Tampilkan postingan dengan label Judul Skripsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Judul Skripsi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 November 2019

Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerja sama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Modal sosial muncul dari hasil interaksi di dalam masyarakat dengan proses yang lama. Meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang berinteraksi, berkomunikasi, dan kemudian menjalin kerja sama pada dasarnya dipengaruhi oleh keinginan dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan bersama yang tidak jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri. Interaksi semacam ini melahirkan modal sosial yang berupa ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut para ahli modal sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003). 
Sedangkan Burt tahun 1992 (dalam Suparman 2012) mendefinisikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi(berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Sejalan dengan Fukuyama (dalam Anconk 2007) menjelaskan bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilaiatau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Adapun menurut Cohen dan Prusak tahun 2001 (dalam Suparman 2012), modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilainilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Sependapat dengan penjelasan dari Cohen dan Prusak, (Hasbullah, 2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), hubungan timbal balik dan aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Modal sosial juga adalah sebuah potensi yang dimana dapat meningkatkan kesadaran bersama tentang banyaknya kemungkinan peluang yang bisa dimanfaatkan dan juga kesadaran bahwa nasib bersama akan saling terkait dan ditentukan oleh usaha bersama yang dilakukan. Berbagai pandangan tentang kapital sosial tersebut di atas bukan sesuatu yang bertentangan. Ada keterkaitan dan saling mengisi sebagai sebuah alat analisa penampakan kapital sosial di masyarakat. Dengan menyimak tentang berbagai pengertian kapital sosial yang sudah dikemukakan di atas, kita bisa mendapatkan pengertian kapital sosial yang lebih luas yaitu berupa jaringan sosial, nilai dan norma dan kepercayaan. 

Hubungan Kinerja Usaha dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Heady and Wooden (2004), menggunakan data tahun 2001 dan 2002 yang diamabil pada survey rumah tangga, pendapatan dan dinamika buruh di Australia. Penelitian ini menaganalisis pengaruh kekayaan (pendapatan) pada kesejahteraan subjektif dan kesehatan. Pandangan yang diterima di kalangan psikolog dan ekonom adalah sama, dimana pendapatan rumah tangga memiliki efek statistik yang cukup signifikan pada ukuran kesejahteraan subjektif subjektif, walaupun pendapatan merupakan ukuran yang tidak sempurna dari keadaan ekonomi rumah tangga. Penelitian Sacks et all (2010) pada 132 negara, dengan membuat jajak pendapat terhadap kesejahteraan subjektif subjektif, dengan mengeksplorasi hubungan antara kesejahteraan subjektif dan pendapatan. Hasil penelitian menyatakan kepuasan hidup rata-rata lebih tinggi di negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih besar, walaupun pendapatan absolut tetap memainkan peran penting dalam mempengaruhi kesejahteraan subjektif. Kepuasan hidup warga Negara tumbuh sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara tersebut. Hasil akhir yang diperoleh dalam penelitian ini menyatakan tingkat pertumbuhan kesejahteraan subjektif sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan pendapatan warga Negara. 

Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

Penelitian yang terkait dengan hubungan ini adalah penelitian Aryogi (2013) pada obyek individu dalam rumah tangga berdasarkan perwakilan SUSENAS yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) tahun 2007. Hasil penelitian  menyatakan bahwa, upaya peningkatan pendapatan melalui aktivitas berbagai sektor perekonomian diperlukan agar terjadi peningkatan dalam kesejahteraan subjektif. Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL). Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko berpengaruh secara langsung dan berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan menuju peningkatan kesejahteraan subjektif

Hubungan Modal Sosial dan Kesejahteraan Subjektif (skripsi dan tesis)

 Penelitian yang sejalan dalam hubungan ini adalah penelitian Suandi (2014) terhadap 132 keluarga pada bulan Nopember 2012 di dua kecamatan, yaitu: 82 Kecamatan Keliling Danau, dan Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Jambi. Hasil penelitian menyatakan bahwa modal sosial (asosiasi lokal dan karakter masyarakat) baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh positif sangat nyata terhadap kesejahteraan subjektif ekonomi keluarga. Penelitian Johannes (2009) yang mengkaji efek dari modal sosial terhadap kemiskinan rumah tangga menggunakan hasil survey terhadap 2.001 rumah tangga di Kamerun. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, keanggotaan dalam asosiasi sebagai indikator modal sosial berkorelasi positif dengan peningkatan pendapatan per kapita rumah tangga (mengurangi kemiskinan). Hasil analisis lebih lanjut tenyata bagi pembuat kebijakan dalam meningkatkan kesejahteraan subjektif hidup rumah tangga disarankan untuk mempertimbangkan dan mempromosikan modal sosial sebagai salah satu implementasi yang relevan. Sedangkan penelitian Rose (2009) di Rusia, menyatakan bahwa beberapa bentuk dan keadaan jaringan modal sosial menghasilkan sejumlah peningkatan kesejahteraan subjektif individu (pribadi). Juga ditekankan bahwa modal sosial tidak harus dianalisis secara terpisah tetapi sebagai bagian dari portofolio sumber daya yang digunakan individu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan subjektif.

Hubungan Orientasi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Sejumlah penelitian yang terkait hubungan ini adalah: (1) Suryanita (2006) pada pengusaha industri pakaian jadi di Kota Semarang, dimana orientasi kewirausahaan mempunyai efek positif dan signifikan terhadap kinerja pemasaran, (2) Suci (2006) pada kabupaten/kota yang memiiliki industri kecil menengah (IKM) Bordir di Provinsi Jawa Timur dengan 365 responden, dimana temuannya orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha pada IKM 81 border di Provinsi Jawa Timur, (3) Risnawati dan Noermijati (2011) pada koperasi primer di Kota Palu Sulawesi Tengah, yang menyatakan orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja koperasi, baik kinerja keuangan maupun kinerja non keuangannya, dan (4) Rudy dan Soegianto (2013) pada karyawan/pemilik PT. Mentari Esa Cipta di Jakarta sejalan dengan studi ini, dimana hasilnya ternyata ada pengaruh positif dan signifikan antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta. 
Demikian juga penelitian Yang (2006) pada UKM di Taiwan, yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan orientasi kewirausahaan yang tinggi dapat memberi kontribusi terhadap kinerja bisnis yang lebih tinggi. Penelitian Callaghan (2009) di kota Johannesburg, tentang dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor kontekstual yang membentuk orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi terhadap kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sangat terkait dengan peningkatan pendapatan PKL seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko

Hubungan Modal Sosial dan Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

 Penelitian terkait dalam hubungan modal sosial dengan kinerja usaha adalah penelitian Rudy dan Soegianto (2013) yang berjudul “Analisis Pengaruh Modal Sosial dan Orientasi Kewirausahaan Terhadap Kinerja Kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta”, dengan responden para karyawan dan manajer/pemilik PT. Mentari Esa Cipta di Jakarta, yang menyatakan ternyata tidak ada pengaruh yang signifikan antara modal sosial terhadap kinerja kewirausahaan pada PT. Mentari Esa Cipta. Penelitian Subroto (2015) terhadap pelaku UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten, juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara modal sosial terhadap kinerja pada UMKM bidang garmen di Kabupaten Klaten. Penelitian di luar negeri yang dilakukan oleh Durojaiye et all (2013) terhadap bisnis perdagangan bahan makanan di Southwestern Nigeria, yang menyatakan bahwa modal sosial berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan keuntungan penjualan bahan makanan di Negeria

Hubungan Modal Sosial dan Orientasi Kewiruausahaan (skripsi dan tesis)

Penelitian Thobias, dkk. (2013), yang berjudul “Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku Kewirausahaan: Suatu studi pada pelaku usaha mikro kecil menengah di Kecamatan Kabaruan, Kabupaten Kepulauan Talaud”, dengan 74 responden, dimana modal sosial berpengaruh positif bagi pengusaha mikro kecil menengah (MKM) yang ada terhadap orientasi kewirausahaan pelaku MKM tersebut. Penelitian Primadona, dkk (2014) terhadap wirausahawan etnis Minang, dimana kebijakan dan model kewirausahaan dengan modal sosial secara langsung berpengaruh pada etnis Minang, karena berhasilnya etnis Minang selama ini di dalam berwirausaha sangat ditopang oleh nilai modal sosial. 
Penelitian Wimba (2015) yang menyatakan bahwa modal sosial secara langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi kewirausahaan pada UKM kerajinan kayu di Provinsi Bali. Penelitian di luar negeri melalui penelitian Atazadeh, et al (2014) di Tabriz (Iran) dengan sampel 400 responden, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kewirausahaan dan modal sosial, dimana pada berbagai kepercayaan, kerjasama dan norma dalam partisipasi memiliki dampak yang signifikan pada kewirausahaan. Ada hubungan positif yang signifikan antara pengaruh emosi dan karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan seperti pengambilan risiko, dan pragmatisme. Ini berarti terjadi peningkatan efek yang memperkuat rasa percaya dan karakteristik kepribadian yang berhubungan dengan kewirausahaan seperti risiko, pengendalian internal dan pragmatisme

Industri Kreatif (skripsi dan tesis)

Menurut Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008) pengertian industri kreatif didefinisikan sebagai “Industri yang berasal dari pemanfaatan  kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.” Contohnya: industri batik, industri tenun, industri jasa arsitektur, industri jasa periklanan, dsb. Ekonomi kreatif dan industri kreatif akhir-akhir ini semakin hangat dibicarakan baik oleh pemerintah, swasta dan pelakunya sendiri. Khususnya pemerintah sudah semakin menaruh perhatiannya. Sedikitnya ada Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Komunikasi dan Informasi, dan Departemen Tenaga Kerja. Karena istilah "industri" pada industri kreatif, menimbulkan banyak interpretasi, bagaimanakah mencocokkan secara kontekstual antara ekonomi kreatif, industri kreatif dengan Undang-undang No. 5/1984 tentang Perindustrian. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025 yang dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI (2008) dijelaskan adanya evoluasi ekonomi kreatif. 
Berdasarkan dokumen rencana ini dapat diketahui bahwa adanya pergeseran dari era pertanian ke era industrialisasi lalu ke era informasi yang disertai dengan banyaknya penemuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta globalisasi ekonomi. Perkembangan industrialisasi menciptakan pola kerja, pola produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan efisien. Pandangan tentang ekonomi kreatif dan industri kreatif dapat dijabarkan sebagai berikut. 
1) Industri dapat dibedakan menjadi sektor-sektor utama (menutur BPS ada 16 sektor utama), yang mendasari pembagian lapangan usaha. Kelompok industri kreatif ini (misalnya: musik, periklanan, tekstil, arsitektur, dll.) akan memiliki lapangan usaha yang merupakan bagian dari beberapa sektor industri. Sebagian besar dari lapangan usaha industri kreatif ini merupakan industri jasa. 
2) Ekonomi kreatif merupakan keseluruhan dari industri kreatif, yaitu seluruh industri yang tercakup dalam kelompok industri kreatif. 
Selanjutnya menurut Depertemen Perdagangan RI (2008), jenis-jenis industri kreatif di Indonesia meliputi: 
(1) periklanan; yang berkaitan dengan kreasi dan produksi iklan, 
(2) arsitektur; yang berkaitan dengan cetak biru bangunan dan informasi produksi, 
(3) pasar seni dan barang antik,
 (4) kerajinan; yang berkaitan dengan kreasi dan distribusi produk kerajinan, 
(5) desain; yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan,
 (6) desain tekstil; yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya,
 (7) Video, Film dan Fotografi; yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusinya,
 (8) permainan interaktif; yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi,
(9) musik; yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik, 
(10) seni pertunjukan; yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten dan proses 69 produksi pertunjukan, 
(11) Penerbitan & Percetakan; yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan karya tulis serta digital,
 (12) layanan komputer dan piranti lunak; yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi (IT), 
13) televisi dan radio; yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio, dan
 (14) Riset dan Pengembangan; yang terkait dengan usaha inovatif dan produk baru

Konsep Industri (skripsi dan tesis)

 Secara umum industri didefinisikan sebagai usaha atau pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri pada dasarnya tidak hanya berfokus kepada produksi dari barang atau jasa, tetapi juga terhadap distribusi, pertukaran (sales, komersialisasi) serta konsumsi dari barang dan jasa. Hanya saja industri selalu  dikaitkan dengan pabrikasi atau manufaktur (secondary industry), karena pada era industrialisasi ditandai dengan perkembangan secara dramatis dari industri manufaktur ini. Industri merupakan bagian dari ekonomi, atau bisa dikatakan industri merupakan segmentasi dari ekonomi dalam upaya manusia untuk memilah-milah aktivitas ekonomi secara lebih mendetil (Depatemen Perdagangan RI, 2008).
Sedangkan industri kecil didefinisikan secara berbeda-beda oleh sejumlah badan pemerintah ataupun berbagai macam instansi. Beberapa macam definisi industri kecil tersebut antara lain: 
(1) menurut Depperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan) Tahun 1999, industri kecil merupakan kegiatan usaha industri yang memiliki investasi sampai Rp. 200.000.000,- tidak termasuk bangunan dan tanah tempat usaha; 
(2) menurut Biro Pusat Statistik (2012), mendefinisikan industri kecil adalah usaha rumah tangga yang melakukan kegiatan mengolah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi, barang setengah jadi menjadi barang jadi, atau yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang termasuk pengusaha;
 (3) menurut Bank Indonesia, industri kecil yakni industri yang asset (tidak termasuk tanah dan bangunan), bernilai kurang dari Rp. 600.000.000,-; dan (4) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995: a. (Pasal 1): ayat 1, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, b. (Pasal 5): 
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, 
2)  memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-, 
3) milik warga negara Indonesia, 
4) berdiri sendiri bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar, 
5) berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. 
Kategori industri kecil menurut Departemen Perindustrian (Disperindag Provinsi Bali. 2015) adalah sebagai berikut: (1) Industri Kecil Modern, yang meliputi industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya (intermediate process technologies), mempunyai skala produksi yang terbatas, tergantung pada dukungan industri besar dan menengah dan dengan system pemasaran domestik dan ekspor, menggunakan mesin khusus dan alat-alat perlengkapan modal lainnya. Dengan kata lain, industri kecil yang modern telah mempunyai akses untuk menjangkau system pemasaran yang relatif telah berkembang baik di pasar domestik ataupun pasar ekspor;
 (2) Industri Kecil Tradisional, pada umumnya mempunyai ciri-ciri antara lain, proses teknologi yang digunakan secara sederhana, mesin yang digunakan dan alat perlengkapan modal lainnya relatif sederhana, lokasi di daerah pedesaan, akses untuk menjangkau pasar yang berada di luar lingkungan yang berdekatan terbatas; dan 
(3) Industri Kecil Kerajinan, yang sangat beragam, mulai dari industri kecil yang menggunakan proses teknologi yang sederhana sampai industri kecil yang menggunakan teknologi proses madya atau malahan sudah menggunakan proses teknologi yang tinggi. 
Selanjutnya BPS Provinsi Bali (2015b) dalam penjelasan konsep dan metode pengukuran sektor industri pengolahan, menerangkan beberapa hal berikut, 
1) Industri pengolahan (manufaktur) adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan merubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehinggga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir. Termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan. 
2) Jasa industri adalah kegiatan industri yang melayani keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain, sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapat imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon), misalnya perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu.
 3) Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya, serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas risiko usaha tersebut.
 4) Klasifikasi atau pengelompokan industri pengolahan terdiri dari empat jenis, yaitu: 
 Industri besar adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 100 orang atau lebih.
  Industri Sedang adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 20 - 99 orang. 
 Industri Kecil adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 5 - 19 orang.
  Industri Rumah Tangga (RT) adalah perusahaan industri yang mempunyai tenaga kerja 1 - 4 orang.
 Kelompok lapangan usaha dalam industri pengolahan terdiri atas 16 jenis, meliputi industri: (1) batubara dan kilang migas (pertambangan), (2) makanan dan minuman, (3) pengolahan tembakau, (4) tekstil dan pakaian jadi, (5) kulit, barang dari kulit dan alas kaki, (6) kayu, barang dari kayu dan gabus, anyaman bambu dan rotan, (7) kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media, (8) kimia, farmasi dan obat tradisional, (9) karet, barang dari karet dan plastik, (10) barang galian bukan logan, (11) logam dasar, (12) barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik, (13) mesin dan perlengkapan, (14) alat angkutan, (15) furnitur, dan (16) pengolahan lainnya. Usaha industri tenun dalam kelompok industri pengolahan termuat dalam industri tekstil dan pakaian jadi 

Konsep Ekonomi Kelembagaan (skripsi dan tesis)

 Kelembagaan dapat didefinisikan sebagai batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan berbagai interaksi baik politik, sosial dan ekonomi (North, 1990). Kelembagaan dipandang sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) untuk menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa 61 yang mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. North (1990) mengatakan bahwa reformasi yang dilakukan tidak akan memberikan hasil yang nyata hanya dengan hanya memperbaiki kebijakan ekonomi makro. Agar reformasi berhasil, dibutuhkan dukungan seperangkat institusi yang mampu memberikan insentif yang tepat kepada setiap pelaku ekonomi. Beberapa contoh institusi yang mampu memberikan insentif tersebut adalah hukum paten dan hak cipta, hukum kontrak dan pemilikan tanah. Menurut North institusi adalah peraturan perundang-undangan berikut sanksi dari peraturan-peraturan tersebut serta norma-norma perilaku yang membentuk interaksi antara manusia secara berulangulang. 
Selanjutnya konsep ekonomi kelembagaan mewadahi kondisi bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antar pelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan asset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan) dan lain-lain. Intinya, selalu ada intensif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar. Dalam hal ini diperlukan kelembagaan non pasar (non- market institution) untuk melindungi agar pasar tidak terjebak dalam kegagalan yang tidak berujung, yakni dengan mendesain aturan main/kelembagaan (institusion) (Yustika, 2013). 62 Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisiplinier sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya dan yang lain sebagai satu kesatuan analitis.
 Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode yang dibangun dari tiga premis penting (Yustika, 2013) yaitu: (1) partikular, dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat, yang berarti setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain); (2) subyektif, dimaknai sebagai penelitian yang melihat realitas atau fenomena sosial dan lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “ orang dalam”; dan (3) non prediktif, dimaknai sebagai paradigma penelitian yang tidak hanya masuk ke wilayah prediksi ke depan, tetapi yang ditekankan di sini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena

Kesejahteraan Masyarakat Secara Makro dan Subjektif (skripsi dan tesis)

Menurut Todaro and Smith, 2006, bagaimanapun masalah kesejahteraan itu dikemas, terlihat bahwa pendapatan atau konsumsi, atau pemenuhan hasrat dan kesenangan subjektif semata, belum secara tepat mendefinisikan kesejahteraan. Hampir semua pendekatan tentang kesjahteraan berujung kepada pertimbangan terhadap kesehatan dan pendidikan, selain pendapatan. Pandangan tentang indikator kesejahteraan yang meliputi pendapatan, kesehatan, dan pendidkan di tingkat makro, oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dinyatakan sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). IPM oleh PBB dipandang sebagai peringkat pembangunan manusia sebagai indikator kesehjahteraan makro bagi semua Negara dari skala 0 (tingkat yang paling rendah) hingga 
1 (tingkat yang paling tinggi), yang didasarkan pada tiga tujuan atau produk akhir pembangunan, yaitu: 
(1) masa hidup (longevity) yang diukur dengan usia harapan hidup (kesehatan), 
(2) pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kemampuan baca tulis orang dewasa secara tertimbang (2/3) dan rata-rata tahun bersekolah (1/3) (pendidikan), dan 
(3) standar kehidupan (standard of living) yang diukur dengan pendapatan riil per kapita dan disesuaikan dengan paritas daya beli (pendapatan). 
Pengelompokan IPM adalah : tingkat pembangunan manusia rendah (0,000 hingga 0,499), tingkat pembangunan manusia menengah (0,500 hingga 0,799), dan tingkat pembangunan manusia tinggi (0,800 hingga 1,000). Kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna (Bade and Parkin, 2001). 1) Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (sosial welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. 
2) Sebagai pelayanan sosial. Pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (sosial security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal sosial services).
 3) Sebagai tunjangan sosial. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, dan ketergantungan.
 4) Sebagai proses atau usaha terencana, yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial.  Tujuan tercapainya kesejahteraan diharapkan dapat mendukung standar hidup dan mengurangi kesenjangan, dengan demikian harus menghindari ledakan biaya dan mencegah perilaku yang kondusif bagi moral hazard. Semua tujuan ini harus dicapai dan dapat meminimalkan biaya administrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang bertugas menjalankan itu. Tujuan kesejahteraan disusun melalui konsep ekonomi kelembagaan dalam lingkup negara, melalui terobosan dan pengaturan berdasarkan pada tiga pilar: 
a) tunjangan keluarga, 
b) pelayanan kesehatan yang komprehensif, dan
 c) kebijakan pendidikan murah. 
Penelitian Hagfors and Kajanoja (2007) di Finlandia menghasilkan gagasan bahwa risiko dan kemiskinan masyarakat harus ditanggung oleh kesejahteraan negara, dimana kesejahteraan negara meningkatkan kesetaraan pada masyarakat dengan menutup risiko dan menyamakan peluang serta distribusi pendapatan. Inti permasalahan yang dimunculkan adalah kesetaraan yang diciptakan oleh kesejahteraan negara sejalan (positif) terkait dengan kepercayaan umum antara rakyat dan peran modal sosial dalam menjembatani keterkaitan ini. Pengurangan risiko itu sangat berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, secara umum kepercayaan dan modal sosial yang menjembataninya semakin penting dalam perekonomian saat ini. Perubahan historis teori ekonomi neo-klasik tidak dijadikan acuan, yang dilihat hanya peran kebijakan sosial masa kini dan kesetaraan, serta keterkaitan hubungan antara modal sosial dan kesejahteraan. Analisis kesejahteraan sosial diukur melalui kegiatan ekonomi dari individuindividu yang membentuk masyarakat. Oleh karena itu, individu dengan kegiatan ekonomi yang terkait, adalah unit dasar yang akan menggabungkan kesejahteraan sosial, baik dari kelompok, komunitas, atau masyarakat. Kesejahteraan sosial mengacu pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan bisa dianggap sebagai penjumlahan dari kesejahteraan semua individu dalam masyarakat (Bade and Parkin , 2001). Salah satu usaha meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat adalah melalui usaha pengembangan masyarakat, perkembangan fisik lingkungan, dan perkembangan manajemen terhadap profesinya, dalam rangka mencapai kemandirian masyarakat. 
Adanya pengaruh tiga usaha tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat ditandai dengan meningkatnya pendapatan riil, tingkat pendidikan, kesehatan serta rasa aman dan nyaman. Kemandirian masyarakat digambarkan dengan meningkatnya kemandirian di dalam pengadaan modal usaha, kemandirian dalam berpartisipasi dalam pembangunan desa, dan kemandirian didalam peningkatan peluang untuk mendapatkan pekerjaan. Kejahteraan sosial masyarakat sendiri pada akhirnya mempengaruhi kemandirian masyarakat melalui ukuran kesejahteraan ekonomi subjektif (KES).
 Kesejahteraan Ekonomi Subjektif (KES) menurut Hayo and Seifert dalam Suandi (2007) banyak diteliti karena ada tiga alasan penting, yaitu :
 (1) KES merupakan kunci penting dalam kebijakan ekonomi, dimana makro ekonomi suatu negara berko-relasi positif dengan KES, 
(2) KES menjadi dasar pertimbangan dalam politik ekonomi, karena kepuasan ekonomi individu dan masyarakat akan mempengaruhi dukungan politik terhadap ekonomi pasar dan demokrasi, dan 
(3) KES 57 menjadi dasar dalam melihat kondisi ekonomi objektif dan subjektif dalam membuat perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat. 
Pendekatan pengukuran KES menggunakan istilah subjektivitas dan relativitas, dan kedua istilah ini menggunakan terminologi persepsi. Menurut Ravallion and Lokshin dalam Suandi (2007), pendekatan subjektivitas dapat menggambarkan kesejahteraan yang lebih komplek dan nilainya lebih berharga dari barang-barang dan jasa di pasar. Kesejahteraan dalam konteks subyektivitas dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupannya, seperti : aktivitas ekonomi, semangat hidup, tingkat independensi, dan kebahagiaan di waktu luang. Sedangkan pendekatan relativitas memiliki beberapa konsekuensi, yaitu :
 (1) kesejahteraan yang dirasakan bukan hanya sesaat, tetapi mampu membandingkan kesejahteraan sekarang dengan waktu yang lampau dan di masa yang akan datang,
 (2) ada unsur penyerapan informasi baru dari luar, dan
 (3) tidak mampu menggambarkan persepsi kesejahteraan secara keseluruhan. 
Pendekatan yang sering digunakan dalam persepsi kesejahteraan subjektif adalah kepuasan dan kebahagiaan. Secara operasional, variabel kepuasan merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan variabel kebahagiaan karena tingkat kepuasan lebih mampu melihat gap antara inspirasi dan tujuan yang ingin dicapai. Sen dalam Suandi (2007) menyatakan bahwa tingkat kepuasan dapat menggambarkan kemampuan seseorang mengevaluasi suatu aksi yang mampu menjangkau berbagi kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagiaan hanya dapat merasakan berbagai peristiwa pada kelompok tertentu dalam aksesnya dengan institusi dan masyarakat. 58 Disamping itu, kepuasan individu, keluarga, dan atau masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan jasa serta harapan masa depan Kesejahteraan masyarakat merupakan jumlahan KES semua individu yang tinggal di suatu daerah atau masyarakat. Sedangkan kesejahteraan subjektif (individu) akan mencerminkan kualitas hidup seseorang. Banyak faktor yang mempengaruhi kulaitas hidup seseorang, yang terpenting adalah tujuan dan dimensi subjektif dari kualitas hidup itu sendiri. Pengukuran tujuan dan dimensi subjektif kualitas hidup seseorang dikembangkan oleh The International Wellbeing Group (2013) melalui Indeks Kesejahteraan Pribadi (IKP), sebagai ukuran kesejahteraan subjektif. Kesejahteraan subjektif diukur melalui pertanyaan tentang kepuasan yang diarahkan kepada perasaan seseorang terhadap diri mereka sendir

Kinerja Usaha (skripsi dan tesis)

Pengukuran kinerja akan memberikan informasi situasi dan posisi relatif terhadap target atau mengetahui apakah perencanaan dan aktifitasnya telah secara optimal dijalankan (Robbins dan Judge, 2008). Para wirausaha memegang informasi prestasi untuk mengetahui posisi kinerjanya relatif terhadap orang lain, kelompok lain, maupun terhadap sasaran usaha. Bila prestasi pada suatu di bawah target, maka akan dijadikan dasar untuk mengejar ketertinggalan dan mecarikan tindakan manajerial atas upaya, menambah input dan atau memerbaiki proses kerja sehingga kinerjanya dapat kembali sesuai perencanaan.
 Monitoring kinerja di lapangan relatif mudah dilakukan seperti halnya monitoring kinerja proses operasional di fasilitas produksi yang sudah terotomatisasi. Variabel ukur tak sepenuhnya dengan mudah diakses (muncul sendiri dari proses) atau diukur (karena sifatnya yang kualitatif) atau hal-hal lain yang menyebabkan rendahnya objektivitas dalam pengukuran. Definisi kinerja merujuk pada tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam periode waktu tertentu. Tujuan perusahaan yang terdiri dari: tetap berdiri atau eksis (survive), untuk memperoleh laba (benefit) dan dapat berkembang (growth), dapat tercapai apabila perusahaan tersebut mempunyai performa yang baik (Jauch dan Glueck, dalam Suci, 2006). 
Kinerja (performa) perusahaan dapat dilihat dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, tingkat turn over dan pangsa pasar yang diraihnya. Strategi perusahaan selalu diarahkan untuk menghasilkan kinerja usaha dan pemasaran (seperti volume penjualan dan tingkat pertumbuhan penjualan) yang baik dan juga kinerja keuangan yang baik. Hal ini menyebabkan beragam pengukuran kinerja dalam penelitian bidang bisnis terus berkembang dengan dasar indikasi yang bervariasi. Rasio-rasio akuntansi dan ukuran-ukuran pemasaran merupakan dua kelompok besar indikator kinerja perusahaan, tetapi indikator-indikator ini telah banyak dikritik karena indikator-indikator itu tidak cukup jeli dalam menjelaskan halhal yang bersifat intangibel dan seringkali tidak tepat digunakan untuk menilai sumber dari keunggulan bersaing. Sudut pandang stategi berbasis sumber daya menyarankan pengukuran dengan mengkombinasikan ukuran kinerja secara finansial dan non finansial untuk keuntungan secara ekonomis yang sesungguhnya. Kinerja perusahaan meliputi dua hal yaitu pengukuran kinerja berdasarkan faktor keuangan dan pengukuran kinerja berdasarkan penjualan unit produk. Kedua hal ini dapat dipakai secara bersama-sama dalam mengukur kinerja perusahaan secara umum. Bentuk implementasinya yaitu dengan menggunakan empat indikator, yakni: (1) peningkatan produksi, (2) peningkatan jenis hasil usaha, (3) peningkatan volume penjualan, dan (4) peningkatan laba usaha (kemampulabaan)

Orientasi Kewirausahaan (skripsi dan tesis)

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni kemampuan inovatif, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif (Kemendikbud, 2013).  Kewirausahaan dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini, tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-sebut sebagai pelopor untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Sedangkan wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai serta menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata lain, wirausaha berarti manusia yang unggul dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha dinamakan wirausahawan. Bentuk aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan yang direfleksikan dengan kemampuan inovatif, proaktifi, dan kemampuan dalam pemecahan masalah (Prawirokusumo, 2010). Orientasi kewirausahaan mengacu kepada proses, praktik, dan aktivitas pembuatan keputusan yang mengarah kepada usahaa baru (new entry), melalui penciptaan produk atau jasa baru (Lumpkin and Dess, 1996). Orietansi kewirausahaan mencakup tiga dimensi, meliputi: 
(1) kemauan untuk berinovatif (inovatif), 
(2) kecenderungan untuk menjadi proakatif terhadap pasar (proaktif), dan
 (3) keberanian mengambil keputusan atau risiko (pemecahan masalah).
 Dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan adalah inovatif (innovativeness). Keinovatifan mengacu kepada kecenderungan perusahaan ikut serta dan mendukung gagasan baru, kebaruan (novelty), eksperimentasi, dan proses kreatif yang berakibat  pada proses teknologi, jasa, dan produk baru. Oleh karenanya, keinovatifan mirip dengan suatu iklim, budaya atau orientasi bukan hasil. Keinovatifan terjadi sepanjang suatu kontinum, contoh dari mencoba lini produk baru atau mengadakan percobaan produk baru, mencoba menguasuai suatu teknologi terbaru. Lebih lanjut dinyatakan bahwa keinovatifan akan mengarah kepada perangkap, karena pengeluaran pada pengembangan produk baru dapat menjadi pemborosan sumberdaya jika upaya ini tidak memberi hasil. 
Dimensi kedua orientasi kewirausahaan adalah proaktif (proactiveness) terhadap pasar. Proaktif berkaitan dengan melihat kedepan (foward looking), penggerak pertama upaya pencarian keunggulan untuk membentuk lingkungan dengan memperkenalkan produk baru atau memproses persaingan ke depan. Keproaktifan adalah penting karena menyiratkan pendirian untuk melihat kedepan (foward looking) yang disertai dengan aktivitas yang inovatif atau spekulasi baru. Dengan demikian, perusahaan yang proaktif adalah leader bukan follower, karena perusahaan memiliki kemauan dan tinjauan ke masa depan untuk meraih kesempatan baru. Lebih lanjut, perusahaan yang proaktif sering merupakan perusahaan yang mengajukan produk baru dan seringkali memperkenalkan produk baru mendahului pesaingnya.
 Dimensi ketiga dari orientasi kewirausahaan adalah pemecahan masalah melalui keberanian mengambil keputusan/risiko (risk taking), yang didefinisikan sebagai sejauhmana para pimpinan/manajer berkeinginan membuat komitmen terhadap sumberdaya yang berisiko. Sama seperti keinovatifan, pengambilan risiko terjadi secara kontinu yang berkisar dari risiko yang relatif aman sampai risiko yang sangat  tinggi (misalnya meluncurkan produk baru di pasar baru. Meskipun banyak risiko dapat menurunkan kinerja pengembangan produk baru, risiko itu sendiri tak dapat dihindari karena kinerja akhir dari pengembangan produk baru tidak dapat diketahui sebelumnya. Perusahaan pasti seringkali memanfaatkan sumberdaya pada proyek pengembangan ketika kesempatan ditangkap oleh pasardan sebagian tanpa pengetahuan tentang bagaimana proyek pengembangan ini akan menghasilkan. Pengambilan risiko meliputi perangkap dan bahaya, tetapi perusahaan sering bertindak tanpa mengetahui apakah tindakan mereka akan menghasilkan. 
Menurut Nadim and Seymour (2007), konsep orientasi kewiraushaan akan melibatkan tiga unsur yaitu :
 (1) pengusaha (orang-orang atau pemilik usaha yang berusaha untuk menghasilkan nilai, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar, 
(2) aktivitas kewirausahaan (tindakan giat manusia dalam mengejar nilai tambah, melalui penciptaan atau perluasan kegiatan ekonomi, dengan mengidentifikasi dan mengeksploitasi produk baru, proses atau pasar, dan
 (3) kewirausahaan (fenomena yang terkait dengan aktivitas kewirausahaan). Aktivitas (kegiatan) kewirausahaan melibatkan pemahaman empat pertimbangan utama, yaitu:
 (a) aktivitas kegiatan manusia; 
(b) memanfaatkan kreativitas, inovatif dan/atau peluang, 
(c) menciptakan bisnis dan lingkungan baru yang lebih luas, dan 
(d) penciptaan nilai. 
Pemahaman orientasi kewirausahaan diukur dengan capaian kompetensi kewirausahaaan yang oleh Entrepreneurial Development Institut (EDI) of India (Jyotsna dan Saxena, 2012) diidentifikasi melalui: 
(1) inisiatif; bertidak sesuai pilihan bukan karena paksaan, mengawali tindakan,
 (2) gigih mencari peluang; pola pikir yang dilatih untk mencari peluang usaha dari pengalaman sehari-hari,
 (3) kegigihan dalam berusaha (Persistensi); sikap pantang menyerah dan mencari informasi terus menerus sampai berhasil, 
(4) rasa ingin tahu tinggi; sikap rajin mencari ide-ide dan informasi baru, konsultasi dengan ahlinya., (5) proaktif mencari pasar dan pesanan kerja; sikap kerja yang aktif untuk mencari konsumen dan menyelesaikan tugas sesuai jadwal, 
(6) proaktif merancang produk baru; selalu mencari sumber rincian standar atas produk baru yang dapat dikerjakan, 
(7) berorientasi pada perluasan pasar; sikap proaktif pada perluasan pasar dan pemasaran,
 (8) proakif menggalang dukungan dan mempengaruhi orang lain dalam suatu usaha,
 (9) ketegasan dalam bertindak (Assertiveness); mampu menyampaikan visi secara tegas dan meyakinkan orang lain tentang visi tersebut, 
(10) percaya diri; sikap tidak terlalu takut terhadap resiko yang terkait dengan usaha, 
(11) perencanaan sistematik; mempunyai perencanaan yang matang dan mem-punyai tujuan akhir, dan
 (12) berani mengambil keputusan dan risiko; mampu mengamati gejala, mendiagnosa dan memutuskan, serta siap menanggung risikonya. 
Kompetensi (1) s/d (4) diproksi sebagai indikator untuk inovatif, kompetensi (5) s/d (8) diproksi sebagai indikator untuk proaktif, dan kompetensi (9) s/d (12) diproksi sebagai indikator untuk kemampuan mengambil keputusan dan pemecahan masalah. Penelitian Callaghan (2009), memaparkan dimensi orientasi kewirausahaan serta efek dari faktor-faktor kontekstual tertentu pada asosiasi pedagang kaki lima (PKL) dengan mengukur kinerja kewirausahaan. Kinerja wirausaha didefinisikan dalam kontek ini sebagai konstruksi yang terdiri dari pendapatan dan kepuasan berkelanjutan. Orientasi kewirausahaan diuji melalui penyelidikian faktor-faktor kontekstual yang membentuk orientasi kewirausahaan dan memberikan kontribusi terhadap kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sangat terkait dengan peningkatan pendapatan seiring dengan kemampuan pimpinan dalam pengambilan keputusan atau risiko. Penelitian ini juga memberikan bukti bahwa faktor-faktor pembelajaran yang terkait, berkontribusi untuk membentuk orientasi kewirausahaan yang secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan (kesejahteraan). 

Pengukuran Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Pengukuran modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan yang berguna untuk modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda (Woolcock, 2000). Pengukuran modal sosial sangat tergantung pada bagaimana modal sosial itu dimaknai. 
Menurut The World Bank Group (2011), modal sosial diukur dengan sejumlah cara yang inovatif, meskipun untuk mendapatkan satu ukuran yang valid mungkin mustahil. Hal ini disebabkan oleh :
 (1) definisi yang paling komprehensif dari modal sosial yang multidimensi, ternyata menggabungkan tingkat dan unit analisis yang berbeda, 
(2) adanya upaya untuk mengukur konsep dari sifat-sifat ambigu seperti rasa percaya, norma, masyarakat, jaringan dan organisasi selalu menimbulkan masalah
(3) beberapa survei terdahulu sering dipakai acuan untuk mengukur modal sosial melalui kompilasi indeks dari berbagai item perkiraan, seperti tingkat kepercayaan pada pemerintah, tren perolehan suara dalam pemilu, keanggotaan dalam organisasi kemasyarakatan, jam kerja yang dihabiskan secara sukarela. 
Survei terbaru saat ini sedang diuji yang diharapkan akan menghasilkan lebih banyak indikator langsung dan akurat untuk pengukuran modal sosial. Mengukur modal sosial mungkin sulit, tetapi bukan tidak mungkin, dan beberapa studi yang sangat baik telah mengidentifikasi pendekatan untuk mewakili pengukuran modal sosial, dengan menggunakan jenis dan kombinasi dari metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif yang berbeda. Pretty and Ward (2001) menyatakan terdapat empat aspek utama yang membangun modal sosial, yaitu :
 (1) hubungan dari rasa percaya, 
(2) resiproksitas dan pertukaran, 
(3) aturan umum, norma, dan sanksi, serta
 (4) koneksi, kerjasama, dan kelompok. 
Rasa percaya mempermudah jalinan kerjasama dan mengurangi biaya trasaksi. Rasa percaya dibedakan atas dua tipe, yaitu rasa percaya terhadap orang yang dikenal (thick trust) dan rasa percaya terhadap orang yang belum dikenal (thin trust). Resiproksitas dan pertukaran juga berperan meningkatkan rasa percaya. Resiproksitas ada dua tipe, yaitu resiproksitas spesifik yang berkaitan dengan pertukaran simultan dan resiproksitas difusif yang merujuk pada pertukaran yang berkelanjutan. Determinan modal sosial seperti rasa percaya, norma, dan jaringan kerja dapat berdampak positif atau negatif terhadap kinerja pembanguan ekonomi. Rasa saling percaya yang tinggi akan mendorong peningkatan kinerja ekonomi yang lebih tinggi, asalkan mampu membangun kondisi persaingan yang sehat. Norma akan mempunyai dampak positif bila kemungkinan berkembangnya kreativitas lebih besar dibandingkan kemungkinan melemahnya etika kerja. Jaringan kerja akan berdampak positif terjadi bila dampak proteksi pada perilaku senang meminjam (rent-seeking) lebih besar daripada pengurangan (crowding out) waktu kerja.  Fokus dari pengukuran modal sosial itu sebenarnya ingin melihat pada kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola inter-relasi yang imbal balik dan saling menguntungkan, serta dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh norma dan nilai nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan diatas prinsip-prinsip tentang persamaan, kebebasan, dan nilai-nilai kemajemukan serta humanitarian. Akhirnya dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur pokok pengukuran modal sosial adalah. 
1). Rasa Percaya; kepercayaan adalah sesuatu yang mempunyai nilai yang sangat tinggi di dalam melakukan apapun dengan orang lain. Rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993, 1995 dan 2002). 
Pandangan Fukuyama (2000), menyatakan bahwa rasa percaya adalah sikap saling mempercayai di masyarakat tersebut, saling bersatu dengan yang lain dan memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial. Beberapa indikator yang sesuai dengan unsur rasa percaya pada pelaku usaha industri tenun, misalnya: rasa peduli dan toleransi terhadap orang lain,  kepercayaan terhadap tokoh agama, rasa saling percaya terhadap orang lain, kepercayaan terhadap pemerintah, dsb.
 2). Norma Sosial; norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Unsur modal sosial ini dapat berasal dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti hanya kode etik professional. Menurut Fukuyama (2000) norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama. Hasbullah (2005) menyatakan norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk prilaku yang tumbuh dalam masyarakat apalagi dalam kehidupan sekarang dan tidak lagi dipandang sebagai modal yang penting di dalam tantanan kehidupan masyarakat setempat.
 Beberapa indikator norma sehubungan dengan pelaku usaha industri tenun dikaitkan dengan budaya setempat, seperti: norma keharmonisan sesuai Tri Hita Karana (THK), kepatuhan terhadap aturan (awig-awig) yang ada, kemudahan mencari bantuan modal, kemudahan memperoleh bantuan pembinaan kewirausahaan (manajemen), dsb. Dalam hal ini, Konsep THK merupakan konsep harmonisasi hubungan yang selalu dijaga masyarakat Hindu Bali meliputi: parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan antar-manusia), dan palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan) yang bersumber dari kitab suci agama Hindu Baghawad Gita. Oleh karena itu, konsep THK yang berkembang di Bali, merupakan konsep  nilai kultur (budaya) lokal yang telah tumbuh, berkembang dalam tradisi masyarakat Bali, dan bahkan saat ini telah menjadi landasan falsafah bisnis, filosofi pengembangan pariwisata, pengaturan tata ruang, dan rencana stratejik pembangunan daerah. (Windia dan Ratna, 2011).
 3). Jaringan Kerja; modal sosial tidak dibangun hanya oleh satu individu, melainkan akan terletak pada kecendrungan yang tumbuh dalam suatu kelompok untuk bersosialisasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat. Modal sosial akan kuat tergantung pada kapasitas yang ada dalam kelompok masyarakat untuk membangun sejumlah asosiasi serta membangun jaringannya agar mampu membuat modal sosial berperan. Beberapa indikator jaringan kerja yang berhubungan dengan pelaku usaha industri tenun, seperti: kepadatan atau partisipasi dalam kegiatan bersama, kerjasama dengan teman/ karyawan dalam satu usaha (bonding), kerjasama pada sesama pelaku usaha lain (bridging), kerjasama dan bantuan dari pemerintah (linking), dsb

Modal Sosial dalam Pembangunan dan Kesejahteraan (skripsi dan tesis)

Pembangunan yang dialakukan seluruh negara di dunia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tidak hanya dipandang dari sisi ekonomi tetapi juga mencakup kesejahteraan lainnya seperti kebebasan sipil, kebebasan dari tindak kejahatan, lingkungan hidup yang bersih serta kondisi penduduk yang sehat secara fidik dan mental (OECD, 2011). Lebih jauh dijelaskan bahwa kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:
 (1) modal alam,
 (2) modal fisik, dan 
(3) modal manusia dan modal sosial. 
Modal alam, fisik dan manusia dikenal dengan modal tradisional pembangunan, sedangkan modal sosial erat kaitannya modal  manusia. Jika modal manusia mewakili pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, maka modal sosial merujuk pada rasa percaya, norma dan jejaring yang memfasilitasi kerjasama antar manusia di dalam maupun antar kelompok. Modal sosial terbentuk dari hubungan sosial antar manusia, sehingga besaran modal sosial tergantung dari kapabilitas sosial tiap individu. Kapabilitas sosial mempunyai peran yang sama penting dengan modal pembangunan lainnya (OECD, 2011). Ini yang menyebabkan modal sosial sering dianggap sebagai perekat yang memungkinkan modal pembangunan lainnya berkerja secara efektif dan efisien. Modal sosial bersama modal manusia secara langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia, tetapi keduannya juga berperan melalui modal pembangunan lainnya dalam bentuk kapabilitas manusia dan sosial. 
Narayan and Pritchett ( 1999) menjelaskan lima mekanisme bagaimana modal sosial mempengaruhi hasil pembangunan, yaitu. 
1) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memantau kinerja pemerintah, baik karena pejabat pemerintah lebih tertanam dalam jaringan sosial atau karena memantau penyediaan layanan publik seperti barang publik; 
2) Meningkatkan kemungkinan tindakan kooperatif dalam memecahkan masalah dengan elemen lokal yang dimiliki oleh umum;
 3) Memfasilitasi difusi inovatif dengan meningkatkan keterkaitan individu; 
4) Mengurangi ketidaksempurnaan informasi dan memperluas jangkauan penegakan mekanisme, sehingga meningkatkan transaksi dalam output, kredit, tanah dan pasar tenaga kerja;
5) Meningkatkan asuransi formal ( atau jaring pengaman informal) antara rumah tangga, sehingga memungkinkan rumah tangga untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi, walaupun lebih berisiko, aktif dalam kegiatan dan teknik produksi.
Sementara itu Cullen and Kratzmann (2000) menyatakan bahwa kehadiran modal sosial dapat membantu meningkatkan penggunaan manusia, alam, modal fisik, dan modal keuangan. Dalam hal ini, modal sosial dapat menyebabkan manajemen pembangunan yang lebih efisien dalam pengelolaan sumber daya tersebut. Dengan demikian, modal sosial dapat menjadi agen mediasi antara bentuk-bentuk modal, memperkuat dan meningkatkan efek yang terjadi. Di sisi lain, rendahnya tingkat modal sosial cenderung mengarah pada mengecilnya manfaat bentuk-bentuk modal yang lain bagi masyarakat secara keseluruhan. 
The World Bangk Group (2011), memaparkan bukti-bukti yang menunjukkan modal sosial merupakan kontributor potensial untuk pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi metode dan alat pengukuran modal sosial yang relevan. Hal ini sangat menarik karena modal sosial terdiri dari konsep-konsep seperti kepercayaan, norma-norma dalam komunitas, dan jaringan yang sulit untuk diukur. Tantangannya meningkat ketika muncul permasalahan pencarian alat ukur yang mampu untuk mengukur bukan hanya kuantitas tetapi juga kualitas dari modal sosial pada berbagai skala. Sejumlah peneliti modal sosial mengidentifikasi metode dan alat yang dapat mengukur dan memenuhi syarat agar modal sosial dapat digunakan oleh pembuat kebijakan dan para pemangku kepentingan, sehingga memungkinkan untuk menganalisis dampak yang ada dan menciptakan modal sosial baru yang bisa menguntungkan bagi masyarakat miskin dan bangsa

Dimensi Modal Sosial (skrpsi dan tesis)

Akhirnya, pengelompokan sumber dan dimensi modal sosial sangat dipengaruhi oleh metoda pendekatan yang digunakan dalam pengukuran modal sosial. Mengacu dari pembahasan konsep modal sosial, dalam penelitian ini digunakan tiga kelompok utama sebagai refleksi modal sosial, yaitu :
 (1) Rasa percaya, 
(2) Norma/etika, dan
 (3) Jaringan Kerja. 

1) Rasa Percaya
 Dasar perilaku manusia dalam membangun modal sosial adalah rasa percaya, melalui moralitas yang tinggi. Manusia dapat hidup damai bersama dan berinteraksi satu sama lain, memerlukan aktivitas kerjasama dan koordinasi sosial yang diarahkan oleh tingkatan moralitas. Kasih sayang dalam keluarga dilandasi oleh rasa saling percaya antar individu, sedangkan rasa percaya menjadi alat untuk membangun hubungan. Adanya hubungan lebih luas yang harmonis akan mampu menekan biaya transaksi dalam hal komunikasi, kontrak dan kontrol. Rasa percaya merupakan sikap yang siap menerima resiko dan ketidakpastian dalam berinteraksi. Kerjasama yang baik dimulai dari rasa percaya yang tinggi terhadap seseorang, semakin tebal rasa percaya terhadap orang lain akan semakin kuat jalinan kerjasama yang terbentuk. Kepercayaan sosial akan muncul dari interaksi yang didasari oleh adanya norma dan jaringan kerja pada pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi tersebut. 
Aktivitas memonitor perilaku orang lain agar sesuai norma yang dianut dan disepakati tidak akan diperlukan lagi bila sudah terbentuk rasa saling percaya. Tingkat homogenitas (homogenity), komposisi populasi, dan tingkat ketidaksamaan (inequality) akan menentukan tingkatan rasa percaya. Pada daerah dengan ras dan komposisi populasi yang homogen serta tingkat ketidaksamaan yang rendah akan memberikan tingkat rasa percaya yang tinggi. Ketuhanan, etika, dan hukum merupakan sumber utama dari rasa percaya, sedangkan penyusunan  kelembagaan dan kekeluargaan menjadi bentuk struktural dari rasa percaya. 
Rasa saling percaya dapat tumbuh berdasarkan interaksi intensif antar teman dan keluarga. Rao (2001) menyatakan bahwa rasa saling percaya (mutual trust) berperan penting dalam membangun ekonomi pasar yang sehat. Rasa percaya akan mengurangi gejolak dalam penegakan kontrak dan biaya monitoring sehingga mampu mengefisiensikan biaya transaksi. Kebenaran dan norma akan membangun rasa percaya yang berkelanjutan, tetapi keterbatasan manusia akan sifat rasionalitas cukup berpengaruh pada usaha membangun rasa saling percaya tersebut. Oleh karena itu, perlu memperluas dan mengintensifkan komunikasi agar selalu tersedia informasi yang benar. Sejumlah penelitian memperlihatkan hasil bahwa rasa percaya berpengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, demikian pula sebaliknya, keberhasilan peme-rintah dalam pembanguan ekonomi dapat memperkuat rasa percaya sosial masyarakat terhadap pemerintah. 
2) Norma/Etika
 Norma sangat berperan mengatur individu dalam suatu kelompok sehingga keuntungan yang dihasilkan setiap individu proporsional dengan usaha yang dilakukan dalam kelompok tersebut. Dalam hal ini, individu dalam kelompok harus berjuang dalam mencapai tujuan bersama dengan sukarela. Individu dalam kelompok diharapkan lebih mementingkan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan individu. Norma merupakan nilai universal yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Fukuyama (1999) menyatakan modal sosial sebagai norma  informal yang bersifat instan dan dapat membangun kerjasama antar dua atau lebih individu. Norma sebagai bagian dari modal sosial dapat dibangun dari norma/etika yang disepakati antar teman. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, rasa percaya, norma dan komunitas sosial yang terbentuk sangat berkaitan dengan modal sosial yang muncul sebagai hasil dari modal sosial tetapi bukan modal sosial secara fisik. 
Menurut Plateau (2000), pembangunan ekonomi yang berkembang telah terjadi manakala tujuan dan nilai-nilai sosial memperoleh ruang yang lebih luas. Prinsip keadilan yang mengarahkan seseorang dalam berperilaku tidak mementingkan diri sendiri, dipandang sebagai norma sosial yang merupakan aturan bagi setiap individu berperilaku bersama dalam suatu kelompok. 
3) Jaringan Kerja 
Setiap orang memiliki pola tertentu dalam berinteraksi, melakukan pilihan dengan siapa berinteraksi, dan dengan alasan tertentu pula. Jaringan kerja merupakan system pada saluran komunikasi untuk mengembangkan dan menjaga hubungan interpersonal. Biaya transaksi akan muncul sebagai akibat adanya bangunan saluran komunikasi. Nilai-nilai bersama (norma) juga berperan pada keinginan untuk bergabung membentuk jaringan kerja dengan orang lain. Munculnya koalisi dan koordinasi juga disebabkan adanya jaringan kerja. Keputusan melakukan investasi dalam suatu jaringan kerja disebabkan oleh adanya kontribusi saluran komunikasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Interaksi sosial tergantung dari struktur jaringan kerja dan struktur masyarakatnya, sehingga posisi individu pada struktur tersebut menjadi dasar pada evaluasi modal  sosial. Coleman (1988), mengatakan densitas dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan efisiensi penguatan perilaku kerjasama pada suatu organisasi. Modal sosial memberi manfaat pada individu dan jaringan kerja individu itu sendiri. Modal sosial merupakan jumlah dari modal interaksi yang dimiliki sejumlah individu yang terbentuk atas dasar norma yang dianut bersama. Modal sosial mempunyai ekternalitas ekonomi yang positif pada tingkat lokal melalui proses aktivitas aksi bersama (collective action), yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial dan struktur sosial dalam jaringan kerja tertutup. Hubungan sosial tergantung dari tingkat ketertutupan struktur sosial yang sangat penting dalam membangun kepercayaan dan penegakan norma yang efektif. 
Woolcock (2000), memaparkan bahwa dalam modal sosial terdapat tiga hubungan, yaitu: (1) modal sosial mengikat (bonding sosial capital), (2) modal sosial menyambung (bridging sosial capital), dan (3) modal sosial mengait (linking sosial capital). Modal sosial yang bersifat mengikat (bonding), pada umumnya berasal dari ikatan kekeluargaan, kehidupan bertetangga dan persahabatan. Hubungan antar individu dalam kelompok seperti ini mempunyai interaksi yang intensif, antar muka dan saling mendukung. Modal sosial yang bersifat menyambung (bridging), terbentuk dari interaksi antar kelompok dalam suatu wilayah dengan frekuensi yang relatif lebih rendah, seperti kelompok etnis tertentu, kelompok agama, paguyuban, sekaa, atau kelompok sosial lainnya. Sedangkan modal sosial yang bersifat mengait (linking), umumnya terbentuk dari interaksi individu atau kelompok dalam organisasi formal, 36 seperti lembaga politik, bank, klinik kesehatan, sekolah, kelompok tani (subak), kelompok profesi, dsb. Cullen and Kratzmann (2000) juga menyebutkan bahwa ikatan kuat yang mengikat (bonding) banyak terjadi pada hubungan anggota keluarga, tetangga, dan teman-teman dekat. Hubungan ini biasanya berfokus pada hati dan berfungsi sebagai mekanisme perlindungan sosial selama dibutuhkan. Hubungan ini juga bertindak sebagai kendaraan utama untuk transmisi norma-norma perilaku pada anak-anak (sosialisasi) dan mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia. Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak-anak sangat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kepercayaan orang lain di luar keluarga. Dinamika keluarga juga mendorong upaya timbal balik dan pertukaran, yang merupakan dua faktor penting lainnya dalam lingkup modal sosial. Dukungan material dan emosional dibagi secara bebas antara anggota keluarga untuk menghasilkan kesediaan secara implisit pada dukungan tersebut (The World Bank, 2011). 
Modal sosial bonding menjadi penting dalam difusi informasi, menetapkan norma-norma, mengendalikan penyimpangan, mencipta-kan kondisi saling membantu, dan melindungi kelompok yang rentan. Jenis modal sosial ini juga dapat berfungsi sebagai sumber utama kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi para anggotanya. Namun ikatan yang kuat seperti ini dapat membatasi pertumbuhan ekonomi melalui pemberlakukan hambatan dalam menjalin hubungan eksternal. Hubungan dalam interaksi antar orang-orang dari latar belakang etnis dan pekerjaan yang berbeda membentuk modal sosial menyambung (bridging). Jenis 37 modal sosial ini sangat penting bagi keberhasilan masyarakat sipil karena memberikan kesempatan untuk berpartisipasi, meningkatkan jaringan untuk pertukaran, dan saluran untuk menyuarakan keprihatinan kelompok yang mempengaruhi perubahan. Modal sosial menyambung ini adalah yang paling bermanfaat dalam hal pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan ekonomi masyarakat dan pemerintah yang efektif, secara positif akan meningkatkan peran warga dikaitkan dengan solidaritas, integritas, dan partisipasi (jaringan keterlibatan masyarakat). Jaringan kerja masyarakat yang terjadi melalui ikatan dan norma asih-asuh timbal balik akan memperkuat sentimen kepercayaan dalam masyarakat dan juga berfungsi untuk meningkatkan efektivitas komunikasi dan organisasi sosial. Modal sosial mengait (linking) mengacu pada sifat dan tingkat hubungan vertikal antara kelompok-kelompok orang yang memiliki saluran dan akses terbuka, sumber daya, dan kekuasaan atau pemerintah. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat juga tercakup dalam hubungan modal sosial. Sektor publik (yaitu : negara dan lembaga-lembaga) sangat berperan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Undang-undang dan peraturan pemerintah menentukan dimensi ruang yang tersedia untuk masyarakat sipil, yang memungkinkan untuk berkembang atau mati/layu. Kehadiran modal sosial tidak selalu berarti adanya hubungan inklusif dalam masyarakat. Pendapatan dan kesenjangan kekayaan (linking yang lemah), ketegangan rasial dan etnis (bridging yang rendah), dan perbedaan dalam partisipasi politik serta keterlibatan masyarakat yang lemah (bonding yang lemah), semuanya berhubungan dengan kurangnya kohesi sosial. Kohesi sosial yang tinggi/kuat dapat ditunjukkan 38 dengan tingkat kepercayaan yang kuat dan norma timbal balik bagi kelompokkelompok dengan ikatan (bonding) yang kuat, banyaknya bridging yang harmonis, dan adanya mekanisme pengelolaan konflik (demokrasi responsif, peradilan yang independen, dll ) melalui hubungan antar kelompok termasuk pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, kohesi sosial mencerminkan adanya hubungan terintegrasi, baik hubungan horizontal (bonding dan bridging ) maupun hubungan secara vertikal dengan modal sosial linking (Gambar 2.1) .
Diagram menggunakan segitiga untuk menggambarkan hubungan antara kohesi (kerapatan) sosial terhadap modal sosial, yang meliputi : 
 a. Tiga titik pada segitiga, yaitu : 
(1) Linking (hubungan vertikal);
 (2) Bonding (keluarga, agama, dan etnis); dan 
(3) Bridging (hubungan lintas sektoral) 
b. Tiga posisi pada sisi segitiga, meliputi :
 (1) Kohesi sosial rendah (sisi segitiga antara linking dan bonding), yang terdiri dari kondisi: pengecualian, penindasan dan otoriter, ketimpangan/ketidakadilan, korupsi dan birokrasi yang tidak efisien, dan masyarakat tertutup;
 (2) Kohesi sosial yang tinggi (sisi segitiga antara linking dan bridging), yang terdiri dari kondisi : Inklusif, supremasi hukum dan demokrasi, akses dan kesetaraan kesempatan; serta efisiensi dengan birokrasi yang tidak korup; dan 
(3) Hubungan modal sosial horisontal (sisi segitiga antara bonding dan bridging).

Sisi Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Analisis modal sosial dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
 1) tingkatan analisis yang digunakan dan
 2) manifestasi modal sosial yang diteliti. Point pertama, memandang modal sosial dari level mikro samapai dengan makro. 
Point kedua, memperluas jangkauan modal sosial dari menifestasi struktural ke kognitif (BPS Pusat, 2013a). Pada point pertama, modal sosial level mikro meliputi individu, rumah tangga, atau masyarakat dalam kominutas tertentu. Pada level ini modal sosial tercermin dari hubungan horizontal. Interaksi yang terjadi dalam jaringan sosial pada komunitas tertentu akan menjamin kepatuhan terhadap norma, nilai, dan resiprositas antar manusia. Jejaring sosial yang terbentuk akan menciptakan eksternalitas yang bisa positif atau negatif bagi komunitas secara keseluruhan. Modal sosial pada level meso memandang modal sosial secara lebih luas baik pada hubungan horizontal maupun vertikal di dalam kelompok ataupun antar kelompok. Hubungan vertikal dilakukan terhadap pemilik otoritas/kekuasaan yang lebih tinggi sebagai akibat dari struktur sosial dalam kelompok. Pandangan ini sesuai dengan konsep modal sosial dari Coleman (1998). Pada level makro, modal sosial merujuk pada hubungan sosial yang sangat luas meliputi lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan memungkinkan norma untuk berkembang. Modal sosial dipandang sebagai pembentuk utama hubungan antar institusi formal (pemerintah maupun non pemerintah) dan tata kelola yang dianut (politik, hukum, peradilan, kebebasan politik dan sipil). Pada point kedua, manifestasi modal sosial dapat dilihat dari variabel yang digunakan untuk membangun indikator modal sosial. Modal sosial struktural mengacu  pada wujud yang lebih mudah dan nyata terlihat, seperti: institusi lokal, organisasi, dan jaringan antar orang, berdasarkan kondisi budaya, sosial, ekonomi, politik, atau tujuan lain. Sedangkan modal sosial kognitif mengacu pada wujud yang lebih abstrak seperti rasa percaya, norma, dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antar orang-orang dalam mencapai tujuan bersama. Pengukuran kelompok/organisasi dapat diamati secara langsung berdasarkan ukuran keanggotaannya, intensitas pertemuan dan kegiatan. Dalam hal ini, norma dan rasa percaya harus diperhatikan secara tidak langsung melalui persepsi masyarakat yang bertindak menurut kepatuhannya terhadap norma yang berlaku. Modal sosial struktural dan kognitif saling melengkapi, dimana struktur organisasi membantu menerjemahkan norma dan keyakinan ke dalam daerah perilaku tujuan sehingga berorientasi adanya koordinasi. 
Partisipasi masyarakat jarang terjadi secara spontan, melainkan melibatkan persiapan sosial yang memerlukan proses : 
(1) mengumpulkan informasi tentang keadaan dan sumber daya yang ada; 
(2) analisis situasi; 
(3) pemilihan prioritas tindakan; 
(4) bergabung bersama-sama ke dalam kelompok atau organisasi yang mereka pilih sendiri; dan
 (5) bekerja dengan sarana untuk menerapkan persiapan. 
Persiapan sosial membutuhkan pola yang sistematis dalam konteks aksi-refleksi-reaksi, yang merupakan praktek inti dalam dasar pembangunan partisipatif

Bentuk Modal Sosial (skripsi dan tesis)

Tiga bentuk dari modal sosial menurut Coleman (1998), yaitu :
 (1) Struktur kewajiban (obligations), ekspektasi, dan kepercayaan. Dalam konteks ini, bentuk modal sosial tergantung dari dua elemen kunci: kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi (obligation held). Perspektif ini memperlihatkan bahwa, individu yang bermukim dalam struktur sosial dengan rasa saling percaya yang tinggi memiliki modal sosial yang lebih baik daripada situasi sebaliknya,
 (2) Jaringan informasi (information channels). Informasi sangatlah penting sebagai basis tindakan, tetapi harus disadari bahwa informasi itu mahal dan tidak gratis. Tentu saja, individu yang memiliki jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk memperoleh informasi, sehingga bisa dikatakan modal sosialnya tinggi, demikian pula sebaliknya, dan
 (3) Norma serta sanksi yang efektif (norms and effective sanctions). Norma dalam sebuah komunitas yang mendukung individu untuk memperoleh prestasi (achievement) tentu saja bisa digolongkan sebagai bentuk modal sosial yang sangat penting. Contoh lainnya, norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas yang bisa memengaruhi orang-orang muda dan berpotensi untuk mendidik generasi muda tersebut memanfaatkan waktu seoptimal mungkin.

Konsep Modal Sosial (skripsi dan tesis)

 Berkembangnya ilmu ekonomi kelembagaan dalam pembangunan ekonomi yang dikenal dengan New Institutional Economics (NIE), muncul sebagai akibat adanya aksi kolektif (collective action), biaya transaksi (transaction cost), dan rasionalitas terbatas (bounded rationality) dalam perilaku manusia, masalah koordinasi, dan perkembangan teknologi. Dalam NIE, informasi pasar yang sempurna dan simetris, ketiadaan biaya transaksi, dan rasioanlitas yang tidak terbatas sebagai asumsi neo-klasik sudah dianggap tidak relastik lagi dan justru menjadi lebih longgar. Teori modal sosial pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Bourdieu pada tahun 1972 dan Coleman tahun 1988 (Hauberer, 2011). Definisi mendasar yang diperkenalkan adalah modal sosial merupakan sumber daya yang melekat dalam hubungan sosial. Individu yang terlibat dalam hubungan sosial dapat mempergunakan sumber daya sosial ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sejumlah intelektual menggunakan teori modal sosial sebagai salah satu bahan diskusi penting yang mempertemukan berbagai disiplin ilmu. 
Berbeda dengan dua modal lainnya yang lebih dulu popoler dalam bidang ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), modal sosial akan berfungsi jika sudah berinteraksi dengan struktur sosial. Modal ekonomi yang dimiliki  seseorang/perusahaan mampu melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia. Sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni bila keberadaannya tidak muncul akan membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih. Sejumlah definisi tentang modal sosial dipaparkan oleh para ahli, misalnya : 
1. Uphoff dalam Hobbs (2000) yang menyatakan bahwa modal sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerjasama. 
2. Putnam (2000) mendefinisikan modal sosial sebagai gambaran kelembagaan sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan.
 3. Hobbs (2000), menyatakan modal sosial sebagai fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma (etika timbal balik), dan jaringan (keterlibatan sipil), yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Secara luas disepakati bahwa fasilitas modal sosial yang saling menguntungkan adalah aksi kolektif. 
4. Bank Dunia (2000) dalam www.worldbank.org, menyatakan modal sosial sebagai aturan, norma, kewajiban, dan kepercayaan yang tertanam dalam hubungan sosial, struktur sosial, serta pengaturan kelembagaan masyarakat yang memungkinkan anggota untuk mencapai tujuan individu dan komunitas.
 Pandangan terbaru The Worl Bank Group (2011), menyatakan bahwa cakupan lingkungan sosial dan politik yang membentuk struktur sosial dan norma-norma lebih memungkinkan untuk berkembang. Analisis ini memperluas pentingnya modal sosial untuk hubungan kelembagaan yang paling formal dan terstruktur, seperti: pemerintah, rezim politik, aturan hukum, sistem pengadilan, serta kebebasan sipil dan politik. 
Pandangan ini tidak hanya memaparkan kebajikan dan keburukan modal sosial, serta pentingnya menempa hubungan antar personal dan di masyarakat, tetapi mengakui bahwa kapasitas berbagai kelompok sosial untuk bertindak sesuai dengan kepentingan mereka sangat bergantung pada dukungan atau ketiadaan yang yang mereka terima dari negara serta sektor swasta. Pembangunan ekonomi dan sosial tumbuh subur ketika perwakilan dari negara, sektor korporasi, dan masyarakat sipil membuat forum, dan melalui forum diupayakan menjadi sarana untuk mengidentifikasi dan mengejar tujuan bersama. Berdasarkan konsep dan pandangan tentang modal sosial seperti diungkapkan sejumlah pakar, maka dalam penelitian ini digunakan konsep modal sosial sebagai jaringan bersama dengan norma, rasa percaya dan pemahaman yang memfasilitasi kerja sama diantara atau antar kelompok. Modal sosial mengacu pada lembaga, hubungan, dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Modal sosial baru dapat diimplementasikan bila telah terjadi interaksi dengan orang lain yang dipandu oleh struktur sosial. Modal sosial berhubungan dengan norma atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif. Hal ini  berimplikasi, bahwa modal sosial lebih memfokuskan kepada sumber (sources) daripada konsekuensi atas modal sosial itu sendiri. Deskripsi tentang modal sosial, seperti kepercayaan, norma dan hubungan timbal-balik, dikembangkan sebagai sebuah proses yang terus-menerus. 

Kerumunan (Crowd) (skripsi dan tesis)

 
Kerumunan (crowd) merupakan kelompok sosial yang relatif tidak teratur. Dalam suatu kerumunan sering terjadi banyak hal mengenai interaksi yang bersifat sementara, spontan dan tidak terduga Bahkan menjadikan kedudukan sosial seseorang menjadi sama dengan orang lain yang hadir dalam kerumunan itu sendiri. (Soerjono Soekanto, 2010:129) Kerumunan itu sendiri apabila dilihat dari artikulasi dengan struktur sosial terbagi menjadi dua, yaitu :
 a. Formal Audience Khalayak penonton atau pendengar yang formal (formal audience) merupakan kerumunan-kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan tujuan, tetapi sifatnya pasif. Contohnya adalah penonton film, orang-orang menghadiri khotbah keagaaman. 
b. Planned Expressive Group Kelompok ekspresif yang telah direncanakan (planned expressive group) adalah kerumunan yang pusat perhatiannya tak begitu penting, tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpan dalam aktivitas kerumunan tersebut serta kepuasan yang dihasilkannya. Fungsinya adalah sebagai penyalur keteganganketegangan yang dialami orang karena pekerjaan sehari-hari. Contoh orang-orang yang berpesta, berdansa dan sebagainya (Soerjono Soekanto. 2010:130). Suporter sepakbola terdiri dari ratusan bahkan ribuan aktor didalamnya, maka tak heran apabila suporter merupakan kerumunan yang ada dalam stadion ketika ada tim yang bertanding. Bagaimana 23 cara-cara suporter dalam menunjukkan eksistensi mereka dapat diketahui dengan teori kerumunan tersebut