Tampilkan postingan dengan label Linguistik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Linguistik. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 November 2016

Pengertian Kedwibahasaan


Kedwibahasaan seseorang ialah kebiasaan orang memakai dua bahasa dan penggunaan bahasa itu secara bergantian (Nababan, 1992:103). Kondisi ini terjadi pada masyarakat bangsa Indonesia karena di Negara ini terdiri atas beberapa bahasa daerah berdasarkan suku daerah tersebut. Kemudian bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, sehingga mendorong dan mengharuskan masyarakat Indonesia menjadi dwibahasawan. Karena di samping bahasa daerah sebagai bahasa ibu (pertama) dari masyarakat itu, harus pula belajar dan memperoleh bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, agar komunikasi antar warga dapat berjalan lancar. Apalagi kalau dua orang yang berbeda suku bangsa dan daerah, maka untuk berkomunikasi tentunya menggunakan bahasa kedua.
Salah satu hasil pemerolehan atau pembelajaraan bahasa kedua ialah bahwa orang yang belajar atau memperoleh bahasa kedua itu menguasai dua bahasa, yang disebut dengan kemampuan dwibahasa (bilingualitas). Oleh karena itu, seseorang belajar bahasa kedua untuk menggunakannya dalamkeadaan di mana bahasa kedua itu diperlukan.
Menurut Nababan (1984) yang dikutip oleh Sri Utari Nababan (1992:104), bahwa penggunaan kedwibahasaan (bahasa daerah dan bahasa Indonesia) terjadi karena :
a)    Dalam Sumpah Pemuda (1928) penggunaan bahasa Indonesia dikaitkan dengan perjuangan kemerdekaan dan nasionalisme.
b)   Bahasa-bahasa daerah mempunyai tempat yang wajar di samping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia.
c)    Perkawinan campur antarsuku.
d)   .Perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah yang lain yang disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan dan pegawai, dan sebagainya.
e)     Interaksi antarsuku, yakni dalam perdagangan, sosialisasi dan urusan kantor atau sekolah.
f)    . Motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan profesi dan kepentingan hidup.
Berdasarkan pengertian di atas mengenai kedwibahasaan, maka yang dimaksud dengan dwibahasawan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa.

Pengertian Bahasa


Bahasa adalah sistem lambang yang berupa bunyi yang dipakai untuk melukiskan pikiran dan perasaan ( Ali, 1989:23). Pendapat tersebut menujukkan bahwa bahasa merupakan suatu sistem berupa lambang dan bunyi yang menjadi wahana atau alat bagi seseorang dalam mengapresiasikan dan melahirkan buah pikiran, ide, gagasan, dan perasaan. Dalam hal ini, setiap penyampaian pikiran dan perasaan bagi seseorang haruslah melalui bahasa.
Sedangkan, Parera (1993:15) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan bermakna konvensional yang dengannya satu kelompok masyarakat berkomunikasi antarsesama anggota. Selanjutnya, ahli ini juga memberikan definisi bahasa dari segi komunikasi, dengan mengatakan bahwa bahasa adalah sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, pesan dan memahami pikiran, perasaan, dan pesan dari orang lain (Parera, 1993:15).
Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut, maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa bahasa itu mempunyai ciri, antara lain :
a)    Bahasa, adalah sebuah sistem
b)   Bahasa itu berwujud lambang
c)    Bahasa itu berupa bunyi
d)   Bahasa itu bersifat arbitrer
e)    Bahasa itu mempunyai makna
f)    Bahasa itu bersifat konvensional
g)   Bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk melahirkan atau menyampaikan
h)   pikiran, perasaan, dan pesan.
i)     Bahasa itu berfungsi sebagai alat komunikasi atau berinteraksi sosial.
b.    Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa dapat diartikan sebagai cara orang menggunakan bahasa mereka (Halliday, 1994:16). Karl Buhler (1934) seorang psikolog Austria, membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa representasional (Halliday, 1994:16).
Yang dimaksud fungi bahasa sebagai fungsi ekspresif adalah bahasa yang terarah pada diri sendiri. Bahasa sebagai fungsi konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara. Adapun bahasa sebagai fungsi refresentasional yaitu bahasa yang terarah pada apa saja selain si pembicara ataupun lawan bicara (Halliday, 1994:17).
Sedangkan menurut Sudaryat (1985:204) bahwa bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dan pernyataan pikiran, menyatukan masyarakat dan kebudayaan bangsa. Merujuk dari pendapat dengan di atas, dapatlah dikatakan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi atau berinteraksi, tanpa bahasa maka seseorang akan menjadi kaku, bahkan komunikasi atau interaksi sosial pun tidak akan ada. Karena itu, bahasa tidak akan lepas dari kehidupan dan peradaban kebudayaan manusia itu sendiri. Melihat fungsi bahasa secara umum, maka bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, berfungsi sebagai :
a)      Lambang identitas nasional
b)      Alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang nasional budaya dan bahasanya.
c)      Alat perhubungan antar daerah dan antar budaya.

