Tampilkan postingan dengan label judul ilmu sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label judul ilmu sosial. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 Maret 2019

Indikator Pengelolaan Keuangan Daerah (skripsi dan tesis)


Soleh dan h Heru (2010), prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi:
1)   Akuntabilitas
Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat atau amanah yang diterimanya. Untuk itu, baik dalam proses perumusan kebijakan, cara untuk mencapai keberhasilan atas kebijakan yang telah dirumuskan berikut hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal kepada masyarakat. Kerugian Daerah Berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga dan barang,yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
2)   Value for Money
Indikasi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadilan tersebut hanya akan tercapai apabila penyelenggaraan pemerintahan daerah dikelola dengan memperhatikan konsep value for money, yang mencakup:
a.    Ketidakhematan
Temuan mengenai ketidakhematan mengungkap adanya penggunaan input dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar, kuantitas/kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pengadaan serupa pada waktu yang sama.
b.    Ketidakefektifan
Temuan mengenai ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome) yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan yang tidakmemberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai.
c.    Kejujuran dalam Mengelola Keuangan Publik (Probity)
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan, yang mencakup:
                         i.          Potensi kerugian daerah
Potensi kerugian daerah adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa berkurangnya uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya.
                       ii.          Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah daerah dalam membuat kebijkan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang mencakup:
a)    Administrasi
Temuan administrasi mengungkap adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian daerah atau potensi kerugian daerah, tidak mengurangi hak daerah (kekurangan penerimaan). Tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana.
b)   Pengendalian
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus sering dievaluasi yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap pendapatan dan belanja daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians untuk kemudian dilakukan tindakan antisipasi ke depan.

Keuangan Daerah (skripsi dan tesis)


Abdul Halim (2012) mengemukakan bahwa, pengelolaan keuangandaerah terdiri atas pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pengurusan umum berkaitan dengan APBD, sedangkan pengurusan khusus berkaitan dengan barang inventaris daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah akan terlaksana secara optimal jika penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu pada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menyatakan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 39 Ayat 2 disebutkan bahwa penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 menyebutkan bahwa untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.

Pelaksanaan Pemerintah Daerah (skripsi dan tesis)


Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahn daerah seperti yang dijelaskan pada penjelasan UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah bahwa pembangunan daerah sebagi bagian integral dari pembangunan nasional dilaksankan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatakan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ketrbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.
Hakekat suatu negara dalam menyelenggarakn pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan yaitu mengemban 3 fungsi yaitu (1) fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat, (2) fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan dan (3) fungsi stabilisasi yang meliputi pertahanan keamanan, akonomi dan moneter. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah daerah, karena daerah pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat (Adisubrata, 2013).
Sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 bahwa ada urusan pemerintahan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, urusan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, yustisi dan agama, urusan tertentu pemerintah yang berskala nasional yang tidak diserahkan kepada daerah. Keserasian hubungan yang disebut juga pengelolaan bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintah yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperlihatkan cakupan kemanfaatannya. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada 2 urusan yaitu: a) Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasrana lingkungan dasar, b) Urusan pilihan adalah urusan pemerintah daerah yang bersifat berkaitan dengan potensi daerah dan kekhasan daerah.
Dalam pelaksanaannya tidak semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah. Pemerintah pusat berat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar asas dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan aparatur pemerintah pusat. Maka dari itu urusan pemerintah daerah dapat dilakukan menurut asas tugas pembantuan yang pada dasrnya merupakn keikutsertaan daerah atas penugasan dari pemerintah pusat atau daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada yang diserahkan kepada provinsi, dan ada yang diserahkan kepada kabupaten kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten kota maka, disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahn antar tingkat pemerintahn yang meliputi (Sobandi et. Al, 2016):
a.         Kriteria Eksternalitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemrintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten kota. Apabila dampaknya regional, maka menjadi kewenangan provinsi dan apabila dampaknya nasional, maka menjadi kewenangan pemerintah.
b.        Kriteria Akuntabilitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung dekat dengan dampak akibat urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
c.         Kriteria Efisiensi ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, daya, peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan.
Untuk itu pembagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko yang dihadapi.

