Tampilkan postingan dengan label Ilmu Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Politik. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Juni 2022

Teori Desentralisasi (skripsi, tesis, disertasi)

Sejalan dengan semakin besarnya ketidakpuasan masyarakat akibat praktik sistem pemerintahan dengan sistem perencanaan ekonomi tersentralisasi, memasuki akhir dekade 1990-an, semakin banyak pemerintahan di negara-negara berkembang menerapkan agenda desentralisasi yang dipilih sejalan dengan proses reformasi di negara-negara tersebut. Kajian sejumlah ahli administrasi publik, seperti ditulis Odd-Helge Fjeldstad157 menjelaskan, pelaksanaan agenda desentralisasi bertujuan untuk lebih mendorong partisipasi masyarakat dalam konteks kepemerintahan yang demokratis. Melalui agenda desentralisasi, pemerintah daerah diasumsikan lebih dekat menjangkau masyarakat sehingga diharapkan mudah mengidentifikasi kebutuhan rakyatnya agar memberikan pelayanan publik yang lebih memuaskan.158 Rondinelli, seperti dikutip Mugabi,159 mengartikan desentralisasi sebagai pelimpahan atau transfer kewenangan politik dan hukum untuk merencanakan, membuat keputusan dan mengelola fungsi-fungsi publik. Pelimpahan kewenangan tersebut diberikan dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya kepada lembaga-lembaga pelaksana lain di lapangan, yang mencakup: unit lembaga subordinatif pemerintah (sub-ordinate units of government), lembaga publik semiotonom (semi-autonomous public corporations), otoritas pengembangan sebuah wilayah (area wide or regional development authorities), otoritas lembaga fungsional (functional authorities), pemerintah daerah otonom (autonomous local government), atau organisasi non pemerintah (non governmental organizations). Desentralisasi juga didefinisikan sebagai penugasan (assignment), pelimpahan (transfer) atau pendelegasian tanggungjawab aspek politik, administratif dan keuangan (fiscal) pada tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Berdasarkan atas kajian Rondinelli dan UNDP, Mugabi membagi desentralisasi menjadi empat tipe, yaitu: dekonsentrasi, delegasi, devolusi, dan divestasi (privatisasi), yang dijelaskan lebih rinci pada  Konsep desentralisasi, menurut Hoessein, pada hakekatnya sama dengan proses otonomisasi lebih luas ke daerah yang diberikan kepada masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi menjadi sebuah daerah otonom sehingga instrumen desentralisasi dipandang sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat

Teori Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Pergeseran paradigma pengelolaan pemerintahan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintahan telah menjadi fenomena global sejak awal dekade 1970-an, ketika para ilmuwan mengangkat hal tersebut menjadi agenda internasional penting untuk mendapatkan solusi. Ditinjau dari pendekatan teori governance yang mengkaji secara makro proses-proses perubahan dalam kepemerintahan, krisis disebabkan akibat kuatnya hegemoni atau pengaruh negara atas segala aspek kehidupan, termasuk dalam urusan pelayanan publik yang berkembang semakin kompleks.   Model pemerintahan tradisional yang menggambarkan pendekatan paradigma administrasi publik lama, seperti diuraikan Wahab, dicirikan dengan struktur pemerintahan vertikal, birokrasi yang kental, dan wataknya yang intervensionis. Kondisi ini menyebabkan pemerintahan gagal mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sehingga memunculkan ketidakpuasan masyarakat. Fenomena tersebut kemudian mendorong para ilmuwan administrasi publik melaksanakan berbagai kajian untuk menghasilkan sejumlah model pemerintahan baru agar dapat mengkoreksi model pemerintahan tradisional tersebut. Melalui buku: “The Spirit of Public Administration”, Frederickson tercatat sebagai salah seorang pelopor yang menekankan pendekatan administrasi publik tidak boleh bebas nilai tetapi harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Pendekatan administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity), masalah kewarganegaraan (citizenship), dan etika (ethics) sehingga mengubah pola pikir lama yang menghambat terciptanya keadilan sosial.  Sejumlah pakar ilmu administrasi sebelumnya telah mengembangkan administrasi publik sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, antara lain dengan membentuk Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 dengan tujuan melaksanakan studi perbandingan administrasi publik. Anggota CAG terdiri atas para pakar administrasi publik, antara lain: John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah kemudian muncul konsep administrasi pembangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru, yang salah satunya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tuntutan pembangunan administrasi di negara-negara berkembang.   Pemikiran baru administrasi publik terus berkembang akibat pengaruh nilai-nilai demokrasi, antara lain konsep partisipasi seperti dikemukakan Montgomery dalam Kartasasmita117, yang menempatkan administrasi tidak terisolasi melainkan tetap berada di tengah-tengah masyarakatnya. Selain menempatkan administrasi publik sebagai instrumen demokrasi, pemikiran ini menggunakannya sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat termasuk masyarakat bawah dan termarginalisasi. Sistem administrasi publik sekaligus memiliki dimensi ruang dan waktu dimana penyelenggaraannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Sejak dekade 1980-an, seperti hasil kajian Dahrendorf, World Development Report,120 dan Wahab,  ada tuntutan politik yang menghubungkan pemberian pelayanan publik yang semakin baik kepada sebagian besar masyarakat merupakan salah satu tolok ukur legitimasi kredibilitas sekaligus kapasitas politik pemerintah di mana pun.  Di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya misalnya, ada kecenderungan sikap skeptis yang mempertanyakan peran pemerintah dalam menjalankan kegiatan akivitas pelayanan publik.  Upaya-upaya reformasi administrasi pemerintahan di AS terus dilaksanakan secara luas, baik menyangkut masalah struktural maupun berkaitan dengan masalah perubahan kinerja. Hal ini terus berlanjut memasuki dekade 1990, baik di level nasional, negara bagian, dan pemerintah daerah. Ukuran organisasi kepemerintahan terus mengalami pengurangan yang dilaksanakan seiring kegiatan privatisasi. Fenomena di Amerika Serikat tersebut antara lain dijelaskan oleh Osborne dan Gabler dalam buku: “Reinventing Government,” yang menekankan pentingnya perubahan paradigma pengelolaan pemerintahan; serta Osborne dan Plastrik melalui buku: “Banishing Bureaucracy. The Five Strategies for Reinventing Government.

Strategi Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)

 Berbeda dengan Caiden yang meletakkan dasar-dasar konseptual reformasi administrasi, Dror menjelaskan aspek strategi adanya berkelanjutan antara perbaikan administrasi (administrative improvement) dengan reformasi administrasi (administrative reforms). Dror mengartikan reformasi administrasi sebagai: “Directed change of main features of administrative system.” Batasan ini berguna sebagai landasan implementasi reformasi administrasi dalam kebijakan publik.  Sejumlah perubahan kebijakan publik dikategorikan reformasi administrasi, menurut Dror, jika merupakan upaya pembangunan strategi secara sadar terhadap sejumlah faktor utama dalam sebuah sistem administratif. Penekanan terhadap ‘kesadaran’ inilah yang membedakan reformasi administrasi dengan perubahan administrasi secara inkrimental sebagai jawaban atas perubahan sosial. Batasan reformasi administrasi dengan perubahan administrasi lebih berkaitan dengan adanya perubahan karakteristik utama (main features) dari sistem administrasi. Reformasi administrasi secara umum diharapkan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kebijakan publik berkaitan dengan sejumlah karakteristik sistem administrasi yang berlaku. Dror  menjelaskan masing-masing karakteristik sistem administrasi tersebut memiliki efektivitas dan efisiensi berbeda jika dikaitkan dengan maksud untuk meraih tujuan yang berbeda. Oleh karena itu, berdasarkan atas tujuan yang akan dicapai dalam proses reformasi administrasi,  Dror membuat enam kluster strategi reformasi administrasi.  Pertama, menghasilkan efisiensi administrasi, dapat diukur dari aspek penghematan nilai uang, misalnya melalui penyederhanaan prosedur, perubahan prosedur, pengurangan duplikasi proses, dan pendekatan yang sama dalam organisasi dan metodenya. Kedua, mengurangi praktik yang memperlemah reformasi administrasi (seperti: korupsi, kolusi, favouritism dan lain-lain). Ketiga, merubah komponen utama sistem administrasi untuk menghasilkan kondisi ideal, misalnya menerapkan merit system dalam kepegawaian, menerapkan sistem anggaran berbasis program, membangun bank data, dan sebagainya. Keempat, menyesuaikan sistem administrasi untuk mengantisipasi efek perubahan sosial akibat modernisasi atau peperangan. Kelima, membagi secara jelas antara pegawai pada sistem administrasi dengan sistem politik, misalnya mengurai kekuasaan birokrat atau aparat pemerintah pada level senior sehingga lebih patuh pada proses politik. Keenam, merubah hubungan antara sistem administrasi dengan seluruh atau sebagian dari komponen masyarakat, misalnya melalui strategi desentralisasi, demokratisasi, dan partisipasi. Pemilihan strategi reformasi administrasi di atas membutuhkan sebuah sistem pembuatan kebijakan yang berkualitas tinggi. Ada tiga alasan utama. Pertama, reformasi administrasi membutuhkan pegawai berkualitas sehingga potensi melakukan kesalahan dikurangi. Kedua, reformasi administrasi memerlukan kemampuan untuk memilih strategi yang tepat di antara banyaknya alternatif strategi yang ada, yang masing-masing dilandasi dengan perbedaan nilai (value), kepentingan (interest) organisasi, dan kepribadian (personalities). Pilihan strategi tersebut erat kaitannya dengan penghitungan biaya politik, mencakup bagaimana mempertahankan koalisi, bagaimana mendapatkan dukungan proses rekrutmen, partisipasi dan sebagainya. Ketiga, reformasi administrasi cenderung mendorong terjadinya kekakuan sistem yang lebih besar (over rigidity) kecuali jika strategi yang dipilih tersebut benar-benar flexible, antara lain dengan kemampuan membangun rencana kontigensi secara jelas Pelaksanaan agenda reformasi administrasi publik diharapkan mencapai tujuan pembangunan yang berkaitan dengan aspek pemerataan pertumbuhan, pengurangan kemiskinan, dan menciptakan perdamaian dan stabilitas di tengah masyarakat karena administrasi publik dijadikan sebagai wahana untuk mempertemukan antara kepentingan pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta.107 UNDP108 lebih jauh menjelaskan: “Reformasi administrasi adalah perubahan yang sangat komprehensif pada berbagai bidang, meliputi struktur organisasi, desentralisasi, manajemen pegawai, keuangan publik, manajemen berbasis hasil, reformasi peraturan dan sebagainya. Juga mencakup reformasi perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik.” Berkaitan dengan perubahan kajian administrasi publik mulai dekade 1980-an, ada kecenderungan untuk mengarahkan administrasi publik tidak semata-mata menghasilkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik oleh negara tetapi juga menjamin adanya distribusi kesempatan yang lebih setara (baik politik, ekonomi, sosial dan budaya) di masyarakat serta mendorong tercapainya pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Disimpulkan bahwa strategi reformasi administrasi tidak hanya bertujuan untuk mendorong tercapainya modernisasi institusi sehingga mengefisienkan biaya pelayanan publik, namun lebih jauh mendorong kemitraan dinamis antara negara, masyarakat sipil, dan sektor bisnis untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Itu tercapai dengan adanya sistem yang meningkatkan tanggungjawab dan menjamin adanya partisipasi lebih luas dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pemberian mekanisme umpan balik untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik. Kajian administrasi publik adalah multi disiplin dan kompleks. Dror mengeksplorasi sejumlah batasan (boundaries) yang dijadikan cara untuk memahami pengembangan strategi reformasi administrasi. Beberapa keterbatasan perlu diperhatikan dalam melaksanakan strategi reformasi administrasi mencakup empat hal.  Pertama, aspek politisi dan institusi politik, artinya untuk mencapai sasaran reformasi administrasi dalam proses kebijakan publik maka antara pejabat administrasi dan politisi perlu memiliki kesamaan kemampuan dan kesepahaman untuk mencapai perubahan yang dituju secara keseluruhan. Kedua, keterbatasan menyangkut kesiapan institusi akademis berkaitan dengan kemampuan institusi tersebut untuk menyediakan dan membangun pejabat publik yang berkualitas. Ketiga, keterbatasan institusi hukum (legal), untuk mengontrol kepatuhan administrasi, khususnya berkaitan dengan jaminan hak-hak individual, dan menegakkan aturan berkaitan dengan norma, nilai dan etika, misalnya sanksi kriminal berkaitan dengan praktik korupsi. Terakhir, keterbatasan pada pembangunan institusi publik, misalnya kekosongan sistem data pengumpulan pajak, kekosongan sistem pengambilan keputusan yang melibatkan publik dalam pengambilan keputusan kebijakan publik dan sebagainya. Berkaitan dengan pilihan strategi reformasi yang tepat untuk dilaksanakan di sebuah negara, Hahn-Been Lee mengkategorisasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) reformasi prosedural yang bertujuan untuk meningkatkan tatanan kemasyarakatan, 2) reformasi teknik yang bertujuan untuk meningkatkan metode administrasi, dan 3) reformasi programatis yang bertujuan meningkatkan kinerja administrasi. Reformasi administrasi yang bertujuan untuk meningkatkan tatanan kehidupan masyarakat (improved order) biasanya terjadi di negara-negara yang baru saja mengalami pergantian pemerintahan secara cepat dan drastis akibat pergantian rezim, misalnya negara yang baru merdeka dari proses kolonisasi, sehingga perlu adanya tatanan administrasi pemerintahan baru yang dapat menjamin tatanan masyarakat lebih stabil. Untuk memperbaiki tatanan masyarakat tersebut maka jenis reformasi administrasi yang dilaksanakan berupa reformasi prosedural dengan merancang prosedur rutin pemerintahan untuk menjalankan pembangunan.

