Tampilkan postingan dengan label Analisis Spasial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Analisis Spasial. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Juli 2018

Pendekatan Geografi (skripsi dan tesis)


Geografi ditandai dengan perkembangan metodologi tentang lingkup dan isi geografi. Perkembangan metodologi dalam geografi berkembang dengan pesat. Bintarto (1987) menyatakan dalam geografi terpadu (integrated geography) untuk mendekati atau menghampiri masalah dalam geografi digunakan bermacam-macam pendekatan atau hampiran (approach). Pendekatan dalam geografi tersebut yaitu pendekatan analisa keruangan (spatial analysis), analisa ekologi (ecological analysis), dan analisa kompleks wilayah (regional complex analysis).
1. Pendekatan Keruangan
Analisa keruangan mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting atau seri sifat-sifat penting. Hal yang harus diperhatikan dalam analisa keruangan adalah penyebaran penggunaan ruang yang telah ada dan penyediaan ruang yang akan digunakan untuk berbagai kegunaan yang direncanakan. Data yang dapat dikumpulkan dalam analisa keruangan adalah data titik (point) dan data bidang (areal). Data titik antara lain data ketinggian tempat, data sampel bantuan, data sampel tanah, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam data bidang antara lain data luas hutan, data luas pertanian, data luas permukiman, dan lain sebagainya.
Penyebaran penggunaan ruang yang telah ada memiliki kaitan dalam teori difusi. Difusi dalam geografi mempunyai dua arti yang berbeda yaitu difusi ekspansi (expansion diffusion) dan difusi penampungan (relocation diffusion). Difusi ekspansi yaitu suatu proses di mana informasi, material, dan sebagainya menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah yang lain. Dalam proses ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Hal ini berarti bahwa terjadi penambahan jumlah anggota baru pada populasi antara dua periode waktu. Penambahan anggota baru tersebut mengubah pola keruangan pupulasi secara keseluruhan. Hal ini berarti bahwa daerah asal mengalami perluasan karena terdapat tambahan anggota baru dalam populasi.
Difusi ekspansi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu difusi menjalar (contagious diffusion) dan difusi kaskade (cascade diffusion). Difusi menjalar adalah difusi yang proses menjalarnya terjadi dengan kontak langsung antar manusia atau antar daerah. Misalnya menjalrnya penyakit menular melalui kontak antar manusia. Proses ini sangat bergantung pada jarak sehingga mempunyai kecenderungan untuk menjalar secara sentrifugal dari daerah sumbernya.
Difusi kaskade adalah proses penyebaran fenomena melalui beberapa tingkat atau hirarki. Proses ini adalah proses yang terjadi pada difusi pembaharuan. Misalnya proses pembaharuan yang dimulai dari kota besar hingga kota pelosok. Difusi kaskade selalu dimulai dari tingkat atas kemudia menjalar ke tingkat bawah. Apabila proses penjalaran tersebut dimulai dari tingkat bawah ke tingkat atas maka disebut difusi hirarki (hierarchi diffusion).
Difusi penampungan (relocation diffusion) merupakan proses yang sama dengan penyebaran keruangan di mana informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah yang lama dan berpindah atau ditampung di daerah yang baru. Hal ini berarti bahwa anggota dari populasi pada periode waktu satu berpindah letaknya dari waktu satu ke waktu dua.
Gambar Difusi Ekspansi
Gambar Difusi Relokasi
Keterangan:
W1 = Waktu 1
W2 = Waktu 2
W3 = Waktu 3

2. Pendekatan Ekologi
Ekologi merupakan studi mengenai interaksi antara organisme hidup dengan lingkungan. Untuk mempelajari ekologi diperlukan pemahaman mengenai organisme hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan serta lingkungannya seperti litosfer, hidrosfer, dan atmosfer. Kelompok organisme beserta lingkungan hidupnya sebagai satu kesatuan disebut dengan ekosistem. Ekosistem dibagi menjadi dua golongan yaitu bagian hidup (biotik) dan bagian tidak hidup (abiotik). Bagian abiotik dibagi menjadi tida bagian yaitu litosfer (bagian padat dari bumi), hidrosfer (bagian cair dari bumi), dan atmosfer. Tiap unsur dari ekosistem tersebut mempunyai sifat-sifat tertentu yang menentukan peranannya dalam ekosistem secara keseluruhan. Tiap unsur tersebut mempunyai jenis interaksi tertentu dengan unsur yang lain. Beberapa dari sifat unit tersebut berubah-ubah mengikuti ruang dan atau waktu serta merupakan dasar untuk membedakan antara ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain, sedangkan sifat yang lain tidak berubah. Sifat yang tidak berubah adalah sifat kimiawi, fisikal, biologi atau geologi. Contoh ekosistem antara lain ekosistem rawa, ekosistem hutan, ekosistem laut, dan lain sebagainya.
Lingkungan hidup manusia dapat digolongkan dalam beberapa kelompok yaitu lingkungan fisikal (physical environment), lingkungan biologis (biological environment), dan lingkungan sosial (social environment). Lingkungan fisikal adalah segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk mati seperti pegunungan, sungai, udara, air, sinar matahari, rumah, dan lain sebagainya. Lingkungan bilogis adalah segala sesuatu di sekitar manusia yang berupa organisme hidup seperti hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya. Lingkungan sosial memiliki beberapa aspek seperti sikap kemasyarakatan, sikap kejiwaan, sikap kerohanian, dan sebagainya. Dinamika yang terdapat dalam lingkungan sosial dapat menimbulkan perubahan gagasan manusia sehingga dapat menimbulkan penyesuaian dan pembaharuan sikap dan tindakan terhadap lingkungan tempat hidupnya. Di sisi lain lingkungan fisikalnya dapat mengalami perubahan bentuk dan fungsi yang disebabkan oleh campur tangan manusia.

3. Pendekatan Kompleks Wilayah
Analisa kompleks wilayah adalah kombinasi antara analisa keruangan dan analisa ekologi. Pendekatan kompleks wilayah ini memiliki anggapan bahwa interaksi antar wilayah akan berkembang karena pada hakekatnya suatu wilayah berbeda dengan wilayah yang lain karena terdapat permintaan dan penawaran antar wilayah tersebut. Hagget (1970) dalam Bintarto (1987) menyebutkan bahwa aspek dalam analisa kompleks wilayah antara lain ramalan wilayah (regional forecasting) dan perencanaan wilayah (regional planning).
Beberapa konsep wilayah antara lain uniform region, nodal regiongeneric region, dan specific regionUniform Region atau wilayah seragam maksudnya pada wilayah seragam terdapat keseragaman atau kesamaan dalam kriteria tertentu. Nodal Region atau wilayah nodus adalah suatu wilayah yang dalam banyak hal diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis melingkar. Contohnya kota yang diatur oleh beberapa pusat kegiatan yang dihubungkan oleh jalur jalan yang melingkar. Oleh karena itu pada wilayah nodus atau tombol terdapat kaitan fungsional antar pusat-pusat kegiatan atau disebut dengan wilayah fungsional (functional region).
Generic Region adalah kategori wilayah menurut jenis. Klasifikasi wilayah menurut jenisnya menekankan kepada jenis sesuatu wilayah seperti wilayah iklim, wilayah pertanian, wilayah vegetasi, wilayah fisiografi, dan sebagainya. Sedangkan klasifikasi wilayah menurut kekhususannya (specific region) merupakan daerah tunggal, mempunyai ciri-ciri geografi khusus terutama yang ditentukan oleh lokasinya dalam kaitannya dengan daerah lain, misalnya wilayah Asia Tenggara.


Komponen Sistem Informasi Geografis (skripsi dan tesis)


       Komponen utama SIG dapat dibagi kedalam empat komponen utama, yaitu:
a)    Perangkat Keras
Perangkat keras SIG memiliki pengertian perangkat-perangkat fisik yang digunakan oleh sistem komputer. Perangkat keras SIG berupa digitizer, scanner, Central Procesing Unit (CPU), harddisk, dan lain-lain.
b)    Perangkat Lunak
Perangkat lunak dari segi SIG merupakan perangkat yang tersusun secara modular. Perangkat lunak aplikasi SIG berupa ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, dan lain-lain.
c)    Data dan Informasi Geografi
SIG mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara langsung dengan cara meng-import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasial dari peta dan masukan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan.
d)    Manajemen
Suatu proyek SIG akan berhasil jika di-manage dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlianOrganisasi manajemen disebut juga sumberdaya manusia atau brainware, termasuk juga pengguna  (Eddy Prahasta, 2009: 121).
2.    Analisis data Sistem Informasi Geografis
Analisis SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat dilakukan. Secara umum terdapat dua fungsi analisis, yakni analisis atribut dan fungsi analisis spasial (Eddy Prahasta, 2001 : 137-139).
a)    Fungsi analisis data atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengolahan basis data (DBMS) dan perluasannya.
1)          Operasi basisdata mencakup:
                                    i.  Membuat basis data baru (create databased).
                                   ii.  Menghapus basis data (drop databased).
                                  iii.  Membuat tabel basis data (create table).
                                 iv.  Menghapus tabel basis data (drop table).
                                  v.  Mengisi dan menyisipkan data (record) ke dalam tabel (insert).
                                 vi.  Mengubah dan mengedit data yang terdapat di dalam tabel basis data (update, edit).
                                vii.  Menghapus data dari tabel (pack)
                               viii.  Membuat indeks untuk setiap tabel basis data
2)          Perluasan operasi basis data
                                    i.  Membaca dan menulis basis data dalam sistem basis data yang lain (export dan import).
                                   ii.  Dapat berkomunikasi dengan basis data yang lain (misalnya dengan menggunakan driver ODBC)
                                  iii.  Dapat menggunakan basis data standard SQL (structured query language).
                                 iv.   Operasi-operasi atau fungsi analisis lain yang sudah rutin digunakan didalam sistem basis data.
b)    Fungsi analisis spasial antara lain:
1)    Klasifikasi (reclassify)
Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasikan kembali suatu data spasial atau atribut menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.
2)    Jaringan (network)
Fungsi ini me rujuk data spasial titik-titik (point) atau garisgaris (lines) sebagai suatu jaringan yang tak terpisahkan.
3)    Tumpang susun (overlay)
Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi masukannya, yaitu dengan cara menumpangsusunkannya.
4)    Buffering
Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru yang berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik-titik pusatnya. Untuk data spasial garis akan menghasilkan data spasial baru yang berupa poligon-poligon yang melingkupi garis.
5)    Pengolahan citra digital (digital image processing)
Fungsi ini dimiliki data raster, analisis terdiri dari banyak sub-sub fungsi analisis pengolahan citra digital.

Tata ruang (skripsi dan tesis)


Tata ruang menurut Eko Budiharjo (1995: 21) adalah wujud struktural  dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatan yang secara hierarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Wujud pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran permukiman, tempat kerja, industri, serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan.
Perencanaan tata ruang wilayah menurut Robinson Tarigan (2005: 58) adalah suatu proses yang melibatkan banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang itu memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan yang berkesinambungan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010, Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan tersebut. Penataan ruang wilayah dilakukan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.
Tujuan penataan ruang menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010, sebagai berikut: 1) mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang; 2) memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan 3) mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang. Tujuan penataan ruang adalah menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai kegiatan di berbagai subwilayah agar tercipta hubungan yang harmonis dan serasi. Dengan demikian, akan  mempercepat proses tercapainya  kemakmuran dan terjaminnya kelestarian lingkungan hidup. Tata ruang membutuhkan pengendalian dengan kebijakan dan strategi agar menuju sasaran yang diinginkan (Robinson Tarigan, 2005: 59)
Peran tata ruang dalam mitigasi bencana dapat membantu perencanaan fisik sebagai upaya meminimalkan akibat negatif dari bencana yang terjadi. Coburn (1994: 37) berpendapat bahwa banyak terdapat bahaya yang bersifat lokal dengan kemungkinan pengaruhnya yang terbatas pada daerah-daerah tertentu yang sudah diketahui. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat dikurangi jika memungkinkan untuk menghindarkan penggunaan daerah-daerah bahaya untuk tempat-tempat hunian atau sebagai lokasi-lokasi struktur-struktur yang penting. Perencanaan perkotaan perlu memadukan kesadaran akan bahaya-bahaya alam dan mitigasi risiko bencana ke dalam proses-proses normal dari perencanaan pembangunan dari satu kota.

Mitigasi Bencana Gunungapi (skripsi dan tesis)


Tujuan mitigasi bencana gunungapi menurut Oman Abdurahman (2011: 32), yaitu untuk meminimalisir atau meniadakan jatuhnya korban akibat letusan gunungapi. Kegiatan utama mitigasi bencana gunungapi adalah melakukan evaluasi bahaya gunungapi. pemantauan dan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bahaya gunungapi. Evaluasi bahaya menghasilkan Peta Daerah Bahaya Gunungapi atau Peta Rawan Bahaya (KRB) Gunungapi. Peta ini menggambarkan kawasan yang berpotensi terkena dampak letusan. Peta tersebut berguna sebagai acuan bagi pemerintah daerah dalam menata tataruang wilayah dan menyiapkan evakuasi pada saat masa kritis.  
Upaya mitigasi juga dilakukan melalui identifikasi jenis bahaya dan karakternya. Bahaya gunungapi mempunyai karakter yang tidak dapat diubah. Dengan memahami jenis bahaya dan karakternya, maka dapat dilakukan antisipasi bahayanya. Pemberdayaan masyarakat menjadi sangat vital, terutama pada masyarakat yang belum pernah mengalami peristiwa letusan gunungapi. Pemberdayaan masyarakat ini dilakukan melalui peningkatan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dengan membutuhkan kesadaran dan meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bahaya letusan gunungapi menjadi hal yang sangat penting dalam mitigasi bencana.
Pergerakan magma yang mengawali suatu letusan dapat dideteksi oleh peralatan pemantauan. Salah satu unsur dalam kesiapsiagaan, pemantauan gunungapi dilakukan untuk memberikan peringatan dini letusan gunungapi kepada masyarakat. Pemberian peringatan dini dilakukan secara bertahap, karena letusan memperlihatkan gejala awal (precursor) atau tanda-tanda sebelum kejadian. Semakin dekat dengan letusan, maka semakin jelas tanda-tandanya. Tingkatan aktivitas gunungapi secara bertahap dimulai dari Normal, Waspada, Siaga, dan Awas. 





  Tabel 4Penetapan Status Bahaya Gunung Meletus
1
Aktif Normal (level I)
Kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan dan hasil visual, kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
2
Waspada (level II)
Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya.
3
Siaga (level III)
Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung. Berdasarkan analisis perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.
4
Awas (level IV)
Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data pengamatan, segera akan diikuti letusan pertama.
Sumber: Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2008)


Prinsip penanggulangan bencana (skripsi dan tesis)


Meliza Rafdiana (2011: 22 - 24) mengatakan bahwa besar kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari korban jiwa, kerusakan, atau biaya-biaya kerugian yang ditimbulkan. Dampak sebuah bencana dapat diprediksi dengan mengidentifikasi:
a)  Bahaya (Hazard) = H
Bahaya merupakanfenomena atau  situasi yang memiliki potensi untuk menyebabkan gangguan atau kerusakan terhadap orang, harta benda, fasilitas, maupun lingkungan. Bahaya merupakan potensi penyebab bencana.
b)  Kerentanan (vulnerability) = V
Kerentanan  merupakan suatu kondisi yang menurunkan kemampuan seseorang atau komunitas masyarakat untuk menyiapkan diri, bertahan hidup atau merespon potensi bahaya. Kerentanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: kemiskinan, pendidikan, sosial budaya, dan aspek infrastruktur.
c)  Kapasita (Capacity) = C
Kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang ada pada setiap individu dan lingkungan  yang mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi, dan pulih dari akibat bencana dengan cepat.
d)  Risiko Bencana (Risk) = R
Risiko bencana merupakan interaksi tingkat kerentanan dengan bahaya yang ada. Ancaman bahaya alam bersifat tetap karena merupakan bagian dari dinamika proses alami, sedangkan tingkat kerentanan dapat dikurangi sehingga kemampuan menghadapi bencana semakin meningkat.
Prinsip atau konsep yang digunakan dalam penilaian risiko bencana adalah:
Keterangan:
R: Risiko (Risk)
H: Bahaya (Hazard)
V: Kerentanan (Vulnerability)
C: Kapasitas (Capacity)





Mitigasi Bencana (skripsi dan tesis)


Mitigasi (mitigation) merupakan tindakan struktural dan non struktural yang diambil untuk menghadapi dampak merugikan dari potensi bahaya alam, kerusakan lingkungan, dan behaya teknologi (Strategi Internasional PBB dalam Neeraj Prasad, dkk. 2010: 23). Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU RI No. 24 Tahun 2007). Berikut ini adalah tahapan penting dalam mitigasi bencana, yaitu:
a)  Kesiapsiagaan (preparedness) terdapat dua bagian penting yaitu danya perencanaan yang matang dan persiapan yang memadai sehubungan dengan tingkat risiko bencana.
b)  Respon (response) merupakan tindakan tanggap bencana yang meliputi dua unsur terpenting, yaitu tindakan penyelamatan dan pertolongan. Pertama-tama tindakan tersebut ditujukan untuk menyelamatkan dan menolong jiwa manusia baik secara personal, kelompok maupun masyarakat secara keseluruhan. Kedua, ditujukan untuk menyelamatkan harta benda yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup personal, kelompok maupun masyarakat selanjutnya.
c)  Pemulihan (recovery) merupakan tahap atau langkah pemulihan sehubungan dengan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan oleh bencana. Dalam tahap ini terdapat terdapat dua bagian, yaitu pemulihan dan pengawasan yang ditujukan untuk memulihkan keadaan ke kondisi semula atau setidaknya menyesuaikan kondisi pascabencana, guna keberlangsungan hidup selanjutnya.














Bencana Gunung Meletus (skripsi dan tesis)


Penyebab terjadinya bencana gunung meletus menurut Coburn (1994: 22) yaitu keluarnya magma dari kedalaman bumi, terkait dengan penutupan arus-arus konveksi. Gunung meletus juga bisa terjadi akibat proses-proses tektonis dari gerakan yang lambat dari daratan dan pembentukan lempengan. Meliza Rafdiana (2011: 9) mengemukakan bahwa bencana gunung meletus merupakan peristiwa yang terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magma adalah cairan pijar yang terdapat di dalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih dari seribu derajat celcius. Cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut lava. Suhu lava yang dikeluarkan bisa mencapai 700- 1.200 derajat celcius. Letusan gunungapi yang membawa batu dan abu dapat menyembur sampai 18 Km atau lebih, sedangkan lavanya bisa membanjiri sampai sejauh 90 Km.
Gunungapi yang sering meletus disebut gunungapi aktif. Gunungapi yang akan meletus dapat diketahui melalui beberapa tanda, antara lain: suhu di sekitar gunung naik, mata air menjadi kering, sering mengeluarkan suara gemuruh disertai getaran (gempa), tumbuhan disekitar gunung layu, dan binatang di sekitar gunung bermigrasi. 
Bahaya yang ditimbulkan dari letusan gunungapi dibagi menjadi dua jenis. Bahaya yang pertama adalah bahaya primer: berupa guguran lava pijar, awan panas, jatuhan bahan letusan, sebaran abu,  dan gas beracun. Bahaya selanjutnya adalah bahaya sekunder yang berupa aliran lahar (Muzil Azwar, 1998: 82-84). Lahar merupakan istilah bahasa jawa yang pertama kali diperkenalkan oleh Schrivenor tahun 1929. Lahar berarti aliran air yang membawa bongkah-bongkah batu dan material sedimen lainnya (pasir) menuruni lereng gunungapi dengan kecepatan tinggi, sebagai aliran pekat (Sudibyakto, 2011: 14)Besar kecilnya lahar hujan ditentukan oleh volume air hujan yang turun di atas endapan abu gunungapi (Djauhari Noor, 2005: 124)
Elemen-elemen yang berisiko terkena letusan gunungapi adalah semua yang berada dekat dengan gunungapi tersebut. Elemen-elemen itu antara lain: atap-atap rumah atau bangunan-bangunan yang mudah terbakar, persediaan air yang rentan terkena jatuhan debu, bangunan-bangunan yang lemah dapat runtuh terkena tekanan-tekanan abu, tanaman pangan dan ternak menjadi risiko (Coburn, 1994: 22).

Jenis Bencana (skripsi dan tesis)


Meliza Rafdiana (2011: 6) menjelaskan jenis-jenis bencana yaitu:
a)    Bencana alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. 
b)    Bencana non - alam
Bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c)    Bencana sosial
Bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Menurut Arie Priambodo (2009: 23), dalam menghadapi bencana, dibutuhkan perhitungan skala bencana, tingkat bahaya, serta risiko yang dapat ditimbulkan. Berikut rincian tabel skala bencana:
Tabel 3. Skala Bencana
Skala
Tingkat bahaya
Manusia
Bangunan
A
Ringan
Cedera
Rusak ringan
B
Menengah
Luka parah
Rusak sedang
C
Berat
Cacat permanen
Rusak parah
D
Dahsyat
Meninggal dunia
Hancur




Sumber: Arie Priambodo (2009: 23)

Pengertian Bencana (skripsi dan tesis)


Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Menurut Rautela dalam Bevaola Kusumasari (2014: 6), bencana merupakan kejadian yang tidak dapat diprediksikan dan terjadi secara tiba-tiba yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran yang besar serta penderitaan bagi umat manusia.

Zonasi (skripsi dan tesis)


Zonasi secara bahasa adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan. Zonasi merupakan langkah dasar dari perencanaan tata ruang. Robinson tarigan (2005: 49) menjelaskan bahwa perencanaan tata ruang wilayah pada dasarnya adalah menetapkan bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur penggunaannya (jelas peruntukannya) dan ada bagian-bagian yang kurang/tidak diatur penggunaannya. Dalam pembuatan zonasi harus ada pembagian atau pengelompokan kesatuan wilayah yang mempunyai kriteria tertentu dengan tujuan untuk membedakan dengan kesatuan yang lain. Dalam perencanaan tata ruang wilayah, pembuatan zonasi sangat penting untuk memperjelas perencanaan pemanfaatan penggunaan lahan pada ruang tersebut.
Zonasi yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada tingkat bahaya erupsi Merapi. Tingkat bahaya erupsi dibagi menjadi tiga zona bahaya. Zonasi daerah bahaya gunungapi menurut Suprapto Dibyosaputro (2001: 10) yaitu:
1.    Daerah Terlarang (Forbidden Zone)
Daerah terlarang adalah daerah di sekitar gunungapi yang letaknya terdekat dengan sumber bahaya (titik letusan), sehingga secara langsung daerah ini terkena aliran panas piroklastik (awan panas), jatuhan tefra berukuran bongkahan, bom, lapili, pasir kasar, dan aliran lava pijar sangat besar. Daerah terlarang harus dikosongkan secara tetap. Bentuk daerah terlarang seperti corong menghadap ke beratdaya – selatan dengan ujung utara dan timur merupakan sebuah sektor lingkaran agak bulat dengan jari-jari 3-4 km.
2.    Daerah Bahaya Pertama (First Danger Zone)
Daerah bahaya pertama adalah daerah yayng dianggap berbahaya berdasarkan pengalaman letusan yang lampau. Daerah tersebut tidak terkena awan panas tetapi dapat tertimpa piroklastik jatuhan, bom yang masih membara, dan piroklastik lainnya. Bentuk sebarannya hampir mengikuti daerah terlarang yang diperluas. Pemanfaatan daerah untuk permukiman tidak diperbolehkan.
3.    Daerah Bahaya Kedua (Second Danger Zone)  
Daerah bahaya kedua adalah daerah yang letaknya disepanjang dan berdekatan dengan sungai yang berhulu di puncak gunungapi, secara topografi mempunyai elevasi rendah, sehingga pada musim hujan dapat terlandaaliran lahar. Daerah tersebut dibagi lagi kedalam daerah siap siaga dan daerah yang dikosongkan. Daerah siap siaga merupakan daerah yang secara topografi lebih tinggi, seperti bukit yang digunakan oleh penduduk menyelamatkan diri apabila alahar datang. Daeerah yang dikosongkan merupakan daerah yang sedemikian rupa, sehingga pada waktu terjadi banjir lahar, penduduk tidak sempat menyelamatkan diri.
Penelitian ini merupakan pemetaan daerah rawan bencana akibat erupsi Gunung Merapi. Peta kerawanan bencana dibuat dengan cara zonasi. Zonasi dibuat untuk mmengetahui zona rawab akibat erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Magelang. Hasil zonasi kemudian dijadikan sebagai arahan untuk penataan ruang Kabupaten Magelang yang berbasis mitigasi bencana.