Tujuan Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)


Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tamboto et all 2014).
Menurut Mardiasmo (2012), tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan hidup demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Halim (2009) dalam Sijabat et all (2013) pelaksanaan otonomi daerah, salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur rumah tangganya adalah self supporting di dalam bidang keuangan. Artinya, daerah harus mampu untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri serta mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan daerahnya.
 Tujuan otonomi daerah menurut Smith (1985) dalam Analisa CSIS yang dikemukakan oleh Syarif Hidayat dalam Abdul Halim, (2014) dibedakan dari dua sisi kepentingan, yaitu kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari sisi Pemerintah Pusat tujuan utamanya adalah pendidikan politik, pelatihan kepemimipinan, menciptakan stabilitas politik dan mewujudkan demokrasi sistem Pemerintah di daerah. Sementara, bila dilihat dari sisi Pemerintha Daerah ada tiga tujuan yaitu:
a.    Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality, artinya melalui otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat local atau daerah.
b.    Untuk menciptakan local accountability, artinya dengan otonomi akan meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam memperhatikan hak-hak masyarakat.
c.    Untuk mewujudkan local responsiveness, artinya dengan otonomi daerah diharapkam akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan akselerasi pembangunan dan ekonomi daerah.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usahausaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:
a.    Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
b.    Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.
c.    Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan. (Mardiasmo, 2012).

Prinsip Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)


Landasan Hukum Otonomi DaerahOtonomi daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintahyang berdasarkan asas desentralisasi yang diwujudkan agar otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab dilaksanakan dalam NKRI yang telah diatur dalam kerangka landasannya di dalam UUD 1945 antara lain: (i) Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. (ii) Pasal 18 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dasar pemusyawaratan dalam sisitem pemerintah negara dan hak-hak, asal-usul dalm daerah yang bersifat istimewa.” (Bachrul Elmi, 2012).
Penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serat memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal- hal yang mendasar dalam UU ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarasa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (  Adisubrata, 2013).
Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Berdasar pada UU No.23/2014, prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
1)   Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi,keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2)   Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945
3)   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
4)   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.
5)   Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan nasional.
6)   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7)   Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8)   Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan

Pengertian Otonomi Daerah (skripsi dan tesis)


Otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yakni penyerahan urusan pemerintah kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya. Menurut Ahmad Yani (2012) salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada Pemerintah Daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah
Secara etimologis, kata otonomi berasal dari bahasa latin: auto berarti sendiri dan nomein berarti peraturan, atau undang-undang. Maka autonom berarti mengatur sendiri, atau memerintah sendiri, atau dalam arti luas adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri . Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2014, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan  mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dijelaskan pula bahwa Republik Indonesia menganut asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dalam penyelenggaraan pemerintah dengan member kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi dearah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Otonomi dearah merupakan realisasi dari ide desentralisasi. Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi itu sendiri.
 Menurut Sidik (Badrudin, 2012:19), konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, dan desentralisasi administrasi. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dan menetapkan prioritas pembangunanya. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah dalam mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing.
Menurut Mardiasmo (2002) otonomi daerah dan desentralisasi fiskal akan memberikan manfaat yang optimal jika diikuti oleh kemampuan finansial yang memadai oleh daerah otonom. Dengan adanya desentralisasi fiskal daerah dituntut untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerahnya sehingga mampu bersaing dengan daerah lain melalui penghimpunan modal pemerintah daerah untuk kebutuhan investasi dan atau kemampuan berinteraksi dengan daerah lain
. Agar tujuan desentralisasi fiskal dapat tercapai, maka terdapat empat elemen utama yang harus diperhatikan (Mardiasmo, 2015), yaitu
1) sistem dana perimbangan (transfer),
2) sistem pajak dan perimbangan daerah,
3) sistem administrasi dang anggaran pemerintah pusat dan daerah, serta
4) penyediaan layanan publik.
Menurut Halim (Andriyanto et all 2007) agar implementasi otonomi daerah dapat berhasil dengan baik paling tidak ada lima strategi yang harus diperhatikan yaitu:
(i)        Self Regular Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan masyarkat didaerahnya;
(ii)      Self Modifying Power, berupa kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah ditetapkan secara nasional sesuai dengan komdisi daerah ternmasuk terobosan inovasi kearah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah;
(iii)    Creating Local Political Support, dalam arti penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya, baik pada posisi kepala daerah sebagai eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan legislatif;
(iv)     Managing Financial Resources, dalam arti mampu mengembangkan kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan keuangan guna membiayai aktivitas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat; serta
(v)      Developing Brain Power, dalam arti membangun 13 sumber daya manusia yang handal dan selalu bertumpu pada kapabilitas menyelesaikan masalah.
Menurut Said (Badrudin, 2012:17), terdapat empat perspektif yang mendasari segi positif dan empat perspektif yang mendasari segi negative otonomi daerah. empat perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yaitu sarana untuk
1) demokratisasi,
2) membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintah,
3) mendorong stabilitas dan kesatuan nasional, dan
 4) memajukan pembangunan daerah.
Sedangkan empat perspektif negative yang mendasari otonomi daerah, yaitu
a.         menciptakan fragmentasi dan keterpecahbelahan yang tidak diharapkan,
b.         melemahkan kualitas pemerintahan,
c.         menciptakan kesenjangan antardaerah yang lebih besar, dan
d.        memungkinkan terjadinya penyimpangan arah demokrasi yang lebih besar.
Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang Keuangan Daerah tujuan otonomi daerah adalah sebagai berikut: Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahn yang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan masyarakat atau adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan didaerah. Sementara upaya  peningkatan daya saing diharapkan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan keanekaragaman yang dimilki oleh darah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jenis Pengawasan (skripsi dan tesis)


1)        Pengawasan dipandang dari kelembagaan yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol dapat dibedakan menjadi pengawasan intern (internal control) dan pengawasan ekstern (ekstern control) (Fachrudin, 2014).
a) Pengawasan intern (internal control) adalah pengawasan yang masih termasuk organisasi dalam lingkungan pemerintah, misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hirarkhis. Bentuk  kontrol yang seperti itu dapat digolongkan sebagai jenis kontrol teknis administratif.
b) Pengawasan ekstern (ekstern control) adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ secara struktur organisasi berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif, misalnya: pengawasan yang dilakukan secara langsung, seperti pengawasan keuangan yang dilakukan oleh BPK, pengawasan sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk media masa, pengawasan politis yang dilakukan lembaga-lembaga perwakilan rakyat terhadap pemerintah (eksekutif). Pengawasan reaktif yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicial control) antara lain peradilan umum dan peradilan administrasi dalam hal timbul persengketaan dengan pihak pemerintah.
2)        Menurut Fachruddin (2014), pengawasan dipandang dari segi waktu pelaksanaan, pengawasan dibedakan menjadi 2 yaitu :
a.    Pengawasan apriori
Pengawasan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan atau  dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah atau peraturan lainya yang menjadi wewenang pemerintah.  Pengawasan ini mengandung unsur pengawasan preventif yaitu mencegah dan menghindarkan terjadinya kekeliruan.
b.      Pengawasan a-posteriori
Pengawasan yang dilakukan sesudah dikeluarkan suatu keputusan suatu ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan pemerintah. Pengawasan ini mengandung unsur represif yaitu bertujuan mengkoreksi tindakan yang keliru.
3)        Dipandang dari aspek yang diawasi bahwa pengawasan dibedakan yaitu
a.    Pengawasan segi hukum
Pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai segi-segi hukumnya saja.
b.    Pengawasan segi kemanfaatan
Pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai segi kemanfaatannya.
4)        Dipandang dari cara pengawasan, pengawasan dibedakan kepada:
a.    Pengawasan unilateral
Pengawasan yang penyelesaiannya sepihak dari pengawas.
b.    Pengawasan refleksif
Pengawasan yang penyelesaiannya dilakukan melalui proses timbal balik berupa dialog dan negosiasi antara pengawas dengan yang diawasi.

Peran dan Fungsi Pengawasan Oleh DPRD (skripsi dan tesis)