Dimensi Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)

Reformasi administrasi memiliki pengertian berbeda tergantung sistem politik yang berlaku di tiap negara. Di negara maju, reformasi administrasi bermakna proses perubahan struktur dan prosedur administrasi dalam pelayanan publik, karena organisasi yang melaksanakan pelayanan publik memiliki batasan yang jelas dengan lingkungan sistem sosial dan politik yang ada. Di negara berkembang, reformasi administrasi mencakup konteks yang lebih luas karena bisa berarti proses modernisasi dan perubahan kemasyarakatan akibat proses transformasi nilai-nilai sosial ekonomi masyarakat.93 Akibat luasnya arti reformasi administrasi, untuk mengkajinya, Chau94 membatasi perspektif kajian sistem dalam tiga dimensi, yaitu: 1) organisasi, 2) institusi, dan 3) sumberdaya manusia (human resources). Mengkaji reformasi administrasi dari sudut pandang organisasi95 artinya proses perubahan administrasi pemerintahan didekati melalui perubahan organisasi untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Instrumen reorganisasi administrasi publik antara lain melalui desentralisasi, privatisasi, atau contracting out. Tugas pemerintah lebih diarahkan dalam fungsi kontrol dan koordinasi dibandingkan tugas pengelolaan sehari-hari tugas pelayanan publik. Peter dalam Farazmand96 mengasumsikan pendekatan model lingkungan sebagai model bottom-up, jika pemerintah dan sistem administrasinya (strukturnya), harus beradaptasi secara dinamis dengan lingkungan (ekonomi, politik, dan sosial), sehingga dapat dijamin eksistensinya secara berkelanjutan. Dari sudut pandang pembangunan institusi,97 reformasi administrasi mencakup tujuan dan instrumen secara simultan. Reformasi administrasi akan terlaksana jika ada proses institusionalisasi antar kelompok penyusun organisasi. Model institusional, menurut Farazmand98 mencakup sejumlah kelompok berbeda yang bersama-sama melaksanakan perubahan. Konsep ini menekankan gerakan perubahan organisasi melalui perubahan dan modifikasi nilai-nilai internal dan budaya organisasi selain struktur organisasi. Model institusional menekankan pentingnya nilai kolektif, budaya dan struktur agar organisasi dapat beradaptasi dengan kondisi yang dinamis.99 Peter dalam Farazmand menjelaskan reformasi administrasi dari perspektif institusional memiliki bobot politis dan perlu menjalankan nilai-nilai yang lebih significant dari yang biasa diterima. Model institusional menekankan pentingnya institusionaliasi nilai dan budaya dari lingkungan ke organisasi sekaligus menginstitusionalisasikan nilai-nilai dan budaya organisasi ke lingkungan. Jelaslah bahwa hubungan antara lingkungan dan organisasi bersifat mutualisme, sehingga budaya pemerintahan dan nilai-nilai yang melingkupinya juga mewakili nilai-nilai sosial dan politik yang berlaku di masyarakat. Untuk melembagakan nilai-nilai tersebut, Chau100 menekankan perlunya pembangunan instrumen, kerangka hukum, dan peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan pemerintahan agar dapat bekerja dengan baik. Dimensi terakhir kajian administrasi publik menekankan pentingnya sumberdaya manusia (human resources)101 yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan motivasi kerja yang tinggi. Untuk meningkatkan skill pegawai perlu adanya serangkaian pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka. Peter dalam Farazmand102 mendekatinya melalui model purposif (top – down) yang menekankan pentingnya peran aktor tertentu sebagai pemimpin dalam proses reformasi administrasi sektor publik. Para elit lokal dan individu yang memiliki kekuasaan dan otoritas inilah yang membangun ide mereformasi serta mereorganisasi sektor publik

Pengertian Reformasi Administrasi (skripsi, tesis, disertasi)

Konsep reformasi administrasi memiliki pengertian yang luas sehingga tidak dapat dijelaskan dalam satu definisi tunggal. Sebagian ahli mendekatinya dari sisi konseptual-normatif (misalnya Montgomery dan Caiden77) dan pakar lainnya melihat dari sudut pandang strategis dan teknis (misalnya: Dror78, Lee dan UNDP). Kebutuhan reformasi administrasi muncul sebagai akibat fungsi proses perubahan administrasi yang tidak dapat berjalan dengan benar (malfunction). Gerakan reformasi dimulai dari adanya keinginan untuk menghilangkan tantangan yang menghambat proses perubahan atau untuk meningkatkan hasil dari proses perubahan yang telah diputuskan.  Seperti dijelaskan Effendi, konsep reformasi administrasi memiliki pengertian lebih luas dari konsep reformasi birokrasi publik yang hanya mencakup aspek organisasi. Dalam berbagai konteks, reformasi administrasi dikenal dengan istilah penyempurnaan administrasi, perubahan administrasi dan modernisasi administrasi.80 Caiden adalah ilmuwan pertama yang mengembangkan konsep reformasi administrasi menjadi satu konsep komprehensif, yaitu: “The artificial inducement of administrative transformation against resistance.”81 Berdasarkan definisi tersebut, reformasi administrasi adalah sesuatu yang disengaja, artinya adanya mandat, kehati-hatian, dan perencanaan; bukan sesuatu yang alami dan otomatis. Reformasi administrasi adalah sesuatu yang dibuat (to induce) karena melibatkan persuasi, argumentasi dan sanksi. Ada tiga aspek yang dapat dijadikan petunjuk utama sebuah reformasi administrasi, yaitu: 1) adanya tujuan pengembangan moral, 2) adanya proses transformasi yang disengaja, dan 3) adanya resistensi administrasi.82 Dari sudut pandang tujuan moral, reformasi administrasi bertujuan untuk meningkatkan kondisi yang ada dengan menghilangkan praktik-praktik administrasi yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya akibat adanya penyalahgunaan kewenangan. Dalam konteks transformasi yang disengaja, reformasi administrasi menghasilkan sejumlah strategi, kegiatan, dan program yang inovatif. Martin dalam Caiden83 mengemukakan reformasi adalah proses yang berlangsung secara radikal, bukan sekadar perubahan secara incremental atau proses penyesuaian yang hanya terjadi pada periferi organisasi dan tidak menyentuh inti organisasi. Dari aspek resistensi administrasi, maka faktor inilah yang membedakan antara reformasi dengan perubahan. Akibat adanya resistensi, proses reformasi embutuhkan dukungan kekuasaan (power) sehingga esensi reformasi administrasi merupakan proses politik.84 Konsep Caiden tersebut sejalan dengan konsep reformasi administrasi yang dikemukakan oleh Montgomery, yang menguraikan reformasi administrasi sebagai: “As a political process designed to adjust the relationship between a bureaucracy and other element in a society, or within the bureaucracy itself........both the purposes of reforms and the evils addressed vary with their political circumstances.”85 Faktor penting dalam melaksanakan reformasi administrasi adalah adanya inovasi dan kemampuan menghasilkan kemakmuran (wealth creation). Hal tersebut tercapai melalui sejumlah ide dan aktor baru di dalam kombinasi tugas dan hubungan dalam proses administrasi dan kebijakan. Ndue menjelaskan reformasi administrasi terjadi melalui dua kondisi, yaitu: 1) adanya konflik nilainilai yang terjadi antara birokrasi, pegawai publik dan nilai-nilai yang berkembang di publik, dan 2) adanya kesadaran dari para politisi dan masyarakat umum bahwa struktur birokrasi yang ada tidak mampu atau gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.86 Definisi reformasi administrasi Caiden, berguna sebagai acuan untuk melaksanakan strategi reformasi kebijakan publik mulai dari tahapan formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan. Reformasi administrasi pada dasarnya adalah kegiatan perbaikan terus menerus yang memiliki tujuan yang jelas, bukan sekadar upaya pada periode tertentu dan sporadis. Adapun tujuan akhir yang akan dicapai dari reformasi administrasi adalah bagaimana meningkatkan kinerja sektor publik.87 Chau menguraikan reformasi administrasi dilaksanakan melalui tiga proses, yaitu: 1) menganalisis situasi dan sistem administrasi yang sedang berlaku, 2) merumuskan strategi reformasi yang akan ditempuh, dan 3) melaksanakan reformasi administrasi. Ketiga proses reformasi administrasi tersebut diharapkan menghasilkan peningkatan kinerja administrasi publik yang efektif dan efisien, mengurangi kelemahan (antara lain: praktik korupsi, kolusi dan sebagainya) 