Rabu, 04 November 2015

Kesantunan Berbahasa


Kesantunan sangat kontekstual, artinya berlaku dalam masyarakat, tempat,atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atausituasi lain. Kesantunan selalu memiliki dua kutub, seperti antara anak danorang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, antara mahasiswa dan dosen, dan sebagainya (Muslich, 2006:1). Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewattanda verbal atau tata cara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi
Fraser dalam Gunarwan (1994) mendefinisikan kesantunan adalah “property associated with neither exceeded any right nor failed to fullfill any obligation”. Dengan kata lain kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran dan di dalam hal ini menurut pendapat si pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari memenuhi kewajibannya.
Beberapa ulasan Fraser mengenai definisi kesantunan tersebut yaitu Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari ujaran; jadi bukan ujaran itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu ada pada suatu ujaran. Mungkin saja sebuah ujaran dimaksudkan sebagai ujaran yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga si pendengar ujaran itu ternyata tidak terdengar santun, dan demikian pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban penyerta interaksi. Artinya, apakah sebuah ujaran terdengar santun atau tidak, ini ”diukur” berdasarkan (1) apakah si penutur tidak melampaui haknya kepada lawan bicaranya dan (2) apakah di penutur memenuhi kewajibannya kepada lawan bicaranya itu.
Untuk menjalin hubungan yang “mesra” dan demi “keselamatan” dalam berkomunikasi kita perlu mempertimbangkan segi sopan-santun berbahasa. Sopan-santun dalam berkomunikasi dapat dipandang sebagai usaha untuk menghindari konflik antara P dengan MT. Dalam hal ini, kesopansantunan merupakan (1) hasil pelaksanaan kaidah, yaitu kaidah sosial, dan (2) hasil pemilihan strategi komunikasi.
Dalam teori kesantunan berbahasa lain menurut Brown dan Levinson berkisar pada nosi muka (face). Semua orang yang rasional memiliki muka (dalam arti kiasan) dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dihormati, dan sebagainya. Menurut mereka nosi muka itu dapat dibedakan menjadi muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif mengacu ke citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Kesantunan imperatif berkenaan dengan muka negatif, dimana tuturan ini berfungsi untuk membuat mitra tutur melakukan sesuatu.
Sebuah tindakan ujaran dapat merupakan ancaman terhadap muka. Tindak ujaran seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatening Act (FTA). Untuk mengurangi ancaman itulah di dalam berkomunikasi kita perlu menggunakan sopan santun bahasa. Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif). Sopan santun dalam penggunaan imperatif pada contoh di bawah ini misalnya, dapat ditafsirkan sebagai usaha untuk menghindari konflik antara penutur dan petutur, yang sebenarnya tidak lagi demikian. Muka penutur pun dapat terancam oleh tindak ujarannya. Sebuah ajakan, misalnya, dapat mengancam muka penutur. Untuk melindungi muka dari ancaman itu, penutur dapat menggunakan tindak ujar tak langsung.
Dalam berkomunikasi terdapat dua kaidah kompetensi pragmatik yang sangat penting, yakni “buatlah perkataan Anda jelas” (make yourself clear), dan “bersopan-santunlah” (be polite). Dalam hubungannya dengan kesopansantunan, R. Lakoff mengusulkan tiga kaidah sopan-santun (seperti dituturkan oleh Gunarwan, 1993: 8; dan Ibrahim, 1993: 320) sebagai berikut.
a.       Formalitas, artinya jangan menyela, tetaplah bersabar, dan jangan memaksa.
b.       Kebebasan pilihan (keluwesan), artinya buatlah sedemikian rupa sehingga MT Anda dapat menentukan pilihan dari berbagai tindakan.
c.       Kesekawanan (kesederajatan), artinya bertindaklah seolah-olah antara Anda dengan MT Anda sama atau sederajat, dan buatlah agar MT Anda merasa enak/senang.
Dengan demikian, sebuah ujaran akan dinilai santun apabila P tidak terkesan memaksa, ujaran itu memberikan alternatif pilihan tindakan kepada MT, dan MT merasa senang. Dalam hal ini, berbagai bentuk strategi komunikasi dapat kita tempuh agar ujaran kita bernilai sopan-santun tinggi.
a.      Dilarang merokok!
b.      Dilarang merokok di dalam ruangan ini.
c.       Tidak dibenarkan merokok di dalam ruangan ber-AC.
Di samping tiga kaidah sopan-santun yang diusulkan Lakoff tersebut Leech (1983: 123; 1993: 194-195) mengemukakan adanya tiga skala yang perlu dipertimbangkan untuk menilai derajat kesopansantunan suatu ujaran, yaitu yang disebut “skala pragmatik”. Tiga skala kesantunan menurut Leech yaitu:
a.         Cost-benefit scale: Representing the cost or benefit of an act to speaker and hearer. Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan.
b.        Optionality scale: Indicating the degree of choice permitted to speaker and/or hearer by a spesific linguistic act. Optionally scale atau skala pilihan menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur.
c.         Indirectness scale: Indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning. Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan.
d.        authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderungmenjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosialdiantara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yangdigunakan dalam bertutur itu.
e.          sosial dictance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur
Dalam teori tentang prinsip kesantunan Leech menggariskan enam prinsip yang harus dilakukan oleh peserta pertuturan bila hendak berbicara sopan dengan orang lain dan maksim-maksim kesantunan yaitu (1) kebijaksanaan, (2) kemurahatian, (3) penerimaan, (4) kerendahan hati, (5) kecocokan, dan (6) kesimpatian. Maksim ini juga menjadi sumber implikatur percakapan yang memiliki fungsi menunjang pengungkapan humor karena dalam aktivitas berhumor seringkali menyimpang dengan prinsip-prinsip kesantunan.
Untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan menggunakan prinsip kesantunan Leech dalam enam prinsip. Oleh karenanya untuk selanjutnya peneliti akan menguraikan dalam uraian di bawah ini:
1.    Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Setiap peserta pertuturan meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Contoh pematuhan
(+) : Mari saya bawakan buku Anda.
(−) : Jangan tidak usah (Wijana, 1996: 56)
Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, kesantunan dalam bertutur dapatdilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik.
2.    Maksim Penerimaan ( Approbation Maxim)
Diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Agar setiap penutur sedapatmungkin menghindari mengatakan sesuatu yang tidak mengenakan orang lain, terutamakepada orang yang diajak bicara (lawan tutur).
Contoh pematuhan :
(+) : Saya mengundangmu ke rumah untuk makan malam.
(−) : Terima kasih (Wijana, 1996; 57)
Dengan perkataan lain, menurut maksim ini, bahwa orang dianggap santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci,atau saling merendahkan pihak yang lain.
3.    Maksim Kemurahan (Generosity Maxim)
Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan diharapkan dapatmenghormati orang lain. Penghormatan ini akan terjadi apabila orang dapat mengurangikeuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tetapi didalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian (Wijana, 1996: 55-60).
Contoh Pematuhan :
(+) : Permainan Anda sangat bagus.
(−) : Ah, biasa saja. Terima kasih. (Wijana, 1996: 58)
4.    Maksim Kerendahan Hati ( Modesty Maxim)
Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila kemurahan hati berpusat pada orang lain, maksim ini berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntutsetiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh Pelanggaran :
(+) : Kau sangat pandai.
(−) : Ya, saya memang pandai.
5.    Maksim Kesepakatan/Kecocokan ( Agreement Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajibmemberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah,  penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tandakesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yangmendapatkan kebahagiaan dan kedukaan.
Contoh Pelanggaran
:(+) : Kemarin motorku hilang
.(−) : Oh, kasian deh lu. (Wijana, 1996:60)
6.    Maksim Simpati (Sympath Maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan belasungkawa sebagai tandakesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yangmendapatkan kebahagiaan dan kedudukan.Contoh
Pelanggaran :
(+) : Kemarin motorku hilang.
(−) : Oh, kasian deh lu (Wijana, 1996:61)

Implikatur Percakapan


Grice (dalam Yule 1996:69) mengatakan, implikatur adalah suatu hal yang sangat penting diperhatikan agar percakapan dapat berlangsung dengan lancar. Percakapan dapat berlangsung berkat adanya kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama itu antara lain berupa kontrak tidak tetulis bahwa ihwal yang dibicarakan itu harus saling berhubungan atau berkaitan. Hubungan atau keterikatan itu sendiri tidak terdapat pada masing-masing kalimat secara lepas, maksudnya makna keterikatan itu tidak terungkap secara literal pada kalimat itu sendiri yang disebut dengan implikatur percakapan.
Istilah implikatur dipakai untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan,disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dengan apa yangsebenarnya dikatakan oleh penutur Grice (dalam Yule, 1996 :173). Secara umum dapat dikatakan bahwa semantik berhubungan dengan makna yang didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan petuturnya dan pragmatik berhubungan dengan makna yang didefinisikan dengan hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa (Leech, 1983:8). Biasanya, kalau kita mengatakan sesuatu, terutama dalam percakapan, apa yang kita katakana mempunyai makna lebih dari makna literal kalimat itu.
Dalam hal ini tentu ada kaidah yang memungkinkan kita menentukan makna apa yang ada di balik apa yang diucapkandalam percakapan itu. Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik kepada peserta penutur, komunikasi yang terjadi itu perlu mempertimbangkan kaidah-kaidah yang harusditaati oleh pembicara agar percakapan dapat berjalan dengan lancar. Kaidah-kaidah ini dalam kajian pragmatik, dikenal sebagai prinsip kerja sama. Grice (dalam Leech 1993:119) mengungkapkan bahwa di dalam prinsip kerja sama, seorang pembicara harus mematuhi empat maksim.
Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta pertuturan dalam berinteraksi, baik secaratekstual maupun interpersonal dalam upaya melancarkan jalannya proseskomunikasi. Kaidah percakapan yang dikemukakan oleh Grice sebagai berikut :
a.         Cooperative principle (prinsip kooperatif). Di dalam percakapan, sumbangkanlah apa yang diperlukan, padasaat terjadinya percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.
b.        Empat maxim of conversation ( empat maksim percakapan ) :
1)   Maksim kualitas (maxim of quality); dalam percakapan, berusahalah menyatakan sesuatu yang benar.
2)   Maksim kuantitas (maxim of quantity) ; berilah keterangan secukupnya dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan.
3)   Maksim relevan (maxim of relevance) ; katakanlah hanya apayang berguna atau relevan.
4)   Maksim cara berbicara (maxim of manner) ; jangan mengatakan sesuatu yang tidak jelas, jangan mengatakan sesuatu yang ambigu, berbicaralah dengan singkat dan secara khusus.
Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaranya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Jika terdapat tanda-tanda bahwa satu maksim dilanggar, maka kita harusmemutuskan bahwa ada sesuatu di balik apa yang dikatakan. (Yule 1996:70) menyimpulkan bahwa, penuturlah yang menyampaikan makna lewat implikatur, dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat infensi itu. 

