Tampilkan postingan dengan label ilmu lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu lingkungan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Oktober 2021

Evaluasi kesesuaian lahan Tambak Garam (skripsi dan tesis)

Evaluasi kesesuaian lahan sangat penting untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang mempunyai potensi untuk penggunaan tertentu sehingga dapat dikembangkan secara intensif. Dalam penentuan kesesuaian lahan diperlukan kriteria untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Persyaratan tersebut dapat berhubungan dengan penggunaan lahan itu sendiri (biofisik), kondisi sosial ekonomi, budaya dan lingkungan kelembagaan.

Costa et al. (2015) menyatakan bahwa tambak garam di seluruh dunia bervariasi kandungan nutrisi dan kandungan air garam terkonsentrasinya (brines). Variasi ini di antaranya bergantung pada letak geografis, musim dan manajemen tambak garam. Walaupun sebenarnya sudah banyak studi mengenai hal tersebut,namun hanya sedikit yang mengembangkan metode manajemen air gram terkonsentrasi khususnya dengan cara memetakannya berdasarkan parameter limnologi silklus air garam terkonsentrasi untuk membantu manajemen tambak garam.

Lebih lanjut menurut Costa et al. (2015) penelitian mengenai kesesuaian lahan tambak garam dapat digunakan oleh perusahaan pembuatan garam untuk menentukan lokasi mana yang paling baik digunakan sebagai tambak garam berdasarkan parameter limnologinya dalam bentuk model spasial.

Pengelolaan Tambak Garam (skripsi dan tesis)

Garam adalah benda padat berbentuk kristal putih yang tersusun atas senyawa Natrium Klorida (>80 %) dan senyawa lainnya seperti Magnesium Klorida, Magnesium Sulfat, Kalsium Klorida dan lain-lain. Memiliki sifat mudah menyerap air, dengan tingkat kepadatan (density) 0,8-0,9 dan memiliki titik lebur pada suhu 801oC (Purbani, 2003). Garam di Indonesia berdasarkan SNI dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi dipergunakan antara lain untuk keperluan konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan, sedangkan garam industri dimanfaatkan antara lain untuk keperluan industri perminyakan, tekstil dan industri penyamakan kulit, CAP (Chlor Alkali Plant) yang digunakan untuk proses kimia dasar pembuatan soda dan chlor dan pharmaceutical salt (Purbani, 2003). Garam diproduksi dengan cara menguapkan air laut yang dipompa di lahan penggaraman. Kondisi cuaca menjadi salah satu penentu keberhasilan target produksi garam (Mahdi, 2009)

Pembuatan garam dari air laut terdiri dari proses pemekatan air laut dengan penguapan dan pengkristalan garam. Bila seluruh zat yang terkandung dalam air laut diendapkan/dikristalkan akan terdiri dari campuran bermacam-macam zat yang terkandung, tidak hanya Natrium Klorida yang terbentuk tetapi juga beberapa zat yang tidak diinginkan ikut terbawa (impurities). Proses kristalisasi yang demikian disebut kristalisasi total. Jika kristalisasi/pengendapan zat tersebut diatur pada tempat yang berlainan secara berturut-turut maka dapat diusahakan terpisahnya komponen garam yang relatif lebih murni. Proses kristalisasi demikian disebut kristalisasi bertingkat. Kristalisasi garam Natrium Klorida yang kemurniannya tinggi terjadi pada kepekatan 25°Be sehingga menjadi 29°Be, sehingga pengotoran dalam garam yang dihasilkan dapat dihindari/dikurangi. Ada dua macam konstruksi penggaraman yang dipakai di Indonesia (Santosa, 2014):

  1. Konstruksi tangga (getrapte).

Konstruksi tangga (getrapte) adalah konstruksi yang terancang khusus dan teratur dimana suatu petak penggaraman merupakan suatu unit penggaraman yang komplit, terdiri dari peminihan-peminihan dan mejameja garam dengan konstruksi tangga, sehingga aliran air berjalan secara alamiah (gravitasi).

  1. Konstruksi komplek meja (tafel complex)

Konstruksi komplek meja (tafel complex) adalah konstruksi penggaraman dimana suatu kompleks (kelompok-kelompok) penggaraman yang luas yang letaknya tidak teratur (alamiah) dijadikan suatu kelompok peminihan secara kolektif, yang kemudian air pekat (air tua) yang dihasilkan dialirkan ke suatu meja untuk kristalisasi. Pengaturan aliran dan tebal air dari peminihan satu ke berikutnya dalam kaitannya dengan faktor-faktor arah kecepatan angin dan kelembaban udara merupakan gabungan penguapan air (koefisien pemindahan massa). Kadar/kepekatan air tua yang masuk ke meja kristalisasi akan mempengaruhi mutu hasil. Pada kristalisasi garam konsentrasi air garam harus antara 25–29°Be. Bila konsentrasi air tua belum mencapai 25°Be maka gips (Kalsium Sulfat) akan banyak mengendap, bila konsentrasi air tua lebih dari 29°Be Magnesium akan banyak mengendap. Air Bittern adalah air sisa kristalisasi yang sudah banyak mengandung garamgaram magnesium (pahit). Air ini sebaiknya dibuang untuk mengurangi kadar Mg dalam hasil garam, meskipun masih dapat menghasilkan kristal NaCl. Sebaiknya kristalisasi garam dimeja terjadi antara 25–29°Be, sisa bittern ≥ 29°Be dibuang.

