Tampilkan postingan dengan label Judul Kehutanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Judul Kehutanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Januari 2019

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Masyarakat Mengikuti Kerjasama Hutan Rakyat (skripsi dan tesis)


Berdasarkan perspektif ekologi kebudayaan yang disebutkan oleh Awang (2004), kehutanan sosial merupakan suatu pola interaksi antara petani, teknologi,dan lahan/hutan. Melalui pandangan tersebut dapat dipahami bahwa keputusan petani dalam pengelolaan lahannya sangat tergantung pada keadaan lahan dan input teknologi yang kemudian mempengaruhi keputusan petani berdasarkan status sosialnya. Dalam penelitian ini, pemikiran teoritis tersebut diterjemahkan dalam kerangka empirik yang sesuai dengan keadaan di lapangan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengikuti program kerjasama hutan rakyat.
Pada umumnya faktor-faktor yang berpengaruh tersebut menurut Suharjito (2012) adalah:
1.        Kejelasan hak penguasaan atas lahan. Petani bersedia membudidayakan pohon apabila ada kepastian atas hak penguasaan lahan. Kepastian penguasaan lahan diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya, jaminan memperoleh manfaat dari pohon-pohon tersebut. Biasanya petani melaksanakan budidaya pohon-pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakannya pada lahan komunal atau lahan negara karena lahan milik memberikan jaminan lebih pasti untuk memperoleh manfaat dari pada lahan komunal atau lahan negara;
2.        Luas lahan yang dikuasai. Rumahtangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung menggunakan lahannya untuk tanaman pangan, tanaman jangka pendek, atau tanaman subsisten dari pada tanaman pohon-pohon. Rumahtangga yang memiliki lahan sempit cenderung memilih jenis tanaman yang lebih intensif;
3.        Ketersediaan tenaga kerja. Rumahtangga yang kekurangan tenaga kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung membudidayakan pohon-pohon karena budidaya pohon-pohon membutuhkan masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif tinggi;
4.        Ketersediaan dan akses pada pasar produk kayu mendorong budidaya pohon-pohon;
5.        Tingkat kekayaan. Jumlah rumahtangga miskin yang menanam pohon-pohon lebih sedikit dari pada rumahtangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga miskin lebih sedikit dari pada jumlah pohon rumahtangga kaya.
Sedangkan menurut Dewi et al. (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam bermitra dapat dimodelkan sebagai berikut:

keterangan :
Y = Dummy keputusan petani 1, jika petani memilih kemitraan 0, jika petani memilih tidak bermitra atau non mitra
X1 = Usia petani (Tahun)
X2 = Luas lahan (Ha)
D1-D3 = Dummy tingkat pendidikan petani
D1 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah PT 0, jika lainnya
D2 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah SMA 0, jika lainnya
D3 = 1, jika tingkat pendidikan petani adalah SMP 0, jika lainnya
X3 = Pengalaman berusahatani (Tahun)
D4 = Dummy persepsi petani tentang kemitraan 1, jika persepsi petani adalah baik 0, jika lainnya
D5 = Dummy pengaruh petani lain 1, jika dipengaruhi oleh petani lain 0, jika tidak dipengaruhi oleh petani lain
X4 = Jumlah anggota keluarga (Orang)
β- β= Koefisien regresi
e = Kesalahan

Budidaya Akasia di Lahan Gambut (skripsi dan tesis)


