Dalam literatur Barat, ide
mengenai pemberdayaan
(empowerment) dipelopori oleh Mary
Parker Follet (1868-1933) dalam seri
ceramahnya mengenai
kepemimpinan, pengendalian,
otoritas dan konflik antar individu
pada awal abad ke 20 (Eylon, 1998;
Parker, 1984). Setelah itu istilah ini
banyak digunakan dalam bidang
ilmu-ilmu sosial (sosiologi, psikologi,
politik dan ekonomi) misalnya,
memberdayakan atau memberi
keupayaan kepada wanita atau
golongan minoritas. Kini
penggunaannya telah diperluaskan
dalam bidang pengurusan organisasi
yang lebih mikro sifatnya.
Empowerment, dari sudut
istilah, menurut kamus Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of
Current English ialah “to give power
or authority to act” (memberi kuasa
atau otoritas untuk bertindak).
Kamus Merriam Webster Dictionary
pula memberi makna empowerment
sebagai “to give official authority or
legal power to” (memberi otoritas
resmi atau kuasa sah kepada). Dari
kedua sumber ini, dapat dilihat
bahwa empowerment melibatkan
dua elemen penting yaitu kuasa atau
otoritas dan juga bertindak atau
melakukan sesuatu. Dalam konteks
organisasi, berarti melibatkan orang
atasan atau majikan yang memberi
kuasa kepada orang bawahan untuk
bertindak dalam ruang lingkup kerja
yang telah ditentukan (Arsiah,
2006).
Conger dan Kanungo (1988)
menggariskan tiga sebab kenapa
konstruk pemberdayaan begitu
menarik minat para peneliti dan
semakin diamalkan oleh para
manajer dalam pengurusan harian
organisasi. Pertama, kajian dalam
kepemimpinan (leadership) dan
manajemen menunjukkan bahwa
memberdayakan orang bawahan
merupakan salah satu faktor utama
dalam keberhasilan pengurusan dan
organisasi. Kedua, analisis kuasa
dalam organisasi membuktikan
bahwa perkembangan kuasa dan
keberhasilan organisasi bertambah
bilamana orang atasan berkongsi
kuasa dan kawalan dengan orang
bawahan. Ketiga, pengalaman dalam
pembentukan tim dalam organisasi
membuktikan bahwa teknik
pemberdayaan memainkan peranan
penting dalam pembentukan dan
penyelenggaraan tim.
Menurut Conger dan Kanungo
(1988) pula pemberdayaan
merupakan satu konstruk psikologi
yang lebih memfokus kepada
tanggapan pekerja itu sendiri
mengenai pengalamannya
diberdayakan/dimampukan dalam
suatu organisasi. Tanggapan ini akan
mempengaruhi empat dimensi
kognisi (kesadaran) yaitu : makna
(meaning), kompetensi
(competence), penentuan diri (self
determination) dan impak (impact).
Makna, atau kebermaknaan
ialah nilai kerja atau tujuan yang
dinilai mengikut ideal atau kriteria
individu yang melibatkan pandangan
intrinsik individu terhadap tugas yang diberikan. Kompetensi ialah
keyakinan individu terhadap
keupayaannya melaksanakan
aktivitas dengan menggunakan
kemahiran yang ada. Penentuan diri
merujuk kepada sejauh mana
individu mempunyai pilihan dalam
memulakan atau melaksanakan
tindakan. Dan impak ialah sejauh
mana seorang individu boleh
mempengaruhi hasil strategik,
administrasi dan pengoperasian di
tempat kerja.
Berdasarkan konsepsi
pemberdayaan ini, Spreitzer (1995)
mengembangkan skala untuk
mengukur derajat psikologi dari
empat unsur pemberdayaan
tersebut, yaitu makna, kompetensi,
penentuan diri dan impak, yang
dinamakannya pemberdayaan
psikologis (psychological
empowerment). Secara definisinya
pemberdayaan psikologis adalah
satu set motivasi instrinsik yang
ditanamkan pada empat dimensi
kesadaran (cognition) seorang
individu terhadap orientasi peran
kerjanya, yang meliputi
kebermaknaan (meaning),
kompetensi (keyakinan diri/self
effifacy), penentuan diri dan impak
(Debora, 2006). Secara teknisnya
pemberdayaan psikologis diukur
dengan Psychological Empowerment
Scale (PEC) yang diperkenalkan oleh
Thomas dan Velthouse (1990) yang
kemudian dikembangkan oleh
Spreitzer (1995).
Pendekatan pemberdayaan
pekerja akan memberikan peluang
kepada pekerja berpengetahuan
(knowledge workers) dalam
memanfaatkan pengetahuannya
untuk menciptakan produk dan jasa
yang mampu menghasilkan nilai bagi
pelanggan. Disamping itu juga
memberikan keleluasaan akses ke
pusat informasi perusahaan sehingga
memampukan mereka mengambil
keputusan dalam merespon dengan
cepat perubahan keperluan
pelanggan. Pekerja berpengetahuan
memerlukan suasana kerja yang
merangsang inovasi, toleran
terhadap eksperimen hal yang baru
dan kesediaan manajemen untuk
menerima kegagalan eksperimen
(Setyawan dan Mulyadi, 1999).
Pemberdayaan pekerja
merupakan suatu proses yang mesti
dilaksanakan sebagai akibat tuntutan
pergeseran teknologi dan jenis
pekerja yang sesuai dengan
teknologi masa depan. Melalui
pemberdayaan diharapkan terjadi
perkongsian kuasa (sharing of
power), di mana bawahan dilibatkan
secara bersama-sama dengan pihak
pengurus (manajemen) untuk
melakukan perubahan dengan
menerapkan pelbagai praktek
pengurusan. Dalam hal ini pengurus
secara signifikan menguatkan
keyakinan bawahan pada
kemampuan diri sendiri. Dengan
adanya keyakinan diri yang lebih
kuat, para pekerja akan lebih
mampu melakukan berbagai tugas
yang menantang (Sutanto, 2001).
Pemberdayaan merupakan
hubungan interpersonal yang
mendorong mutual trust (saling
percaya) antara pekerja dan majikan
(Khan, 1997). Untuk satu hal,
pemberdayaan memerlukan tindakan
sungguh-sungguh dari pihak
pengurus untuk menyerahkan
kekuasaan kepada pekerja dalam
menentukan cara terbaik
melaksanakan, mengawal sarana
produksi dan menilai hasilnya.
Dengan kata lain adalah otonomi
(Wilberforce, 2000). Dalam hal ini,
pemberdayaan dapat ditinjau melalui
dua sudut pandang (Setyawan dan
Mulyadi, 1999), yaitu:
1. Dari sudut pandang Pengurus
(majikan)
Pemberdayaan merupakan
proses pemberian kuasa
kepada pekerja untuk memampukan diri di dalam
merencanakan dan
mengendalikan pelaksanaan
(implementasi) rencana
pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya.
2. Dari sudut pandang pekerja
Pemberdayaan merupakan
proses untuk meningkatkan
keandalan dirinya agar
dipercaya oleh majikan dalam
merencanakan dan
mengendalikan implementasi
rencana pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya
Pemberdayaan dapat
diwujudkan dengan teknik partisipasi
manajemen seperti MBO
(Management by Objective),
peningkatan kualitas lingkungan dan
pemberian wewenang. (Conger &
Kanungo, 1988). Akan tetapi
pemberdayaan berbeda dengan
pelbagai pendekatan partisipasi di
masa lalu yang cenderung hanya
menekankan pengumpulan input
atau masukan dari pekerja, tetapi
tidak disertai dengan delegasi
wewenang.
Sepintas lalu pemberdayaan
mirip dengan pengendalian otoritas,
namun ada dua karakteristik yang
membuat pemberdayaan menjadi
unik (Soetomo, 1999). Pertama,
setiap orang didorong untuk
berinisiatif dan berbuat lebih jauh
(just do it). Kedua, otoritas yang
diberikan disertai dengan sumbersumber (resources) yang menunjang
sehingga hasilnya dapat diawasi
secara langsung. Dengan adanya
pelbagai pemahaman tentang
pemberdayaan maka dapat
dibedakan antara pekerja yang
diberdayakan dan yang tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar