Tampilkan postingan dengan label Judul Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Judul Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Juni 2023

Sasaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS)


Sekolah penerima Dana Bantuan Operasional Sekolah terdiri
dari : SD, SDLB, SMP, SMPLB, SMA, SMALB, SLBdanSMKberikut menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 Tentang PetunjukTeknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler
pasal 3. Pendistribusian dana Bantuan Operasional Sekolah(BOS) ke setiap sekolah dalam periode triwulan oleh pemerintah. Namun, tidak pada wilayah terpencil, akses wilayah yangsulit
dan membutuhkan tambahan biaya yang lebih mahal, maka dari
itu pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuksekolah di wilayah - wilayah tersebut dilaksanakan setiapsatusemester atau enam bulan.Kepala sekolah memegang kendali dalampengelolaandanaBantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalampendistribusiandana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih mengalami
kendala, seperti tidak tepat waktunya pendistribusian danaBantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disebabkanolehbeberapa faktor. Sekolah harus mampu mengelola dana BantuanOperasional Sekolah (BOS) untuk mendukung kegiatan belajar
mengajar yang berkualitas. (Wirakusuma et al., 2017)

Tujuan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)


Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 Tentang PetunjukTeknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler
19pasal 15 bahwa penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah(BOS) Reguler untuk pengadaan barang dan/jasa dilaksanakanmelalui mekanisme pengadaan barang dan/jasa di sekolah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang – undangan mengenai
pengadaan barang/jasa oleh satuan pendidikan. Sekolahmenggunakan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untukmembiayai operasional penyelenggara pendidikan di sekolahmeliputi banyak komponen

Pengertian Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)


Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanNomor 6 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis PengelolaanDana Bantuan Operasional Sekolah Reguler Pasal 1 bahwa danaBantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah dana yangdigunakan terutama untuk menandai belanja nonpersonalia bagi
satuan pendidikan dasar dan menengah sebagai pelaksanaprogram wajib belajar dan dapat dimungkinkan untuk menandai
beberapa kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturanperundang – undangan. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikanpemerintah, digunakan untuk penyediaan pendanaan biayaoperasional bagi satuan pendidikan. Selain itu, pemerintahberharap semua lapisan masyarakat dapat mengikuti pendidikantanpa perlu memikirkan biaya pendidikan dan dapat memenuhi
kebutuhan para siswa tanpa adanya pungutan untuk orangtua. (Julantika et al., 2017).

Prinsip – Prinsip Good Corporate Governance


Perlunya menerapkan prinsip - prinsip Good CorporateGovernance terdapat banyak alasan, salah satu alasan utamayang dikemukakan oleh para pakar ialah bahwa prinsip - prinsipGood Corporate Governance diperlukan untuk mengatasi
masalah yang ada dalam pengelolaan perusahaan. Banyakhal
yang harus diperbaiki dalam Corporate Governance, seperti
pembentukan komite audit, peningkatan transparansi informasi, keberadaan komisaris independen, dan meningkatkan hubungandengan investor. Menurut Gudono (2017:143) teori keagenan (Agency Theory) beban yang muncul karena tindakanmanajemen tersebut menjadi agency costs. Agency costs adalahmerupakan biaya yang terjadi manakala solusi organisasi adalahyang dipilih, dengan kata lain aspek kemungkinan bahwamanajemen bisa sengaja mengeksploitasi keunggulan informasi
yang dimilikinya untuk keuntungan mereka sendiri. Tidak hanya perusahaan atau usaha - usaha korporasi, padabidang pendidikan juga membutuhkan penerapan prinsip- prinsip Good Corporate Governance. Untuk instansi pendidikankhususnya sekolah, implementasi yang dibutuhkan yakni GoodSchool Governance. Good School Governance adalah sebuahperangkat pendukung untuk membentuk sebuah sekolah dengantata kelola yang baik. Salah satu hal yang memerlukan penerapanprinsip Good School Governance yakni dalampengelolaankeuangan sekolah. (Susanti, 2019)
Komponen yang menjadi landasan tata kelola suatuperusahaan atau instansi lain dapat disebut baik yakni prinsip- prinsip Good School Governance atau Good CorporateGovernance. Prinsip - prinsip utama Good School Governanceatau Good Corporate Governance yang harus dijalankan dalammanajemen berbasis sekolah (Dasor, 2018), antara lain :
1. Partsipasi Dalam bidang pendidikan partisipasi berhubunganerat
dengan keterlibatan elemen - elemen penunjang pendidikan. Obyek sasaran dari suatu kebijakan yang diputuskan, nilai
partisipasi tidak hanya memperlakukan stakeholders tetapi
menjadi salah satu pelaku atau subjek utama. Keterlibatan pihaksekolah, masyarakat dan pemerintah dibutuhkan dalampengambilan kebijakan publik tidak hanya menghasilkankebijakan yang tepat sasaran pada kebutuhan masyarakat, namunjuga membuat masyarakat ikut bertanggung jawab terhadappelaksanaan kebijakan itu. Sebagai penunjang pendidikan, setiapelemen memiliki tugas dan tanggungjawab masing - masingyang bertujuan mewujudkan pendidikan yang bermutu. 2. Keterbukaan (Transparancy)
Adanya keterbukaan dan kemudahan akses bagi seluruhstakeholders dalam proses pengambilan kebijakan publikpendidikan, khususnya dalam penggunaan sumber daya yangberkaitan dengan publik pendidikan merupakan syarat
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang baik. Keterbukaan merupakan salah satu aspek dalamterwujudnyapelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Tujuan dari
keterbukaan ini membangun rasa saling percaya antarastakeholders pendidikan.Dengan adanya keterbukaan memberikan jaminan kepadamasyarakat memdapatkan informasi kebijakan sehinggamemudahkan masyarakat dan stakeholders melaksanakankontrol. Dalam manajemen berbasis sekolah, keterbukaanatautransparancy dilihat pada tiga aspek, yaitu : 1) adanya kebijakanterbuka terhadap pengawasan, 2) adanya akses informasi
sehingga masyarakat dapat menjangkau setiap segi kebijakandalam pendidikan, 3) berlakunya prinsip check and balance antar
stakeholders pendidikan. 3. Daya Tanggap (Responsivitas)
Kemampuan pimpinan lembaga pendidik bertujuan untukmengenali kebutuhan, menyusun agenda dan prioritas, danmengembangkan program - program yang sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan siswa atau anak didik merupakan penjelasandari
daya tanggap atau responsivitas. Daya tanggap menunjukpadakeselarasan atau kesesuaian antara program dan kegiatan dengankebutuhan peserta didik. 4. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan kemampuan untukmempertanggungjawabkan semua tindakan dan kebijaksanaanyang telah ditempuh. Pengadaan laporan pertanggungjawabanyang jelas, efektif dan terukur merupakan salah satu bentukperwujudan implementasi Good Governance yang bertujuanagar
tata kelola pemerintahan atau instansi berhasil dan dapat
dipertanggungjawabkan. (Iflaha, 2019)
Akuntabilitas adalah tanggung jawab pembuat keputusanyaitu lembaga stakeholders dan pihak penyelenggara pendidikanpublik (masyarakat). Pelaksanaan tugas atau kinerja selamadalam proses penyelenggaraan pendidikan berkaitan erat dengantanggung jawab. Pertanggungjawaban tersebut sebagai bentuk check andbalance yang siap digugat oleh masyarakat. Untuk menciptakansistem mengontrol dan memonitor kinerja agar tercipta efisiensi
dan efektivitas serta kualitas kinerja yang diharapkanakuntabilitas dapat diterapkan dalam manajemen berbasissekolah. Prinsip akuntabilitas sebagai salah satu ciri goodgovernance dapat tercipta dalam lingkungan lembaga pendidikandengan membangun sistem mengontrol dan monitoring. 5. Keadilan (Equity)
Kekuatan kepemimpinan tim sangat dibutuhkan dalampelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Setiap pihak dalampenyelenggaraan pendidikan memiliki kesempatan yang samauntuk mendapatkan pendidikan merupakan keadilan dalampelaksanaan manajemen berbasis sekolah. Kualitas pelayananpendidikan juga didapatkan, keadilan tidak hanya mengharuskanpemerintah menjamin masyarakat untuk memperoleh akses samapada pelayanan pendidikan.