Lahan gambut adalah hasil dekomposisi sisa atau bagian tanaman baik tumbuhan air (paku, lumut dan ganggang) atau rumput maupun tanaman keras (tumbuhan tingkat tinggi) (Sitorus, 2003). Lahan gambut terbentuk dimana tanamantanaman yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri dari berbagai bahan organik tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada berbagai tingkatan. Ciri khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan bahan organiknya yang tinggi (lebih dari 65%). Gambut yang terbentuk dapat mencapai kedalaman lebih dari 15 meter (PFFSEA, 2003).
Lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang sangat penting. Lahan gambut hanya menutupi 3% dari luas bumi namun mengandung sekitar 75% dari semua CO2 di atmosfir (Wetlands, 2007). Lahan gambut mempunyai sifat seperti spon yang berarti mampu menyimpan air tawar dalam jumlah besar, sehingga mencegah banjir pada musim hujan dan menyediakan air pada musim kemarau. Hal ini menjadi penting ketika perubahan iklim menghilangkan glasier, curah hujan berubah dan kekeringan yang tak terduga. Lahan-lahan gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada tahun-tahun yang luar biasa keringnya.
Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Hal ini menyebabkan gambut miskin unsur hara. Walaupun tanahnya miskin hara dan sangat sulit digunakan untuk usaha pertanian skala besar, namun semakin banyak kawasankawasan gambut yang dimanfaatkan untuk perkebunan dan perindustrian. Di kawasan dimana lahan gambut ingin dimanfaatkan dibangun kanal-kanal yang bertujuan untuk mengeringkan gambut tersebut sehingga lahan dapat disiapkan untuk usaha-usaha pertanian. Cara ini sangat bermasalah karena mengakibatkan turunnya permukaan air tanah dan menghilangkan air di permukaan tanah. Irigasi atau pengairan di lahan-lahan pertanian sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah.
Setelah kering, maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon sehingga gambut tidak dapat mengatur keluar masuknya air. Lahan-lahan gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran, baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakaan dan kerugian yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi.` Drainase dan kebakaran digabungkan dengan perubahan iklim mengkonversi lebih banyak gambut menjadi sumber karbon dibandingkan sebagai penyimpan (Holden, 2005)
Akasia dapat tumbuh pada lahan gambut di Provinsi Riau meskipun bukan habitat aslinya. Hasil penelitian Ratna (2008) menunjukkan bahwa A. crassicarpa sebagai tanaman ungglan HTI di hutan rawa gambut memiliki potensi rosot karbon yang tinggi. A. crassicarpa yang berumur 4 tahun mampu menyimpan karbon sebesar 52.82 ton/ha, sedangkan yang berumur 2 tahun menyimpan karbon sebesar 21.93 ton/haBesarnya rosot karbon pada A. crassicarpa tersebut apabila dikonversi kepada tingkat penyerapan CO2 maka tanaman yang berumur 4 tahun mampu mengikat CO2 sebesar 158,33 ton/ha sedangkan tanaman 2 tahun sebesar 111,94 ton/ha Kondisi ini menunjukkan bahwa A. crassicarpa dapat menurunkan gas CO2 di atmosfer dalam proses fotosintesisnya yang mengakibatkan penurunan gas rumah kaca sehingga efek kenaikan suhu bumi dan perubahan iklim dapat dikurangi. Pengelolaan HTI perlu diarahkan untuk mencapai profitabilitas yang tinggi dan pemenuhan fungsi rosot karbon dengan cara perdagangan karbon yang perlu ditangkap oleh pemerintah dan swasta dalam mengembangkan HTI.

Hutan Rakyat (skripsi dan tesis)


