Kepuasan
pelanggan sangat penting untuk suatu perusahaan. Mengingat pelanggan yang puas
akan kembali membeli lagi dalam jumlah yang lebih besar, mereka menyebarkan
pengalaman kepada teman yang ditemui, dan bersedia membayar lebih untuk
berbisnis dengan pemasok/penyedia produk/jasa yang dipercaya. Dengan demikian
upaya mempertahankan pelanggan dalam jangka pendek dapat meningkatkan revenue
dan profit, sedangkan jangka panjang dapat membangun customer loyalty dan
memperkuat brand. Customer Satisfaction Index digunakan untuk
menganalisis tingkat kepuasan responden secara keseluruhan. Statistik
menunjukkan bahwa biaya untuk mempertahankan pelanggan lebih murah dari pada
mencari pelanggan baru. Upaya untuk mempertahankan kepuasan pelanggan salah
satunya adalah memantau apa yang mereka inginkan dari produk/jasa yang
disajikan.
Olah data, Skripsi, Tugas Akhir, Thesis, Makalah. Alamat Utara Ring Road Utara Depok, Sleman - Yogyakarta Buka Senin-Sabtu (Kecuali Tanggal Merah) jam 08:00-15:30 WIB.Buat konfirmasi untuk di luar waktu yang sudah disebutkan Phone: 0813-9327-6096 ; 0853-2570-9995 e-mail : kresnakonsultan1@gmail.com Situs resmi : http://konsultasiskripsi.com/
Tampilkan postingan dengan label Judul Farmasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Judul Farmasi. Tampilkan semua postingan
Minggu, 16 Oktober 2016
Importance Performance Analysis (IPA)
John A. Martilla dan John C. James
mengembangkan sebuah konsep Importance Performance Analysis (IPA) yang
sebenarnya berasal dari konsep Satisfaction Quality.Konsep ini berisi
bagaimana menterjemahkan apa yang diinginkan oleh pelanggan diukur dalam kaitannya dengan apa yang
harus dilakukan oleh penyedia jasa agar menghasilkan produk berkualitas, baik
yang berwujud maupun tidak berujud (Supranto, 2001). Bila pada konsep Satisfaction
Quality hanya menganalisa tentang kesenjangan atau gap yang terjadi antara
keinginan atau harapan pelanggan dengan kinerja yang telah diberikan badan usaha,
pada Importance Performance Analysis kita menganalisa tentang tingkat
kepentingan dari suatu variabel dimata pelanggan dengan kinerja badan usaha
tersebut. Dengan demikian badan usahaakan lebih terarah dalam melaksanakan
strategi bisnisnya sesuai dengan prioritas kepentingan pelanggan yang paling
dominan. Analisa diawali dengan sebuah kuisioner yang disebarkan kepada
pelanggan. Responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan/harapan berbagai
atribut dan kepuasan tingkat kinerja penyedia jasa pada masing-masing atribut
tersebut. Dalam penelitian ini digunakan dua variable X dan Y, dimana X
merupakan tingkat kinerja terhadap layanan yang memberikan kepuasan pelanggan
dan Y merupakan tingkat kepentingan/harapan pelanggan. Dalam hal ini digunakan
lima tingkat Skala Linkert untuk penilaian tingkat kepentingan pelanggan, yang
terdiri dari:
a.
Sangat penting, diberi bobot
5
b.
Penting, diberi bobot 4
c.
Cukup penting, diberi bobot
3
d.
Kurang penting, diberi bobot
2
e.
Tidak penting, diberi bobot
1
Untuk kinerja nyata diberikan lima kriteria penilaian dengan bobot sebagai berikut :
1. Sangat baik diberi bobot 5, yang berarti pelanggan sangat puas
2. Baik diberi bobot 4, yang berarti pelanggan puas
3. Cukup baik diberi bobot 3, yang berarti pelanggan cukup puas
4. Kurang baik diberi bobot 2, yang berarti pelanggan kurang puas
5. Tidak baik diberi bobot 1, yang berarti pelanggan tidak puas
Kemudian nilai rata-rata tingkat kepentingan
dan kinerja perusahaan akan dianalisis di Importance Performance Matrix. Berdasarkan
hasil penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja maka akan
dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian. Berikut ini Gambar 2.3
Importance Performance Matrix:
1
Atribut
untuk
Ditingkatkan
|
2
Atribut
untuk Dipertahankan
|
||
3
Atribut
untuk Dipertahankan
|
4
Atributes
untuk dikurangi
|
|
|
Gambar
2.3. Importance/Performance Matric
Sumber :
Rangkuti (2006)
1. Kuadran pertama (I), memerlukan penanganan yang perlu
diprioritaskan oleh tingkat manajemen karena kepentingan tinggi, sedangkan
tingkat kepuasan rendah.
2. Kuadran kedua (II), menunjukan daerah yang
harus dipertahankan karena tingkat kepentingan tinggi, sedangkan tingkat
kinerja juga tinggi.
3. Kuadran ketiga (III), sebagai daerah
prioritas rendah karena tingkat kepentingan rendah sedangkan tingkat kepuasan
kinerja juga rendah. Pada
kuadran ini terdapat beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya bagi pelanggan. Namun perusahaan harus selalu menampilkan
sesuatu yang lebih baik di antara kompetitor yang lain.
4. Kuadran keempat (IV), dikategorikan sebagai
daerah berlebihan karena terdapat faktor yang bagi pelanggan tidak penting,
akan tetapi oleh perusahaan dilaksanakan dengan sangat baik. Selain itu
dikarenakan tingkat kepentingan rendah sedangkan tingkat kepuasan kinerja
tinggi sehingga bukan menjadi prioritas yang dibenahi.
Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan organisasi jasa yang kompleks, seperti
organisasi-organisasi lainya maka berlaku pulalah prinsip-prinsip umum dari
pembentukan struktur organisasi serta manajemen pengelolaanya. Namun sebagai
suatu organisasi yang bergerak dalam bidang kesehatan tertentu terdapat pula
keunikan dari penyelenggaranya, sehingga membawa pula implikasi manajemen yang
khas, yang dapat dibedakan dari usaha organisasi bisnis (Sumintarja, 2001).
Fungsi rumah sakit adalah mengendalikan dan menyelenggarakan layanan medis
serta penunjang medis. Selanjutnya fungsi rumah sakit adalah pelayanan
perawatan, rehabilitasi, dan pencegahan maupun peningkatan kesehatan. Oleh
karena fungsi rumah sakit sebagai tempat pendidikan dan pelatihan tenaga medis
maupun paramedis, selanjutnya fungsi rumah sakit adalah sebagai tempat
penelitian dan pengembangan teknologi di bidang kesehatan (Soekamto, 1989).
Tujuan utama dari penyelenggaraan rumah sakit adalah memberikan pelayanan
kesehatan optimum kepada customer melalui pengelolaan yang efektif dan efisien
dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi ini. Bila mengacu pada ’Criteria for Performance Exelence’
untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang kompetitif, maka indikator
keberhasilan pelayanan sangat ditentukan oleh keterkaitan antar komponen
manajemen yang saling mempengaruhi (Sumintarja, 2001)
Pengelolaan rumah sakit sehari-hari menjadi wewenang dan tugas direksi
rumah sakit sendiri. Pada dasarnya mungkin kebijaksanaan yang diberikan oleh
pengurus yayasan atau pengurus rumah sakit mungkin sudah baik, dan citra rumah
sakit akan terbentuk oleh pelaksanaan tugas sehari-hari (Sulastomo, 2002). Secara
khusus pelayanan farmasi klinik merupakan wadah untuk meningkatkan peran
apoteker melalui komunikasi, konsultasi dan konseling tentang informasi
penggunaan obat bagi semua pihak di rumah sakit, agar obat serta regimen obat
yang digunakan penderita atau yang paling tepat, aman dan bermanfaat. Melalui
pelayanan ini apoteker menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam menerapkan
ilmu farmesetik dan ilmu biomedis untuk mmbantu penggunaan obat yang aman bagi
penderita pelayanan ini meliputi pelayanan informasi obat, wawancara sejarah
obat penderita, pengelolaan profil pengobatan penderita (p3), kunjungan keruangan,
evaluasi penggunaan (EPO), pemantauan terapi obat, pelayanan gawat darurat,
konseling atau pendidikan penderita, pencampuran sediaan intravena, pelayanan
nutrisi parenteral total, pengendalian infeksi nosokomial, penggunaan
sitotoksik dan bahan berbahaya lain. Berdasarkan kerangka kerja yang kompleks
ini apoteker menjalin relasi kerja dengan staf medik dan perawat, serta para
profesional lainya dirumah sakit (Sumintarja, N. 2001).
Ada empat jenis rumah sakit berdasarkan klasifikasi perumahsakitan di Indonesia
yaitu kelas A, B, C, dan D. Kelas RS yang lebih tinggi (A) mengayomi kelas
rumah sakit yang lebih rendah dan mempunyai pengayoman wilayah yang lebih luas.