Pungutan garam di atas lantai garam, yang terbuat dari kristal garam yang dibuat sebelumnya selama 30 hari, berikut tiap 10 hari dipungut, disebut sistem portugis. Sedangkan pungutan garam yang dilakukan di atas lantai tanah, selama antara 10– 15 hari garam diambil di atas dasar tanah disebut sistem maduris. Pencucian garam bertujuan untuk meningkatkan kandungan NaCl dan mengurangi unsur Mg, Ca, SO4 dan kotoran lainnya. Air pencuci garam semakin bersih dari kotoran akan menghasilkan garam cucian lebih baik atau bersih. Persyaratan air pencuci yang digunakan biasanya air garam (Brine) dengan kepekatan 20–24°Be dengan kandungan Mg kurang dari 10 g/liter.

Mengingat kondisi tambak garam yang dilakukan di sentra-sentra garam yang masih bersifat tradisional, maka berbagai parameter iklim berikut ini sangat menentukan keberhasilan produksi garam. Secara garis besar kondisi iklim yang menjadi persyaratan agar suatu wilayah dapat menjadi tambak garam menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dan Badan Meteorologi & Geofisika (BMG) (2005) adalah:

  1. Curah hujan tahunan yang kecil, curah hujan tahunan daerah garam antara 1000 1300 mm/tahun.
  2. Mempunyai sifat kemarau panjang yang kering yaitu selama musim kemarau tidak pernah terjadi hujan. Lama kemarau kering ini minimal 4 bulan (120 hari).
  3. Mempunyai suhu atau penyinaran matahari yang cukup. Makin panas suatu daerah, penguapan air laut akan semakin cepat.
  4. Mempunyai kelembaban rendah/kering. Makin kering udara di daerah tersebut, peguapan akan makin cepat.

Sedangkan menurut Santosa (2014), beberapa faktor yang menjadi variabel dalam produksi garam adalah :

  1. Peningkatan kecepatan penguapan air laut.

Faktor yang paling menentukan terhadap kecepatan penguapan air laut adalah kecepatan angin dan radiasi matahari. Kecepatan angin berpengaruh karena angin membawa uap air dari permukaan air laut sedangkan radiasi berpengaruh karena merupakan sumber masukan energi yang menentukan berlangsungnya penguapan. Pemberian warna pada dasar tanah atau air laut dapat memperbesar radiasi netto dan suhu cairan. Demikian juga letak tanah akan memberikan pengaruh terhadap besarnya kecepatan angin yang diterima sehinga akan berpengaruh terhadap penguapannya. Upaya peningkatan kecepatan penguapan dengan menaikkan dua variabel diatas akan dapat meningkatkan produktifitas dari areal penggaraman.

  1. Penurunan peresapan tanah.

Resapan air laut kedalam tanah, terutama pada bagian peminian yang merupakan areal terluas dari lahan pegaraman (sekitar 80-90%) adalah faktor yang merugikan. Saat ini usaha pemadatan tanah lahan pegaraman hanya dilakukan pada meja-meja tempat kristalisasi (tempat pengendapan garam) sedang lahan peminihan sama sekali tak pernah dilakukan.

  1. Pengaturan konsentrasi pengkristalan garam.

Air laut mengandung berbagai senyawa garam dan masing-masing mengendap berdasarkan tingkat kelarutannya, mulai senyawa besi (ferri oksida), calsium (gips), Sodium (garam dapur) dan Magesium (Magnesium klorida dan sulfat). Diantara senyawa–senyawa garam yang terkandung didalam air laut NaCl merupakan senyawa yang paling besar porsinya. Dengan cara mengatur pengendapannya berdasarkan sifat-sifat kelarutannya akan diperoleh hasil NaCl yang maksimal. Bersadarkan hasil percobaan yang dilakukan Usiglio, NaCl akan mengendap pada konsentrasi antara 25 sampai dengan 29 oBe. Dengan cara mengatur pengen-dapan NaCl pada kisaran konsentrasi tersebut akan diperoleh endapan NaCl sebesar 70% dengan kemurnian 98%.