UU No. 41 (1999) tentang Kehutanan serta Menteri LHK (2015) mendefinisikan hutan hak atau lazim disebut sebagai hutan rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan rakyat dapat dimiliki oleh setiap orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain atau badan hukum. Sejatinya masyarakat telah lama mengenal pola pemanfaatan lahan yang menyerupai hutan rakyat.
Bagi  masyaraka Jaw Tenga da sekitarnya  laha tersebut  lebih  dikena denga sebutan “pekarangan” dimana pada lahan tersebut masyarakat menanam berbagai tanaman keras seperti jati, kelapa, randu, dan laisebagainya (Suprapto, 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa walaupun sebagian besar hutan rakyat di Jawa berada pada tanah dengan status tanah milik rakyat, pengembangan hutan rakyat sangat erat kaitannya dengan program pemerintah khususnya program penghijauanMenurut laporastudi,  pengembangan hutan rakyat di Jawa dimulai pada tahun 1930 oleh pemerintah kolonial. KemudiaPemerintah Indonesia pada tahun 1950-an mengembangkan hutan rakyat melalui program “Karang Kitri” dan program penghijauan pada awal tahun 60-an. (Wartaputra (1990 dalam Suprapto, 2010)).
Waluy (200dalam Megalina (2009))  menyatakan alasan-alasan yang dapat mendukung kegiatan pengembangan hutan rakyat antara lain:
1.        Hutan rakyat ternyata mampu mendukung pasokan bahan baku kayu bagi industri perkayuan.
2.        Pembangunan hutan rakyat memberikan manfaat yang sangat banyak, baik manfaat sosiaekonomi maupun perlindungan lingkungan (konservasi tanah daair).
3.        Masyaraka Indonesia  pada  umumnya  suda mengena bentuk-bentuk hutarakyat, tetapi petani hutan rakyat pada umumnya masih mempunyai hambatan-hambatan, baik dari segi produksi pengelolaan maupun pengolahan dan pemasaran hasil-hasilnya, sehingga pemanfaatannya belum optimal.
4.        Hak kepemilikan atas lahan hutan rakyat yang jelas akan mendorong petani untuk memanfaatkan, mengelola dan menjaganya dengan lebih baik (terutama di Jawa).
5.        Banyak lahan-lahan pertanian yang sebenarnya tidak cocok untuk usaha pertanian intensif. Di Jawa, lahan yang layak untuk pertanian per penduduk agraris hanya kurandari seperempat hektar (Talkurputra dan Amien, 1998). Pemerintah menganjurkan agar lahan-lahan  yang tidak layak untuk pertanian agar dikembangkamenjadi untuk hutarakyat.
Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi (Dirjen RRL) (1995 dalam Megalina, 2009) menuliskan manfaat pembangunan hutan rakyat adalah sebagai berikut :
1.        Memperbaiki penutupan tanah sehingga akan mencegah erosi percikan.
2.        Memperbaiki peresapan air ke dalam tanah.
3.        Menciptaka iklim  mikro,  perbaika lingkunga da perlindungan sumber air.
4.        Meningkatkan produktifitas lahan dengan berbagai hasil dari tanaman hutarakyat berupa kayu-kayuan.
5.        Meningkatkan pendapatan masyarakat
6.        Memenuhi   kebutuhan   bahan   baku   industri   pengolahan   kayu   dan kebutuhan kayrakyat.
Bentuk hutan rakyat yang dikenal dan dibangun di Indonesia menurut Balai Informasi Pertanian (1982), yaitu :
1.    Hutan rakyat murni, yaitu merupakan hutan murni dengan jenis kayu tertentu karena hanya ditanami satu jenis tanaman kayu-kayuan, contohnya ditanami pinus saja atau sengon saja.
2.    Hutan rakyat campuran, yaitu merupakan hutan campuran yang ditanami lebih dari satu jenis tanaman kayu-kayuan.
3.    Hutan rakyat sistem agroforestry, yang merupakan hutan dengan tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan, tanaman keras, hijauan pakan dan pemeliharaan ternak.
Sistem yang paling cocok untuk hutan rakyat adalah sistem agroforestry dengan tumpang sari. Pada sistem tumpang sari, lahan ini ditanami bersama-sama tanaman keras dan tanaman pertanian.
Ada beberapa pola pengembangan hutan rakyat seperti dikemukan oleh Usman (2001) sebagai Menteri Kehutanan saat itu bahwa, Pemerintah  menyadari  sepenuhnya keterbatasan  yang  ada  serta  potensi  yang  sangat mungkin untuk pengembangan hutan rakyat yang dilaksanakan dengan  beberapa  pola,  yaitu  pola  swadaya,  pola  subsidi,  dan  pola  kemitraan sebagai berikut:
1.    Pola swadaya  adalah  hutan  rakyat  yang  dibangun  oleh  kelompok atau   perorangan  dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Untuk pola ini posisi pemerintah membantu   sepenuhnya   aspek   teknis,   manajemen,   dan pemasaran, sehingga hutan rakyat dapat berkembang dengan baik.
2.    Pola subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Bantuan diberikan oleh pemerintah melalui program penghijauan, padat karya, dan bantuan lainnya, atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
3.    Pola kemitraan adalah hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta/koperasi dengan insentif permodalan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah semua pihak yang terkait saling membutuhkan.

Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia (skripsi dan tesis)



Dalam berbagai literatur terdapat beberapa istilah yang digunakan secara saling bergantian bahkan diantaranya ada yang saling tertukar sebagai padanan kata dari kehutanan masyarakat. Beberapa istilah asing untuk menyatakan kehutanan masyarakat adalah community forestry, social forestry, participatory forestry dan lain sebagainya. Istilah social forestry sering mengacu kepada bentuk kehutanan industrial yang dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal sekitar hutan.
Kartasubrata (1992) yang dikutip oleh Suharjito dan Darusman (1998) memandang bahwa istilah perhutanan sosial dan kehutanan sosial sebagai padanan istilah social forestry. Lokasi pengembangan social forestry sebagian berada pada tanah milik serta tanah negara seperti hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Bentuk-bentuk social forestry yang pernah dilaksanakan di Indonesia diantaranya adalah: (1) hutan Rakyat; (2) hutan Serbaguna atau Kemasyarakatan; (3) perhutanan Sosial yang kemudian menjadi program kerjasama Hutan Rakyat. Bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia dirangkum pada Tabel 2.

Tabel 2. Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia

No.
Nama
Status Lahan
Masa
Keterangan
Pengembangan
1.