Pengayoman dilaksanakan melalui dua sistem rujukan yaitu rujukan kesehatan (berkaitan
dengan upaya promotif dan preventif seperti bantuan tegnologi, bantuan sarana
dan operasionalnya) dan rujukan medik
(berkaitan dengan pelayanan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif).
Dengan berubahnya RS kelas A dan B
menjadi RS swadana, bahkan ada yang menjadi perusahaan jawatan (PERJAN),
manajemen klasik RS di Indonesia sudah mengalami perubahan-perubahan dalam hal
peningkatan profesionalisme staf, tersedianya peralatan yang lebih canggih dan
lebih sempurnanya sistem administrasi RS yang akan bermanfaat untuk peningkatan
mutu pelayanan kesehatan RS.
Di Indonesia dikenal tiga jenis RS sesuai dengan kepemilikan, jenis
pelayanan dan kelasnya. Berdasarkan kepemilikannya, dibedakan tiga mecam RS
pemerintah (RS Pusat, RS Provinsi, RS Kabupaten), RS BUMN/ABRI, dan RS swasta
yang menggunakan dana investasi dari sumber dalam negeri (PMDN) dan sumber luar
negeri (PMA). Jenis RS yang kedua adalah RS umum, RS jiwa, RS khusus (mata,
paru, kusta, rehabilitasi, jantung, kanker, dan sebagainya). Jenis RS yang
ketiga adalah RS kelas A, kelas B (pandidikan dan non pendidikan), RS kelas C,
dan RS kelas D (Kepmenkes No.51 Menkes/ SK/II/1979). Pemerintah sudah
meningkatkan status semua RS Kabupaten menjadi kelas C.
Kelas RS juga dibedakan berdasarkan jenis pelayanan yang tersedia. Pada RS
kelas A tersedia pelayanan spesialistik yang luas termasuk subspesialistik. RS
kelas B mempunyai minimal sebelas spesialistik dan subspesialistik terdaftar.
RS kelas C mempunyai minimal empat spesialistik dasar (bedah, penyakit dalam,
kebidanan, dan anak). Di RS kelas D hanya terdapat pelayanan medis dasar.
Berdasarkan
keputusan Menteri Kesehatan No.134 Menkes/SK/IV/78 th.1978 pasal 4 menyebutkan
bahwa:
a.
Rumah
sakit umum kelas A adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan yang
spesialistik dan subspesialistik yang luas.
b.
Rumah
sakit kelas B adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan spesialistik
yang luas.
c.
Rumah
sakit umum kelas C adalah RSU yang melaksanakan pelayanan kesehatan
spesialistik paling sedikit 4 spesialistik dasar yaitu: penyakit dalam,
penyakit bedah, penyakit kebidanan/kandungan dan kesehatan anak.
Rekam Medik
Kartu rekam medik merupakan salah satu sumber
informasi sekaligus sarana komunikasi yang dibutuhkan oleh penderita, maupun
pemberi pelayanan kesehatan dan pihak terkait lainya (klinis, manajemen,
asuransi) untuk pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan tata laksana atau
tindakan medik (Sari, 2004).
Rekam medik adalah sarana yang
mengandung informasi tentang penyakit dan pengobatan pasien yang tujukan untuk
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Dengan demikian seharusnya
informasi yang dicatat didalam rekam medik harus dapat menjawab pertanyaan
siapa yang dirawat, kapan, dimana, oleh siapa, bagaimana pengobatannya, siapa
yang memberi obat, dan bagaimana reaksinya (Amir, 1997).
Menurut peraturan Menteri Kesehatan, rekam
medik merupakan dokumen milik rumah sakit tetapi data dan isinya adalah milik
pasien. Kerahasiaan isi rekam medik harus dijaga dan dilindungi oleh rumah
sakit. Rekam medik bersifat informatif (Gitawati, 1996)
Penyalahgunaan Obat Tradisional/Tanaman Obat
Sebagaimana halnya obat-obat sintesis, OT/TO pun
seringkali disalah gunakan oleh oknum tertentu baik untuk pemakaian sendiri
maupun ditujukan kepada orang lain dengan maksud-maksdu tertentu. Bila pada
obat-obat sintesis sering diinformasikan adanya penyalah gunaan obat-obat
golongan psikotropika (obat tidur, penenang/tranquilizer), maka pada OT
penyalah gunaan itu juga dilakukan dengan berbagai kasus (Katno, 2003).