Menurut Stoner dan Freeman (2009) pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai dengan rencana kegiatan. Pendapat lain, di kemukakan oleh Koontz dalam buku yang sama (2009) menurut beliau Pengawasan adalah untuk melakukan pengukuran dan tindakan atas kinerja yang berguna untuk meyakinkan organisasi secara objektif dan merencanakan suatu cara dalam mencapai tujuan organisasi. Pendapat lain dikemukakan oleh Terry (2011), bahwa pengawasan dititik beratkan pada tindakan evaluasi serta koreksi terhadap hasil yang telah dicapai. Dengan maksud agar hasil tersebut sesuai dengan rencana. Dengan demikian tindakan pengawasan ini tidak dilakukan terhadap suatu proses kegiatan yang sedang berjalan, akan tetapi justru pada akhir suatu kegiatan, setelah kegiatan tersebut menghasilkan sesuatu.
Menurut Hans Kelsen (2009) dalam bukunya yang berjudul teori umum tentang hukum dan negara, ia mengungkapkan bahwa pengawasan muncul ketika trias politika memisahkan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan adanya pemisahan tersebut, muncul fungsi pengawasan di setiap masing masing bidang pemerintahan. Dengan adanya fungsi tersebut terdapat suatu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat.
Lembaga administrasi Negara Republik Indonesia (2017) dalam mengemukakan pengertian pengawasan sebagai salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana kebijakan, intruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku.
Lembaga Administrasi Negara Indonesia (2017) memberikan pernyataan bahwa hasil pengawasan harus dijadikan masukan oleh pimpinan dalam pengambilan keputusan yaitu, untuk :
a.    Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidaktertiban.
b.    Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak tertiban tersebut.
c.    Mencari cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai tujuan dan melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Jadi fungsi pengawasan tersebut adalah untuk mencegah sekecil dan sedini mungkin terjadinya suatu penyimpangan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas. Persoalannya tanpa pengawasan, proses pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas bisa saja menyimpang atau bertentangan dari prosedur dan ketentuan yang berlaku. Hal ini banyak terjadi, terutama dalam hal keuangan.
Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat di lakukan sejak tahap perencanaan, (2) Tahap perencanaan penting karena DPRD memiliki kewenangan untuk menilai dan membuat rancangan peraturan daerah dan memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah. Dalam pengawasan ini DPRD memiliki wewenang dalam melakukan pengawasan mulai dari serap aspirasi masyarakat hingga perencanaan APBD itu selesai di buat. Dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dapat dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui kiarifikasi, uji validitas, uji relevansi, dan uji effectiveness dan kompromi penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, rekomendasi untuk perbaikan dan pengujian ulang. Dalam pengawasan ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai hak untuk menolak Rancangan Aggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) yang diajukan oleh pemerintah daerah dengan alasan-alasan dan hasil uji atau analisa yang dilakukan bahwa Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah yang diajukan tidak realistis untuk besarnya biaya yang dianggarkan maupun manfaat yang diperoleh tidak menyentuh kepentingan masyarakat, karena usulan kegiatan tidak sesuai dengan arah dan kebijakan umum, sehingga Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah perlu disempurnakan (Sadu Wasistiono dan Yonatan Wiyoso, 2009).
(2) Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tahap Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Dalam pengawasan pada tahap pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilakukan dengan cara mengadakan rapat kerja dengan unsur Pemerintah Daerah, yang kemudian dirumuskan menjadi kebijakan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga mengadakan kunjungan kerja ke daerah-daerah, lokasi dimana program yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dilaksanakan, dengan tujuan untuk melihat apakah program tersebut sudah sesuai dengan rencana semula dan mencapai sasaran yang diinginkan/diharapkan atau tidak (Atmosudirjo 2013)
Berdasarkan pengertian tersebut diketahui bahwa pengawasan dilakukan oleh seorang pimpinan dan pengawasan adalah tanggung jawab dari pimpinan tersebut. Hakikatnya bahwa pengawasan bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan

Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD (skripsi dan tesis)


Esensi Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia 1945 beserta penjelasan pasal tersebut, diamanatkan bahwa daerah-daerah yang bersifat otonom diadakan Badan Perwakilan Rakyat Daerah, karena didaerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. Arti penting dari badan perwakilan adalah menjadi atribut demokratisasi penyelenggaraaan pemerintahan daerah. Atas dasar prinsip normatif demikian dalam praktik kehidupan demokrasi sebagai DPRD memiliki posisi sentral yang biasanya tercermin dalam doktrin kedaulatan rakyat. Hal ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa DPRD yang dapat mewakili rakyat dan memiliki kompetensi untuk memenuhi kehendak rakyat.
Perwujudan dari fungsi DPRD, seperti hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan, hak meminta keterangan, hak prakarsa, hak penyelidikan menjadi modal besar dalam menghadapi kekuasaan pemerintah daerah. Dalam tatanan tersebut kekuasaaan DPRD menjadi lemah dibandingkan kekuasaan pemerintah daerah. Kekuasaan DPRD dan kekuasaan pemerintah daerah terjadi ketidak seimbangan antar kekuasaan. Oleh karena itu dibutuhkan mekanisme cheks and balances antara kedua kekuasaan tersebut dan hanya bisa dihindari apabila terdapat pengawasan dan kontrol, dalam rangka terwujudnya pelaksanaan pemerintahan daerah yang bersih.
Tugas dan wewenang DPRD berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah adalah :
a.    Membentuk Peraturan Daerah (Perda) yang dibahas dengan Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
b.    Membahas dan menyetujui rancangan Peraturan Daerah tentang APBD bersama kepala daerah;
c.    Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah; d) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota;
d.   Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;
e.    Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
f.     Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah;
g.    Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
h.    Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
i.        Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
Adapun fungsi dari DPRD sama dengan fungsi DPR-RI yang mencakup tiga hal, yaitu:”fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.” Sementara itu tugas dan wewenang DPRD, yaitu:
a.    membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
b.    membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur;
c.    melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi;
d.   mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian gubernur dan/atau wakil gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
e.    memilih wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur;
f.     memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g.    memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi;
h.    meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;
i.      memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j.      mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k.    melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
Urgensi Lembaga Perwakilan Rakyat (Badan Legislatif) Badan legislatif adalah lembaga yang legislate atau membuat undang-undang, yang anggota-anggotanya dianggap mewakili rakyat, maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan pewakilan Rakyat (DPR) (Budiardjo, 2015) dan fungsi badan legislatif diantaranya ialah: fungsi di bidang perundang-undangan, fungsi dibidang pengawasan, dan fungsi di bidang anggaran. Fungsi di bidang perundang-undangan yang biasanya dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Dalam rangka ini badan legislatif memiliki hak inisiatif (mengusulkan RUU) dan hak amandemen (mengubah RUU). Fungsi dibidang pengawasan adalah fungsi untuk mengawasi tindakan atau kebijakan pemerintah. Dalam hal ini badan legislatif memiliki hak interpelasi (meminta keterangan) dan hak angket (melakukan penyelidikan). Sedangkan fungsi anggaran yaitu fungsi untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara. Hak untuk itu biasa disebut hak budget (Sunarto, 2014)

Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (skripsi dan tesis)


Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Berbasis Masyarakat Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sampah yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah”. Tanggung jawab pengelolaan sampah ada pada masyarakat sebagai produsen timbulan sampah sejalan dengan hal tersebut, masyarakat sebagai produsen timbulan sampah diharapkan terlibat 28 secara total dalam lima sub sistim pengelolaan sampah, yang meliputi sub sistem kelembagaan, sub sistem teknis operasional, sub sistem finansial, sub sistem hukum dan peraturan serta sub sistem peran serta masyarakat.
 Menurut (Syafrudin, 2004), salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah melaksanakan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat, seperti minimasi limbah dan melaksanakan 5 R (Reuse, Recycling, Recovery, Replacing dan Refilling). Kedua program tersebut bisa dimulai dari sumber timbulan sampah hingga ke Lokasi TPA. Seluruh sub sistem didalam sistem harus dipandang sebagai suatu sistem yang memerlukan keterpaduan didalam pelaksanaannya. (Tchobanoglous, 1993 dalam Syafrudin, 2004). “Sistem pengelolaan sampah terpadu (Integrated Solid Waste management) didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan program teknologi dan manajemen untuk mencapai sistem yang tinggi.” Dengan mempelajari berbagai teori dan pemahaman terkait dengan konsep pengelolaan sampah dalam hubungannya dengan proses perencanaan sampai dengan pembangunan yang berkelanjutan, serta teori peran serta, maka dapat diajukan kerangka konsep pola/bentuk peran serta masyarakat dan kelembagaan dalam pengelolaan sampah dengan pendekatan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat.
Munculnya pendekatan dengan pelibatan masyarakat ini didasari dari pemikiran terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup di perkotaaan akibat perilaku manusia. Sedangkan program-program yang dijalankan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran agar dapat merubah perilaku kurang memberikan hasil  sesuai yang diharapkan. Untuk itu diperlukan adanya pengelolaan lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup. Prinsip pengelolaan lingkungan sosial harus mengutamakan pelibatan warga masyarakat atau komunitas secara penuh, dengan kata lain pengembangan dan perencanaan pengelolaan lingkungan sosial menggunakan pendekatan partisipatif, dan masyarakat sebagai inti dalam pendekatan tersebut. Pendekatan ini dalam pelaksanaannya ditekankan pada inisiatif lokal dengan memperkuat kapasitas masyarakat karena merupakan bottom-up approach yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh, melalui aspek ekonomi, sosial, budaya secara terintregrasi dan berkesinambungan. Pada akhirnya dapat memperkuat kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang bermuara terhadap perubahan perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup secara berkelanjutan (Kipp and Callaway, 2004).
Dalam upaya pelibatan masyarakat tersebut, terjadi interaksi sosial yang intensif dalam bentuk kerjasama sesuai dengan kedudukan dan perannya masingmasing dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kerjasama itu dilakukan oleh seluruh anggota dalam kelompoknya dalam upaya pemenuhan kebutuhan prasarana. Pada dasarnya tanggungjawab penyediaan prasarana dilakukan oleh pemerintah, melalui berbagai program pembangunan. Dari pengalaman masa lalu dapat dilihat akibat pendekatan pembangunan yang kurang mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat dengan tidak berfungsi dan terpeliharanya hasil pembangunan, khususnya prasarana pemukiman. 30 Pembangunan berkelanjutan, menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan sehingga mampu mengidentifikasi, menganalisa serta merumuskan kebutuhannya sendiri dalam upaya perbaikan kualitas hidup.
Pembangunan dalam pelaksanaan pengelolaan sampah perlu adanya pelibatan masyarakat secara nyata dalam aktivitas-aktivitas riil yang merupakan perwujudan program yang telah disepakati dalam kegiatan fisik. Bentuk, tingkatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam berperan serta harus mampu diidentifikasi dan dianalisa sehingga dapat dipergunakan sebagai pendekatan atau model pembangunan partisipatif yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Dalam beberapa hal karena kondisi masih rendahnya pendidikan dan pengetahuan masyarakat sehingga diperlukan adanya keterlibatan peran organisasi non pemerintah/LSM yang bermitra baik dengan pemerintah sebagai salah satu pihak yang berperan dalam pembangunan melalui pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas kesukarelaan. Adapun pemerintah dalam hal ini berperan dalam memfasilitasi kegiatan yang akan dilakukan, melalui perbaikan manajemen pengelolaan, perbaikan metode, penyediaan tenaga ahli, pelatihan ketrampilan, penyediaan informasi dan komunikasi yang berorientasi kepada proses pemberdayaan masyarakat. Keterlibatan penuh masyarakat dalam setiap tahapan mekanisme pembangunan dapat dilihat dari berbagai faktor, seperti kesediaan dan keaktifan untuk menghadiri pertemuan dan kegiatan kerjabakti, pemberian sumbangan dana, tenaga dan material dalam pelaksanaan serta pemeliharaan yang nantinya dapat dirasakan manfaatnya.
Dalam operasi dan pemeliharaaan, khususnya prasarana yang dipakai bersama, masyarakat menginginkan suatu bentuk pengelolaan yang terorganisir dalam kepengurusan. Dalam organisasi ini membentuk suatu aturan, norma, kaidah yang disepakati bersama sehingga mampu mengikat anggotanya untuk patuh dalam melaksanakan tugas operasi dan pemeliharaan prasarana. Kemampuan prasarana dalam pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh terhadap tingkatan peran serta masyarakat. Apabila seluruh warga merasakan manfaatnya maka dengan sendirinya akan timbul kesadaran yang sifatnya sukarela. Kesadaran keberlanjutan terhadap prasarana akan dipahami lebih mudah oleh masyarakat bila kinerja prasarana yang dimiliki oleh masyarakat berjalan dengan baik dan kontinu.
 Dalam meningkatkan peran serta masyarakat diperlukan perubahan perilaku dengan pemahaman terhadap kondisi masyarakat setempat dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat karena hal ini dapat membangun kepercayaan sehingga mempermudah implementasi program. Pemahaman tersebut berkaitan dengan kondisi internal masyarakat meliputi lamanya tinggal dan status hunian. Dengan memahami kondisi masyarakat akan dapat diketahui kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dalam melaksanakan perilaku yang berkelanjutan diperlukan komitmen untuk menunjang keberhasilan program yang dilaksanakan dengan kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.