Pengertian Good Corporate Governance


Istilah Good Corporate Governance secara umummerupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaanyangdapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihakyang mengurus perusahaan, maupun ditinjau dari “nilai – nilai”yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri. Corporate Governance yakni rangkaian proses yang terstruktur
untuk mengelola serta mengarahkan suatu bisnis atau usaha- usaha korporasi dengan tujuan untuk meningkatkan nilai - nilai
perusahaan serta kontinuitas usaha.

Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Pada awalnya istilah “strategi” dikenal dalam dunia militer terutama terkait
dengan perang, namun demikian makna itu telah meluas tidak hanya dalam
kondisi perang tetapi juga damai dan dalam berbagai bidang antara lain ekonomi,
sosial, pendidikan, dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1998:203) ada beberapa pengertian dari strategi yakni: (1) ilmu dan seni
menggunakan semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan
tertentu dalam perang dan damai, (2) rencana yang cermat mengenai kegiatan
untuk mencapai sasaran khusus, sedangkan metode adalah cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud.
Soedjadi (1999:101) menyebutkan strategi pembelajaran adalah suatu siasat
melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah suatu keadaan
pembelajaran kini menjadi keadaan pembelajaran yang diharapkan. Untuk
mengubah keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran.
Lebih lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan dapat dilakukan
lebih dari satu metode dan dalam satu metode dapat digunakan lebih dari satu
teknik. Secara sederhana dapat dirunut sebagai rangkaian: teknik, metode,
pendekatan, strategi.
61
Strategi pembelajaran adalah suatu rencana kegiatan pembelajaran yang dirancang
secara seksama sesuai dengan tuntutan kurikulum sekolah untuk mencapai hasil
belajar siswa yang optimal, dengan memilih pendekatan, metode, media dan
keterampilan-keterampilan tertentu misalnya membelajarkan, bertanya, dan
berkomunikasi. Secara ringkas strategi pembelajaran merupakan cara pandang dan
pola pikir guru agar siswa mampu belajar. Faktor-faktor yang harus menjadi
pertimbangan dalam menyusun strategi pembelajaran adalah: (1) mengaktifkan
siswa, dalam bentuk tugas kelompok, melakukan curah pendapat dalam proses
pembelajaran dan melakukan tanya jawab terbuka; (2) membangun peta konsep
(sistematika materi bahan ajar); (3) menggali informasi dari berbagai media; dan
(4) membandingkan dan mensintesiskan informasi.
Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang optimal, salah satu tugas guru yang
sangat penting adalah membuat persiapan pembelajaran, yang menuntut sejumlah
kemampuan seperti: (1) menguasai materi pelajaran (bahan ajar) dan
karakteristiknya; (2) merumuskan tujuan pembelajaran; (3) memilih materi
pelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajaran dan alat evaluasinya; (4)
merancang pengalaman belajar siswa; (5) menguasai berbagai pendekatan dan
teori belajar; (6) menguasai berbagai metode dan media pembelajaran; (7)
memilih dan mengkombinasikan materi pelajaran, metode, media dengan
pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan dan evaluasi; dan (8) penunjang
keberhasilan proses pembelajaran lainnya.
Agar proses pembelajaran berjalan secara optimal guru perlu membuat strategi,
yaitu “Strategi Belajar Mengajar” (SBM). SBM atau strategi pembelajaran
62
(teaching strategy) menurut Arthur L. Costa (1985:319) merupakan pola kegiatan
pembelajaran yang berurutan, yang diterapkan dari waktu ke waktu dan diarahkan
untuk mencapai suatu hasil belajar siswa yang diinginkan. Pada kegiatan
merancang persiapan mengajar, guru perlu menyusun strategi pembelajaran yang
berupa pemilihan dan penetapan bentuk pengalaman belajar siswa. Dalam hal ini
guru harus menetapkan pendekatan, metode, media, situasi kelas, dan segala
sesuatunya.
Teori belajar konstruktivis juga dikembangkan oleh Piaget. Menurut Piaget
(1971:365) pengetahuan itu akan bermakna manakala dicari dan ditemukan
sendiri oleh siswa. Sejak kecil setiap individu berusaha dan mampu
mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui skema yang ada dalam struktur
kognitifnya. Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Piaget dan juga Bruner
(1960:278) yang menganggap bahwa belajar adalah proses penemuan sesuai
dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya
memberikan hasil yang paling baik, berusaha sendiri untuk mencari pemecahan
masalah serta pengetahuan yang menyertainya menghasilkan pengetahuan yang
benar-benar bermakna dan menerapkan strategi pembelajaran inkuiri. Strategi
pembelajaran inkuiri menurut Sanjaya (2009:196) adalah rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis
untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah.
Berdasarkan kajian dan analisis pendidikan terpadu diperoleh hasil:
1. Perlu pembekalan assessment bagi guru tentang kemampuan awal siswa.
2. Kemauan untuk berinteraksi antar pribadi guru.
3. Mengubah kebiasaan guru memberikan penilaian yang sama terhadap siswa
regular dan siswa ABK, sehingga penilaian disesuaikan dengan karakteristik
ABK.
4. Melakukan analisis hasil penilaian dan tindak lanjut kegiatan sesuai dengan
kemampuan ABK.
5. Prinsip pembelajaran secara umum perlu ditambah, yaitu dengan: prinsip
kasih sayang, prinsip kebermaknaan bagi hidup anak (meaningfull), prinsip
perbaikan berkelanjutan, prinsip menghargai perbedaan.
6. Perlu pemahaman bagi guru tentang: pengelolaan kelas dengan ABK di kelas
reguler, aturan penilaian untuk ABK dan kegiatan tindak lanjut atau
ketuntasan belajar ABK.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sagala (2005:88) bahwa pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
kemudian diingat lebih dari itu siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Hal ini sesuai dengan paham
konstruktivisme yaitu suatu paham dalam pembelajaran yang mengharuskan siswa
belajar dengan cara membangun pengetahuannya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sagala (2005:88) bahwa pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
kemudian diingat. Lebih dari itu, siswa harus mengkonstruksi pengetahuan dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Hal ini sesuai dengan paham
konstruksivisme yaitu suatu paham dalam pembelajaran yang mengharuskan
siswa belajar dengan cara membangun pengetahuannya.
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai belajar. Robert M
Gagne (Sagala, 2005:17) menjelaskan bahwa belajar merupakan perubahan yang
terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses
pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila situasi stimulus bersama dengan isi
ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah
dari waktu sebelum ke waktu setelah ia mengalami situasi tadi. Teori James L.
Mursell (Sagala, 2005:13) mengemukakan belajar adalah upaya yang dilakukan
dengan mengalami sendiri, menjelajahi, menelusuri dan memperoleh sendiri.
Sedangkan menurut Gage (Sagala, 2005:13) belajar adalah sebagai suatu proses
dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman.
Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan suatu proses psikologis yang terjadi pada diri seseorang yang
menyebabkan terjadinya perubahan yang relatif tetap. Perubahan itu tidak hanya
berupa penambahan ilmu pengetahuan tetapi juga keterampilan dan tingkah laku.
Hasil belajar adalah kemampuan–kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2001:22).
Model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan
berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran bagi para guru dalam
melaksanakan aktivitas pembelajaran (Sagala, 2005:176). Model pembelajaran
menurut teori Soekamto (Trianto, 2007:5) adalah suatu kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.