  1. Perbaikan cara pengolahan tanah.

Dalam produksi garam NaCl mengendap diatas permukaan tanah untuk itu kualitas visual garam yang diperoleh sangat ditentukan oleh kondisi tanah yang digunakan untuk pengendapan (kualitas meja kritalisasi). Kondisi tersebut sangat berpengaruh sekali terhadap kualitas produksi garam rakyat, sedangkan produksi cara PT. Garam hal tersebut dapat diatasi dengan cara pungutan garam diatas garam (karena sebelum pungutan periodik 10 harian terlebih dahulu dibuat landasan kristal garam yang berumur 30 hari). Untuk memperoleh kualitas tanah meja kristalisasi yang baik sebelum melakukan pelepasan air tua (air laut 25 oBe) tanah tersebut terlebih dahulu diperlakukan Kesap dan Guluk ( biasanya dilakukan 3 kali untuk memperoleh kualitas kekerasan tanah yang memenuhi syarat). Kesap dilakukan dengan tujuan untuk membuang lumpur dan lumut yang menempel pada permukaan tanah sedangkan Guluk bertujuan untuk mengeraskan landasan permukaan tanah. Dengan pengolahan tanah meja kristalisasi yang baik sebagaimana cara diatas akan dapat meningkatkan kualitas garam yang diperoleh.

  1. Penggunaan teknologi baru dalam produksi.

Misalkan teknologi proses pengkristalan garam menggunakan panas listrik atau gas dan teknologi dengan mengalirkan air garam, berputar putar untuk meningkatkan konsentrasinya

Pengelolaan Wilayah Pesisir (skripsi dan tesis)

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.16/MEN/2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan konsep keterpaduan (Intregrated Coastal Managemet Zone-ICMZ) dan berkesinambungan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dimaksud untuk dapat mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai perencanaan pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir. Menurut Abelshausen et al. (2015), menyebutkan bahwa ICZM didefinisikan sebagai proses yang dinamis untuk pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik khas dengan sumberdaya untuk generasi sekarang dan masa depan.

 Clark dalam Latief et al. (2012) menyatakan bahwa peran pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan pencapaian tujuan secara ekonomis dan tujuan konservasi pesisir. Hal ini dapat dicapai melalui rencana pengembangan, keputusan perencanaan dan implementasi kebijakan serta peningkatan lingkungan pesisir yang berjalan bersama dengan aspek rekreasiional dan pelayanan dari wilayah pesisir

Lang dalam Dahuri (2001) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level) yaitu tataran teknis, konsultatif dan koordinasi. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan harus seimbang/proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan. Sedangkan pada tataran konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (stakeholder) atau pihak yang akan terkena dampak pembangunan sumber daya pesisir harus diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan. Dan pada tataran koordinasi mensyarakatkan diperlukannya kerjasama yang harmonis antara semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.

Selasa, 21 April 2020

Hubugan antara Penggunaan Lahan dengan Daya Dukung Lingkungan (skripsi dan tesis)

 Wilayah sebagai “living systems” merefleksikan adanya keterkaitan antara pembangunan dan lingkungan. Dengan demikian, perubahan dalam ruang wilayah akan menyebabkan perubahan pada kualitas lingkungan baik postif maupun negatif. Padahal lingkungan hidup secara alamiah memiliki daya dukung yang terbatas (carrying capacity), Oleh karena itu perlu adanya inisiatif untuk mengintegrasikan komponen lingkungan dalam aspek pembangunan. Sistem pemanfaatan ruang pada dasarnya mengandung dua komponen utama yaitu komponen penyedia ruang (supply) dan komponen pengguna ruang (demand). Komponen penyedia ruang meliputi proses sumberdaya alam dan fisik binaan, sedangkan komponen pengguna ruang meliputi penduduk dengan aktivitasnya, baik aktivitas produksi maupun konsumsi. Bentuk tata ruang yang terjadi adalah hasil interaksi komponen supply dan komponen demand, berupa tipe-tipe dan perbedaan struktur, sebaran dan bentuk fisik ruang yang terjadi. Imbangan antara tingkat pemanfaatan sumberdaya lahan dan daya dukung dapat dijadikan ukuran kelayakan setiap program pembangunan. Sumberdaya (lahan) dipakai secara layak apabila daya dukung dimanfaatkan sepenuhnya (optimal). Dalam hal daya dukung tersebut tidak dimanfaatkan secara penuh, maka pembangunan tidak efektiv. Sebaliknya apabila pemanfaatan melampaui daya dukung, maka pembangunan menjadi tidak efisien dan cenderung menurunkan kualitas lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam mensaratkan diketahuinya daya dukung lingkungan saat ini. Melalui suatu analisis maka dapat kita proyeksikan kapan dan seberapa jauh kemampuan daya dukung tersebut dapat ditingkatnkan. Selain itu pemahaman tentang variasi keruangan dan faktor determinasi sangat membantu dalam merumuskan kebijakan pembangunan.