Kebijakan Pariwisata (skripsi, tesis, disertasi)

Wisata dapat didefinisikan sebagai aktivitas rekreasi untuk merelaksasikan pikiran dari pekerjaan rutin. Mengacu pada UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat, sesame wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Kepariwisataan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intlektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tujuan kepariwisataan yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, serta mempererat persahabatan antar bangsa. Keindahan alam baik secara fisik maupun keanekaragaman hayati merupakan hal 39 penting untuk keberlangsungan aktivitas pariwisata. Mengacu pada UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia, yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Goeldner menemukan, arti kebijakan pariwisata sering diabaikan dalam memastikan keberhasilan tujua pariwisata, dibandingkan kegiatan memasarkan pariwisata, karena kebijakan pariwisata bertujuan menciptakan iklim di mana kolaborasi diantara banyak pemangku kepentingan di bidang pariwisata didukung dan difasilitasi. Dalam istilah Goeldner, kebijakan pariwisata memenuhi enam fungsi, yaitu: Pertama, mendefinisikan aturan permainan, istilah-istilah dimana operator pariwisata harus berfungsi; Kedua, menetapkan kegiatan dan perilaku yang dapat dterima bagi pengunjung; Ketiga, memberikan arahan dan panduan umum untuk semua pemangku kepentingan pariwisata dalam suatu tujuan; Keempat, memfasilitasi konsensus di sekitar strategi dan tujuan khusus untuk tujuan tertentu; Kelima, menyediakan kerangka kerja untuk diskusi publik/swata tentang peran dan kontribusi sektor pariwisata terhadap ekonomi dan masyarakat secara umum; dan Keenam, memungkinkan pariwisata untuk berinteraksi secara lebih efektif dengan sektor ekonomi lainya (Nugroho,2018:74). Sektor pariwisata terus menunjukkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dnia. Menurut Forbes (2019), sektor ini tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengans eua sektor lain dan menymbang 8,8 triiun dolar Amerika Serikat pada ProdukDomestik Bruto (PDB) global tahu 2018. Selain itu, ada 319 juta pekerjaan baru tercipta di sektor ini pada tahun yang sama. Di Indonesia, pariwisata merupakan salah satu penghasil devisa terbesar bagi negara. Bahkan, pada akhir tahun 2019, 40 pendapatan sektor ini diperkirakan mencapai 17,6 miliar dolar Amerika Serikat. Dengan kata lain, pariwisata akan melampaui sektor unggulan di atasnya, yaitu kelapa sawit. Menurut Menteri Pariwisata periode 2014-2019, dulu ketika migas berjaya pada era 1980-an, kita menyebut dua sumber devisa terbesar adalah migas dan non migas. Sekarang, kita ubah istilahnya menjadi sumber devisa pariwisata dan non pariwisata. The World Travel and Tourism Council (WTTC) menyatakan pertumbuhan pariwisata Indonesia tertinggi ke-9 di dunia pada 2017. Dibandingkan dengan Malaysia (4%), Singapura (5,8%), dan Thailand (8,7%), pertumbuhan Indonesia di sektor ini jauh lebih tinggi, yaitu 22%. Namun, Vietnam lebih moncer lagi dengan 29% karena banyak melakukan deregulsi. Para pelaku industri pariwisata sebenarnya menghadapi tantangan yang sangat besar pada abad ke-21. Konsumen membutuhkan produk-produk wisata yang lebih berkualitas. Mereka menginginkan tujuan wisata yang baru dan beda, lebih beragam, dan lebih fleksibel. Mereka mendambakan lingkungan yang bersih, pengalaman berwisata alam, kegiatan wisata petualangan, dan produk-produk wisata yang mencakup budaya, pusaka, dan sejarah (Edgell, 2016). Akibatnya, semakin banyak pihak yang tertarik untuk mengembangkan produk wisata yang berkualitas lebih tinggi dan memberi perhatian lebih besar pada lingkungan alam dan lingkungan binaan, termasuk situs sejarah dan budaya. Lebih jauh lagi, pengusaha dan pemerintah semestinya memperhatikan kelestarian sumber daya yang menjadi daya tarik wisata, bukan semata-mata mengeksploitasi untuk kepentingan sesaat. Pengelolaan sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan dimaksudkan tidak hanya memberikan manfaat bagi generasi saat ini, tetapi juga bagi generasi penerus. Paradigma pariwisata berkelanjutan muncul seiring dengan perkembangan sektor pariwisata sejak lebih dari setengah abad lalu (Weaver, 2006) dan berkembang 41 sejak tahun 1990-an (Swarbrooke, 1998). Ini merupakan salah satu sektor dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks ini, pengembangan pariwisata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan masa depan. Degan kata lain, semua kalangan yang terlibat di dalamnya secara bijaksana menggunakan dan melestarikan sumber daya yang ada, agar bisa bermanfaat dalam jangka panjang. Dampak negatif dari kegiatan wisata ditekan sampai sekecil-kecilnya, sedangkan dampak positifnya dioptimalkan sebesarbesarnya.

Tantangan Dinamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi pemerintah – seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang ketinggalam jaman, kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan dan kebutuhan individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini bertolak belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi yang kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi tindakan yang efektif, serta perubahan yang terus-menerus. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan Chen (2007, p. 3) bahwa Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism in policymaking and implementation. Institutional culture involves how a nation perceives its position in the world, how it articulates its purpose, and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its decision-making and policy choices. In addition, strong organizational capabilities are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective action. Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi sosial 28 dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan mengutip pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi manakala terdapat “leadership intention, cognition and learning which involve continual modification of perceptions, belief structures and mental models, particularly when confronted with global development and technological change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar tetap efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen dalam mewujudkan dynamic governance? Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan. Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif melalui berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang menjadi dasar dari proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan nilai budaya (institutional culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni thinking ahead, thinking again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan-kebijakan adaptif. Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi dan proses kebijakan (membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi) dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar, berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan. Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi dan 29 pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan: a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan yang memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan, b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian tujuan saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program yang ada, c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi ancaman yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan untuk dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam percakapan strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen, 2007, pp. 32–33). Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again melibatkan: a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan balik dari publik, b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang diamati, informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui target yang hilang, c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi karakter dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak, d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya, sehingga kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan 30 e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan lebih dan menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37). Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan proses: a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan diimplementasikan oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa, b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman, c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal, mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh penduduk setempat; d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda yang menciptakan pendekatan inofatif untuk masalah yang muncul, dan e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan kebijakan lokal dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp.41-42). Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan responsif. Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal melalui ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh Negara lain (Neo & Chen, 2007, p. 13). Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Adaptasi kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap tekanan yang 31 datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi dengan ide-ide baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil yanglebih baik; kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan dari masyarakat; dan implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai manifestasi dari dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 13). Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata kelembagaan dan kebiasaan – akan mempengaruhi perilaku. Kearifan lokal ini termanifestasi dalam norma-norma dan konvensi informal. Pada gilirannya, akan memainkan peran penting dalam proses perubahan dan adaptasi berbagai kebijakan. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa asumsi mengenai keutamaan pertumbuhan ekonomi, kebutuhan terhadap pertingnya relevansi global dan peran penting Negara dalam menciptakan kondisi untuk pertumbuhan, mempengaruhi pemikiran dan pendekatan terhadap pemerintahan. Pilihan kebijakan yang dibuat dibentuk oleh nilai-nilai budaya tentang integritas, meritokrasi, kemandirian, pragmatism, dan kehati-hatian pengelolaan keuangan (Neo & Chen, 2007, p. 14). Dalam mewujudkan dynamic governance, peran pemimpin menjadi sangat penting. Dalam melakukannya, tidak hanya sekedar mengandalkan charisma dan upayanya sendiri saja, akan tetapi dengan membangun kapabilitas organisasi sehingga pengetahuan dan sumberdaya dapat secara sistematis dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai permasalahan (effective action). Yang dibutuhkan untuk mewujudkan dynamic governance adalah proses belajar dan berpikir yang baru, desain beragam pilihan kebijakan, pengambilan keputusan yang analitis, seleksi rasional atas polihan kebijakan, dan efektif implementasi kebijakan. Disinilah peran pemimpin menjadi sangat penting. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang berpikir kreatif dan 32 inovatif serta bekerja keras untuk memberikan setting yang tepat untuk mewujudkan dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 14). Upaya memperbaiki kinerja lembaga perlu diinisiasi oleh pemimpin organisasi. Untuk dapat mengambil keputusan dan pilihan yang tepat membutuhkan pemimpin organisasi yang memiliki “necessary motivation, attitude, values, intellect, knowledge and skills to envision the future, develop strategic options and select paths that give the institution the greatest scope for survival and success.”(Neo & Chen, 2007, p. 16). Dynamic governance merupakan hasil dari niat kuat an ambisi pemimpin untuk menjamin keberlangsungan hidup masyarakat. Kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang dinamis dengan kemampuan untuk mengelola berbagai elemen secara terintegrasi di tengah perubahan yang terus-menerus melalui strategi yang jelas, manajemen yang cerdas, belajar terus-menerus, dan mencari jalan yang adaptif dan relevan, serta eksekusi kebijakan yang efektif. Secara sistematis membangun kapabilitas semua orang yang terlibat dan juga proses untuk menjamin bahwa ide-ide baru yang inovatif terakomodasi dalam kebijakan, proyek dan program yang realistis, serta secara konsisten mengkoordinasikan seluruh aktivitas organisasi untuk mengarah pada pencapaian tujuan (Neo & Chen, 2007, p. 30). Pada intinya, dynamic governance terjadi manakala “policy-makers constantly think ahead to perceive changes in the environment, think again to reflect on what they are currently doing, and think across to learn from others, and continually incorporate the new perceptions, reflections and knowledge into their beliefs, rules, policies and structures to enable them to adapt to environmental change.”(Neo & Chen, 2007, p. 15). Kapabilitas dinamis inilah yang menjadi kunci rahasia keberhasilan Singapura selama lebih dari empat dekade. Dynamic governance bisa 33 terwujud secara berkelanjutan ketika: “there is a long-term commitment to and investments in building each of the elements in the system and designing the necessary linkages for them to work as a whole.” Perlu digarisbawahi pula bahwa “[t]he interdependent, interacting and reinforcing flows” merupakan detak jantung dari dynamic governance. Tanpa itu, tidak akan pernah ada dynamic governance.

Tata Kelola Pemerintahan Daerah (skripsi, tesis, disertasi)

Perubahan paradigma pemerintahan pasca era reformasi hingga terbitnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 yang mengganti Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengarahkan pemerintah yang selama ini lebih cenderung pada adanya kekuasaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, sekarang ini berubah menjadi pemenuhan kebutuhan masyarakat (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) melalui kegiatan pengaturan, pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat guna mencapai tujuan pemerintahan. Pemerintahan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan yang sesuai dengan falsafah negara dan Undang-Undang Dasar, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sehubungan dengan hal ini, dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan salah satu tujuan Negara Republik Indonesia didirikan ialah untuk kemasalahatan rakyat. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah sebagai pelaksana roda pemerintahan memiliki kewajiban untuk kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai panduan dan konsep dalam penatakelolaan peerintahan yang baik dilaksanakan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik, di pusat maupun di daerah, termasuk dengan konsep good governance. Maslan Rikun dkk (2018), mengemukakan bahwa Good Governance merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang universal, karena itu seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Upaya menjalankan prinsip-prinsip good governance perlu dilakukan dalam penyelenggaraan Ada masalah birokrasi yang dihadapi semua Pemerintahan Daerah sehubungan dengan pelaksanaan good governance di dalam Pemerintahan Daerah, baik segi struktur dan kultur serta  nomenklatur program yang mendukungnya. Sampai sekarang penerapan prinsip good governance di pemerintah daerah masih bersifat sloganistik. Terjadinya krisis nasional dan berbagai persoalan di Indonesia antara lain disebabkan dari kelemahan di bidang manajemen pemerintahan terutama birokrasi yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). Akibatnya timbul berbagai masalah seperti kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Bahkan kondisi saat ini pun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik (good governance), yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Namun perkembangan teori good governance mengikuti perkembangan dan kemajuan zaman yang pesat. Berbagai pandangan para ahli mengenai tata kelola pemerintahan seperti sound governance, dynamic governance, dan, sound governance. Konsep-konsep tersebut ditawarkan para ahli untuk kemajuan tata kelola pemerintahan yang memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat. Di Indonesia konsep sound governance, dynamic governance, dan open government belum terlalu popular didegungkan, walaupun sebenarnya elemen-elemen konsep tersebut telah diimplementasikan ke dalam tata laksana pemerintahan di Indonesia. Bila dilihat dalam perbandingan ketiga konsep tersebut, Dynamic Governance lebih sesuai untuk menjelaskan perubahan penyelenggaraan pemerintahan akibat perubahan lingkungan. Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi adanya berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus, respon yang cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif. Atau Dengan kata lain bahwa, kondisi yang dinamis tersebut mendeskripsikan proses belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan yang tiada akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah, maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta dan pemerintah berinteraksi. Lembaga pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dan beragam perilaku sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang 25 berlangsung. Pada gilirannya, kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007:1). Kemudian Neo dan Chen (2007:7) lebih lanjut menjelaskan bahwa governance menjadi dinamis manakala pilihan-pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan perkembangan terbaru dalam lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat sehingga berbagai kebijakan dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan jangka panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan. Lebih dari itu, dinamis lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for longterm survival and prosperity.” Pemerintahan yang dinamis (dynamic governance) menjadi sebuah kapabilitas yang strategis yang perlu dimiliki oleh Pemerintah di berbagai Negara di dunia saat ini. Perubahan berbagai sektor dan aspek kehidupan pada akhirnya melahirkan berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk dapat meresponnya secara lebih efektif dan efisien. Dynamic governance menjadi landasan penting dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan Pemerintah yang adaptif dan responsive terhadap perubahan lingkungan. Kemampuan ini menjadi faktor esensial dalam konteks upaya Pemerintah mewujudkan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. (Mudiyati Rahmatunnisa; 2019). Syafri, W, (2012:184) menjelaskan kerangka dasar Dynamic Governance dan elemen-elemennya adalah sebagai berikut: 1) Thinking Ahead Thinking ahead berarti kemampuan mengidentifikasikan faktor lingkungan berpengaruh pada pelaksanaan pembangunan masa mendatang, memahami dapaknya terhadap sosio ekonomi masyarakat. Proses berfikir kedepan meliputi: 26 1. Menggali berbagai kemungkinan dan antisipasi terhadap berbagai kecenderungan masa depan yang meiliki dampak signifikan terhadap tujuan kebijakan 2. Merasakan dampak pembangunan trehadap pencapaian tujuan pembanunan sedang berjalan dan menguji efektivitas kebijakan, strategi, dan program sedang berjalan 3. Menentukan pilihan-pilihan yangakan digunakan sebagai persiapan menghadapi timbulnya ancaman terhadap peluang yang baru 4. Mempengaruhi para pembuat kebijakan kunci dan para pemangku kepentingan untuk memperhatikan isu-isu yang muncul secara serius dan mengajak mereka untuk membicarakan kemungkinan respon/tanggapan yang akan diambil. 2) Thinking Again Thinking again merupakan kemampuan meninjau kembali berbagai kebijakan, strategi dan program yang sedang berjalan. Kaji ulang dimaksudkan untuk melihat kelaikan dan kecocokan kebijakan, strategi dan program yang sedang berjalan dengan kondisi yangsedang dihadapi dan masa mendatang akibat perubahan lingkungan global yang cepat. 3) Thinking Across Proses berfikir thinking across atau melewati batas ini meliputi: 1. Mencari praktek-praktek implementasi suatu kegiatan yang kurang lebih sama 2. Menggambarkan tentang apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka melakukannya, serta mengambil pelajaran dari pengalaman yang mereka lakukan 3. Mengevaluasi apa yang diterapkan pada local value yang ada 4. Mengungkapkan ide-ide baru 27 5. Menyesuaikan kebijakan dan program dengan kebutuhan setempat.

Pemerintahan Daerah (skripsi, tesis, disertasi)

 Lahirnya pemerintahan tidak dapat dipisahkan dengan kekuasaan yang awalnya untuk mengawal eksistensi kekuasaan dalam masyarakat, sehingga masyarakat tersebut tunduk pada kekuasaan yang ada. Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan negara yang semakin mengikuti perkembangan global sehingga kebutuhan masyarakat juga semakin meningkat, maka peran pemerintah yang menganut demokrasi, mengalami perubahan paradigma menjadi pelayanan kebutuhan masyarakat. Paradigma pemerintahan yang demokratis dan modern, lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mendukung kekuasaan pemerintahan. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi 19 yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama. Semakin banyaknya kebutuhan dan semakin luasnya wilayah kekuasaan membuat negara membagi kekuasaan dengan pemerintahan yang lebih kecil. Penyelenggaraan pemerintahan di wilayah yang lebih kecil diarahkan untuk mempercepat terwujudnya pelayanan dan mendekatkan jangkauan pemerintahan negara. Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat bahwa negara-negara, baik yang berbentuk kerajaan, federasi maupun republik membagi wilayahnya berdasarkan tujuan kondisi sosial politik dan letak geografi suatu negara. Pembagian negara merupakan pembagian wilayah suatu negara berdasarkan sistem tertentu dengan maksud untuk mempermudah administrasi, pemerintahan, dan hal-hal yang sehubungan dengan itu. Hasil dari pembagian tersebut dikenal dengan sebutan umum "subdivisi negara" atau pembagian negara. (Setiawan, 2018, 51) Dalam penyelenggaraan pemerintahan pada wilayah daerah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas-asas pemerintahan daerah. Syafiie (2011: 178-179) menguraikan asas-asas pemerintahan daerah tersebur sebagai berikut: a) Asas Desentralisasi Asas Desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri. Yang dimaksud dengan sebagian urusan adalah karena tidak semua urusan dapat diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, misalnya penyerahan urusan pertahanan dan keamanan, karena akan menimbulkan keberanian daerah untuk melawan Pemerintah Pusat secara separatis, penyerahan urusan moneter akan membuat perbedaan dan kesenjangan pada mata uang, penyerahan urusan peradilan akan 20 membuat pemberontak yang dijatuhi hukuman oleh Pemerintah Pusat malahan menjadi pahlawan dalam peradilan di daerahnya. Mengurus adalah penyerahan urusan pemerintahan kepada pihak eksekutif sehingga Pemerintah Daerah lalu membangun dinas-dinas sesuai urusan yang diserahkan. Sedangkan pengaturan adalah agar peraturan daerah dapat dibuat sendiri oleh Pemerintah Daerah dengan berdirinya lembaga legislatif daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Keberadaan legislative daerah dan eksekutif daerah inilah yang kemudian mereka mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. b) Asas Dekonsentrasi Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari aparat Pemerintah Pusat atau pejabat di atasnya (misalnya pada wilayah provinsi) jadi begitu suatu departemen di tingkat pusat melimpahkan wewenangnya kepada pejabat kepala kantor wilayah provinsi, atau pejabat kepala wilayah provinsi tersebut melimpahkan wewenang kepada kepala kantor departemen di tingkat kabupaten/kota, maka terkadang muncul egoisme sektoral karena Pemerintah Daerah tidak mengetahui pelaksanaan dan sulit untuk ikut mengawasinya. Misalnya dalam hal kemungkinan munculnya tumpang tindih pekerjaan, baik waktunya, biayanya misalnya antara pembangunan bongkar pasang jalan karena pemasangan pipa air minum, kabel telepon dan jaringan listrik. c) Asas Tugas Pembantuan Di satu pihak Pemerintah Pusat khawatir penyerahan semua urusan kepada daerah akan membuat daerah menjadi separatis, tetapi di pihak lain Pemerintah Daerah curiga karena Pemerintah Pusat akan merongrong kekayaan daerah maka tarikulur antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak pernah selesai dari dulu. Seperti diketahui desentralisasi pemerintahan pada zaman penjajahan sangat dibatasi, 21 sehingga aparat dekonsentrasi sangat kewalahan, misalnya dalam keuangan sangat kecil, yaitu sekedar membiayai tugas yang tidak penting, oleh karena itu dalam urusan pemerintahan tertentu Pemerintah Daerah diikutsertakan. Kata lain dari tugas pembantuan ini adalah Medebewind. Mede, dalam bahasa Belanda artinya ikut serta atau turut serta, sedangkan “bewind” juga dalam bahasa Belanda artinya berkuasa atau memerintah. Jadi, Pemerintah Daerah ikut serta mengurus sesuatu urusan tetapi kemudian urusan itu harus dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan melalui 3 (tiga) asas, yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind). Keadaan ini didasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu, maka keseimbangan dari ketiga asas tersebut senantiasa menjadi perhatian para penyelenggara pemerintahan dan pelaksana pembangunan daerah. Oleh karena itu, masalah pemerintahan daerah akan muncul ke permukaan sebagai salah satu isu yang banyak menarik perhatian untuk dibicarakan oleh kalangan luas, walaupun sekarang ini pelaksanaan pemerintahan daerah (otonomi daerah) lebih menunjukkan sebagai harapan daripada kenyataan. Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah

Pemerintahan (skripsi, tesis, disertasi)

 Kata “pemerintahan” berasal dari kata “perintah”, kata perintah tersebut mendapatkan awalan “pe” dan akhiran “an”. Sehingga menjadi kata benda “pemerintah” dan pemerintahan. Pemaknaan pemerintahan oleh Sadjijono (2008:41) menjelaskan bahwa Pemerintahan dalam arti luas yang disebut regering atau goverment, yakni penyelenggaraan tugas seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi wewenang mencapai tujuan negara. Arti pemerintahan meliputi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisiil atau alat-alat kelengkapan negara yang lain yang juga bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit (bestuurvoering), yakni mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan. Titik berat pemerintahan dalam arti sempit ini hanya berkaitan dengan kekuasaan yang menjalankan fungsi eksekutif saja. Pemerintah merupakan organ (perlengkapan atau alat-alat) yang memerintah atau kekuasaan untuk memerintah, sedangkan pemerintahan lebih mengacu pada perbuatan memerintah. Pemerintah di sini juga menunjukkan arti badan atau lembaganya dan pemerintahan menunjukkan arti fungsinya. (Wasistiono, 2009:1.5) Sementara, Menurut Suhady (2009:197), pemerintah (government) ditinjau dari pengertiannya adalah the authoritative direction and administration of the affairs  of men/women in a nation state, city, ect. Dalam bahasa Indonesia sebagai pengarahan dan administrasi yang berwenang atas kegiatan masyarakat dalam sebuah Negara, kota dan sebagainya. Pemerintahan dapat juga diartikan sebagai the governing body of a nation, state, city, etc yaitu lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan Negara, Negara bagian, atau kota dan sebagainya Kemudian Ermaya Suradinata (1998) mendefinisikan pemerintahan secara lebih sederhana sebagai berikut: government is the best defined as the organized agency of the state, expressing and exercing its authority artinya pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah lembaga negara terorganisasi yang menunjukkan dan menjalankan wewenang atau kekuasaannya. Pendapat tersebut menjelaskan tentang kekuasaan dalam pemerintahan sehingga dapat dikatakan bahwa pemerintahan tanpa kekuasaan tidak mungkin akan dapat berjalan. Berdasarkan uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pemerintahan mempunyai dua makna, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Makna kata “pemerintahan” dalam arti luas berarti pelaksanaan tugas orang, badan, lembaga yang bertindak untuk dan atas nama negara dan diberikan wewenang dalam mencapai tujuan dari negara tersebut. Sementara dalam arti sempit berarti organisasi yang berfungsi sebagai pemerintah atau pelaksana eksekutif Kata perintah itu sendiri paling sedikit ada 4 (empat) unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu sebagai berikut: 1. Ada dua pihak yang terlibat, 2. Yang pertama pihak yang memerintah disebut penguasa atau pemerintah, 3. Yang kedua adalah pihak yang diperintah yaitu rakyat, 4. Antara kedua pihak tersebut terdapat hubungan (Syafiie, 2011: 61). 15 Kemudian Setiawan (2020:4) memaknai kata pemerintahan tersebut ke dalam dimensi-dimensi pemerintahansebagai berikut: a. orang atau sekelompok orang yang diperintah dalam suatu negara (rakyat) b. sekelompok orang yang memerintah dalam suatu negara (pemerintah) c. adanya perintah yang diterima dan dipatuhi (kebijakan/peraturan dan implementasinya) d. kewenangan yang diberikan kepada sekelompok orang yang memerintah (kewenangan) e. membantu memenuhi kebutuhan (pelayanan) S.E. Finer (Finer, 1974 dalam Sumaryadi, 2010: 18) mengklasifikasikan pemerintah ke dalam 4 (empat) pengertian, yakni: 1. Pemerintah mengacu pada proses pemerintahan, yakni pelaksanaan kekuasaan oleh yang berwenang. 2. Istilah ini juga bisa dipakai untuk menyebut keberadaan proses itu sendiri kepada kondisi adanya tata aturan. 3. Pemerintah sering berarti orang-orang yang mengisi kedudukan otoritas dalam masyarakat atau lembaga, artinya kantor atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan. 4. Istilah ini juga bisa mengacu pada bentuk, metode, sistem pemerintah dalam suatu masyarakat, yakni struktur dan pengelolaan dinas pemerintah dan hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. Peranan pemerintahan dalam proses kehidupan manusia diakui oleh dunia dalam perjalanan sejarah manusia. Pemerintah mempunyai peranan penting guna menciptakan keamanan, pengaturan dalam urusan keagamaan dan mengontrol perkembangan ekonomi serta menjamin terlaksananya proses kehidupan sosial.   Bilamana masyarakat berkembang dan menjadi lebih kompleks, pemerintahan juga berkembang menjadi lebih kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam konteks kybernology, Ndraha (2008) berpendapat bahwa pemerintahan bertujuan melindungi hak-hak eksistensi (asasi) manusia, melestarikan lingkungannya, dan memenuhi kebutuhan dasarnya melalui proses interaksi 3 (tiga) peran, yaitu: 1) meningkatkan nilai sumber daya yang ada dan menciptakan (membentuk) sumber daya baru sebagai peran SubKultur Ekonomi (SKE); 2) mengontrol SKE, memberdayakan, dan meredistribusikan nilai-nilai yang telah berhasil ditingkatkan atau dibentuk oleh SKE, melalui pelayanan kepada pelanggan oleh Sub Kultur Kekuasaan (SKK); 3) Mengontrol SKK oleh peran Sub Kultur Pelanggan (SKP) Pemerintah merupakan suatu bentuk organisasi dasar dalam suatu negara. Tujuan dari pemerintah dikatakan oleh Ateng Syafrudin sebagaimana dikutip oleh Tarsito (1978: 10): “Pemerintah harus bersikap mendidik dan memimpin yang diperintah, ia harus serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah, menjadi pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka bersama, menciptakan perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-samar oleh semua orang, yang dilukiskan secara nyata dan dituangkan dalam kata-kata oleh orang-orang yang terbaik dan terbesar”. Berdasarkan tujuan pemerintahan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terlihat jelas beberapa fungsi-fungsi dalam proses tersebut. Melihat gejala dan peristiwa pemerintahan sebagaimana yang diutarakan para ahli pemerintahan, maka Istianto (2011:22) mengemukakan fungsi pemerintah antara lain: 17 1. Bersikap mendidik dan memimpin yang diperintah artinya Pemerintah yang berfungsi sebagai leader (pemimpin) dan educator (pendidik). Para pamong, diharapkan dapat memimpin dan menjadi panutan masyarakat; 2. Serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah artinya pemerintah dapat memahami aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pemerintah yang baik adalah mengerti apa yang diinginkan dan menjadi kebutuhan masyarakatnya; 3. Menjadi pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka bersama artinya pemerintah sebagai katalisator dan dinamisator masyarakat. Sebagai katalisator artinya sebagai penghubung bagi setiap kelompok kepentingan di masyarakat. Sedangkan sebagai dinamisator artinya penggerak segala bentuk kegiatan bermasyarakat; 4. Menciptakan perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-samar oleh semua orang artinya pemerintah harus peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, jangan sampai lengah terhadap keinginan yang terjadi di kalangan masyarakat. Banyak pemerintah yang jatuh atau hancur akibat tidak peka terhadap perubahan; 5. Melukiskan semua secara nyata dan dituangkan dalam kata-kata oleh orangorang yang terbaik dan terbesar. Artinya pemerintah bertugas merancang dan atau membuat berbagai kebijakan yang dituangkan dalam peraturan-peraturan. Tidak kalah pentingnya, pemerintah harus mengimplementasikannya dengan benar mempersiapkan perangkat dan sumber daya yang terbaik. Fungsi pemerintah dalam pelayanan publik tidak lepas dari hakikat tujuan negara pada mulanya, yaitu mengatur berbagai kepentingan masyarakat agar tidak terjadi benturan antara masyarakat itu sendiri. Kemudian seiring semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat maka negara memerlukan suatu institusi yang 18 mengatur kepentingan itu. Hal ini diungkapkan oleh Ryaas Rasyid (1996) bahwa pemerintah merupakan personifikasi negara, sedangkan birokrasi dan aparaturnya merupakan personifikasi pemerintah. Ungkapan tersebut mungkin terlalu sederhana dan tidak dapat dipungkiri bahwa pihak yang paling aktif dalam kegiatan pengelolaan kekuasaan negara sehari-hari adalah birokrasi yang berperan sebagai pelaksana keputusan-keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin politik. (Wasistiono, 2009: 1.13)

Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

Gambhir Bhatta mengemukakan bahwa konsep Governance adalah hubungan antara pemerintah dan warga negara yang memungkinkan kebijakan publik dan program akan dirumuskan, dilaksanakan dan dievaluasi mengacu pada aturan, lembaga, dan jaringan yang menentukan bagaimana sebuah negara atau fungsi organisasi.  Oleh karena itu penyelenggara negara yang kredibel, akuntabel, dan transparan mutlak diperlukan dalam upaya pengembangann suatu negara. Sebagaimana dipaparkan oleh World Bank bahwa kurang berfungsinya lembagalembaga sektor publik dan lemahnya pemerintahan adalah kendala utama bagi pertumbuhan dan pembangunan yang adil di banyak negara berkembang.  Begitu pula dengan yang terjadi di Indonesia, pengembangan profesionalisme manajemen penyelenggaraan haji seringkali terhambat oleh kurang berfungsinya lembaga-lembaga publik khususnya pemerintahan. Dynamic Governance adalah kemampuan pemerintah untuk terus menyesuaikan kebijakan dan program publik, serta mengubah cara kebijakan publik tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, sehingga kepentingan jangka panjang bangsa dicapai. Kedinamisan dalam pemerintahan sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan terutama pada lingkungan yang mengalami ketidakpastian dan perubahan yang cepat dimana masyarakat yang semakin menuntut kecanggihan, lebih berpendidikan, dan lebih terdampak globalisasi.  

Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan (skripsi, tesis, disertasi)

 Menurut Hogwood dan Gunn dalam Nugroho (2003), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan, antara lain: a. kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana; b. tersedia waktu dan sumber daya; c. keterpaduan sumber daya yang diperlukan; d. implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang handal; e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubung; f. hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan; g. kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan; h. tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; i. komunikasi dan koordinasi yang baik; Menurut Grindle dalam Wibawa (1994 : 64) implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan berkaian dengan kepentingan yang dipengaruhui oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara konteks implementasi berkaitan dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasan dan kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Mazmanian dan Sebatier mengklafikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstruktur proses implementasidengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial dan ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukuangan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variable dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan-pemahaman dari lembaga/ badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar. Menurut Hogwood dan Gunn, dalam wahab (1997 : 70-81) untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan, antara lain: 1. kondisi eksternal yang dihadapi oleh Lembaga/badan pelaksana ; 2. tersedia sumber daya yang memadai, termaksud sumber daya waktu; 3. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan; 4. implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang andal; 5. Hubungan sebab akibat yang terjadi satu dengan yang lain; 6. hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan; 7. kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan; 8. tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; 9. komunikasi dan koordinasi yang sempurna; 10. pihak-pihak yang berwenang dapat menuntut kepatuhan pihak lain. Menurut teori George C. Edwards III dalam Subarsono (2005 : 90- 92), Implementasi Kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: 1. Komunikasi Keberhasilan Implementasi Kebijakan mensyaratkan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan, apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditranmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. 2. Sumber Daya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementator kekurangan sumber dayauntuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut akan berwujud sumber daya manusia, yakni kompetensi implementator, dan sumber daya finansial 3. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokrasi. Apabila implementator memiliki disposisisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. 4. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Struktur organisasi yang telah panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks.

Pengertian Implementasi Kebijakan (skripsi, tesis, disertasi)

 Implementasi merupakan terjemahan dari kata “implementation”, berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut Webter’s yang berasal dari bahasa Latin “implementum” dari kata “impere” dan “plere”. Kata “implere” dimaksudkan “to fill up”, to fill in”, yang artinya mengisi penuh;melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “to full” yaitu mengisi. Selanjutnya kata “to implement” mengandung tiga arti sebagai : (1). Membawa ke sesuatu hasil (akibat); melengkapi dan menyelesaikan; (2). Menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan sesuatu; memberikan yang bersifat praktis terhadap sesuatu; (3) menyediakan atau melengkapi dengan alat. Kemudian, Tachjan(2003 : 64) mengatakan implementasi kebijakan publik “merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/disetujui”. Kegiatan ini terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi. Metter dan Horn dalam Nugroho(2003 : 169-170) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Metter dan Horn mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik

Pemerintahan Dinamis (Dynamic Governance) (skripsi, tesis, disertasi)

Konsep Dynamic Governance yang dikenal saat ini merupakan satu kemampuan pemerintah untuk terus menyesuaikan kebijakan dan program publik, serta pola mengubah cara kebijakan publik tersebut dirumuskan dan dilaksanakan, sehingga berdampak pada kepentingan jangka panjang dicapai. Kondisi kedinamisan dalam pemerintahan sangat penting bagi pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan terutama pada lingkungan yang mengalami ketidakpastian dan perubahan yang cepat dimana masyarakat yang semakin menuntut kecanggihan, lebih berpendidikan, dan lebih terdampak globalisasi serta lahirnya berbagai konsep baru dalam penyelenggaraan pemerintahan dan persaingan global Konsep teori Dynamic Governance mencerminkan upaya pemimpin yang dengan sengaja untuk membentuk masa depan mereka. Adapun konsep dasar Dynamic Governance adalah mengkombinasikan budaya dengan kapabilitas sehingga dapat menghasilkan perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa satu konsep Dynamic Governance merupakan kombinasi antara budaya dengan kapabilitas yang menghasilkan perubahan dimana diadasarkan pada Budaya yang menunjukkan keyakinan dan nilai-nilai kelompok tertentu yang dibagi atau dimiliki bersama, sehingga dapat dianggap sebagai akumulasi pelajaran bersama dari masyarakat tertentu berdasarkan sejarah pengalaman bersama yang berwujud menjadi satu tataran nilai kehidupan Peraturan dan struktur pemerintahan adalah pilihan yang dibuat oleh masyarakat dan mencerminkan nilai-nilai dan kepercayaan dari para pemimpinnya, hal ini lah yang menempatkan bahwa dasar kepercayaan (Trust) menjadi tujuan dan harapan tertinggi dari pemerintah yang didapat dari masyarakatnya Kepercayaan kepada pemimpin dalam membentuk aturan, normanorma informal dan mekanisme penegakan yang dilembagakan kemudian menjadi satu kebijakan. Dalam konsep Dynamic Governance, seorang pemimpin harus berpikir secara cerdas dan taktis dengan cara mengartikulasikan ide-idenya dalam pola penyelenggaran orgnasisasi dalam hal ini penyelenggaraan orgnasasi pemerintahan.yang diawali dari berpikir ke depan (think ahead) yang diartikan kemampuan untuk mengidentifikasi perkembangan lingkungan di masa depan, memahami implikasinya, dan mengidentifikasi strategi yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang baru dan mencegah potensi ancaman. Dapat diartikan bahwa maksud berpikir ke depan adalah untuk mendorong satu lembaga dalam menilai risiko strategi dan kebijakan saat ini, me-refresh tujuan, dan konsep inisiatif kebijakan baru untuk mempersiapkan masa depan. Adapun dalam kerangka konseptual Dynamic Governance terdiri dari Budaya, Kemampuan dan perubahan, dimana ketiganya dapat dimaksimalkan ketika mampu bekerja secara interaktif dan sinergis sebagai bagian dari sistem dinamis. Kemampuan berpikir ke depan, berpikir lagi dan berpikir lintas batas juga seharusnya tidak hanya sekadar menjadi satu keterampilan yang berdiri sendiri dan tidak boleh beroperasi sebagai proses independen namun kemampuan ini terdapat hubungan yang saling berkaitan dan jika mereka terhubung secara interdependen bekerja sebagai sebuah sistem, efek potensi mereka dapat diperkuat dan dampak keseluruhan diperkuat. Konsep ini menyangkut penentuan cara mengupayakan kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan jangka panjang dari suatu bangsa, maka pada negara demokratis cara yang ditempuh adalah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan, penetapan institusi dan pola hubungan antar pemangku kepentingan. Terkait dengan pemahaman tersebut, Wirman Syafri mengutip Boon, dan Geraldine (2007) menjelaskan governance sebagai penentuan berbagai kebijakan, institusi, dan struktur yang dipilih, yang secara bersama mendorong untuk memudahkan interaksi kearah kemajuan ekonomi dan kehidupan sosial yang lebih baik

Strategi Pemerintahan (skripsi, tesis, disertasi)

Terdapat beberapa definisi terkait pengertian strategi sebagaimana dikemukakan oleh para ahli dalam bidang strategi dalam buku karya mereka masing-masing. Adapun menurut Marrus (2002:31) strategi dapat didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana dari para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang suatu organisasi, serta dengan disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai dan terlaskana sesuai dengan rencana, disamping itu terdapat pula definisi dari Quinn (1999:10) yang mengartikan konsep strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuantujuan utama, dari kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Dalam hal ini strategi yang diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan serta menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Strategi yang baik disusun berdasarkan kemampuan internal dan kelemahan perusahaan, antisipasi perubahan dalam lingkungan, serta adanya satu kesatuan pergerakan yang dilakukan oleh mata-mata musuh. Dari kedua pendapat di atas, maka strategi dapat diartikan sebagai suatu rencana yang disusun oleh manajemen puncak atau tataran inti untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Rencana ini meliputi : tujuan, kebijakan, dan tindakan yang harus dilakukan oleh suatu organisasi dalam mempertahankan eksistensi dan memenangkan persaingan, terutama perusahaan atau organisasi harus memilki keunggulan kompetitif, atau dalam lingkup organisasi pemerintahan lebih kepada pemberian layanan terbaik bagi masyarakat. Menjadi satu kewajiban diperlukanya satu kepastian untuk bisa menjamin agar supaya strategi dapat berhasil baik dengan cara meyakinkan bukan saja dipercaya oleh orang lain, tetapi memang dapat dilaksanakan, sebagaimana Hatten dan hatten (1996: 108-109) memberikan beberapa petunjuknya bahwa satu strategi harus konsiten dengan lingkungan pada dasaranya, strategi dibuat mengikuti arus perkembangan masyarakat yang ada terlebih perubahan konsep dan dinamika pemerintahan yang terjadi dalam lingkungan yang memberi peluang untuk bergerak maju.

Tantangan Dalam Praktek Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

 Apakah mungkin Pemerintah bisa dinamis? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar dan pada intinya mengungkap kontradiksi makna dynamic governance itu sendiri (oxymoron). Gambaran tentang Pemerintah pada umumnya sangat jauh dari perspektif dinamis. Sebaliknya, Pemerintah – khususnya birokrasi 7 pemerintah – seringkali dipahami sebagai entitas yang lambat, birokrasi yang ketinggalam jaman, kaku dan tidak memiliki perhatian baik terhadap kepentingan dan kebutuhan individu maupun bisnis (Neo & Chen, 2007, p. 1). Kondisi ini bertolak belakang sekali dengan makna dinamis sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, yang dicirikan oleh ide-ide baru, persepsi-persepsi yang kekinian, upaya perbaikan yang terus-menerus, tindakan yang cepat dan responsif, daya adaptasi yang fleksibel, cepat dan eksekusi tindakan yang efektif, serta perubahan yang terus-menerus. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa lembaga pemerintah dapat menjadi dinamis melalui pemanfaatan landasan nilai dan keyakinan budaya yang bersinergi dengan kapabilitas organisasi yang kuat untuk menciptakan dynamic governance system yang memungkinkan perubahan yang terus-menerus. Sinergi kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting. Dijelaskan oleh Neo dan Chen (2007, p. 3) bahwa Institutional culture can support or hinder, facilitate of impede dynamism in policy-making and implementation. Institutional culture involves how a nation perceives its position in the world, how it articulates its purpose, and how it evolves the values, beliefs and principles to guide its decision- making and policy choices. In addition, strong organizational capabilities are needed to consider thoroughly major policy issues and take effective action. Dynamic governance sebagai output dari sinergi kedua elemen tersebut perwujudannya sangat bergantung pada upaya pemimpin untuk menata interaksi sosial dan ekonomi untuk mencapai tujuan nasional yang dicita-citakan. Dengan mengutip pendapat North, Neo dan Chen (2007, p. 12) mengatakan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan hanya akan terjadi manakala terdapat “leadership intention, cognition and learning which involve continual modification of perceptions, belief structures and mental models, particularly when confronted with global development and technological change.” Oleh karenanya, dua hambatan utama untuk terwujudnya dynamic governance adalah ktidakmampuan untuk menghadapi perubahan lingkungan dan untuk melakukan penyesuaian atas kelembagaan yang dibutuhkan agar tetap efektif. Bagaimana sesungguhnya interaksi berbagai elemen dalam mewujudkan dynamic governance? Dynamic governance yang merupakan outcome yang diharapkan, terwujud manakala kebijakan-kebijakan yang adaptif (adaptive policies) dilaksanakan. Adaptasi atas kebijakan ini tidak dilakukan secara pasif, akan tetapi proaktif melalui berbagai inovasi, kontekstualisasi dan implementasi. Adapun yang menjadi dasar dari proses menghasilkan dynamic governance adalah landasan nilai budaya (institutional culture) yang dimiliki oleh bangsa. Nilai budaya ini pada gilirannya akan mempengaruhi perilaku. Tiga kapabilitas dinamis, yakni thinking ahead, thinking again, dan thinking across yang memfasilitasi kebijakan- kebijakan adaptif. Kapabilitas ini harus tertanam dan termanifestasi dalam strategi dan proses kebijakan (membuat pilihan kebijakan, implementasi dan evaluasi) dari lembaga-lembaga pemerintah sehingga mereka senantiasa terus belajar, berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan. Kapabilitas think ahead pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi perkembangan lingkungan, memahami konsekuensinya di masa datang terhadap tujuan ekonomi dan sosial, dan mengidentifikasi strategi investasi dan pilihan yang tepat sehingga memungkinkan semua elemen masyarakat dapat mengeksplitasi berbagai kesempatan baru dan mampu mengatasi berbagai potensi ancaman. Proses melakukan thinking ahead melibatkan: a) mengeksplorasi dan mengantisipasi tren dan perkembangan masa depan yang memiliki dampak signifikan terhadap sasaran kebijakan, b) memahami bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi pencapaian tujuan saat ini, dan menguji keefektifan strategi, kebijakan dan program yang ada, c) menyusun strategi opsi apa yang dapat digunakan untuk menghadapi ancaman yang muncul dan mengeksploitasi peluang baru, dan d) mempengaruhi pengambil keputusan utama dan pemangku kepentingan untuk dipertimbangkan isu-isu yang muncul dan melibatkan mereka dalam percakapan strategis tentang respon yang akan dilakukan (Neo & Chen, 2007, pp. 32–33). Kapabilitas think again menyangkut kemampuan untuk menilai kinerja strategi, kebijakan dan program yang ada, untuk kemudian di desain kembali untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proses melakukan thinking again melibatkan: a) meninjau dan menganalisis data kinerja aktual dan memahami umpan balik dari publik, b) menyelidiki penyebab yang mendasari umpan balik atau fakta yang diamati, informasi dan perilaku, baik untuk memenuhi atau mengetahui target yang hilang, c) meninjau kembali strategi, kebijakan, dan program untuk diidentifikasi karakter dan aktivitas yang berfungsi dengan baik maupun yang tidak, d) mendesain ulang kebijakan dan program, sebagian atau seluruhnya, sehingga kinerja mereka dapat ditingkatkan dan tujuan tercapai, dan e) menerapkan kebijakan dan sistem baru sehingga warga dilayani dengan lebih baik dan menikmati hasil yang berarti (Neo & Chen, 2007, p. 37). Kapabilitas think across adalah kemampuan untuk belajar dari pengalaman pihak lain, sehingga ide-ide bagus dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi   internal agar tujuan dapat tercaai lebih baik. Kapabilitas think across melibatkan proses: a) mencari praktik-praktik baru dan menarik yang diadopsi dan diimplementasikan oleh orang lain dalam mendekati masalah yang serupa, b) merefleksikan apa yang mereka lakukan, mengapa dan bagaimana mereka melakukannya, dan pelajaran yang mereka pelajari dari pengalaman, c) mengevaluasi apa yang mungkin berlaku untuk konteks lokal, mempertimbangkan kondisi dan keadaan unik, dan apa akan diterima oleh penduduk setempat, d) menemukan hubungan baru antar ide dan kombinasi baru ide-ide berbeda yang menciptakan pendekatan inovatif untuk masalah yang muncul, dan e) menyesuaikan kebijakan dan program agar sesuai dengan persyaratan kebijakan local dan kebutuhan warga negara (Neo & Chen, 2007, pp. 41– 42). Untuk dapat memiliki kapabilitas dynamic governance, terdapat dua pilar utama, yakni sumberdaya manusia yang mampu dan proses yang gesit dan responsif. Governance system sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternal melalui ketidakpastian masa depan dan juga berbagai praktek yang dilakukan oleh Negara lain (Neo & Chen, 2007, p. 13). Dynamic governance tercapai melalui berbagai kebijakan yang diadaptasi secara terus-menerus terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Adaptasi kebijakan (policy adaptation) bukan merupakan reaksi pasif terhadap tekanan yang datang dari luar, tetapi merupakan tindakan proaktif melalui inovasi dengan ide-ide baru yang diinputkan ke dalam berbagai kebijakan untuk hasil yanglebih baik; kontekstualisasi ide-ide baru tersebut agar mendapat dukungan dari masyarakat; dan implementasi atau eksekusi kebijakannya sebagai manifestasi dari dynamic governance (Neo & Chen, 2007, p. 13). Nilai-nilai kearifan lokal – nilai budaya, kepercayaan, tata k 

Manfaat Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

 Saat ini, semua Negara di dunia menghadapi lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan yang begitu cepat dan sulit diprediksi. Kemajuan yang diraih sekarang, tidak menjamin keberlangsungan hidup di masa depan. Bisa jadi, seperangkat prinsip, kebijakan dan praktek-praktek yang pada awalnya baik, governance yang statis dan mempertahankan status quo pada akhirnya akan membawa keadaan yang stagnan dan tidak berkembang. Tidak ada perencanaan yang hati-hati akan menjamin relevansi dan efektivitas governance, jika lembaga-lembaga pemerintahan tidak memiliki kapasitas untuk belajar, berinovasi dan berubah di tengah lingkungan global yang terus berubah dan sulit diprediksi (Neo & Chen, 2007, p. 1). Tantangan lain yang dihadapi dunia saat ini adalah inovasi teknologi yang berjalan begitu cepat, telah mengakibatkan banyak kebijakan menjadi cepat usang (obsolescence) dan terbukanya peluang-peluang baru. Demikian halnya dengan kondisi perubahan di masyarakat itu sendiri, di mana semakin banyak dari mereka yang mengenyam pendidikan yang lebih baik (well-educated) dan berinteraksi secara intensif dengan perkembangan global, yang pada akhirnya menuntut untuk 6 terlibat di dalam proses perumusan dan implementasi berbagai kebijakan Negara. Tidak kalah penting adalah berbagai permasalahan di masyarakat yang semakin kompleks, dengan dampaknya yang semakin tidak terduga serta hubungan kausal yang semakin rumit, membutuhkan penyelesaian yang multi-perspektif dan koordinasi dari multi-agency (Neo, 2019; Neo & Chen, 2007, pp. 6–8). Dengan merujuk pengalaman Negara Singapura, Neo dan Chen meyakini bahwa untuk menghadapi beragam tantangan tersebut, Pemerintah menjadi elemen sentral. Pemerintah lewat lembaga-lembaganya memainkan peran dalam menciptakan kerangka hubungan antara pemerintah, masyarakat dan dunia bisnis, serta kondisi untuk dapat memfasilitasi atau sebaliknya, menghambat keberlanjutan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Meski Pemerintah tidak secara langsung menciptakan persaingan industri, namun dapat berperan sebagai “a catalyst and a challenger in shaping the context and institutional structure that stimulates business to gain competitive advantages.”(Neo & Chen, 2007, pp. 2– 3). Di sinilah perlunya dinamisme Pemerintah. Pemerintah melalui lembagalembaganya yang dinamis menurut Neo dan Chen (2007, p. 1), “can enhance the development and prosperity of a country by constantly improving and adapting the socio-economic environment in which people, business and government interact.” Pemerintah dapat mempengaruhi dan mengendalikan pembangunan ekonomi melalui beragam kebijakan, peraturan dan struktur-struktur kelembagaan yang memberikan insentif atau pembatasan atas beragam aktivitas yang beejalan. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperbaiki dan beradaptasi secara terus- menerus merupakan kapasitas mendasar yang perlu dimiliki oleh Pemerintah (baca: lembaga-lembaga Pemerintah) jika ingin memiliki sustained economic development and prosperity.

Makna Dynamic Governance (skripsi, tesis, disertasi)

 Dinamisme (dynamism) pada hakekatnya merujuk pada kondisi adanya berbagai idea baru, persepsi baru, perbaikan secara terus-menerus, respon yang cepat, penyesuaian secara fleksibel dan inovasi-inovasi yang kreatif (Neo & Chen, 2007, p. 1). Dengan kata lain, dinamisme atau kondisi yang dinamis itu menggambarkan proses belajar yang tiada henti, cepat dan efektif, serta perubahan yang tiada akhir. Ketika kondisi dinamis itu menyangkut lembaga pemerintah, 3 maka kondisi yang dinamis menyangkut proses lembaga yang secara konstan atau konsisten melakukan perbaikan dan penyesuaian terhadap lingkungan sosial- ekonomi di mana masyarakat, swasta dan pemerintah berinteraksi. Lembaga pemerintah yang dinamis ini mempengaruhi proses pembangunan ekonomi yang tengah berjalan dan beragam perilaku sosial melalui kebijakan-kebijakan, aturan- aturan dan struktur-struktur yang menciptakan insentif dan sekaligus pembatasan- pembatasan untuk beragam aktivitas yang berlangsung. Pada gilirannya, kemampuan ini akan dapat menopang dan memperkuat pembangunan dan kesejahteraan Negara (Neo & Chen, 2007, p. 1). Sementara itu, konsep governance telah diartikan sangat beragam oleh para ahli. Bahkan keberagaman pemaknaan konsep tersebut telah mengakibatkan konsep governance termasuk ke dalam kelompok konsep yang tidak terdefinisi secara jelas, seperti dikemukakan oleh Pierre dan Peters (2000: 7, dalam Chhotray & Stoker, 2009) bahwa konsep governance merupakam konsep yang “notoriously slippery”. Namun demikian, Schneider mengatakan bahwa ketidakjelasan tersebut justru menjadi “[the] secret of its success” sehingga menjadi sebuah konsep yang mengglobal. Dalam pengertiannya yang paling sederhana, Crook dan Manor (1995, dalam Rahmatunnisa, 2010, p. 1) mengatakan bahwa governance dimaknai sebagai “ways of governing”. Secara substantif, Chhotray dan Stokker (2009, p. 3) memaknai governance sebagai “the rules of collective decision-making in settings where there are a plurality of actors or organizations and where no formal control system can dictate the terms of the relationship between these actors and organizations”. Definisi ini memberikan catatan penting terkait empat hal yang menjadi prinsip atau elemen dasar dari konsep governance. Yang pertama terkait “the rules”, di mana yang dimaksud adalah beragam aturan baik formal maupun informal seperti konvensi dan kebiasaan lainnya (customs) dalam proses pengambilan keputusan (what to decide, how to decide, and who shall decide). Elemen yang kedua terkait makna “collective”, dimana beragam keputusan dibuat oleh “a collection of individuals”, yang melibatkan “issues of mutual influence and control”. Ketiga, menyangkut makna “decision-making”, dimana dalam konsep governance proses memutuskan sesuatu secara koletif 4 dapat dilakukan baik untuk skala yang besar menyangkut masyarakat luata, atau berskala kecil menyangkut proses internal organisasi. Keempat, menyangkut makna “no formal control system can dictate” yang merujuk pada kondisi dimana governance menekankan pada collective governing, bukan monocratic government. Pemaknaan serupa juga dikemukakan oleh Bhatta (2005, p. 252), yang menyatakan bahwa governance merupakan “the relationship between governments and citizens that enable public policies and programs to be formulated, implemented and evaluated. In the broader context, it refers to the rules, institutions, and networks that determine how a country or an organization functions.” Pemaknaan Bhatta tersebut secara substantif juga mengandung elemen-elemen kunci sebagaimana dimaksudkan oleh Chhotray dan Stokker. Dari kedua konsep tersebut – dinamis dan governance – Neo dan Chen (2007, p. 7) mengatakan bahwa governance menjadi dinamis manakala pilihan- pilihan kebijakan dapat diadaptasikan dengan perkembangan terkini dalam lingkungan yang tidak pasti dan berubah sangat cepat sehingga berbagai kebijakan dan lembaga pemerintah tetap relevan dan efektif dalam mencapai tujuan jangka panjangnya. Adaptasi ini lebih dari sekedar membuat perubahan sekali saja (onetime change) atau proses recovery dari sebuah kegagalan. Lebih dari itu, dinamis lebih bermakna sebagai “on-going sustained change for long-term survival and prosperity.” Dalam konteks tersebut, konsep good governance menjadi elemen strategis lainnya yang tidak terpisahkan. Pentingnya memiliki dan mempraktekkan good governance dan lembaga-lembaga pemerintah yang jujur dan kompeten menjadi syarat penting untuk kemajuan ekonomi dan penguatan kesejahteraan masyarakat. Argumentasi ini dikemukakan secara tegas oleh Daniel Kaufmann, Direktur Global Governance dari Bank Dunia, bahwa “Poorly functioning public sector institutions and week governance are major constraints to growth and equitable development in many developing countries.” (dikutip dalam Neo & Chen, 2007, p. 7). Namun demikian, Neo dan Chen (2007, pp. 7–8) berpendapat bahwa sekedar mempraktekkan good governance saja tidaklah cukup untuk 5 mencapai proses pembangunan yang berkelanjutan dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Bangunan governance yng dibuat pada kurun waktu tertentu, dapat menjadi tidak berfungsi ketika lingkungan berubah. Untuk bisa relevan dan efektif, praktek good governance perlu dinamis. Governance yang dinamis memerlukan proses pembelajaran yang terus- menerus, untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang masa depan yang dapat mempengaruhi Negara, kesediaan untuk meninjau beragam kebijakan yang kadaluarsa karena perubahan keadaan, dan keterbukaan untuk beradaptasi dengan pengetahuan global yang disesuaikan dengan konteks unik Negara. Oleh karena itu, dynamic governance dapat dimaknai sebagai “the ability of government to continually adjust its public policies and programs, as well as change the way they are formulated and implemented, so that the long-term interests of the nations are achieved.”

Kamis, 01 Juli 2021

Desentralisasi (skripsi dan tesis)

Secara etimologi istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin, yaitu ”de” berarti lepas dan centrum berani pusat. Jadi menurut perkataan berasal dari desentralisasi adalah melepaskan dari pusat.   Desentralisasi dalam arti self government menurut Smith dalam Khairul Muluk  berkaitan dengan adanya subsidi teritori yang memiliki self government melalui lembaga politik yang akan direkrut secara demokratis sesuai dengan batas yuridiksinya. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat daerah baik provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan atas daerah pemilihan yang mencerminkan aspirasi rakyat di daerah pemilihan tenentu. Karena dewan perwakilan rakyat daerah merupakan elemen dalam penyelenggraaan pemerintahan di daerah. Menurut Henry Maddick dalam Juanda, desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.   Amrah Muslimin menyebutkan, sistem desentralisasi, yaitu pelimpahan kewenangan pada badan-badan dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu mengurus rumah tangganya sendiri.   Berdasarkan pendapat Bachrul Elmi menyebutkan, bahwa desentralisasi berarti memberikan sebagian dari wewenang pemerintahan pusat kepada daerah, untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan dan tanggung jawab daerah meliputi : urusan umum dan pemerintahan, penyelesaian fasilitas pelayanan dan urusan sosial, budaya, agama dan kemasyarakatan.  Penyerahan urusan pemerintahan lebih lanjut menurut Siswanto Sunarno  menjelaskan bahwa desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkup pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah, Desentralisasi seringkali disebut pemberian otonomi. Dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan penotonomian menyangkut proses memberikan otonomi kepada masyarakat dalam wilayah tertentu. Pada hakekatnya pemerintahan daerah melaksanakan asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah  kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan penyelenggaraan pemerintahan wajib dan pilihan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan otonomi daerah adalah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan. Pemerintah daerah dalam fungsi mengatur bersifat menetapkan peraturanperaturan terhadap kepentingan daerah yang bersifat abstrak berisi norma perintah dan larangan, sedangkan tindakan mengurus bersifat peristiwa konkrit serta tindakan mengadili yaitu mengambil tindakan dalam bentuk keputusan untuk menyelesaikan sengketa dalam hukum publik, privat dan hukum adat. Sistem daerah otonom berdasarkan asas desentralisasi, pemerintahan daerah melakukan urusan penyelenggaraan rumah tangga sendiri telah didelegasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, oleh Jimly Asshiddiqie27, dinyatakan memiliki kewenangan untuk mengurus, sebagai urusan rumah tangga daerahnya sendiri, sehingga dikenal tiga ajaran dalam pembagian penyelenggaraan pemerintah negara,yakni: (1) ajaran rumah tangga materiil; (2) ajaran rumah tangga formil; dan (3) ajaran rumah tangga riil. Lebih lanjut ketiga ajaran rumah tangga ini dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai berikut : 1. Ajaran rumah tangga materiil, untuk mengetahui yang manakah urusan yang termasuk rumah tangga daerah atau pusat. Urusan rumah tangga ini melihat materi yang ditentukan akan diurus oleh pemerintahan pusat atau daerah masing-masing. Dengan demikian pemerintah pusat dinilai tidak akan mampu menyelenggarakan sesuatu urusan dengan baik karena urusan itu termasuk materi yang dianggap hanya dapat dilakukan oleh daerah, atau sebaliknya pemerintah daerah tidak akan mampu menyelenggarakan suatu urusan karena urusan itu termasuk materi yang harus diselenggarakan oleh pusat. 2. Ajaran rumah tangga formil, merupakan urusan rumah tangga daerah dengan penyerahannya didasarkan atas peraturan perundangundangan, sehingga hal-hal yang menjadi urusan rumah tangga daerah dipertegas rinciannya dalam undang-undang. 3. Ajaran rumah tangga riil, yaitu urusan rumah tangga yang didasarkan kepada kebutuhan riil atau keadaan yang nyata, dengan didasarkan pertimbangan untuk mencapai manfaat yang sebesarbesarnya, sesuatu urusan yang merupakan wewenang pemerintah daerah dikurangi, karena urusan itu menurut keadaan riil sekarang berdasarkan kebutuhan yang bersifat nasional. Akan tetapi sebaliknya suatu urusan dapat pula dilimpahkan kepada daerah untuk menjadi suatu urusan rumah tangga daerah, mengingat manfaat dan hasil yang akan dicapai jika urusan itu tetap 23 diselenggarakan oleh pusat akan menjadi berkurang dan penambahan atau pengurangan suatu wewenang harus diatur dengan undang-undang atau peraturan peraturan lainnya. Pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi seluas-luasnya, berdasarkan pendapat Sudono Syueb menyebutkan pada intinya, bahwa daerah diberikan kebebasan dan kehadirian untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk menentukan sendiri kepala daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah dalam pemilihan langsung kepada masyarakat. Melalui pemilihan langsung, maka dihasilkan kepala daerah otonom adalah pemimpin rakyat di daerah bersangkutan yang mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah guna mewujudkan kesejahteraaan rakyat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip demokrasi, karena melibatkan sebesar-besarnya peran rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta menciptakan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang demokratis akan dapat menyelenggarakan roda pemerintahan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi, partisipatif efektif dan efisien serta bermoral yaitu pemerintahan daerah melaksanakan tindakan pemerintahan dengan baik dan mempertanggungjawabkan kepada pemerintah dan rakyat sesuai dengan prinsip akuntabilitas, serta dapat berlangsung secara terbuka dan siap dikoreksi oleh rakyat sesuai esensi prinsip transparansi. 24 Menurut pendapat peneliti desentralisasi dalam asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai dengan Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dilaksanakan dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kebebasan dan kemadirian yang seluasluasnya dilakukan oleh pemerintahan daerah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh kepala daerah yang memiliki fungsi atau bidang pekerjaan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi sesuai dengan demokrasi.

Kamis, 13 Februari 2020

Asas dan Sistem Pemilihan Umum (skripsi dan tesis)

Pelaksanan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, jujur dan adil (Luberjurdil). Adapun yang dimaksud dengan asas “Luberjurdil” dalam pemilu menurut Undang-Undang Nomor 08 tahun 2012, tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU No. 08 Tahun 2012 asas pemilihan umum meliputi: a. Langsung, rakyat mempunyai hak untuk memilih secara langsung sesui dengan pilihan hatinya. b. Umum, artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah berhak untuk ikut memilih dan telah berusia 21 tahun berhak di pilih dengan tanpa ada diskriminasi (pengecualian). c. Bebas, artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun/dengan apapun. d. Rahasia, artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya atau kepada siapa suaranya diberikan (secret ballot).  e. Jujur, pada saat pelsanaan pemilihan umum dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Adil, pada setiap pemilu, partai politik diberikan kesempatan yang sama. Sedangkan berdasarkan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 07 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, asas dalam pemilihan umum terdapat dalam Pasal 3 yaitu: a. Mandiri; b. Jujur; c. Adil; d. Berkepastian hukum; e. Tertib; f. Terbuka; g. Proporsional; h. Profesional; i. Akuntabel; j. Efektif; dan k. Efisien. Demikain asas dan sistem yang seharusnya dilakukan dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Melalui penerapan sistem dan asas tersebut diharapkan sistem demokrasi Indonesia menjadi demokrasi yang bermartabat dan menjadi contoh pelaksanaan sistem demokrasi yang berhasil di negara yang sangat majemuk.