Tampilkan postingan dengan label Pelaku Usaha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pelaku Usaha. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 September 2015

Konsep Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Hukum, Judul Hukum, Pelaku Usaha)

Berbicara mengenai tanggung jawab, maka tidak lepas dari prinsip-prinsip sebuah tanggung jawab, karena prinsip tentang anggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen.
Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan, yaitu[1]:
a.              Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault),  yaitu prisip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya;
b.             Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab ( Presumption of liability), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat.
c.              Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (Presumption of nonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, dimana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah.
d.             Prinsip tanggung jawab mutlak (Strict liability), dalam prinsip ini menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur.
e.               Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability), dengan adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur khusus dalam Bab VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28, memperhatikan substansi Pasal 19 ayat 1 Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi [2]:
a.              Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,
b.             Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran,
c.              Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal ini maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti, bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen.
Secara umum, tuntutan ganti kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik berupa ganti kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang telah  disebutkan, yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha (Hukum, Judul Hukum, Konsultasi Skripsi, SKRIPSI, Pelaku Usaha )

Dalam kegiatan menjalankan usaha, undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan larangan pada produsen. Pengaturan tentang hak, kewajiban dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara produsen dan konsumen, sekaligus menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi perkembangan usaha dan perekonomian pada umumnya.
Adapun hak pelaku usaha yang diatur  oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah:
1.      Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
2.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam menyelesaikan hukum sengketa konsumen;
4.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
5.      Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.[1]
Hak pelaku usaha menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umunya atas barang dan/ atau jasa yang sama. Dalam praktek yang biasanya terjadi suatu barang dan/ atau jasa yang kualitasnya lebih rendah dari pada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.
Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar. Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut di atas pada angka 2,3,dan 4 sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/ atau badan penyelesaian sengketa konsumen. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan kepentingan pelaku usaha dapat dihindari.
Satu-satunya yang berhubungan dengan kewajiban konsumen atas hak-hak pelaku usaha yang disebutkan pada angka 2 dan 3 tersebut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Tampak bahwa pokok-pokok hak dari produsen atau pelaku usaha adalah menerima pembayaran, mendapat perlindungan hukum, melakukan pembelaan diri, rehabilitasi nama baik, dan hak-hak lainnya menurut Undang-Undamg. Selain mengatur tentang hak pelaku usaha Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang kewajiban bagi pelaku usaha. Adapun kewajiban pelaku usaha dalam menjalankan usaha dan menjamin perlindungan konsumen adalah:
1.         Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha;
2.         Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
3.         Memperlakukan atau melayani konsumen secara jujur dan benar serta tidak diskriminatif;
4.         Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;
5.         Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau yang diperdagangkan.
6.         Memberi kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai yang diperjanjikan.[2]
Dengan demikian pokok-pokok kewajiban produsen atau pelaku usaha adalah itikad baik dalam menjalankan usahanya, memberikan informasi, memperlakukan konsumen dengan cara yang sama, menjamin produknya, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji, dan memberi kompensasi jika konsumen dirugikan.
Jika dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tampak bahwa hak dan kewajiban produsen bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Artinya apa yang menjadi hak dan kewajiban dari konsumen merupakan kewajiban produsen untuk memenuhinya, dan sebaliknya apa yang menjadi hak produsen adalah kewajiban konsumen.
Kalau dibandingkan dengan hak dan kewajiban penjual dalam jual beli menurut KUH Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1478 dan seterusnya, tampak bahwa ketentuan KUH Perdata itu lebih sempit dari pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ini tidak lain karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang produsen atau pelaku usaha lebih dari sekedar penjual. Produsen juga mempunyai kewajiban dalam menciptakan iklim berusaha yang sehat yang pada akhirnya ikut bertanggung jawab dalam pembangunan ekonomi secara umum.[3]