Hubungan antara Jumlah Penduduk dengan Daya Dukung Lingkungan (skripsi dan tesis)

Dalam kenyataannya pembangunan selalu memunculkan paradoks, salah satunya adalah makin berkurangnya kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan. Terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumberdaya alam atau lingkungan. Artinya, semakin bayak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk menyediakannya semakin terbatas. Apabila trend tersebut berlangsung terus-menerus, maka pada suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang disebut sebagai the limits to growthyang diperkenalkan oleh Meadows (dalam Berry, et al., 1993). Bahkan, Meadows secara berani juga memperkirakan akan terjadinya kondisi gawat bagi penduduk dunia jika pertumbuhan ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk tidak lagi segera dibatasi secara ketat. Senada dengan pernyataan di atas, jauh sebelumnya pertumbuhan penduduk dan bahan pangan telah lama menjadi perhatian para ahli. Masalahnya adalah laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dibandingkan dengan persediaan bahan makanan, seperti yang telah dicetuskan oleh Thomas Robert Malthus. Jadi, apabila pertumbuhan penduduk tidak dapat dikendalikan serta laju pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipacu, maka akan terjadi kekurangan persediaan pangan. Selain itu, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan manusia, sering manusia tidak dapat mengekang diri dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, sehingga kualitas lingkungan menjadi menurun.
Djojohadikusumo (1981) menyebutnya sebagai “krisis lingkungan”, yakni gejala akibat kesalahan atau kekurangan dalam pola dan cara pengelolaan sumber kebutuhan hidup manusia. Gejala-gejala tersebut dianggap sebagai   tekanan krisis yang membahayakan kelangsungan hidup manusia, seperti ancaman terhadap kejernihan udara dan sumber air, terhadap bahan makanan, terhadap kelangsungan produktivitas kekayaan alam flora dan fauna, dan sebagainya. Dan apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesehjateraan yang dicapai manusia menjadi tidak bermakna. Dalam perkembangan populasi penduduk, dapat dilihat bahwa dengan kondisi pertumbuhan jumlah penduduk yang signifikan bertambah dan tingkat polusi yang melekat pada kegiatan industri dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya, maka kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan menjadi sedemikian merosot, hingga pada akhirnya keseimbangan menjadi goyah dan kurva sumberdaya alam menjadi sangat merosot, bahkan sama sekali tidak mampu lagi mendukung aktivitas kemanusiaan. Dengan kata lain kondisi lingkungan dalam posisi gawat jika pertumbuhan penduduk tidak dikontrol secara ketat

Sumberdaya Lahan (skripsi dan tesis)

 Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, daerah industri, daerah pemukiman, jalan untuk transportasi, daerah rekreasi atau daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) mendefinsikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Oleh karena itu sumberdaya lahan dapat dikatakan sebagai ekosistem karena adanya  hubungan yang dinamis antara organisme yang ada di atas lahan tersebut dengan lingkungannya (Mather, 1986). Dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan seringkali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (untuk jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya, sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berimplikasi pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Dengan demikian, secarakeseluruhan aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita (Rustiadi, 2001)

Perubahan Penggunaan Lahan (skripsi dan tesis)

Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. (Wahyunto et al., 2001). Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan  penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Para ahli berpendapat bahwa perubahan penggunaan lahan lebih disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Menurut McNeill et al., (1998) faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi dan budaya. Aspek politik adalah adanya kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola perubahan penggunaan lahan. 
 Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Grubler (1998) mengatakan ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah. 3
Menurut Adjest (2000) di negara Afrika Timur, sebanyak 70% populasi penduduk menempati 10% wilayah yang mengalami perubahan penggunaan lahan selama 30 tahun. Pola perubahan penggunaan lahan ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan transmigrasi serta faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang sangat penting dalam fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang pada akhirnya meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan lainnya. Konsekwensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan yang berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin. Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. 
Penelitian yang membahas tentang perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap biofisik dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan. Penelitian terhadap struktur ekonomi, yang dilakukan Somaji (1994) 33 menyatakan bahwa pada tahun 1984 wilayah industri berperan sebanyak 13,05% dan meningkat menjadi 14,65% pada tahun 1990. Nilai ini dicapai akibat dari kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian selama kurun waktu 1981-1990 sebanyak 0,46%. Penelitian Janudianto (2003) menjelaskan perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh kecenderungan perubahan lahan pertanian (sawah) menjadi lahan pemukiman dan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan (kebun teh). Hasil penelitian Heikal (2004) menunjukkan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu berpengaruh nyata terhadap peningkatan selisih debit maksimum-minimum sungai. Penurunan luas hutan dan luas sawah meningkatkan selisih debit maksimum-minimum, sedangkan peningkatan luas pemukiman dan kebun campuran meningkatkan selisih debit

Teori Penggunaan Lahan (skripsi dan tesis)

 Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu (1) pengunaan lahan pertanian dan (2) penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat 30 yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko,1995). Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan. 