Manajemen Sumber Daya Masyarakat


Peran masyarakat dalam dunia pendidikan sangat diperlukan untuk
membantu pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Semakin
tinggi partisipasi masyarakat terhadap pendidikan maka akan semakin
maju pendidikan di suatu tempat. Partisipasi masyarakat telah diatur oleh
pemerintah agar dapat dikelola dan dikoordinasikan dengan baik dan lebih
bermakna bagi sekolah, wadah partisipasi masyarakat itu dibuat dalam
bentuk komite sekolah.
Komite sekolah diatur oleh pemerintah dalam Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2012 tanggal 2 April 2012 dinyatakan
bahwa komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan
prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar
sekolah.
Peran komite sekolah inklusi sama seperti komite sekolah reguler seperti
yang tercantum dalam lampiran II Keputusan Mendiknas tahun 2002 yaitu
sebagai:
1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
2. Pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial,
pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan
disatuan pendidikan.
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan disatuan
pendidikan.
4. Mediator antara pemerintah (eksklusif) dengan masyarakat di satuan
pendidikan.
Fungsi komite sekolah dalam pendidikan inklusi juga sama dengan
sekolah reguler, fungsi komite sekolah adalah:
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2. Melakukan upaya kerja sama dengan masyarakat
(perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah
berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan. pendidikan yang di ajukan oeh masyarakat.
4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan
pendidikan mengenai:
a. Kebijakan dan program pendidikan.
b. Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
c. Kriteria kinerja satuan pendidikan.
d. Kriteria tenaga pendidikan.
e. Kriteria fasilitas pendidikan.
f. Hal-hal lain yang berkaitan dengan pendidikan.
5. Mendorong orang tua dan masyarakat berpatisipasi dalam pendidikan
guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
6. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaaan
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijkan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Peran orang tua anak berkebutuhan khusus, orang tua anak normal dan
siswa normal sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusi. Hal ini berkaitan dengan sikap penerimaan dan penolakan terhadap
konsep pendidikan tersebut. Apabila orang tua anak berkebutuhan khusus,
orang tua anak normal dan siswa normal menerima konsep pendidikan
inklusi, maka hal tersebut sangat baik. Namun, orang tua anak
berkebutuhan khusus, orang tua anak normal dan siswa normal menolak
konsep pendidikan inklusi, maka hal tersebut akan menghambat proses
pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya
pemberian wacana kepada Orang tua anak berkebutuhan khusus, orang tua
anak normal dan siswa normal tentang pendidikan inklusi, bahwa dengan
pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus mampu bersosialisasi lebih
baik di lingkungannya.

Secara umum hubungan sekolah dan masyarakat memiliki tujuan yang
hendak dicapai yakni berupa peningkatan mutu pendidikan, sehingga pada
gilirannya masyarakat akan merasakan dampak langsung dari kemajuan
tersebut. Menurut Aedi dan Rosalin dalam Tim Dosen Administrasi
Pendidikan UPI (2009: 280) tujuan yang lebih konkrit hubungan antara
sekolah dan masyarakat antara lain: 1) guna meningkatkan kualitas
pembelajaran dan pertumbuhan peserta didik, 2) berperan dalam
memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sekaligus menjadi
desakan yang dirasakan saat ini, 3) berguna dalam mengembangkan
program-program sekolah kearah yang lebih maju dan lebih membumi
agar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai pengguna jasa
pendidikan

Manajemen Pembiayaan


Ketersediaan sejumlah dana yang dimiliki sekolah merupakan salah satu
faktor pendukung terselenggaranya program pendidikan. Ketersediaan
dana yang dimiliki sekolah berkaitan dengan sumber dana sekolah
mencakup pemerintah, orangtua peserta didik, bantuan pihak asing yang
tidak mengikat, dan masyarakat.
UU Nomor 20 Tahun 2003 mengatur pendanaan pendidikan secara khusus
dalam Bab XIII yang secara substansi menyatakan bahwa 1) pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat, 2) sumber pendanaan pendidikan
ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberanjuran, 3)
pengelolaan dana pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi,
transparansi, dan akuntabilitas publik, dan 4) pengalokasian dana
pendidikan.
Peraturan lebih lanjut mengenai pendanaan pendidikan terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008. Dalam pasal 2 ayat 1
dijelaskan bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sedangkan Pasal 3
menjelaskan:
(1) Biaya pendidikan meliputi:
a. biaya satuan pendidikan;
b. biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan
c. biaya pribadi peserta didik.
(2) Biaya satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. biaya investasi, yang terdiri atas:
1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
b. biaya operasi, yang terdiri atas:
1. biaya personalia; dan
2. biaya nonpersonalia.
c. bantuan biaya pendidikan; dan
d. beasiswa.
(3) Biaya penyelenggaraan dan/ atau pengelolaan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. biaya investasi, yang terdiri atas:
1. biaya investasi lahan pendidikan; dan
2. biaya investasi selain lahan pendidikan.
b. biaya operasi, yang terdiri atas:
1. biaya personalia; dan
2. biaya nonpersonalia.
Biaya investasi adalah biaya penyelenggaraan pendidikan yang sifatnya
lebih permanen dan dapat dimanfaatkan jangka waktu relatif lama. Biaya
investasi terdiri dari biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan.
Biaya investasi selain lahan dapat digunakan untuk pengadaan sarana dan
prasarana sekolah seperti gedung dan alat penunjang pendidikan seperti
media pembelajaran. Biaya investasi menghasilkan aset dalam bentuk fisik
dan non fisik, berupa kapasitas atau kompetensi sumber daya manusia.
Dengan demikian, kegiatan pengembangan profesi guru seperti pendidikan
pelatihan tentang penanganan siswa berkebutuhan khusus termasuk ke
dalam investasi yang perlu mendapat dukungan dana yang memadai.
Biaya operasi adalah biaya yang diperlukan sekolah untuk menunjang
proses pendidikan. Biaya operasi terdiri dari biaya personalia dan
biaya nonpersonalia. Biaya personalia mencakup: gaji dan tunjangan yang
melekat pada gaji, tunjangan struktural, tunjangan fungsional, tunjangan
profesi, dan tunjangan-tunjangan lain yang melekat dalam jabatannya.
Biaya non personalia, antara lain biaya untuk: Alat Tulis Sekolah, bahan
dan alat habis pakai, pemeliharaan dan perbaikan ringan, pembinaan
siswa/ekstrakurikuler.
Pembiayaan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi misalnya
digunakan untuk media pembelajaran, sarana-prasarana penunjang
(aksesibilitas) bagi ABK, dan pelatihan bagi guru pendamping khusus agar
dapat mengembangkan keilmuan dalam meningkatkan kemampuan dalam
mendidik ABK di sekolah tersebut.

Manajemen Sarana dan Prasarana


Menurut Sutikno (2012: 86) manajemen sarana prasarana dapat diartikan
kegiatan menata, mulai dari merencanakan kebutuhan, pengadaan,
penyimpanan dan penyaluran, pendayagunaan, pemeliharaan,
penginventarisan dan penghapusan serta penataan lahan, bangunan,
perlengkapan, dan perabot sekolah secara tepat guna dan tepat sasaran.
Manajemen sarana dan prasarana hendaknya disesuaikan dengan tuntutan
kurikulum yang telah dikembangkan dan dibutuhkan adanya sarana yang
memungkinkan anak untuk mengembangkan kreatifitasnya. Dalam
Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB (2004:4)
menjelaskan bahwa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh
anak berkebutuhan khusus, maka sarana-prasarana yang diperlukan
sekolah inklusi selain sarana-prasarana umum juga sarana prasarana
khusus yang sesuai dengan anak berkebutuhan khusus.
Sarana-prasarana tersebut antara lain seperti Sarana-prasarana Umum
meliputi: ruang kelas beserta perlengkapannya (perabotnya); ruang
praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya; ruang perpustakaan,
beserta perangkatnya; ruang serbaguna, beserta perlengkapannya;. ruang
BP/BK, beserta perlengkapannya; ruang UKS; ruang Kepala Sekolah,
Guru, dan Tata Usaha, lapangan olahraga; Toilet; ruang ibadah; ruang
kantin.
Sarana Khusus yang meliputi: (1) Tunarungu/Gangguan Komunikasi: Alat
Asesmen, bervariasinya tingkat kehilangan pendengaran pada anak
tunarungu/gangguan komunikasi, menuntut adanya pengelolaan yang
cermat dalam mengidentifikasi kekurangan dan kelebihan yang
dimilikinya. Hal ini penting dalam upaya menentukan apa yang
dibutuhkan dapat mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan
kemampuan dan keadaannya. Asesmen kelainan pendengaran dilakukan
untuk mengukur kemampuan pendengaran, atau untuk menentukan tingkat
kekuatan suara/sumber bunyi. Alat yang digunakan untuk asesmen
pendengaran anak tunarungu seperti: Scan Test, Bunyi-bunyian, Garpu
Tala, Audiometer & Blanko Audiogram, Mobile Sound Proof, Sound level
meter; Alat Bantu Dengar, Anak tunarungu mengalami gangguan
pendengaran baik dari ringan sampai berat/total. Untuk membantu
pendengarannya, dapat dilakukan mengunakan alat bantu dengar (hearing
aid).
Latihan Bina Persepsi Bunyi dan Irama, Pada umumnya anak tunarungu
mengalami gangguan pendengaran baik ringan maupun secara
keseluruhan/total, sehingga mengakibatkan gangguan atau hambatan
komunikasi dan bahasa. Untuk pengembangan komunikasi dan bahasa
dapat dilakukan mengunakan alat-alat seperti; Speech and Sound
Simulation, Spatel, Cermin, Alat latihan meniup (seruling, kapas,
terompet, peluit), Alat Musik Perkusi (gong, gendang, tamborin, triangle,
drum, kentongan), Meja latihan wicara, Sikat getar, Lampu aksen (kontrol
suara), dan TV/VCD; Alat Bantu Belajar/Akademik, untuk membantu
penguasaan kemampuan di bidang akademik, maka dibutuhkan layanan
dan peralatan khusus. Alat-alat yang dapat membantu mengembangkan
kemampuan akademik pada anak tunarungu dapat berupa: Anatomi
Telinga, Miniatur Benda, Finger Alphabet, Model Telinga, Torso
Setengah Badan, Puzzle Buah-buahan, Puzzle Binatang, Puzzle
Konstruksi, Silinder, Model Geometri, Kartu Kata, Kartu Kalimat,
Menara Segi tiga, Menara Gelang, Menara Segi empat, Atlas, Globe, Peta
Dinding, dan Miniatur Rumah Adat; (2) Tunagrahita/Anak Lamban
Belajar: Alat asesmen, Asesmen pada anak tunagrahita dilakukan untuk
mengukur tingkat intelegensi dan kognitif, baik secara individual maupun
kelompok. Alat untuk asesmen anak tunagrahita dapat digunakan seperti
berikut ini: Tes Intelegensi WISC-R, Tes Inteligensi Stanford Binet,
Cognitive Ability test; Latihan Sensori Visual, untuk membantu sensori
visual anak tunagrahita dapat digunakan alat sebagai berikut: Gradasi
Kubus, Gradasi Balok, Silinder, Menara Gelang, Kotak Silinder, Multi
Indera, Puzle, Boks Sortor Warna, Geometri Tiga Dimensi, Papan
Geometri (Roden Set)], Kotak Geometri (Box Shape), Konsentrasi
Mekanis.
Latihan Bina Diri. Alat yang digunakan latihan bina diri dapat berupa:
Berpakaian, Dressing Frame Set, Sikat Gigi, Pasta Gigi dan lain
sebagainya; Konsep dan Simbul Bilangan, Alat yang digunakan melatih
konsep dan simbul bilangan dapat berupa: Keping Pecahan, Balok
Bilangan, Geometri Tiga Dimensi, Abacus, Papan Bilangan (Cukes),
Tiang Bilangan (Seguin Bretter), Kotak Bilangan, Alphabet Loweincase,
Pias Huruf, Alphabet Fibre Box, Pias Kalimat; latihan Perseptual Motor,
alat yang digunakan melatih perseptual motor dapat berupa: Bak Pasir,
Papan Keseimbangan, Gradasi Papan Titian, Keping Keseimbangan,
Power Raider, Formensortierspiel, Balancier Zehner, Balamcierbrett,
Handbalancier Spidel, Balanceierwippe, Balancier Steg. (3). Tunadaksa,
alat Asesmen seperti berikut ini: Finger Goniometer, Flexometer, Plastic
Goniometer, Reflex Hammer, Posture Evaluation Set, TPD
Arsthesiometer, Gound Rhytem Tibre Instrumen, Cabinet Geometric
Insert, Color Sorting Box, Tactile Board Set, alat latihan fisik, alat-alat
yang dapat digunakan dapat berupa: Safety Walking Strap, Straight
(tangga), Sand-Bag, Floor Sitter, Kursi CP, Individual Stand-in Table,
Walking Parallel, Walker Khusus CP, Balance Beam Set, Dynamic Body
and Balance, Kolam Bola-bola, Bola karet, Balok berganda, Balok titian,
Dressing Frame Set, Lacing Shoes.
Alat bantu belajar/akademik, alat-alat yang dapat membantu
mengembangkan kemampuan akademik pada anak tunadaksa dapat
berupa: Kartu Abjad, Kartu Kata, Kartu Kalimat, Torso Seluruh Badan,
Geometri Shape, Menara Gelang, Menara Segitiga, Menara Segiempat,
Gelas Rasa, Botol Aroma, Abacus dan Washer, Papan Pasak, Kotak
Bilangan. (4). anak yang mengalami kesulitan belajar, alat asesmen,
Asesmen pada anak yang mengalami kesulitan belajar dilakukan untuk
mengetahui bentuk kesulitan belajar dan untuk memperoleh informasi
yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan
program pembelajarannya. Alat yang digunakan untuk asesmen anak yang
mengalami kesulitan belajar seperti berikut ini: Instrumen ungkap riwayat
kelainan, dan Tes Inteligensi WISC; alat bantu ajar/akademik; Kartu
Abjad, Kartu Kata, Kartu Kalimat, Balok Bilangan, Pias angka, Kotak
Bilangan, Papan bilangan.
Sarana khusus yang perlu disediakan di sekolah inklusi, apabila peserta
didiknya ada yang tunarungu meliputi: ruang asesmen, ruang konsultasi,
ruang latihan bina wicara, ruang bina persepsi bunyi dan irama, ruang
remedial, ruang latihan fisik, lapangan olahraga, ruang penyimpanan alat,
ruang latihan bina diri, dan ruang keterampilan.

Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan


Menurut Endang Herawan dan Hartini dalam Tim Dosen Administrasi
Pendidikan UPI (2009: 229) manajemen pendidik dan tenaga kependidikan
adalah aktivitas yang harus dilakukan mulai dari tenaga pendidik dan
kependidikan itu masuk ke dalam organisasi pandidikan sampai akhirnya
berhenti melalui proses perencanaan SDM, perekrutan, seleksi,
penempatan, pemberian kompensasi, penghargaan, pendidikan dan latihan/
pengembangan dan pemberhentian.
Pada saat melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di sekolah, yang
siswanya terdiri atas anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan
khusus, disamping diperlukan guru kelas dan guru mata pelajaran,
diperlukan pula Guru Pendidikan Khusus (GPK) yang merupakan partner
guru kelas dan guru mata pelajaran dalam upaya melayani anak
berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki berkembang optimal.
GPK sebaiknya diusulkan oleh kepala sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi kepada pemerintah daerah setempat untuk menunjang pelaksanaan
pendidikan inklusi.
Terdapat peraturan yang berkaitan dengan hal ini, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 41 ayat (1) pada PP tersebut menyatakan bahwa “setiap satuan
pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga
kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan
pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus”. Pasal ini jelas
menunjukkan adanya keharusan satuan pendidikan inklusi untuk
menyediakan guru yang memiliki kompetensi mengelola peserta didik
berkebutuhan khusus. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
yang antara lain menyebutkan pemerintah wajib membiayai
penyelenggaraan pendidikan dasar bagi semua warga negara. Dalam dua
peraturan yang terkait ini, jelas pemerintah daerah sebagai pihak yang
memiliki wewenang dalam penyelenggaraan pendidikan memiliki
kewajiban untuk menyiapkan GPK di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi.
Pada buku Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004: 9-10) tugas GPK antara lain sebagai berikut: (1) menyusun
intrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru
mata pelajaran, (2) membangun sistem koordinasi antara guru, pihak
sekolah dan orang tua peserta didik, (3) melaksanakan pendampingan anak
berkebutuhan khusus pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan
guru kelas atau guru mata pelajaran, (4) memberikan bantuan layanan
khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan
dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remedial
ataupun pengayaan, (5) memberikan bimbingan secara berkesinambungan
dan membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus
selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi
pergantian guru, (6) memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru
kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberi pelayanan
pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Tenaga kependidikan yang mengajar hendaknya memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan atau
dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa. Adapun tenaga
kependidikan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.; guru reguler, guru
khusus, psikolog, dokter, psikiatri anak, okupasi terapi, dan sebagainya.
Pada Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004:21-22) dijelaskan bahwa Kompetensi Guru Pendidikan Khusus
dilandasi oleh tiga kemampuan (ablity) utama, yaitu: (1) kemampuan
umum (general ability), (2) kemampuan dasar (basic ability), dan (3)
kemampuan khusus (specific ability).
Kemampuan umum adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik
peserta didik pada umumnya (anak normal), sedangkan kemampuan dasar
adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik luar
biasa (anak berkelainan), kemudian kemampuan khusus adalah
kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik luar biasa jenis
tertentu (spesialis).

Manajemen Proses Penilaian


Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam penilaian, yaitu evaluasi
(evaluation), pengukuran (measurement), dan penilaian (asessment).
Menurut Direktorat PSLB (2005: 4) evaluasi adalah kegiatan identifikasi
untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah
tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat
tingkat efisiensi pelaksanaannya. Pengukuran adalah proses pemberian
angka atau usaha memperoleh diskripsi numerik dari suatu tingkatan
dimana seorang siswa telah mencapai karakteristik tertentu. Sedangkan
penilaian adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat
penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar
siswa atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) siswa.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009
menjelaskan penilaian pada pendidikan inklusi pada pasal (1) sampai
dengan pasal (6) yaitu: (1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik
pendidikan inklusi mengacu pada jenis kurikulum tingkat satuan
pendidikan yang bersangkutan, (2) Peserta didik yang mengikuti
pembelajaran berasarkan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan
standar nasional pendidikan atau di atas standar nasional pendidikan wajib
mengikuti ujian nasional, (3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan
mengikuti pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan di
bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya dikeluarkan oleh
Pemerintah, (5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan
pendidikan berasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh satuan
pendidikan di bawah standar nasional pendidikan mendapatkan surat tanda
tamat belajar yang blankonya dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan, (6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar
dapat melanjutkan pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih tinggi
pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi atau
satuan pendidikan khusus.
Penilaian terhadap hasil belajar merupakan penilaian kemampuan yang
dimiliki siswa dengan kebutuhan khusus setelah menerima pengalaman
belajarnya. Selain itu pada pendidikan inklusi, perkembangan individu dan
keterampilan sosialisasi anak kebutuhan khusus menjadi kriteria
keberhasilan karena merupakan tujuan pendidikan inklusi, yaitu agar anak
dengan kebutuhan khusus dapat hidup normal dilingkungan masyarakat
umum.

Manajemen Proses Pembelajaran


Kegiatan pembelajaran begitu amat penting peranannya dalam upaya
mengembangkan kompetensi siswa secara optimal, maka seyogyanya
proses pembelajaran menjadi fokus utama untuk terus menerus
ditingkatkan kualitasnya. Bjorndal dan Lieberg dalam Jhonsen (2003: 308)
menjelaskan mengenai perangkat kriteria umum untuk kegiatan
pembelajaran yang berkualitas sebagai berikut: 1) Konsisten dengan
seluruh program pembelajaran; 2) Cukup sesuai dengan tujuan; 3)
Bervariasi dan serba beragam; 4) Adaptif terhadap individu dan kelompok
siswa; 5) Seimbang dan kumulatif; 6) Relevan dan bermakna; 7) Terbuka
terhadap integrasi optimal dengan kegiatan belajar lain; 8) Terbuka
terhadap pilihan siswa.
Kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara
efektif dan efisien, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip
pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusi secara umum
sama dengan prinsip-prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada
umumnya.
Namun demikian, karena di dalam kelas inklusi terdapat anak berkelainan
yang mengalami kelainan/penyimpangan baik fisik, emosi, intelektual,
sosial, dan/atau sensoris dibanding dengan anak pada umumnya, maka
guru yang mengajar di kelas inklusi disamping prinsip umum
pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus
sesuai dengan kelainan anak.
Menurut Tarmansyah (2007:192-193) bahwa prinsip-prinsip khusus
pembelajaran sesuai dengan kelainan anak, sebagai berikut: (1) Tunanetra,
belajar bagi anak dengan gangguan penglihatan, terutama melalui
pendengaran dan perabaan, menggunakan benda konkrit, belajar sambil
melakukan atau anak mengalami apa yang dijelaskan oleh guru, dan
pengalaman yang menyatu. (2) Tunarungu, Dalam proses pembelajaran
dengan anak tunarungu atau anak dengan gangguan pendengaran,
prinsipnya adalah keterarahan wajah, keterarahan suara, dan keperagaan,
(3) Tunagrahita dan lambat pelajar, pembelajaran bagi anak tunagrahita
dan anak lambat belajar (slow learner) adalah prinsip kasih sayang,
keperagaan, dan rehabilitasi, (4) Tunadaksa, pembelajaran bagi anak tuna
daksa atau anak gangguan fisik yang perlu diperhatikan adalah layanan
medik, pendidikan, dan sosial, (5) Tunalaras, bagi anak tunalaras prinsip
pembelajaran yang perlu perhatikan adalah kebutuhan dan keaktifan,
kebebasan yang terarah, penggunaan waktu luang, kekeluargaan dan
kepatuhan, disiplin, dan kasih sayang.
Pada Pedoman Penyelenggaran Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004:9) proses belajar mengajar lebih banyak memberikan kesempatan
belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Proses belajar mengajar
meliputi: (1) Perencanaan pembelajaran; Perencanaan pembelajaran
merupakan hasil dari asesmen yang telah dilakukan terhadap anak, dengan
menyesuaikan kurikulum pembelajaran menurut kebutuhan anak dan
bersifat fleksibel. Dalam program pendidikan inklusi, perencanaan
kegiatan pembelajaran terdiri dari: merencanakan pengelolaan kelas,
pengorganisasian bahan, pengelolaan kegiatan pembelajaran, penggunaan
sumber belajar, dan merencanakan penilaian. (2) Pelaksanaan kegiatan
pembelajaran; Pada saat kegiatan pembelajaran anak berkebutuhan khusus
bergabung dengan anak-anak normal, tetapi pada saat-saat tertentu ketika
anak berkebutuhan khusus tidak dapat mengikuti pembelajaran anak
tersebut dapat dimasukkan ke dalan kelas khusus bersama dengan guru
khusus. Pelaksanaan proses pembelajaran terdiri dari; berkomunikasi
dengan siswa, mengimplementasikan metode, sumber belajar, dan bahan
latihan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran, mendorong siswa untuk
terlibat secara aktif, mendemonstrasikan penguasaan materi dan
relevansinya dalam kehidupan, dan mengelola waktu, ruang, bahan, dan
perlengkapan pengajaran. (3) Evaluasi kegiatan belajar mengajar; Evaluasi
merupakan langkah yang perlu direncanakan sebelumnya. Tujuannya
adalah untuk melihat tercapai tidaknya keberhasilan dan juga untuk
melihat perlu tidaknya modifikasi.
Selain itu, menurut Sapon–Shevin seperti yang dikutip oleh Sunardi
(1996:92-94) ada lima profil pembelajaran di sekolah inklusi. (1)
Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang
hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru
mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung
semua anak secara penuh dengan menekankan pada kemampuan, kondisi
fisik, sosial-ekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi
berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. (2)
Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan
kurikulum secara mendasar. Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser
dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi
tertentu, menuju pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan
kerjasama antarsiswa dan bahan belajar tematik.
(3) Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk
mengajar secara interaktif; Perubahan di dalam kurikulum berkaitan erat
dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana
seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan
semua anak di kelas. Hal ini harus digeser dengan model antarsiswa saling
bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling
berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap pendidikannya sendiri serta
pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk
berkompetisi melainkan untuk belajar dan mengajar dengan yang lain. (4)
Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya
secara terus menerus serta penghapusan hambatan yang berkaitan dengan
isolasi profesi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi adalah pengajaran
dengan tim, kolaborasai dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur
keterampilan, pengetahuan, serta bantuan individu yang bertugas mendidik
sekelompok anak. Kerjasama anatara guru dengan profesi lain dalam suatu
tim sangat diperlukan, seperti dengan profesional, ahli bina bicara, petugas
bimbingan guru pembimbing khusus, dan sebagainya. (5) Pendidikan
inklusi berati melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses
perencanaan; Keberhasilan pendidikan inklusi sangat bergantung kepada
partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya
keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual dan
bantuan dalam belajar di rumah

Manajemen Kurikulum


Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum
disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Menurut Rusman (2009:3)
kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Sedangkan manajemen kurikulum masih menurut Rusman (2009:3)
sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif,
komprehensif, sistemik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan
ketercapaian tujuan kurikulum. Pada pelaksanaannya, manajemen
kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan konteks Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah inklusi
dapat mengalami modifikasi sesuai dengan karakteristik masing-masing
peserta didik. Pada Pedoman Penyelenggaran Pendidikan Inklusi
Direktorat PSLB (2004:7) setiap peserta didik memiliki karakteristik
tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, perbedaan
karakteristik tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan kebutuhan
layanan pendidikan bagi setiap peserta didik. Kurikulum yang
dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan
karakteristik siswa, sehingga siswa memiliki program pengajaran secara
individual. Kurikulum yang digunakan di kelas inklusi adalah kurikulum
anak normal (reguler) yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan
kemampuan awal dan karakteristik siswa.

Manajemen Kesiswaan

Menurut Nasihin dan Sururi dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan
UPI (2009: 205) peserta didik adalah orang/individu yang mendapatkan
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya
agar tumbuh dan berkembang dengan baik serta mempunyai kepuasan
dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh pendidiknya.
Sedangkan manajemen peserta didik menurut Nasihin dan Sururi dalam
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI (2009: 205) adalah sebagai usaha
pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik terebut masuk
sekolah sampai dengan mereka lulus. Adanya manajemen peserta didik
merupakan upaya untuk memberikan layanan yang sebaik mungkin kepada
peserta didik semenjak dari proses penerimaan sampai pada saat peserta
didik lulus dari lembaga pendidikan (sekolah) tersebut.
Pada sekolah inklusi, penerimaan peserta didik/siswa baru hendaknya
memberi kesempatan dan peluang kepada anak luar biasa untuk dapat
diterima dan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Untuk tahap awal,
agar memudahkan pengelolaan kelas, seyogianya setiap kelas inklusi
dibatasi tidak lebih dari 2 (dua) jenis kelainan anak luar biasa, dan jumlah
keduanya tidak lebih dari 5 (lima) anak. Kemampuan awal dan
karakteristik siswa berkebutuhan khusus menjadi acuan utama dalam
mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses
belajar mengajar.
Oleh sebab itu, guru harus mengetahui latar belakang dan kebutuhan
masing-masing peserta didik agar dapat memberikan pelayanan dan
bantuannya dengan tepat. Setiap peserta didik memiliki kebutuhan yang
berbeda baik karena faktor yang bersifat permanen seperti hambatan
penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan fisik, ataupun yang tidak
permanen seperti masalah sosial, bencana alam, dan lain-lain. Oleh karena
itu penting bagi guru memiliki kemampuan mengidentifikasi dan asesmen
peserta didik atau calon peserta didik untuk mengetahui ada tidaknya anak
berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhannya dan mengetahui keunggulan dan hambatan
masing-masing peserta didik untuk merancang program pembelajarannya.
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi
apakah anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual,
sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) atau tidak. Hasil dari
identifikasi akan dilanjutkan dengan asesmen, yang hasilnya akan
dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan
kemampuan dan ketidak mampuannya. Menurut Jhonsen (2003:319)
asesmen bertujuan untuk mengumpulkan, menafsirkan, dan merenungkan
berbagai informasi untuk menyesuaikan tindakan ke arah tujuan masa
depan. Pada pendidikan kebutuhan khusus asesmen bertujuan untuk
menarik perhatian pada hambatan-hambatan belajar yang spesifik,
berbagai kemungkinan lingkungan belajar/ mengajar beserta pengadaptasiannya, proses dan hasilnya, serta hubungan kontekstualnya.