Di antaranya yang sering terjadi adalah kasus
penyalah gunaan cara pemakaian (seperti daun ganja, candu untuk dicampur dengan
rokok, seduhan kecubung untuk flay dsb.), juga tujuan pemakaian (misalnya jamu
terlambat bulan dicampur dengan jamu pegel linu untuk abortus) dan yang lebih
luas lagi adalah penyalah gunaan pada proses penyiapan/produksi dengan cara
menambahkan zat kimia tertentu/obat keras untuk mempercepat dan mempertajam
khasiat/efek farmakologisnya sehingga dikatakan jamunya ‘lebih manjur, mujarab,
ces-pleng’ dan lain-lain. Tentu masih segar pada ingatan kita terhadap kasus
jamu yang dicampur obat keras di Cilacap dan banyumas yang kemudian ketahuan
dan dicabut ‘registrasi’nya oleh Badan POM (Kompas, Nov.2001).
Adapun obat-obat keras yang sering ditambahkan pada
jamu/OT antara lain : fenilbutazon, antalgin, deksametason (untuk jamu pegel
linu); parasetamol, CTM, coffein (untuk jamu masuk angin dan sejenisnya);
teofilin, prednison (untuk sesak nafas), furosemid (untuk pelangsing) dan lain
sebagainya. Pada hal zat-zat kimia tersebut bisa menimbulkan dampak negatip
yang membahayakan kesehatan; sebagai contoh fenilbutazon bisa menyebabkan
pendarahan lambung dan merusak hati, antalgin bisa menyebabkan granulositosis
atau kelainan darah dan prednison menyebabkan pembengkakan wajah dan gangguan
ginjal.
Pada kasus lain, ada juga penyalahgunaan OT dengan
cara dioplos bersama produk lain yang beralkohol (seperti konsumsi anggur jamu
yang umumnya dilakukan oleh para remaja). Hal ini bukan hanya menyebabkan
penyakit hati yang parah, tetapi dapat menyebabkan kematian karena dicampur
bahan lain yang berbahaya. Demikian juga dengan minum jamu terlambat bulan pada
dosis berlebih (seperti yang sering dilakukan sebagian remaja putri untuk
abortus).
Efek Samping Tanaman Obat/Obat Tradisional
Kata tradisional
dalam obat tradisional berarti bahwa segala aspeknya (jenis bahan, cara
menyiapkan, takaran serta waktu dan cara penggunaan) harus sesuai dengan
warisan turun-temurun sejak nenek moyang kita. Penyimpangan terhadap
salah satu aspek kemungkinan dapat menyebabkan ramuan OT tersebut yang asalnya
aman menjadi tidak aman atau berbahaya bagi kesehatan. Pada hal jika
diperhatikan, seiring perkembangan jaman banyak sekali hal-hal tradisional yang
telah bergeser mengalami penyempurnaan agar lebih mudah dikerjakan ulang oleh
siapapun. Misalnya tentang peralatan untuk merebus jamu, dulu masih menggunakan
kwali dari tanah liat sekarang sudah beralih ke panci dari aluminium, untuk
menumbuk sudah menggunakan alat-alat dari logam dan tidak lagi menggunakan alu
dari kayu atau batu, dan lain sebagainya. Disamping itu perlu disadari pula
bahwa memang ada bahan ramuan OT yang baru diketahui berbahaya, setelah
melewati beragam penelitian, demikian juga adanya ramuan bahan-bahan yang
bersifat keras dan jarang digunakan selain untuk penyakit-penyakit tertentu
dengan cara-cara tertentu pula (Katno, 2003).
Secara toksikologi bahan yang berbahaya adalah
suatu bahan (baik alami atau sintesis, organik maupun anorganik) yang karena
komposisinya dalam keadaan, jumlah, dosis dan bentuk tertentu dapat
mempengaruhi fungsi organ tubuh manusia atau hewan sedemikian sehingga
mengganggu kesehatan baik sementara, tetap atau sampai menyebabkan kematian.
Suatu bahan yang dalam dosis kecil saja sudah menimbulkan gangguan, akan lebih
berbahaya daripada bahan yang baru dapat mengganggu kesehatan dalam dosis
besar. Akan tetapi bahan yang aman pada dosis kecil kemungkinan dapat berbahaya
atau toksis jika digunakan dalam dosis besar dan atau waktu lama, demikian juga
bila tidak tepat cara dan waktu penggunaannya.
Jadi tidak benar, bila dikatakan OT/TO itu tidak
memiliki efek samping, sekecil apapun efek samping tersebut tetap ada; namun
hal itu bisa diminimalkan jika diperoleh informasi yang cukup. Ada beberapa contoh, antara lain mrica
(Piperis sp.) pada satu sisi baik untuk diabetes, tetapi mrica juga berefek
menaikkan tekanan darah; sehingga bagi penderita diabet sekaligus hipertensi
dianjurkan tidak memasukkan mrica dalam ramuan jamu/OT yang dikonsumsi. Kencur
(Kaempferia galanga) memang bermanfaat menekan batuk, tetapi juga berdampak
meningkatkan tekanan darah; sehingga bagi penderita hipertensi sebaik-nya tidak
dianjurkan minum beras-kencur. Demikian juga dengan brotowali (Tinospora sp.)
yang dinyatakan memiliki efek samping dapat mengganggu kehamilan dan menghambat
pertumbuhan plasenta.