Teori John Stuart Mill (skripsi dan tesis)

 John Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi berkebangsaan Inggris dapat menerima pendapat Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk melampaui laju pertumbuhan bahan makanan sebagai suatu aksioma. Namun demikian ia berpendapat bahwa pada situasi tertentu manusia dapat mempengaruhi perilaku demografinya. Selanjutnya ia mengatakan apabila produktifitas seseorang tinggi ia cenderung ingin mempunyai keluarga yang kecil. Dalam situasi seperti ini fertilitas akan rendah. Tidaklah benar bahwa kemiskinan tidak dapat dihidarkan atau kemiskinan itu disebabkan karena sistem kapitalis. Kalau pada suatu   waktu di suatu wilayah terjadi kekurangan bahan makanan, maka keadaan ini hanya bersifat sementara saja. Pemecahannya ada dua kemungkinan yaitu: mengimport bahan makanan, atau memindahkan sebagaian penduduk wilayah tersebut ke wilayah lain. Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan tingkat golongan yang tidak mampu. Dengan meningkatnya pendidikan penduduk maka secara rasional mereka mempertimbangkan perlu tidaknya menambah jumlah anak sesuai dengan karir dan usaha yang ada. Di samping itu Mill berpendapat bahwa umumnya perempuan tidak menghendaki anak yang banyak, dan apabila kehendak mereka diperhatikan maka tingkat kelahiran akan rendah.

Aliran Marxist (skripsi dan tesis)

Aliran ini dipelopori oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Tatkala Thomas Robert Malthus meninggal di Inggris pada tahun 1834, mereka berusia belasan tahun. Kedua – duanya lahir di Jerman kemudian secara sendiri – sendiri hijrah ke Inggris. Pada waktu itu teori Malthus sangat berpengaruh di Inggris maupun di Jerman. Marx dan Engels tidak sependapat dengan Malthus yang menyatakan bahwa apabila tidak diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan kekurangan bahan pangan. Menurut Marx tekanan penduduk yang terdapat di suatu negara bukanlah tekanan penduduk terhadap bahan makanan, tetapi tekanan penduduk terhadap kesempatan kerja. Kemelaratan terjadi bukan disebabkan karena pertumbuhan penduduk  yang terlalu cepat, tetapi kesalahan masyarakat itu sendiri seperti yang terdapat pada negara – negara kapitalis. Kaum kapitalis akan mengambil sebagaian pendapatan dari buruh sehingga menyebabkan kemelaratan buruh tersebut. Selanjutnya Marx berkata, kaum kapitalis membeli mesin – mesin untuk menggantikan pekerjaan – pekerjaan yang dilakukan oleh buruh. Jadi penduduk yang melarat bukan disebabkan oleh kekurangan bahan pangan, tetapi karena kaum kapitalis mengambil sebagian dari pendapatan mereka. Jadi menurut Marx dan Engels sistem kapitalisasi yang menyebabkan kemelaratan tersebut. Untuk mengatasi hal – hal tersebut maka struktur masyarakat harus diubah dari sistem kapitalis ke sistem sosialis.

Aliran Neo-Malthusians (skripsi dan tesis)

 Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, teori Malthus mulai diperdebatkan lagi. Kelompok yang menyokong aliran Malthus tetapi lebih radikal disebut dengan kelompok Neo-Malthusianism. Menurut  kelompok ini (yang dipelopori oleh Garrett Hardin dan Paul Ehrlich), pada abad ke-20 (pada tahun 1950-an), dunia baru yang pada jamannya Malthus masih kosong kini sudah mulai penuh dengan manusia. dunia baru sudah tidak mampu untuk menampung jumlah penduduk yang selalu bertambah. Paul Ehrlich dalam bukunya “The Population Bomb” pada tahun 1971, menggambarkan penduduk dan lingkungan yang ada di dunia dewasa ini sebagai berikut. Pertama, dunia ini sudah terlalu banyak manusia; kedua, keadaan bahan makanan sangat terbatas; ketiga, karena terlalu banyak manusia di dunia ini lingkungan sudah banyak yang tercemar dan rusak

Aliran Malthusian (skripsi dan tesis)

 Aliran ini dipelopori oleh Thomas Robert Maltus, seorang pendeta Inggris, hidup pada tahun 1766 hingga tahun 1834. Pada permulaan tahun 1798 lewat karangannya yang berjudul: “Essai on Principle of Populations as it Affect the Future Improvement of Society, with Remarks on the Specculations of Mr. Godwin, M.Condorcet, and Other Writers”, menyatakan bahwa penduduk (seperti juga tumbuhan dan binatang) apabila tidak ada pembatasan, akan berkembang biak dengan cepat dan memenuhi dengan cepat beberapa bagian dari permukaan bumi ini. Tingginya pertumbuhan penduduk ini disebabkan karena hubungan kelamin antar laki – laki dan perempuan tidak bisa dihentikan. Disamping itu Malthus berpendapat bahwa untuk hidup manusia memerlukan bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tidak diadakan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk, maka manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan. Inilah sumber dari kemelaratan dan kemiskinan manusia. Untuk dapat keluar dari permasalah kekurangan pangan tersebut, pertumbuhan penduduk harus dibatasi. Menurut Malthus pembatasan tersebut dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu Preventive Checks, dan Positive Checks. Preventive Checks adalah pengurangan penduduk melalui kelahiran. Positive Checks adalah pengurangan penduduk melalui proses kematian. Apabila di suatu wilayah jumlah penduduk melebihi jumlah persediaan bahan pangan, maka tingkat kematian akan meningkat mengakibatkan terjadinya kelaparan, wabah penyakit dan lain sebagainya. Proses ini akan terus berlangsung sampai jumlah penduduk seimbang dengan persediaan bahan pangan. 

Migrasi (skripsi dan tesis)

Migrasi merupakan salah satu faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Peninjauan migrasi secara regional sangat penting untuk ditelaah secara khusus mengingat adanya densitas (kepadatan) dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktor – faktor pendorong dan penarik bagi orang – orang untuk melakukan migrasi, di pihak lain, komunikasi termasuk transportasi semakin lancar. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara atau pun batas administratif/batas bagian dalam suatu negara. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain. Migrasi antar bangsa (migrasi internasional) tidak begitu berpengaruh dalam menambah atau mengurangi jumlah penduduk suatu negara kecuali di beberapa negara tertentu yang berkenaan dengan pengungsian, akibat dari bencana baik alam maupun perang. Pada umumnya orang yang datang dan pergi antarnegara boleh dikatakan berimbang saja jumlahnya. Peraturan – peraturan atau undang – undang yang dibuat oleh banyak negara umumnya sangat sulit dan ketat bagi seseorang untuk bisa menjadi warga negara atau menetap secara permanen di suatu negara lain. 

Mortalitas (Kematian) (skripsi dan tesis)

Mortalitas atau kematian merupakan salah satu di antara tiga komponen demografi yang dapat mempengaruhi perubahan penduduk. Informasi tentang kematian penting, tidak saja bagi pemerintah melainkan juga bagi pihak swasta, yang terutama berkecimpung dalam bidang ekonomi dan kesehatan. Mati adalah keadaan menghilangnya semua tanda – tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Data kematian sangat diperlukan antara lain untuk proyeksi penduduk guna perancangan pembangunan. Misalnya, perencanaan fasilitas perumahan, fasilitas pendidikan, dan jasa – jasa lainnya untuk kepentingan masyarakat. Data kematian juga diperlukan untuk kepentingan evaluasi terhadap program – program kebijakan penduduk. 

Fertilitas (Kelahiran) (skripsi dan tesis)

Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Natalitas mempunyai arti yang sama dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas menyangkut peranan kelahiran pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk dan reproduksi manusia.

Daya Dukung Lingkungan dalam Ecological Footprint (skripsi dan tesis)

 Daya dukung lingkungan (ekologi) dalam analisis jejak ekologi kita akan membandingkan antara jejak ekologi dengan biokapasitas. Berdasarkan publikasi Living Planer Report (2006), perbandingan antara biocapacity (supply) dan ecological footprint (demand) dapat mencerminkan carrying capacity atau daya dukung suatu wilayah. Dalam perhitungannya, apabila tapak ekologi lebih besar dibandingkan biokapasitas maka terjadi overshoot yang artinya daya dukung lingkungan telah terlampaui. Dalam kondisi ini terjadi defisit ekologi (ecological deficit) atau berstatus tidak sustainable. Sebaliknya jika tapak ekologi lebih kecil, maka terdapat sejumlah biokapasitas di alam yang tercadangkan untuk menopang kehidupan yang akan datang (ecological debt) atau berstatus sustainable

Jejak Ekologi (Ecological Footprint) (skripsi dan tesis)