Hutan Rakyat
Lahan milik masyarakat
Dimulai sejak tahun 1930-an
Merupakan kegiatan lanjutan yang dimulai Pemerintah Belanda
2.
Hutan Serbaguna/ Kemasyarakatan

Hutan       produksi negara  yang tidak dikonsensikan

Sejak  Repelita ketiga  (antara 1979-1984)
Dikaitkan dengan kegiatan penghijauan
3.
Perhutanan Sosial

Hutan       produksi; Perum Perhutani


Sejak 1986-2001
Pelaksanaan berupa   usahatani tumpangsari
4.
kerjasama hutan   rakyat
Hutan       produksi; Perum Perhutan
2001-sekarang
Lanjutan        dari
Perhutanan Sosial
Sumber: Suharjito dan Darusman (1998)
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) (2016), melalui Peraturan Nomor: P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial, memberikan pengertian perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk: 1) hutan desa, 2) hutan kemasyarakatan, 3) hutan tanaman rakyat, 4) hutan rakyat, 5) hutan adat dan 6) kemitraan kehutanan. Masing-masing bentuk pengelolaan hutan tersebut diberikan pengertian sebagai berikut:
1.    Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
2.    Hutan Kemasyarakatan (Hkm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.
3.    Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.
4.    Hutan Rakyat atau Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
5.    Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.
6.    Kemitraan Kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan.

. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia (skripsi dan tesis)


Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, pemerintah mulai memperhatikan aspek kemasyarakatan sejak diterbitkannya SK Menhut No. 691 tahun 1991 tentang Bina Desa Hutan. Melalui peraturan ini pemerintah berusaha membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik yang berada di dalam maupun disekitar hutan. Keputusan tersebut kemudian direvisi melalui SK Menhut No. 69 Jo SK Menhut No. 523 tahun 1997 yang di dalamnya istilah Bina Desa Hutan diganti dengan istilah Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (Darmawan et al., 2004).
Darmawan et al. (2004) juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat memasuki babak baru dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang didasarkan pada pemikiran bahwa keberpihakan kepada rakyat adalah kunci utama keberhasilan pengelolaan hutan. Dengan demikian, praktek-praktek pengeloaan hutan yang berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan rakyat perlu dirubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan masyarakat. Berbagai peraturan kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia disajikan dalam Tabel 1.



Tabel 1. Berbagai Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia

No
Jenis Peraturan
Nomor dan Tahun
Perihal
1.

Tap MPR

No. IX/MPR/2001

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam
2.
Undang-undang
No. 19 Tahun 2004
Kehutanan (Penetapan PerPPU  No. 1 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU)


3.
Undang-undang
No. 18 Tahun 2013
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
4.
Peraturan Pemerintah
No. 44 Tahun 2004
Perencanaan Kehutanan
5.
Peraturan Pemerintah
No. 45 Tahun 2004
Perlindungan Hutan
6.
Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 2007
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
7.
Peraturan Pemerintah
 No. 3 Tahun 2008
Perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
8.
Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 2010
Penggunaan Kawasan Hutan
9.
Peraturan Pemerintah
No. 12 Tahun 2012
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan
10.
Peraturan Pemerintah
No. 71 tahun 2014
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
11.
Peraturan Pemerintah
No. 105 Tahun 2015
Perubahan kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan
12.
Peraturan Menhut
No. P.55 Tahun 2011 *)
Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
13.
Peraturan Menhut
No. P.31 Tahun 2013 *)
Perubahan atas Permenhut No. P.55 Tahun 2011 Tentang Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat  Dalam Hutan Tanaman
14.
Peraturan Menhut
No. P.39 Tahun 2013 *)
Pemberdayaan Masyarakat Setempat Melalui Kemitraan Kehutanan
15.
Peraturan Menhut
No. P.20 Tahun 2014
Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi
16.
Peraturan Menhut
No. P.88 Tahun 2014 *)
Hutan Kemasyarakatan

17.
Peraturan Menhut
No. P.89 Tahun 2014 *)
Hutan Desa
18.
Peraturan Men LHK
No. P.21 Tahun 2015

Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak
19.
Peraturan Men LHK
No. P.32 Tahun 2015
Hutan Hak
20.
Peraturan Men LHK
No. P.83 Tahun 2016
Perhutanan Sosial (mengganti dan mencabut Permenhut No. *)
Sumber : Rangkuman Penulis
Relevan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di era otonomi daerah, pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi, sedangkan pengelolaan hutan yang bersifat nasional diatur oleh pemerintah pusat. Salah satu pendekatan pengelolaan hutan yang diterapkan di Indonesia adalah pola hutan kerakyatan ataupun hutan kemasyarakatan.