Komponen Tutur


 Menurut Hymes (1974; 54-62) bahwa faktor-faktor yang turut menentukan pemilihan bentuk tuturan dan jenis tindak tutur tertentu untuk menyampaikan tujuan atau fungsi tertentu di sebut dengan komponen tutur (component of speech). Komponen-komponen tutur tersebut biasanya bersifat di luar bahasa dan eksternal. Umumnya diakronimkan menjadi SPEAKING (setting and scene, participates, ends, act squences, key, intrumentalities, norm of interaction dan genre).
Setting and scene berkaitan dengan tempat dan waktu diutarakannya tuturan tersebut. Apakah tuturan tersebut disampaikan dalam suasana formal atau dalam siatuasi non formal. Kesemuanya menuntut tuturan yang berbeda. Participants bersangkutan dengan peserta tindak tutur yaitu penutur dan lawan tutur, penyapa, dan pesapa, penulis dan pembaca, pengirim dan penerima dsb. Ends berhubungan dengan tujuan atau hasil yang hendak di capai oleh orang-orang yang terlibat dalam pertuturan. Act sequence menunjuk kepada bentuk atau isi sesuatu yang dibicarakan, kata-kata yang diucapkan dan bagaimana hubungan dengan topik yang dibicarakan. Key berhubungan dengan nada suara, keadaan si penutur dan faktor-faktor emosional lain yang mempengaruhi tuturan apakah serius, membual, sarkastik dsb. Situasi penutur seringkali ditandai dengan tingkah laku, gerak-gerik dsb. Instrumentalities berkaitan dengan saluran atau penghubung atau media (channel) yang dipakai untuk menyampaikan infomasi penutur dapat menggunakan bahasa lisan atau tulis lengkap dengan paralinguistiknya. Norm of interaction (norma interaksi) menunjuk pada norma-norma kebahasaan yang di anut oleh anggotanya. Aturan-aturan ini akhirnya dapat mempengaruhi alternatif pilihan yang akan dituturkan oleh penutur. Norma ini berbeda antar bahasa. Genre berkaitan dengan tipe wacana yang digunakan untuk berkomunikasi yaitu misalkan mengenai apakah percakapan, cerita, pidato dan sebagainya.  Komponen tutur yang disebutkan oleh Hymes di sebut pula sebagai ciri-ciri konteks yang mengambil peranan dalam peristiwa komunikasi. Peranan yang di maksud adalah turut menentukan makna dan fungsi tuturan.  Jadi dapat disimpulkan bahwa ketika mempunyai suatu tujuan tertentu maka tujuan itu akan dituangkan dalam tindak tutur tertentu. Tindak tutur tersebut akan menentukan bentuk tuturan yang akan digunakan namun bentuk tuturan yang akan di pilih harus sesuai dengan faktor-faktor sosial dan kultural.
a.         Kata
Kata adalah satuan bahasa yang paling kecil. Dalam bahasa Indonesia, kata dapat dikelompokkan atas kata kata benda atau nomina, kata kerja atau verba, kata sifat atau adjektiva, kata bilangan dsb. Menurut Mulyana (2005; 8-9) kalimat satu kata adalah bentuk terpendek atau tuturan terpendek yang memeiliki esensi kalimat. Kalimat sendiri memiliki pengertian sebagai satuan gramatik yang dibatasi oleh jeda panjang yang disertai dengan nada akhir naik atau turun (Ramlan, 2001; 23). Dalam tulisan nada akhir atau naik dinyatakan dengan tanda titik, tanda koma atau tanda seru. Jadi meskipun hanya terdiri dari satu kata, namun apabila memiliki nada naik atau turun apalagi memiliki makna yang lengkap maka kata tersebut merupakan kalimat satu kata.
b.        Frase
Frase adalah satuan bahsa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi klausa (Ramlan, 2001; 138). Atas penggolongan kata menjadi benda atau nomina, kata kerja atau verba, kata sifat atau adjektiva maka frase dapat dibagi menjadi frase nomina, frase verba, frase adjektiva. Frase tersebut memiliki distribusi yang sama sesuai dengan jenis katanya. Misalkan, frase nomina adalah frase yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nominal.  Dalam wacana peringatan, ditemukan beberapa frase. Frase tersebut diantaranya adalah frase nomina, frase bilangan dan frase depan.
c.         Kalimat
Sudah disampaikan di awal bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir atau turun (Ramlan 2001; 23). Kalimat juga diartikan sebagai satuan gramatik yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu dan dapat berdiri sendiri (Kridalaksana, 2001; 92). Dalam tulisan, nada akhir turun atau naik dinyatakan dengan tanda titik, tanda koma atau tanda seru. Namun tidak semua kalimat dalam wacana peringatan disertai tanda titik, tanda tanya atau tanda seru. Kalimat dalam bahasa Indonesia dikelompokkan berdasarkan bentuk dan nilai komunikatifnya (Moeliono, 1988; 267-293)
Berdasarkan bentuknya, kalimat dapat digolongkan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa sehingga predikatnya juga satu. Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih sehingga predikatnya pun ada dua atau lebih. 