Aspek permintaan (demand) makhluk hidup digambarkan dalam istilah jejak ekologi. Ecological footrpint adalah kategori teoretis terhadap penggunaan seluruh area bioproduktif dalam rangka memenuhi kehidupan manusia. Ecological footprint menghitung semua aktivitas manusia tersebut baik yang menghasilkan barang produktif maupun limbah. Jika dipadankan dengan sektor-sektor ekonomi, ecological footprint adalah kegiatan manusia dibidang pertanian, industri, perdagangan, jasa, dan energi. Jika dipadankan dengan ilmu lingkungan maka ecological footprint adalah semua bentuk pemanfaatan materi, informasi, dan energi di alam. Oleh karena itu, ecological footpritnt harus dapat dikonversikan pada nilai yang setara dengan area bioproduktif yang bersesuaian dengannya. Atas dasar itu pula ecological footprint merupakan apa yang diminta oleh manusia untuk mendukung kehidupannya. Hasil dan permintaan itu adalah   berupa penggunaan barang, jasa dan limbah yang terbuang di alam. Atas dasar itu pula, untuk selanjutnya dalam sebuah penelitian istilah ecological footprint diterjemahkan menjadi jejak ekologi. Ecological Footprint secara sederhana dapat ditentukan dengan menelusuri berapa besarnya konsumsi sumberdaya alam (baik berupa produk ataupun jasa), serta sampah yang kita produksi dan disetarakan dengan area permukaan bumi yang produktif secara biologis dalam satuan luasan hektar (ha). Jejak ekologi (Ecological Footprint) adalah konsep untuk mencermati pengaruh manusia terhadap cadangan dan daya dukung bumi. Memahami jejak ekologi memungkinkan untuk melihat seberapa besar kekayaan alam (‘renewable’) yang masih tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya. Jejak ekologi merupakan perangkat analisis untuk mengukur dan mengomunikasikan dampak pemanfaatan sumber daya pada lingkungan. 
Berikut Rincian asumsi untuk menetapkan kebutuhan lahan perorang adalah : 1) Kebutuhan pangan adalah berdasarkan 4 sehat 5 sempurna. 2) Kebutuhan papan digunakan standart T 76 perumahan dept. PU :90 m2 untuk keluarga terdiri dari 3 orang atau 20-30 m2 per orang. 3) Kebutuhan transfortasi setara 120 kg beras /tahun. 4) Kebutuhan energi setara 120 kg beras / tahun. 21 5) Kebutuhan untuk daur ulang (air, CO2, limbah/sampah lainnya) setara dengan 120 liter air/hari untuk kemampuan hutan mendaur ulang air 0.3 liter air untuk setiap 1 liter dengan tinggi curah hujan rata-rata 2000-2500 mm dan 56 kg CO2 perhektar hutan serta keanekaragaman hayati. Maka untuk menghitung suatu tapak ekologi per individu/kelompok, terdapat faktor-faktor yang menjadi aspek untuk menentukan berapa besar tapak ekologi per individu. 
Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu sebagai berikut. 1) Transportasi : metode atau kendaraan apa yang digunakan dalam bepergian, apakah menggunakan motor, mobil, ataukah berjalan kaki. 2) Penggunaan air : menunjukkan seberapa banyak air yang digunakan setiap harinya, dan lama penggunaan air bersih. 3) Berpakaian : menunjukkan berapa pakaian yang digunakan setiap harinya. 4) Rekreasi : menunjukkan kegiatan refreshing yang dilakukan perminggu ke tempat rekreasi. 5) Makanan : menunjukkan berapa banyak makanan yang dikonsumsi dengan menu 4 sehat 5 sempurna. 6) Sampah : menunjukkan metode pembuangan sampah yang dilakukan, dan berapa banyak sampah yang dihasilkan dalam sehari. 22 7) Ruang/tempat tinggal : menunjukkan seberapa luas tanah dan ruangan yang digunakan untuk individu dan keluarganya serta dalam melaksanakan aktivitas sehari hari

Biokapasitas (skripsi dan tesis)

Aspek ketersediaan (supply) menggambarkan kemampuan ekosistem dalam mendukung kehidupan makhluk hidup yang disebut biokapasitas.  Area bioproduktif adalah lahan teoretis dimana produktivitas biologis ekosistem menyediakan kemampuan untuk menopang kehidupan manusia. Nilai kemampuan ini dinamakan biokapasitas. Jadi secara teoretis area bioproduktif memiliki biokapasitas yang berbeda-beda menurut wujud dan ekosistemnya (penggunaan lahan). Hal ini diindikasikan oleh besar faktor equivalen dari masing-masing jenis ekosistem. Jadi biokapasitas adalah apa yang ditawarkan oleh permukaan bumi untuk keberlangsungan hidup manusia.

Ecological Footprint (skripsi dan tesis)