Walaupun demikian efek samping TO/OT tentu tidak bisa
disamakan dengan efek samping obat modern. Pada TO terdapat suatu mekanisme
yang disebut-sebut sebagai penangkal atau dapat menetralkan efek samping
tersebut, yang dikenal dengan SEES (Side
Effect Eleminating Subtanted). Sebagai contoh di dalam kunyit terdapat
senyawa yang merugikan tubuh, tetapi di dalam kunyit itu juga ada zat anti
untuk menekan dampak negativ tersebut. Pada perasan air tebu terdapat senyawa
Saccharant yang ternyata berfungsi sebagai antidiabetes, maka untuk penderita
diabet (kencing manis) bisa mengkonsumsi air perasan tebu, tetapi dilarang
minum gula walaupun gula merupakan hasil pemurnian dari tebu. Selain yang telah
disebutkan diatas, ada beberapa tanaman obat/ramuan yang memang berefek keras
atau mempunyai efek samping berbahaya terhadap salah satu organ tubuhKelebihan Dan Kelemahan Obat Tradisional / Tanaman Obat
a.
Kelebihan Obat Tradisional
Dibandingkan obat-obat modern, memang OT/TO memiliki beberapa kelebihan,
antara lain : efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu ramuan dengan
komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu tanaman memiliki
lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakit-penyakit
metabolik dan degeneratif (Katno, 2003).
1)
Efek samping OT relatif kecil bila digunakan secara
benar dan tepat OT/TO akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat,
baik takaran, waktu dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan
indikasi tertentu.
2)
Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam
ramuan obat tradisional/komponen bioaktif tanaman obat Dalam suatu ramuan OT
umumnya terdiri dari beberapa jenis TO yang memiliki efek saling mendukung satu
sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Formulasi dan komposisi ramuan
tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi, bahkan
harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang
dikehendaki.
Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu
formulasi terdiri dari komponen utama sebagai unsur pokok dalam tujuan
pengobatan, asisten sebagai unsur pendukung atau penunjang, ajudan untuk
membantu menguatkan efek serta pesuruh sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam
formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis TO sehingga komposisi
OT lazimnya cukup komplek.
Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan,
seringkali masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai
Stabilisator dan Solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi
menstabilkan komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk
menambah kelarutan zat aktif.
3)
Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek
farmakologi Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder,
sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga
memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi.
Efek tersebut adakalanya saling mendukung (seperti
pada herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling
berlawanan atau kontradiksi. Seperti pada akar kelembak (Rheum officinale) yang
telah diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non polar dan berfungsi
sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa tanin
yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa
menyebabkan konstipasi untuk menghentikan diare. Lain lagi dengan buah mengkudu
(Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat untuk
pengobatan berbagai macam penyakit.
Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan
keunggulan produk obat alam / TO/ OT; tetapi disisi lain merupakan bumerang
karena alasan yang tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan
formal. Terlepas dari itu semua, sebenarnya merupakan ‘lahan subur’ bagi para
peneliti bahan obat alam untuk berkiprah memunculkan fenomena ilmiah yang bisa
diterima dan dipertangungjawabkan kebenaran, keamanan dan manfaatnya.
4)
Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit
metabolik dan degeneratif Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di
Indonesia (bahkan di dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi
(yang terjadi sekitar tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik
degeneratif (sesudah tahun 1970 hingga sekarang).
Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat
ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu
dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam pengobatan
dan peningkatan kesejahteraan umat manusia. Pada periode sebelum tahun 1970-an
banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan penanggulangan secara cepat
dengan mengunakan antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya
mengunakan OT atau Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan
pengobatannya tidak efektif.
Sebaliknya pada periode berikutnya hinga sekarang
sudah cukup banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang potensinnya lebih
tinggi sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi. Akan tetapi
timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik, melainkan oleh
gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis makanan yang tidak
terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit
ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan degeneratif,yang termasuk
penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing manis), hiperlipidemia
(kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit
degeneratif diantaranya : rematik (radang persendian), asma (sesak nafas),
ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory).
Untuk menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakain obat dalam waktu lama
sehinga jika mengunakan obat modern dikawatirkan adanya efek samping yang
terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan.
Oleh karena itu lebih sesuai bila menggunakan obat
alam/OT, walaupun penggunaanya dalam waktu lama tetapi efek samping yang
ditimbulkan relatif kecil sehingga dianggap lebih aman.
b.
Kelemahan Produk Obat Alam / Obat Tradisional
Disamping berbagai keuntungan, bahan obat alam juga memiliki beberapa
kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional
(termasuk dalam upaya agar bisa diterima pada pelayanan kesehatan formal).
Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain : efek farmakologisnya yang
lemah, bahan baku
belum terstandar dan bersifat higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji
klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme (Katno, 2003).
Menyadari akan hal ini maka pada upaya pengembangan OT ditempuh berbagai
cara dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sehingga ditemukan bentuk OT yang
telah teruji khasiat dan keamanannya, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah
serta memenuhi indikasi medis; yaitu kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka
Akan tetapi untuk melaju sampai ke produk fitofarmaka, tentu melalui beberapa
tahap (uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa menjawab dan
mengatasi berbagai kelemahan tersebut.
Efek farmakologis yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar senyawa
aktif dalam bahan obat alam serta kompleknya zat balast/senyawa banar yang umum
terdapat pada tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan ekstrak terpurifikasi,
yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-senyawa yang
berguna dan membatasi sekecil mungkin zat balast yang ikut tersari.
Sedangkan standarisasi yang komplek karena terlalu banyaknya jenis
komponen OT serta sebagian besar belum diketahui zat aktif masing-masing
komponen secara pasti, jika memungkinkan digunakan produk ekstrak tunggal atau
dibatasi jumlah komponennya tidak lebih dari 5 jenis TO. Disamping itu juga
perlu diketahui tentang asal-usul bahan, termasuk kelengkapan data pendukung
bahan yang digunakan; seperti umur tanaman yang dipanen, waktu panen, kondisi
lingkungan tempat tumbuh tanaman (cuaca, jenis tanah, curah hujan, ketinggian
tempat dll.) yang dianggap dapat memberikan solusi dalam upaya standarisasi TO
dan OT. Demikian juga dengan sifat bahan baku
yang higroskopis dan mudah terkontaminasi mikroba, perlu penanganan pascapanen
yang benar dan tepat (seperti cara pencucian, pengeringan, sortasi, pengubahan
bentuk, pengepakan serta penyimpanan).
Pemanfaatan Obat Tradisional
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia melalui Direktorat Pengawasan Obat Tradisional membagi obat
tradisional menjadi Golongan Jamu dan Golongan Obat Fitoterapi. Selain itu terdapat
kelompok tumbuhan yang disebut TOGA (Taman Obat Keluarga) yang dulu disebut
Apotik Hidup. Terhadap obat tradisional (jamu), pemerintah belum mengeluarkan
persyaratan yang mantap, namun dalam pembinaan jamu, pemerintah telah
mengeluarkan beberapa pe-tunjuk yakni sebagai berikut (Santosa, 1989):
a. Kadar air tidak lebih dari 10%. Ini untuk mencegah ber-kembang biaknya
bakteri, kapang dan khamir (ragi).
b. Jumlah kapang dan khamir tidak lebih dari
10.000 (se-puluh ribu).
c. Jumlah bakteri nonpatogen tidak lebih dari
1.000.000 (1 juta).
d. Bebas dari bakteri patogen seperti
Salmonella.
e. Jamu yang berbentuk pil atau tablet, daya
hancur tidak lebih dari 15 menit (menurut Farmakope Indonesia). Toleransi
sampai 45 menit.
f. Tidak boleh tercemar atau diselundupi
bahan kimia ber-khasiat.
Meskipun penelitian Obat
Tradisional di Indonesia belum tuntas, namun sejak dulu masyarakat telah
menggunakan jamu dengan berbagai indikasi atau kegunaannya, oleh karena itu
jamu pun perlu diteliti manfaat dan mudaratnya. Sebagian bersifat sebagai
plasebo saja namun sebagian lagi mungkin mempunyai manfaat tertentu. Sebagai
ilmuwan hendaknya kita harus bersikap di tengah-tengah sampai secara obyektif
dapat dibuktikan bahwa suatu jamu memang benar mem-punyai manfaat atau
sebaliknya.
Masalah efek samping akibat
jamu harus selalu dipantau. Apakah hal ini akibat jamunya atau akibat zat kimia
yang dicemarkan atau dicampurkan ke dalam jamu supaya cepat terasa efeknya,
sebagai contoh misalnya androgen atau korti-kosteroid dalam jamu nafsu makan. Adanya
diazepam dalam jamu saraf atau HCT dalam jamu tekanan darah tinggi
(hiper-tensi) dapat saja menimbulkan efek samping yang mungkin serius karena
dipakai terus-menerus.
Obat Tradisional
Departemen Kesehatan RI
mendefinisikan obat tradisional sebagai berikut: "Obat Tradisional adalah bahan
atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat. " (UU No 36 Tahun 2009). Sebagian besar obat
tradisional Indonesia hanya dibuat dari simplisia nabati.
Badan POM dalam arah
pengembangan obat alami membagi 3 kelompok secara berjenjang yaitu jamu, herbal
terstandar dan fitofarmaka (BPOM, 2005).
a. Jamu merupakan obat yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dan atau sediaan galeniknya atau campuran dari
bahan-bahan tersebut yang dipergunakan berdasarkan pengalaman dan uapaya hidup
sehat.
b. Obat herbal terstandar
adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan
baku nya telah di standarisasi.
Saat
ini terdapat 17 jenis obat tanaman yang masuk kategori obat terstandar, yaitu
diabmeneer, diapet, kiranti (obat datang bulan), fitogaster, fitolac, lelap dan
lain sebagainya.
c.
Fitofarmaka
merupakan sediaan obat yang berasal dari simplisia atau sediaan galeniknya yang telah jelas keamanan dan
khasiatnya. Dengan demikian,
sediaan tersebut terjamin keseragaman komponen aktif, keamanan, dan khasiatnya.
Contoh dari fitofarmaka adalah Stimuno:
Uji Aktivitas antibakteri
Pada uji aktivitas
antibakteri yang diamati adalah ada tidaknya daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri uji. Pada uji aktivitas
antibakteri 2 metode yang digunakan yaitu metode difusi dan metode dilusi.
1.
Metode dilusi
Pengujian cara ini dilakukan dengan
mencampur zat antibakteri dalam konsentrasi yang bervariasi dalam media yang
kemudian diinokulasi dengan bakteri. Bahan obat atau antibakteri yang akan
diuji diencerkan dengan menggunakan media cair berturut-turut pada tabung yang
disusun dalam satu deret sampai pada konsentrasi yang dikehendaki.
Kemudian masing-masingtabung
tersebut diinokulasi denga bakteri. Kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama
18-24 jam. Metode ini menetapkan jumlah terkecil zat antibakteri yang
dibutuhkan untukmenghambat pertumbuhan bakteri seca in vitro yang disebut
sebagai Konsentrasi Hambat Minimal.
2.
Metode Difusi
Kerja antibakteri suatu zat dapat
ditetapkan antara laindengan cara mengukur diameter zona hambatan bakteri uji
sekitar pencadangan yang berisi zat anti bakteri, semakin besar aktivitas
bakteri maka zona hambatan akan semakin besar. Penguujian antimikroba dapat
dilakukan dengan teknik difusi agar.
Teknik difusi
dapat dilakukan sebagai berikut :
1.
Cara cakram
Cara ini menggunakan kertas cakram
dengan diameter 6 mm yang diberi zat antibakteri, kemudian diletakkan pada
permukaan agar yang telah diinokulasi dengan bakter uji dan diinkubasi pada
suhu 37°C selama 24-48 jam. Diamati ada tidaknya zona hambat di sekeliling
cakram
2.
Cara silinder
Cara ini menggunakan tabung
silinder dengan diameter 6 mm yang
diletakkan pada permukaan agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji,
kemudian diisi dengan larutan yang mengandung zat antibakteri yang akan diuji
dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24-48 jam. Diamati ada tidaknya zona
hambat di sekeliling selinder.
3.
Cara sumur
Cara ini dilakukan dengan cara
membuat lubang berdiameter 5-8 mm pada medium agar yang telah diinokulasidengan
bakteri uji, kemudian lubang yang terbentuk diisi dengan larutan yang telah
mengandung zat antibakteri yang akan
diuji dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24-48 jam. Diamati ada tidaknya zona
hambat di sekeliling sumur.(31)(32)
Penentuan Aktivitas Antibakteri
Pembacaan percobaan
denga metode difusi berdasarkan atas besarnya zona hambat yang terbentuk hambat
yang terbentuk dan dinyatakan dalam 3 katagori.
a.
Zona hambat total, bila zona hambat yang
terbentuk disekitar cakram/silinder terlihat jelas.
b.
Zona hambat parsial, bila zona hambat
terbantuk masih terlihat adanya pertumbuhan beberapa koloni bakteri
c.
Zona hambat total, bila tidak ada zona
hambat yang terbentuk disekeliling cakram/silinder.
Hasil pengamatan yaitu berupa
diameter daerah hambat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi
bakteri pada inoculum, ketebalan agar, suhu inkubasi dan pembacaan diameter
daerah hambat. (35)
Faktor-faktor yang mempengaruhi
aktivitas antibakteri secara in vitro yaitu pH lingkungan, besarnya inoculum,
waktu inkubasi, aktivitas metabolic mikroorganisme, suhu, media, perbenihan. (33)
Antibiotika
Antibiotika adalah
metabolic sekunder yang dihasilkan suatu organisme tertentu dalam jumlah kecil
dapat menghambat atau membasmi mikroorganisme lain.
Suatu zat antibiotik kemoterapeutik
yang ideal hendaknya memiliki sifat sebagai berikut :
a.
Harus mempunyai kemampuan unruk merusak
atau menghambat mikroorganisme patogen spesifik. Antibiotic berspektrum luas
efektif terhadap banyak spesies.
b.
Tidak menimbulkan efek samping yang
tidak dikehendaki pada inang bseperti alergi, kerusakan pada syaraf, iritasi
pada ginjal atau gastrointestinal.
c.
Dapat diberikan melalui oral tanpa
diinaktikan oleh asam lambung atau melalui suntikan (parenteral) tanpa terjadi
pengikatan dengan protein darah.
Berdasarkan mekanisme kerjanya,
antibiotika terbagi dalam 5 kelompok :
a.
Mengganggu metabolisme sel bakteri,
contoh : rifampisin, sulfonamide
b.
Menghambat sintesis dinding bakteri,
contoh : sefalosporin, vankomisin, penisilin.
c.
Menggangu permaebilitas membrane sel
bakteri, contoh : nistatin, polimiskin.
d.
Menghambat sintesis protein bakteri,
contoh : tetrasiklin, kloramfenikol.
e.
Menghambat sintesis atau merusak asam
nukleat sel mikroba, contoh : Rifamisin
Antibakteri
Antibakteri
adalah obat yang dapat membunuh mikroorganisme, yaitu bakteri. Obat yang
digunakan untuk membasmi bakteri penyebab penyakit infeksi pada manusia,
antibakteri harus memiliki sifat toksisitas selekstif setinggi mungkin, artinya
obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk bakteri, tetapi relative tidak
toksik untuk hospes.
Antibakteri
yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik, sedangkan
yang bersifat membunuh bakteri disebut bakterisida. Kadar minimal yang
diperlukan untuk menghambat/ membunuh bakteri, masing-masing dikenal sebagai
Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) (32)(33).
Ekstraksi
2.1.
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan
padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat
mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya.
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu bahan dari campurannya, ekstraksi
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ekstraksi menggunakan pelarut didasarkan
pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Ekstraksi
tumbuhan adalah proses penarikan zat aktif dalam tumbuhan dengan menggunakan
pelarut tertentu. Senyawa atau kandungan dalam tumbuhan memiliki kelarutan
berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Pelarut-pelarut yang biasa digunakan
antara lain: kloroform, eter, aseton, alkohol, metanol, etanol dan etil asetat.
Untuk mendapatkan ekstrak yang
diinginkan dengan pelarut, dengan beberapa metode sebagai berikut :
1.
Cara dingin
a.
Maserasi
Maserasi
adalah proses pengekstrakan simplisiadengan menggunakan pelarut dengan beberapa
kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruangan (kamar). Secara teknologi
termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapain konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan dengan pengadukan kontinyu
(terus menerus). Remaserasi berarti berarti dilakukan pengulangan penambahan
pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya.
b.
Perkolasi
Perkolasi
adalah ekstraksi dengan pelarut umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahapan perkolasi
sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak, terus menerus sampai diperoleh ekstrak (Perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali
bahan.
2.
Cara panas
a.
Refluks
Refluks
adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya, selama waktu tertentu
dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan pendingin balik.
Umumnya dilakukan pengulangan proses pada sisa pertama samapi 3-5 kali hingga
dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
b.
Soxletasi
Soxletasi
adalah ekstraksi menggunakan pe;arut yang selalu baru yang umumnya dilakukan
dengan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan
jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c.
Digesti
Digesti
adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada suhu yang lebih
tinggi dari suhu ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada suhu
40°-50°C.
d.
Infus
Infus
adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air bejana infus
tercelup dalam penangas air mendidih, suhu terukur 96°-98°C selama waktu
tertentu (15-20 menit).
e.
Dekok
Dekok adalah
infus pada waktu yang lebih dari 30 menit dan suhu 96°-98°C sampai titik didih
(29)
Langganan:
Postingan (Atom)