Manajemen Pendidikan Inklusi


Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses pengaturan dan pengelolaan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Pengaturan dan
pengelolaan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses yang terkait erat dengan tujuan
dan efektivitas serta efisiensi penyelenggaraan suatu sistem penyelenggaraan
pendidikan bagi seluruh anak tanpa terkecuali. Pada tatanan mikro manajemen
pendidikan inklusi diartikan sebagai upaya untuk mengelola sumber daya
pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang
kondusif agar peserta didik dapat menunjukkan potensinya secara optimal.
Menurut Dedy Kustawan (2012:52) bahwa manajemen pendidikan inklusi dimulai
dari penerimaan siswa baru atau anak berkebutuhan khusus, modifikasi
kurikulum, proses pembelajaran, proses penilaian, pemberdayaan pendidik dan
tenaga pendidikan, pengelolaan sarana dan prasarana, pembiayaan dan dukungan
masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi.

Tujuan Pendidikan Inklusi


Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 2
menjelaskan pendidikan inklusi bertujuan untuk (1) memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuannya, (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang
menghargai keanekaragaman dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Selain itu menurut Mulyono Abdurrahman dalam Arum (2005:77) alasan
perlunya penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah lebih menjamin terbentuknya
masyarakat madani yang demokratis, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan,
menghindarkan anak dari rasa rendah diri, memberikan kemudahan untuk
melakukan penyesuaian sosial, anak dapat saling belajar tentang pengetahuan dan
keterampilan, guru reguler dan guru pendidikan khusus dapat saling belajar
tentang anak, anak dengan kebutuhan khusus dapat memperoleh prestasi
akademik maupun sosial yang lebih baik. Penggunaan sumber belajar dapat
dilakukan secara lebih efisien. dapat mengurangi rasa takut dan dapat membangun
persahabatan, menghargai orang lain, dan saling pengertian, lebih efektif bagi
anak untuk mengembangkan rasa persahabatan dan menyiapkan diri menghadapi
kehidupan orang dewasa dalam lingkungan kerja yang beraneka ragam setelah
selesai sekolah, memudahkan anak dengan kebutuhan khusus untuk mengenal
lingkungan sosial dan toleransi yang dapat mengurangi rasa sakit akibat
penolakan, sesuai dengan filosofi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, dan sesuai
dengan tuntutan perundang-undangan nasional maupun internasional.
Buku Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Direktorat PSLB
(2004:3-4) diuraikan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusi di
Indonesia adalah: 1) Untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
semua anak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya,
termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. 2) untuk membantu mempercepat
program wajib belajar pendidikan dasar. 3) untuk membantu meningkatkan mutu
pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus
sekolah. 4) untuk menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran. 5) untuk
memenuhi amanat konstitusi.
Tujuan pendidikan inklusi diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
inklusi adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan
pemdidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus,
dan membantu meningkatkan mutu pendidikan.

Kebijakan Nasional Pendidikan Inklusi


Kebijakan pendidikan inklusi telah dibahas di berbagai konvensi-konvensi
internasional dan peraturan perundang-undangan nasional. Konvensi internasional
mensyaratkan kepada setiap negara untuk membuat peraturan perundangundangan untuk menjamin pelaksanaan pendidikan inklusi disetiap negara.
Kebijakan-kebijakan internasional mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusi
ditemukan antara lain: Declaration of Human Right 1948, Convention on the
Rights of the Child 1989, Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) dan Konferensi
Dakar tahun 2000.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak atas pendidikan. Oleh karena itu dalam pasal 2 ditegaskan bahwa
Negara harus menghormati dan menjamin hak-hak setiap anak yang berada dalam
wilayah hukumnya tanpa diskriminasi apapun, tanpa memandang ras anak atau
orang tuanya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, atau
pendapatnya lainnya, suku atau asal muasal sosial, hak milik, kecacatan, kelahiran
ataupun status lainnya. Sedangkan dalam Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989
menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib bagi setiap anak dan
Negara membebaskan biayanya.
Deklarasi Salamanca dikeluarkan dalam sebuah konferensi internasional yang
diselenggarakan di Salamanca Spanyol pada tahun 1994, konferensi ini dihadiri
oleh Menteri-Menteri Pendidikan sedunia, termasuk Indonesia. Deklarasi
Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya
belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka. Dalam pasal 2 deklarasi ini dinyatakan bahwa sekolah
regular dengan orientasi inklusi merupakan tempat yang paling efektif untuk
memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun
sebuah masyarakat inklusi dan mencapai pendidikan untuk semua.
Sedangkan kebijakan-kebijakan nasional mengenai penyelenggaraan pendidikan
inklusi ditemukan antara lain: Undang Undang Dasar 1945, Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998
tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.Undang Undang Dasar 1945 alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 menyatakan
bahwa “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan bangsa….”. Selanjutnya, UUD 1945 mewajibkan setiap warga
negara mengikuti pendidikan dasar dan untuk hal tersebut negara dibebankan
kewajiban untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang untuk
memperlancar kegiatan belajar mengajar hingga tujuan mencerdaskan bangsa
dapat tercapai. Sedangkan dalam 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan”. Pasal 31 tersebut menegaskan bahwa
setiap warga negara, tanpa kecuali termasuk anak- anak berkebutuhan khusus
berhak mendapatkan pendidikan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal
51 menegaskan bahwa anak yang penyandang cacat fisik dan/atau mental
diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan
biasa dan pendidikan luar biasa, serta Undang-undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 2, yang menyatakan warga negara yang
memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus atau kecerdasan
luar biasa diselenggarakan secara inklusi atau berupa sekolah khusus.
Penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus kemudian diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 131 antara lain ayat 1
sampai 4 berbunyi: 1) Pemerintah provinsi menyelenggarakan paling sedikit 1
(satu) satuan pendidikan khusus untuk setiap jenis kelainan dan jenjang
pendidikan sebagai model sesuai dengan kebutuhan peserta didik, 2) Pemerintah
kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan
pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik, 3) Penjaminan terselenggaranya pendidikan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu)
satuan pendidikan umum dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang
memberikan pendidikan khusus 4) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah kabupaten/kota
menyediakan sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan peserta
didik berkelainan.
Sedangkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 pasal 1
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Dalam
pasal 4 disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1
(satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1).
Menurut Arum (2005: 107-113) ada empat landasan yang dapat menjadi acuan
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, keempat landasan tersebut adalah:
a. Landasan Filosofis
Sebagai bangsa yang memiliki pandangan hidup atau filosofi sendiri, maka
penyelenggaraan pendidikan inklusi harus diletakkan atas dasar pandangan
hidup atau filosofi bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia memiliki
filosofi Pancasila yang merupakan lima pilar keyakinan sekaligus cita-cita
yang didirikan atas landasan yang lebih mendasar yang disebut Bhineka
Tunggal Ika adalah suatu wujud pengakuan kebhinekaan antar manusia yang
mengemban misi tunggal sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Filosofi
Bhineka Tunggal Ika meyakini bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi
kemanusiaan yang bila dikembangkan melalui pendidikan yang baik dan
benar dapat berkembang hingga hampir takterbatas. Berdasarkan Filosofi
Bhineka Tunggal Ika, kekurangan atau keunggulan adalah suatu bentuk
kebhinekaan seperti halnya dengan suku, agama, ras, budaya, dan sebagainya.
Dengan demikian kekurangan dan kelebihan tidak dapat dijadikan sebagai
alasan untuk memisahkan peserta didik dari pergaulannya dengan peserta
didik lainnya karena dengan bergaul memungkinkan terjadinya saling belajar
tentang perilaku dan pengalaman.
b. Landasan Religius
Manusia berfilsafat karena ingin menemukan kebenaran hakiki melalui
kemampuan nalarnya. Karena kebenaran hakiki berasal dari sumber yang
tunggal, Tuhan Yang Esa, kebenaran filosofis seharusnya dapat bertemu
dengan kebenaran agama. Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan
pendidikan tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan agama. Adanya siswa
yang membutuhkan layanan pendidikan khusus pada hakikatnya adalah
menifestasi dari hakikat manusia yang individual differences.
c. Landasan Keilmuan
Beberapa penelitian tentang penyelenggaraan pendidikan telah dilakukan
sebagai landasan dalam pengambilan kebijakan kependidikan. Menurut
Andrew, dkk (1993:186) pendidikan yang segregatif-eksklusif telah gagal
meningkatkan pencapaian kompetensi akademik maupun kompetensi sosial;
dan peserta didik secara keseluruhan, baik anak berkebutuhan khusus maupun
normal, tidak mampu mengembangkan kepekaan sosial yang penting artinya
bagi kehidupan bersama. Karena adanya realita semacam itu, maka jawaban
atas permasalahan kompetensi sosial adalah dengan menyelenggarakan
pendidikan yang inklusi.
d. Landasan Yuridis
Landasan yuridis memiliki hierarkhi dari undang-undang dasar, undangundang, peraturan pemerintah, kebijakan menteri, kebijakan direktur jenderal,
peraturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah. Landasan
yuridis juga melibatkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang
berkenaan dengan pendidikan. Dalam kesepakatan UNESCO di Salamanca,
Spanyol, pada tahun 1994, telah ditetapkan agar pendidikan diseluruh dunia
dilaksanakan inklusi. Pendidikan inklusi di Indonesia dijamin oleh UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang
menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus atau kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusi atau berupa
sekolah khusus. Kemudian penjelasan lebih lebih lanjut tentang pendidikan
inklusi diatur oleh Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009.