 Konsep terkini yang terkait dengan daya dukung lingkungan adalah analisis jejak ekologi (ecological footprint analysis). Analisis ini beranjak dari pertanyaan sederhana tentang seberapa luas kebutuhan manusia dan makhluk hidup di dalamnya jika dibandingkan dengan kemampuan sumberdaya alam dan apakah kondisi bioekosistem masih mampu memenuhinya, karena bagaimanapun juga ekosistem memiliki batas-batas dalam menopang semua aktivitas manusia. Jejak ekologis menunjukkan bahwa daerah yang kita tempati di bumi ini tidak hanya sekedar rumah tempat kita tinggal, akan tetapi keseluruhan lahan 18 yang dibutuhkan untuk mendukung hidup kita. Tidak semua lahan bisa berfungsi untuk menunjang kehidupan kita secara berkelanjutan. Oleh karena itu, jejak ekologis hanya mengukur lahan yang mampu berproduktif biologis. Ecological footprint mengukur permintaan penduduk atas alam dalam satuan meterik, yaitu area global biokapasitas. Dengan membandingkan ecological footprint dengan ketersediaan biologis bumi (biokapasitas). Dalam kaitannya dengan analisis daya dukung lingkungan, maka ecological footprint merupakan suatu alat manajemen sumberdaya yang dapat mengukur seberapa banyak tanah dan air yang dibutuhkan oleh populasi manusia untuk menghasilkan sumberdaya yang dikonsumsinya serta untuk menyerap limbah sehubungannya dengan penggunaan teknologi. Pada saat permintaan terhadap sumberdaya ekologis melampaui apa yang bisa disediakan oleh alam secara berkelanjutan, maka hal ini disebut sebagai kondisi ekologis yang terlampaui (ecological overshoot) (Rusli dkk., 2009)

Teori Daya Dukung Lingkungan (skripsi dan tesis)

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, daya dukung lingkungan kemudian dibedakan menjadi daya dukung alam, daya tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial yang secara harfiah didefinisikan sebagai berikut.  a. Daya dukung alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta segenap unsur dan sumberdaya untuk menunjang perikehidupan manusia serta makhluk lain secara berkelanjutan. b. Daya tampung lingkungan binaan adalah kemampuan lingkungan hidup buatan manusia untuk memenuhi perikehidupan penduduk. c. Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda – beda untuk hidup bersama – sama sebagai satu masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun, tertib dan aman. Pengertian di atas masih mengacu pada arti secara umum, akibatnya dalam operasional sulit dimanfaatkan atau dipergunakan. Dasman (1992) mendefinisikan daya dukung secara lebih operasional sebagai jumlah penduduk yang dapat ditunjang per satuan daerah pada tingkat teknologi dan kebudayaan tertentu. Menurut Lenzen (2003), ia berpendapat bahwa kebutuhan hidup manusia dari lingkungan dapat dinyatakan dalam luas area yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Luas area untuk mendukung kehidupan manusia ini disebut jejak ekologi (ecological footprint). Lenzen juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan, kebutuhan hidup manusia kemudian dibandingkan dengan luas aktual lahan produktif. Perbandingan antara jejak ekologi dengan luas aktual lahan produktif ini kemudian dihitung sebagai bandingan antara lahan tersedia dan lahan yang dibutuhkan. 
Carrying Capacity atau daya dukung lingkungan mengandung pengertian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan makhluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan. Daya dukung lingkungan meliputi daya dukung biofisik dan daya dukung sosial dimana keduanya mempunyai keterkaitan. Daya dukung biofisik dipengaruhi oleh daya dukung sosial. Daya dukung dipengaruhi oleh faktor sumberdaya, faktor sosial, faktor ekonomi, faktor teknologi, budaya, dan kebijakan (Lang dan Armour, 1991). 
Daya dukung biofisik adalah jumlah penduduk maksimum yang dapat didukung oleh sumberdaya dengan tingkat teknologi tertentu. Tingkat keberlanjutan daya dukung biofisik yang ditentukan oleh organisasi sosial termaksuk tingkat konsumsi dan kegiatan perdagangan (Lang dan Armour, 1991). Sifat daya dukung pada suatu wilayah tidaklah tetap. Daya dukung dapat berubah oleh perkembangan teknologi, tetapi yang paling sering terjadi adalah perubahan ke arah kondisi yang lebih buruk akibat tekanan penduduk yang terus meningkat. Sejalan dengan penurunan kualitas lingkungan, daya dukung aktual juga mengalami penyusutan sehingga tidak mampu lagi mendukung jumlah penduduk yang ada untuk hidup sejahtera (Huisman, 1991). Pada suatu periode, daya dukung wilayah memang dapat berada pada posisi yang rendah akibat kerusakan dan degradasi sumberdaya, namun dapat meningkat lagi oleh 17 faktor perubahan sosial dan intervensi (McConnel dan Abel, 22007 dalam JCN et al., 2007). Pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah mempunyai hubungan dengan daya dukung wilayah yang bersangkutan. Jumlah penduduk yang terus meningkat berpotensi mencapai suatu kondisi dimana daya dukung wilayah sudah tidak lagi mampu mendukung jumlah penduduk yang ada. Dampaknya adalah adanya penderitaan dan kemerosotan kesehjateraan (McConnel dan Abel, 22007 dalam JCN et al., 2007). Selain faktor pertumbuhan penduduk, dinamika daya dukung dipengaruhi pula oleh dinamika spasial dan temporal sumberdaya yang tersedia. Oleh sebab itu, model pengembangan wilayah yang berbasis daya dukung perlu memperhatikandua aspek tersebut.