Tingkat Strategi Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung


Terdapat sembilan jenis TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat kelangsungan TT dapat di ukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula di ukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
      Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
1)          TT-LH       : “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
2)          TT-LTH     : “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
3)          TT-TLH     : “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
4)          TT-TLTH  : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.
      Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat di catat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
1)      Tindak tutur langsung (TT-L)
2)      Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
3)      Tindak tutur harafiah (TT-H)
4)      Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
5)      Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
6)      Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
7)      Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)
8)      Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)

Tindak Tutur


Tindak tutur (speech art) merupakan unsur pragmatic yang melibatkan pembicara, pendengar atau penulis pembaca serta yang dibicarakan. Dalam penerapannya tindak tutur digunakan oleh beberapa disiplin ilmu. Seorang kritikus sastra mempertimbangkan teori tindak tutur untuk menjelaskan teks yang halus (sulit) atau untuk memahami alam genre (jenis) sastra, para antropolog akan berkepentingan dengan teori tindak tutur ini dapat mempertimbangkan mantra magis dan ritual, para filosof melihat juga adanya aplikasi potensial diantara berbagai hal, status pernyataan etis, sedangkan linguis (ahli bahasa) melihat gagasan teori tindak tutur sebagai teori yang dapat diterapkan pada berbagai masalah di dalam kalimat (sintaksis), semantic, pemelajar bahasa kedua, dan yang lainnya.
Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya kita lakukan ketika kita berbicara. Ketika kita terlibat dalam suatu percakapan kita melakukan beberapa tindakanseperti melaporkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Dalam kajian tindak tutur ini ‘tuturan’ sebagai kalimat atau wacana yangterkait konteks, pengistilahannya berbeda-beda. Hudson dalam sosiolinguistik Suryatin(1998:87) memberikan istilah ‘tuturan’ dengan ‘ujaran’. John L. Austin dalam Wijana menggunakan istilah tuturan. Di dalam linguistic pragmatic tindak tutur tetap merupakan praduga dengan implikatur khusus. (Setiawan, 2005 : 16)
Menurut Chaer (2004) tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Teori tindak tutur lebih dijabarkan oleh para lingusitik diantaranya Searle (dalam Wijana, 1996) menyatakan bahwa secara pragmatis, setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur dalam melakukan tindak tutur yakni tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak tutur perlokusi (Setiawan, 2005 )
1)   Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of saying something. Dalam tindak lokusi, tuturan dilakukan hanya untuk menyatakan sesuatu tanpa ada tendensi atau tujuan yang lain, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi relatif mudah untuk diindentifikasikan dalam tuturan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Parker melalui Wijana, 1996:18). Dalam kajian pragmatik, tindak lokusi ini tidak begitu berperan untuk memahami suatu tuturan.
2)    Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi ialah tindak tutur yang tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan sesuatu namun juga untuk melakukan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of doing something. Contoh, kalimat ‘Saya tidak dapat datang’ bila diucapkan kepada teman yang baru saja merayakan pesta pernikahannya tidak saja berfungsi untuk menyatakan bahwa dia tidak dapat menghadiri pesta tersebut, tetapi juga berfungsi untuk melakukan sesuatu untuk meminta maaf. Tindak ilokusi sangat sukar dikenali bila tidak memperhatikan terlebih dahulu siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.
Searle dalam Leech (1993:164-166) membagi tindak ilokusi ini menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.
a.         Tindak asertif merupakan tindak yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, artinya tindak tutur ini mengikat penuturnya pada kebenaran atas apa yang dituturkannya (seperti menyatakan, mengusulkan, melaporkan)
b.        Tindak komisif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong penutur melakukan sesuatu. Ilokusi ini berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan lawan tuturnya (seperti menjanjikan, menawarkan, dan sebagainya)
c.         Tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong lawan tutur melakukan sesuatu. Pada dasarnya, ilokusi ini bisa memerintah lawan tutur melakukan sesuatu tindakan baik verbal maupun nonverbal (seperti memohon, menuntut, memesan, menasihati)
d.        Tindak ekspresif merupakan tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap lawan tutur (seperti mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam)
e.         Tindak deklaratif ialah tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur yang lain atau tindak tutur sebelumnya. Dengan kata lain, tindak deklaratif ini dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal, status, keadaan yang baru (seperti memutuskan, melarang, mengijinkan).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman terhadap tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
3)   Tindak Perlokusi (perlocutionary act)
Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat (Nababan dalam Lubis, 1999:9). Tuturan ini  disebut sebagai The act of affecting someone. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan perlokusi. Tindak perlokusi ini biasa ditemui pada wacana iklan. Sebab wacana iklan meskipun secara sepintas merupakan berita tetapi bila diamati lebih jauh daya ilokusi dan perlokusinya sangat besar.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa tuturan atau ujaran sebagai rangkaian unsur bahasa yang pendek atau panjang yang digunakan dalam berbagai kesempatan yang berbeda untuk tujuan-tujuan berbeda. Istilah tuturan atau ujaran ini mencakup wacana lisan dan wacana tertulis.