Pengertian Pendidikan Inklusi


Pendidikan inklusi lahir dari sebuah filosofi bahwa pendidikan adalah hak setiap
manusia dengan menghargai setiap perbedaan. Pendidikan inklusi memberikan
layanan kepada setiap peserta didik sesuai dengan kebutuhan masing-masing
peserta didik. Pengertian pendidikan inklusi dikemukakan oleh Stainback dalam
Sunardi (1996:90) mengartikan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang
menampung semua murid di kelas yang sama, sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan setiap murid. Pengertian pendidikan inklusi menurut Sapon-Shevin
seperti dalam Sunardi (1996:91) adalah sebagai sistem layanan pendidikan luar
biasa yang mempersyaratkan agar semua anak yang berkebutuhan khusus dilayani
di sekolah-sekolah terdekat di kelas bersama teman-teman sebayanya.
Kemudian juga pernyataan Salamanca (Salamanca Statement), pada tahun 1994
seperti yang dikutip oleh Budiyanto (2005:12), tentang prinsip, kebijakan dan
praktek-praktek dalam pendidikan khusus di dalam sistem adalah:
a. Menegaskan kembali komitmen terhadap pendidikan untuk semua, dan
mendesakkan pendidikan bagi anak, remaja, dan orang dewasa berkebutuhan
khusus di dalam sistem pendidikan reguler.
b. Meyakini dan menyatakan bahwa setiap anak mempunyai hak mendasar
untuk memperoleh pendidikan dan harus diberi kesempatan untuk mencapai
serta mempertahankan tingkat pengetahuan yang wajar. Setiap anak
mempunyai kartakteristik, minat, kemampuan dan kebutuhan belajar yang
berbeda-beda. Sistem pendidikan hendaknya dirancang dan program
pendidikan dilaksanakan dengan mempertimbangkan keanekaragaman
tersebut. Mereka yang berkebutuhan khusus harus memperoleh akses ke
sekolah-sekolah reguler, yang juga harus mengakomodasi mereka dalam
rangka pendidikan yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
c. Mendorong partisipasi orang tua, masyarakat, dan organisasi penyandang
cacat dalam perencanaan, proses pengambilan keputusan yang menyangkut
masalah program pendidikan khusus.
Pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan
sebuah sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat belajar
bersama dengan teman-teman sebayanya di sekolah umum yang ada di
lingkungan mereka dan sekolah tersebut dilengkapi dengan layanan pendukung
serta pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak

Pendidikan Inklusi


Pernyataan Salamanca dan kerangka aksi tentang Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (1994) hingga saat ini merupakan dokumen internasional utama tentang
prinsip-prinsip dan praktek pendidikan inklusi, seperti tercantum dalam
Declaration of Human Right (1948) Education for all yang dideklarasi di
Bangkok (1991). Semua pedoman ini juga dipertegas oleh UUD 1945 pasal 31
yang menyatakan setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Hal ini juga
termasuk bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Serta Undang-undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 2, yang
menyatakan warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental
intelektual dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pendidikan inklusi harus dipahami sebagai pendidikan bukan hanya untuk anak
yang berkelainan, melainkan bagi semua anak tanpa membedakan status, gender,
termasuk anak-anak yang ”terkucilkan”, ketidak beruntungan dalam segala faktor,
baik secara internal maupun eksternal. Perlu ada kesepahaman tentang pendidikan
inklusi ini bagi semua kalangan.

Pendidikan Inklusif


Secara sederhana pendidikan inklusif merupakan proses dalam pelaksanaan tugas
pendidikan inklusi dengan mendayagunakan segala sumber secara efisien untuk
mencapai tujuan secara efektif. Pendidikan menurut Pidarta (1988:4) manajemen
itu dapat diartikan sebagai aktivitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar
terpusat dalam usaha mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan
sebelumnya. Manajemen pendidikan menurut Usman (2010:12) dapat
didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Engkoswara (2001:2) memberikan pengertian manajemen pendidikan ialah suatu
ilmu yang mempelajari bagaimana menata sumber daya untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang
baik bagi manusia yang turut serta di dalam mencapai tujuan yang disepakati
bersama. Sedangkan menurut Mulyati dan Komariah (2008:88), manajemen
pendidikan adalah adalah suatu penataan bidang garapan pendidikan yang
dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf,
pembinaan, pengkoordinasi-an, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran,
pengendalian, pengawasan, penilaian dan pelaporan secara sistematis untuk
mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas.
Pengertian di atas tampak bahwa pendidikan inklusif pada prinsipnya merupakan
suatu bentuk penerapan manajemen dalam mengelola, mengatur dan
mengalokasikan sumber daya yang terdapat dalam dunia pendidikan inklusi,
fungsi manajemen pendidikan merupakan alat untuk mengintegrasikan peranan
seluruh sumberdaya guna tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu konteks
sosial tertentu, ini berarti bahwa bidang-bidang yang dikelola mempunyai
kekhususan yang berbeda dari manajemen dalam bidang lain. Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen pendidikan
adalah keseluruhan proses kerjasama dalam mengelola sumberdaya pendidikan
secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan dengan melakukan
fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.
Pada operasionalnya di sekolah, manajemen pendidikan dapat dilihat sebagai
gugusan-gugusan tertentu. Gugusan-gugusan ini selanjutnya boleh disebut bidang
garapan manajemen pendidikan. Bidang garapan manajemen pendidikan di
sekolah dalam Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (2004:10-20)
adalah: 1) bidang garapan peserta didik, 2) bidang garapan tenaga pendidikan, 3)
bidang garapan kurikulum, 4) bidang garapan sarana prasarana, 5) bidang garapan
keuangan, 6) bidang garapan kemitraan dengan masyarakat, 7) bidang garapan
bimbingan dan pelayanan khusus. Manajemen sekolah pada sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi tidak terlepas pada manajemen sekolah pada
umumnya. Perbedaan hanya terdapat pada hal-hal yang berhubungan dengan anak
berkebutuhan khusus.