Tampilkan postingan dengan label garansi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label garansi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 September 2015

Pengertian Garansi (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Hukum, Judul Hukum, garansi)

Garansi (warranty) adalah suatu perjanjian krontraktual yang mengharuskan produsen untuk memperbaiki atau mengganti produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi. Baik konsumen maupun produsen mendapatkan manfaat dari garansi. Bagi konsumen, garansi melindungi dari membeli produk yang cacat, dan bagi produsen, garansi membatasi klaim yang tidak rasional dari konsumen. Disamping itu, produsen  dapat memanfaatkan garansi sebagai alat promosi yang efektif karena produk dengan masa garansi yang lebih lama memberikan sinyal kepada konsumen bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang lebih baik. Namun, memberikan garansi berarti tambahan ongkos (disebut ongkos garansi) bagi produsen. Ongkos garansi berkisar 2-10% dari harga produk. Untuk suatu perusahaan otomotif di Indonesia, ongkos garansi yang harus ditanggung dapat mencapai 50-100 milyar rupiah per tahun. Dengan demikian, gagal dalam mengelola garansi secara efektif dapat berakibat bukan saja ongkos garansi yang tidak terkendali tapi juga berdampak pada ketidakpuasan konsumen dan kehilangan penjualan. Dan ini kemudian berdampak pada penurunan kinerja perusahaan secara keseluruhan. Pengelolaan garansi produk, awalnya, hanya melibatkan aspek teknikal seperti desain produk, proses manufaktur dan pemeliharaan yang memengaruhi keandalan produk. Namun, kemudian perlu juga mempertimbangkan aspek komersial (yang meliputi pemasaran dan pelayanan purna-jual), karena garansi produk dapat digunakan sebagai alat promosi yang efektif. Dengan demikian, diperlukan pendekatan komprehensif untuk mengelola garansi produk yang efektif, yang melibatkan aspek teknikal dan komersial. Pada makalah ini, dibahas pengelolaan garansi yang tidak saja untuk penurunan ongkos garansi, tapi juga untuk meningkatkan kepuasan konsumen, citra produk,  dan akhirnya penjualan perusahaan. Disamping itu, juga dibahas perkembangan manajemen garansi di Indonesia yang umumnya masih pada tahap I, masih bersifat reaktif, lebih memfokuskan pada pemrosesan klaim garansi dan penyelesaian permasalahan yang muncul akibat dari garansi. Perusahaan belum banyak menggunakan garansi sebagai an offensive tool dalam pemasaran produk. Kebanyakan perusahaan menawarkan garansi untuk memenuhi persyaratan memasuki suatu pasar (atau digunakan sebagai a deffensive tool).
Sekarang ini, produsen yang memproduksi durable products seperti produk otomotif, produk elektronik, mesin/peralatan, menjual produk tersebut dengan garansi. Garansi (warranty) adalah suatu perjanjian krontraktual (contractual agreement) yang mengharuskan produsen untuk merektifikasi (memperbaiki atau mengganti) produk yang mengalami kerusakan selama masa garansi. Umumnya perbaikan produk rusak tidak dikenakan biaya kepada konsumen. Untuk garansi tertentu, rektifikasi mengharuskan pengembalian uang (money back) sebagian atau 100% dari harga jual kepada konsumen.
Sangat sulit untuk mengetahui kapan tepatnya garansi pertama kali dikenalkan. Namun, jika garansi dipandang sebagai liabilitas  produk (pertanggung-jawaban produsen), maka pada zaman Raja Babilonia, Hammurabi pada tahun 1800 sebelum Masehi, ditemukan undang-undang yang memberikan hukuman keras untuk craftmen yang terbukti melakukan kesalahan sehingga menghasilkan produk cacat (Blischke dan Murthy, 1994). Di Amerika, undang-undang yang berhubungan dengan garansi produk terdapat dalam The Magnuson-Moss Act dan Uniform Commercial Code (UCC) yang efektif sejak tahun 1975. Sejak saat itu, hak konsumen untuk mendapatkan produk yang baik dalam transaksi pembelian produk dilindungi oleh undang-undang, karena undang-undang tersebut mengharuskan produsen memberikan garansi untuk durable products yang harganya lebih dari $15. Dengan demikian, aturan umum yang sebelumnya berlaku yaitu caveat emptor (let the buyer beware) atau konsumen harus waspada dalam memilih produk agar terhidar dari membeli produk cacat, berubah menjadi let the manufacturer beware karena produsen wajib untuk mengganti dengan yang baru atau memperbaikinya (merektifikasi) jika produk rusak selama masa garansi dan kerusakan bukan karena kesalahan pakai (missuse). Di Indonesia, undang-undang yang melindungi hak konsumen terdapat pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Dengan undang-undang ini, produsen/pelaku usaha yang memproduksi produk/barang yang umur pakainya 1 (satu) tahun atau lebih, wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual serta memberikan garansi.
Garansi, pada kenyataannya, tidak saja memberikan manfaat kepada konsumen tetapi juga kepada produsen. Bagi konsumen, garansi melindungi dari membeli produk yang cacat, dan bagi produsen, garansi membatasi klaim yang tidak rasional dari konsumen. Disamping itu, produsen  juga dapat memanfaatkan garansi sebagai alat promosi yang efektif untuk produknya, karena produk dengan masa garansi yang lebih lama memberikan sinyal kepada konsumen bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang lebih baik.
Memperhatikan penjelasan di atas, garansi memiliki 2 peranan penting yaitu (1) sebagai instrumen untuk melidungi konsumen dari membeli produk cacat dan juga melindungi produsen dari klaim konsumen yang tidak masuk akal, serta (2) sebagai alat promosi yang efektif untuk meningkatkan penjualan produk.
Untuk produk baru, konsumen umumnya ragu terhadap kinerja produk tersebut. Pada konteks ini, garansi memainkan peranan penting dalam memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk akan berfungsi sesuai dengan yang dijanjikan.
Sekarang ini, dengan berkembangnya kompleksitas dari produk, maka sangat sulit bagi konsumen untuk mengevaluasi mutu produk pada saat membeli.  Jenis produk yang sebanding dari produsen yang berbeda sangat sulit dibedakan kualitasnya, sebagai contoh, TV, komputer, telepon genggam, dan lain-lain. Apabila produk sejenis dengan merek berbeda sangat sulit dibedakan, maka faktor-faktor purna jual, garansi, ketersediaan dan ongkos suku cadang, layanan, pemeliharaan, dan lain-lain menjadi penentu bagi konsumen dalam memilih produk (Lele dan Karmarkar, 1983).
Namun, menawarkan produk dengan garansi berarti tambahan ongkos bagi produsen, karena harus memperbaiki produk rusak (atau disebut layanan garansi) selama masa garansi. Ongkos garansi ini membebani produsen secara signifikan dengan sebaran ongkos 1,5-3% dari total penjualan (Blischke dan Murthy, 1994). Sebagai contoh, industri otomotif di Amerika Utara mengeluarkan 10 milyar dollar (100 triliyun rupiah) untuk pelayanan garansi per tahun (Roehm, 2003). Sekarang ini di Eropa, belum pernah terjadi sebelumnya, garansi telah menjadi salah satu tantangan besar bagi manajemen perusahaan, karena ongkos garansi yang semakin besar (dapat mencapai 10 juta euro per tahun (120 milyar rupiah) untuk satu produsen produk elektronik di Eropa) dan meningkatnya ketidakpuasan konsumen terhadap layanan garansi (Thomann, 2005).