pantun nasihat
Kalau anak pergi ke lepau
yu beli belanak pun beli
ikan panjang beli dahulu
kalau anak pergi merantau
ibu cari sanakpun cari
induk semamg cari dahulu
c)    Pantun agama
Kemumu di dalam semak
buah kepayang banyak minyaknya
biar ilmu setinggi tegak
tak sembayang apa gunanya
d)    Pantun  Jenaka
Iluk nian bukit sumbing
jalan ke sawah bersimpang duo
iluk nian bebini sumbing
biak marah ketawo jugo
e)    Pantun orang tua
Kalau anak pergi ke pasar
jangan lupa membeli baju
kalau anak sedang belajar
jangan lupa pesan guru
f)     Pantun anak-anak
Anak kecubung mandi di sawah
botol kosong nyaring bunyinya
anak sombong banyak ketawa
suka bohong banyak musuhnya

Pengertian Pantun


            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (1984: 728) dinyatakan bahwa” Pantun adalah bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) biasanya terdiri atas empat baris yang bersajak (a-b-a-b). Tiap larik biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama atau kedua adalah merupakan tumpuan (sampiran), sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi.
            Pendapat lain mengatakan bahwa pantun adalah jenis karangan yang (puisi) terikat oleh bait, baris rima dan irama. Dari pengertian ini dapat dipertegas bahwa pantun adalah salah satu produk berbentuk puisi, tetapi lebih terikat pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan biasanya karya pantun lebih akrab dengan orang Melayu, karena merupakan kebudayaan asli orang Melayu. Dalam  pantun terpendam mutiara-mutiara  dan kaidah-kaidah yang benilai tinggi untuk dijadikan sebagai pedoman bermasyarakat orang Melayu.  Sebagaimana diungkapkan oleh Hakymi (2004) bahwa: ” dalam pepatah-petitih, mamang, bidal, pantun dan gurindam tersimpan mutiara-mutiara dan kaidah-kaidah yang tinggi nilainya untuk kepentingan hidup bergaul dalam masyarakat. Kalimat-kalimat yang disusun, diucapkan dengan kata-kata kiasan mengandung makna yang tersirat di dalamnya.”

Pengertian Kedwibahasaan


Kedwibahasaan seseorang ialah kebiasaan orang memakai dua bahasa dan penggunaan bahasa itu secara bergantian (Nababan, 1992:103). Kondisi ini terjadi pada masyarakat bangsa Indonesia karena di Negara ini terdiri atas beberapa bahasa daerah berdasarkan suku daerah tersebut. Kemudian bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, sehingga mendorong dan mengharuskan masyarakat Indonesia menjadi dwibahasawan. Karena di samping bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pertama) dari masyarakat itu, harus pula belajar dan memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, agar komunikasi antar warga dapat berjalan lancar. Apalagi kalau dua orang yang berbeda suku bangsa dan daerah, maka untuk berkomunikasi tentunya menggunakan bahasa kedua.
Salah satu hasil pemerolehan atau pembelajaraan bahasa kedua ialah bahwa orang yang belajar atau memperoleh bahasa kedua itu menguasai dua bahasa, yang disebut dengan kemampuan dwibahasa (bilingualitas). Oleh karena itu, seseorang belajar bahasa kedua untuk menggunakannya dalamkeadaan di mana bahasa kedua itu diperlukan.
Menurut Nababan (1984) yang dikutip oleh Sri Utari Nababan (1992:104), bahwa penggunaan kedwibahasaan (bahasa daerah dan bahasa Indonesia) terjadi karena :
a)    Dalam Sumpah Pemuda (1928) penggunaan bahasa Indonesia dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme.
b)   Bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar di samping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia.
c)    Perkawinan campur antarsuku.
d)   .Perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain yang disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan dan pegawai, dan sebagainya.
e)     Interaksi antarsuku, yakni dalam perdagangan, sosialisasi dan urusan kantor atau sekolah.
f)    . Motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi dan kepentingan hidup.
Berdasarkan pengertian di atas mengenai kedwibahasaan, maka yang dimaksud dengan dwibahasawan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa.