Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 November 2023

Tugas dan Wewenang Kepolisian

 

Pengertian Kepolisian, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, adalah Institusi Negara yang diberikan tugas, fungsi dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat.

Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah[1]:

a.             Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b.            Menegakkan hukum; dan

c.             Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sedangkan wewenang polisi yaitu terutama yang berseragam wajib melakukan tindakan Kepolisian bila melihat pelanggaran hukum yang terjadi.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka jajaran kepolisian, semakin dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan sekaligus mewujudkan ketentraman di tengah - tengah masyarakat. Tugas Kepolisian yang begitu mulia tersebut, hanya dapat diwujudkan apabila aparaturnya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, benar dan bertanggung jawab, dengan memberikan pelayanan pada masyarakat secara optimal. Sehubungan dengan itu, maka Rahim, menyatakan bahwa tugas yang diemban oleh institusi Kepolisian sangat berat, sehingga sangat diperlukan aparatur yang handal, agar semua tugas-tugas dimaksud dapat dilaksanakan dengan baik dan efektif. [2]

Tugas kepolisian adalah merupakan bagian dari pada Tugas Negara dan untuk mencapai keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan dan juga koordinasi, karena itulah dibentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana. Menurut Gewin maka  tugas Polisi adalah sebagai berikut :“Tugas polisi adalah bagian dari pada tugas negara berdasarkan peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan, menegakkan negara, menanamkan pegertian, ketaatan dan kepatuhan”.

Tugas polisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara Republik Indonesia, telah ditentukan didalamnya yakni dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961, menyatakan sebagai berikut :

(1)  Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut Kepolisian Negara ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dalam negeri.

(2)   Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara.

Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 dalam butir 31 butir a   menyebutkan tugas dari kepolisian adalah sebagai berikut :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia disingkat Polri bertugas dan bertanggung jawab untuk melaksanakan : segala usaha dan kegiatan sebagai alat negara dan penegak hukum terutama di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.

Untuk melaksanakan tugas dan membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Polisi Republik Indonesia berkewajiban dengan segala usaha pekerjaan dan kegiatan untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 pada Bab III, bahwa kewajiban dan wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.

Dari berbagai peraturan perundang - undangan yang mengatur tentang tugas Polisi Republik Indonesia seperti yang disebutkan di atas, maka jelaslah bahwa tugas Polisi Republik Indonesia sangat luas yang mencakup seluruh instansi mulai dari Departemen Pertahanan Keamanan sampai pada masyarakat kecil semua membutuhkan polisi sebagai pengaman dan ketertiban masyarakat



[1] Tabah, 2001, Menatap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia,  Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

hal. 81.

[2]

Teori Keadilan Dalam Hukum


Teori tentang Keadilan telah dibicarakan oleh para filsuf sejak zaman Purbakala dengan tokoh pemikirnya antara lain Sokrates, Plato, Aristotelse dan filsuf-filsuf lainnya. Socrates dalam dialognya dengan Thrasymachus berpendapat bahwa dengan mengukur apa yang baik dan apa yang buruk, indah dan jelek, berhak dan tidak berhak jangan diserahkan semata-mata kepada orang perseorangan atau kepada mereka yang memiliki kekuatan atau penguasa yang zalim. Hendaknya dicari ukuran-ukuran yang objektif untuk menilainya. Soal keadilan bukanlah hanya berguna bagi mereka yang kuat melainkan keadilan itu hendaknya berlaku juga bagi seluruh masyarakat. [1]

Dalam kurun waktu, konsep keadilan terus mengalami perdebatan karena adanya perbedaan cara pandang terhadap sesuatu dalam hal ini konsep keadilan. Sebagai contoh, dalam filsafat terdapat pertentangan antara filsafat idealisme yang digagas oleh Hegel dengan filsafat materialisme Feurbach yang berbeda dalam memandang sesuatu. Filsafat idealisme memandang bahwa ide lebih dulu ada daripada materi sedangkan filsafat materialisme memandang sebaliknya.

Dalam konteks keadilan, dewasa ini kita mengenal istilah keadilan substantive yang dipertentangkan dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural dalam filsafat hukum identik dengan madzab hukum positivisme yang melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunya kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus dipisahkan dari moral.[2]

Keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggang waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai -nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani.

Dalam perkembangan teoeri keadilan procedural dan substantive dikenal berbagai tokoh. Diantaranya adalah Aristoteles yang mengemukakan bahwa pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak di pandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara di hadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.[3]

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian bermacam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak  Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. [4]

Dikenal juga adanya tokoh John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap - tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasi” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).[5]

Dalam perkembangannya dikenal juga adanya konsep mengenai hukum progresif. Dimana Hukum Progressif dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progressif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final melakinkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum Progressif menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berbagi paham atau aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interessenjuriprudenz di Jerman, teori hukum alam dan critical legal studies. [6]

Hukum Progressif muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap praktek keadilan hukum di Indonesia. Pengadilan tidak hanya berperan dari institusi hukum namun juga menjadi pengadilan (untuk) rakyat. Dengan demikian hukum progressif dapat berkembang dengan lahirnya pengadilan progressif yaitu proses yang sarat dengan dengan compassion yang memuat empati, determinasi, nurani dan sebagainya. Untuk mewujudkan pengadilan yang progressif diperlukan hakim yang progressif pula yaitu hakim yang menjadikan dirinya bagian masyarakat yang tidak hanya bekerja di bawah undang-undang namun juga mampu mendengarkan keinginan dari rakyat. [7]

Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bangsa Indonesia, pada hakikatnya memerintahkan  agar manusia senantiasa melakukan hubungan  yang serasi antaar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap. Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan - hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak, menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha dan merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.[8]

Dengan demikian hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan di dalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan - keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu dalam masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada di dalam kelompok masyarakat hukum.




Pihak-Pihak dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi


a.    Penyelenggara

Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang selanjutnya disebut Penyelenggara menurut Pasal 1 Angka 6 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Penyelenggara dalam pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang online ini sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang berbentuk badan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi. Badan hukum yang menjadi penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi tersebut wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK. [1]

b.    Penerima Pinjaman

Penerima pinjaman menurut Pasal 1 Angka 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Penerima pinjaman dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara dengan pemberi pinjaman. Ketentuan penerima pinjaman menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.  Ketentuan mengenai syarat- syarat penerima pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara. [2]

c.    Pemberi Pinjaman

Pemberi pinjaman menurut Pasal 1 Angka 8 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang, badan hukum dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjma berbasis Teknologi Informasi. Penerima pinjaman merupakan pihak yang memberikan pinjaman atau pendanaan kepada penerima pinjaman yang membutuhkan dana yang kemudian dipertemukan oleh penyelenggara. Ketentuan pemberi pinjaman menurut POJK Nomor 77/POJK.01/2016 adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia, orang perseorangan Warga Negara Asing, badan hukum Indonesia atau asing, badan usaha Indonesia atau asing dan/atau lembaga Internasional. Ketentuan mengenai syarat-syarat pemberi pinjaman merupakan kebijakan masing-masing penyelenggara. [3]

d.   Hubungan Hukum

Penyelenggara dengan Penerima Pinjaman Antara pihak penyelenggara dengan penerima pinjaman, terjadi suatu hubungan hukum dalam bentuk perjanjian. Namun, perjanjian antara penyelenggara dan penerima pinjaman berupa perjanjian pengguna layanan pinjam peminjam uang berbasis Teknologi Informasi. Perjanjian tersebut lahir ketika penerima pinjaman telah melakukan penerimaan terkait dengan segala ketentuan penggunaan yang ditetapkan oleh penyelenggara dan kemudian mengajukan permohonan peminjaman berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan pula oleh penyelenggara

 



[1] Ernama, Budiharto, Hendro, “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)”, Diponegoro Law Journal, Op.Cit., hlm. 10

[2] Ibid

[3] Ibid 

Tata Cara  Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

 

Perjanjian pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (online) diawali dengan adanya penawaran yang dilakukan oleh penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis Teknologi Informasi dan dilanjutkan dengan penerimaan yang dilakukan oleh nasabah. Penawaran dan penerimaan dalam perjanjian ini tentu saja memiliki mekanisme yang berbeda dari perjanjian pinjam meminjam konvensional, hal ini dilihat dari cara perjanjian online itu lahir[1].

a.              Penawaran dilakukan secara online

Penawaran (offer) adalah pernyataan salah satu pihak, penawar (offeror), untuk masuk dalam ikatan suatu perjanjian. Dalam konteks online, sebuah jasa online lainnya dapat memajang informasi produk yang ditawarkan kepada konsumen. Informasi tersebut dapat berupa katalog produk dan layanan yang mereka berikan yang disertai dengan berbagai informasi seperti harga, spesifikasi barang, nilai rating produk atau jasa, perusahaan pembuat dan lain-lain.

b.             Penerimaan dilakukan secara online

Penerimaan adalah persetujuan akhir dan mutlak terhadap isi dari suatu penawaran dan umumnya penerimaan penawaran harus disampaikan atau dikomunikasikan kepada pihak yang menyampaikan penawaran. Tanpa adanya penerimaan terhadap suatu penawaran, tidak akan mungkin lahir suatu kontrak. Biasanya penerimaan dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh offeror. Seperti halnya penawaran, penerimaan dapat diberikan secara lisan atau tulisan bahkan dapat dilakukan dengan suatu perbuatan tertentu

Dalam Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT), bahwa layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi didefinisikan sebagai penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara lansung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Dalam perjanjian layanan pinjam meminjam uang yang diatur di dalam fintech berdasarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBT). Diatur bahwa dalam Pasal 18 POJK, Perjanjian pelaksanaan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi meliputi:

 a. Perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman; dan

 b. Perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.

Bahwa selanjutnya dalam Pasal 19, dijelaskan bahwa Perjanjian penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik. Dokumen elektronik dalam Pasal 1 angka 12 POJK, didefinisikan sebagai setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) wajib paling sedikit memuat:

a. nomor perjanjian;

b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak;

d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

 e. jumlah pinjaman;

f. suku bunga pinjaman;

g. besarnya komisi;

h. jangka waktu;

i. rincian biaya terkait;

j. ketentuan mengenai denda (jika ada);

k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan

 l. mekanisme penyelesaian dalam hal penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan operasionalnya.

 Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Pemberi Pinjaman atas penggunaan dananya. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Penerima Pinjaman. Informasi penggunaan dana paling sedikit memuat:

a. jumlah dana yang dipinjamkan kepada Penerima Pinjaman;

 b. tujuan pemanfaatan dana oleh Penerima Pinjaman;

 c. besaran bunga pinjaman; dan

d. jangka waktu pinjaman.

 Sedangkan dalam perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam Pasal 20, dijelaskan lebih lanjut bahwa perjanjian pemberian pinjaman antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dituangkan dalam dokumen elektronik, yang wajib paling sedikit memuat[2]:

 a. nomor perjanjian;

 b. tanggal perjanjian;

c. identitas para pihak

 d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;

e. jumlah pinjaman;

 f. suku bunga pinjaman;

g. nilai angsuran;

 h. jangka waktu;

i. objek jaminan (jika ada);

 j. rincian biaya terkait;

k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan

 l. mekanisme penyelesaian sengketa.

Penyelenggara wajib menyediakan akses informasi kepada Penerima Pinjaman atas posisi pinjaman yang diterima. Akses informasi tidak termasuk informasi terkait identitas Pemberi Pinjaman. Dijelaskan dalam Pasal 23, bahwa Penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account dalam rangka Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Penyelenggara wajib menyediakan virtual account bagi setiap Pemberi Pinjaman. Dalam rangka pelunasan pinjaman,  Penerima Pinjaman melakukan pembayaran melalui escrowaccount Penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account Pemberi Pinjaman.

Dengan demikian secara singkat dapat dirangkum bahwa proses aplikasi pinjaman peer lending lazimnya mengikuti proses berikut: Peminjam masuk ke website, registrasi dan mengisi form aplikasi. Platform kemudian memverifikasi dan menganalisa kualifikasi pinjaman tersebut. Pinjaman yang berhasil lolos di posting di website di mana pendana bisa memberikan komitmen dana untuk pinjaman itu. Ada beberapa cara yang di adopsi berbagai platform peer lending untuk mencocokkan peminjam dengan pendana. [3]



[1] Kasmir, 2014, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 80-81

[2] Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. 2003. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Mandar Maju,. Millard

[3] Simorangkir, 2000, Pengantar Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 102

Pengaturan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi di Indonesia


Layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi atau online diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 yakni yang disebutkan pada Pasal 1 angka 3 bahwa : Layanan Pinjam Meminjam Uang Bebasis teknologi Informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara lansung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. [1]

Semakin pesatnya perkembangan inovasi dan teknologi dan komunikasi telah memfasilitasi kemungkinan peningkatan dalam tata cara komunikasi, berbagai informasi secara cepat, dan dialog lintas budaya. Perkembangan teknologi memberikan peluang baru bagi beragam tindakan yang mengintervensi kehidupan pribadi seseorang.44 Oleh karena itu, pada Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 diatur bahwa penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Online wajib [2]:

a.         Menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan;

b.        Memastikan tersedianya proses autentifikasi, verifikasi, dan validasi yang mendukung kenirsangkalan dalam mengakses, memproses dan mengeksekusi data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya;

c.         Menjamin bahwa perolehan, penggunaan, pemanfaatan dan pengungkapan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi dan data keuangan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundangundangan;

d.        Menyediakan media komunikasi lain selain Sistem elektronik Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi untuk memastikan kelangsungan layanan nasabah yang dapat berupa surat elektronik, call center, atau media komunikasi lainnya; dan

e.         Memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi, data transaksi dan data keuangan tersebut jika terjadi kegagalan dalam perlindungan kerahasiaan data pribadi, data transaksi dan data keuangan yang dikelolanya.

Ketentuan mengenai klasifikasi peminjam & pemberi pinjaman yang dapat berupa perorangan maupun badan hukum sebagaimana Pasal 15 dan pasal 16 Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 juga tertuang didalam Syarat dan ketentuan Pohon Dana. Peminjam dalam layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi ini dapat disebut juga dengan debitur, sedangkan pemberi pinjaman dapat disebut kreditur. Debitur dan kreditur merupakan subyek hukum yang harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yakni setidaknya telah dewasa dan tidak dibawah pengampuan, namun didalam syarat dan ketentuan layanan Peer to Peer Lending. Pohon Dana tidak mencantumkan syarat-syarat mutlak seseorang dapat menjadi subyek hukum sebagaimana Pasal 1330 KUH Perdata. Hanya ada ketentuan bahwa calon peminjam atau calon debitur harus melengkapi data dalam proses permohonan pengajuan pinjaman pada situs atau aplikasi Pohon Dana yang mana didalam aplikasi tersebut tersedia kolom pengisian sejumlah data pribadi dari calon peminjam baik berupa foto ktp, foto kartu keluarga serta kartu Nomor Pokok Wajib Pajak



[1] Ernama Santi,dkk. “ Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016) “ Diponegoro Law Journal : Vol 6 Nomor 3 2017. Hlm 6

[2] Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi

Pengertian Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi

Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.  Perjanjian pinjam meminjam uang online atau dikenal juga dengan nama Peer-To-Peer Lending (P2P Lending) pada dasarnya sama seperti perjanjian pinjam meminjam uang konvensional, hanya saja yang membedakan adalah para pihak tidak bertemu secara langsung, para pihak tidak perlu saling mengenal karena terdapat penyelenggara yang akan mempertemukan para pihak dan pelaksanaan perjanjian dilakukan secara online[1]

Secara teoritis, Peer-to-peer lending atau P2P Lending adalah kegiatan pinjam meminjam antar perseorangan. Praktisi ini sudah lama berjalan dalam bentuk yang berbeda, seringkali dalam bentuk perjanjian informal. Dengan berkembangnya teknologi dan e-commerce, kegiatan peminjaman turut berkembang dalam bentuk online dalam bentuk platform serupa dengan ecommerce. Dengan itu, seorang peminjam bisa mendapatkan pendanaan dari banyak individu. Dalam peer lending, kegiatan dilakukan secara online melalui platform website dari berbagai perusahaan peer lending. Terdapat berbagai macam jenis platform, produk, dan teknologi untuk menganalisa kredit. Peminjam dan pendana tidak bertemu secara fisik dan seringkali tidak saling mengenal. Peer lending tidak sama dan tidak bisa dikategorikan dalam bentuk-bentuk institusi finansial tradisional: himpunan deposito, investasi, ataupun asuransi. Karena itu, peer lending dikategorikan sebagai produk finansial alternatif.[2]

Sebelum membahas tentang aspek perlindungan data pribadi pada transaksi pinjam meminjam online, perlu dipahami bahwa layanan pinjam meminjam online merupakan layanan fintech peer-to-peer lending yang bertindak sebagai penyelenggara atau dengan kata lain, layanan pinjam meminjam yang hanya mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Direktorat Pengaturan,Perizinan dan Pengawasan Fintech (DP3F) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan sebagai berikut : “Fintech adalah layanan jasa keuangan berbasis teknologi, layanan jasa keuangan ada banyak sekali, ada pendanaan, pasar modal, asuransi dan lain-lan. Fintech Peer To Peer (P2P) Lending termasuk ke dalam layanan jasa keuangan yang berbasis pada teknologi informasi. Kategori fintech ada enam kategori, Fintech Peer To Peer (P2P) Lending di Indonesia hanya sebagai penyelenggara saja atau hanya sebagai platform saja, perusahaan tersebut tidak dapat bertindak sebagai penerima pinjaman ataupun pemberi pinjaman

Konsep Hak Privasi

 

Hak Privasi adalah hak fundamental yang penting bagi otonomi dan perlindungan martabat manusia dan bertujuan untuk menjadi dasar dimana banyak hak asasi manusia dibangun diatasnya. Privasi memungkinkan kita untuk membuat pembatasan dan mengelolanya untuk melindungi diri dari gangguan yang tidak diinginkan, yang membolehkan kita untuk menegosiasikan siapa kita dan bagaimana kita mau berinteraksi dengan orang di sekitar kita. [1]Peraturan yang melindungi privasi memberikan legitimasi terhadap hak yang kita miliki dan menjadi penting untuk melindungi diri kita dan masyarakat Alasan hak privasi harus dilindungi adalah[2]Pertama, dalam membina hubungan dengan orang lain, seseorang harus menutupi sebagian kehidupan pribadinya sehingga dia dapat mempertahankan posisinya pada tingkat tertentu. Kedua, seseorang di dalam kehidupannya memerlukan waktu untuk dapat menyendiri sehingga privasi sangat diperlukan oleh seseorang,

Ketiga, privasi adalah hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung kepada hak lain akan tetapi hak ini akan hilang apabila orang tersebut mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi kepada umum. Keempat, privasi juga termasuk hak seseorang untuk melakukan hubungan domestik termasuk bagaimana seseorang membina perkawinan, membina keluarganya dan orang lain tidak boleh mengetahui hubungan pribadi tersebut. Dalam pernyataan Warren menyebutnya sebagai the right against the wordKelima, alasan lain mengapa privasi patut mendapat perlindungan hukum karena kerugian yang diderita sulit untuk dinilai. Kerugiannya dirasakan jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian fisik, karena telah menganggu kehidupan pribadinya, sehingga bila ada kerugian yang diderita maka pihak korban wajib mendapatkan kompensasi.

 Alan Westin memberikan pengertian privasi sebagai[3]:

Privacy is the claim of individuals, groups, or institutions to determine for themselves when, how, and to what extent information about them is communicated to others (

 

Pernyataan di atas diartikan bahwa privasi adalah klaim individu, kelompok, atau institusi untuk menentukan sendiri kapan, bagaimana,dan sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain. Hak privasi merupakan salah satu hak yang melekat pada diri setiap orang. Dalam hal lain, hak privasi merupakan martabat setiap orang yang harus dilindungi.

Indonesia memiliki aturan perlindungan data pribadi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang rahasia kondisi pribadi pasien, sedangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur data pribadi mengenai nasabah[4]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut:

a.         Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b.         Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.

c.         Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang. penyimpan dan simpanannya.

 Selain itu pengaturan perlindungan privasi dan data pribadi juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi , Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan (telah diubah dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2013) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016), serta Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.[5]

Pada Pasal 26 Ayat (1) dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung pengertian sebagai berikut[6]:

a.         Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b.         Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa tindakan memata-matai.

c.         Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi seseorang.

Sebelum amandemen UUD 1945, penghormatan terhadap hak privasi seseorang sesungguhnya telah mengemuka di dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, bahkan ketika periode kolonial. Hal ini sebagaimana mengemuka di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan Bab XXVII KUHP tentang kejahatan Jabatan, Pasal 430 sampai dengan Pasal 434 mengatur mengenai larangan penyadapan secara melawan hukum. Sementara KUHPerdata mengatur hubungan hukum keperdataan antar-orang atau badan, yang memungkinkan adanya suatu gugatan hukum jikalau hak atas privasinya ada yang dilanggar oleh pihak lain.  Larangan penyadapan secara sewenang-wenang atau melawan hukum (unlawfull interception), yang memiliki keterkaitan erat dengan upaya perlindungan terhadap hak atas privasi juga dapat ditemukan di dalam UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 1 Tahun 2003 tentang Advokat, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik materinya tidak hanya mengatur mengenai larangan tindakan penyadapan yang melawan hukum, tetapi juga telah mengatur (meski terbatas) larangan pemindahtanganan. [7]