Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan
(empowerment), berasal dari kata „power’ (kekuasaan atau keberdayaan).
Karenanya, ide utama pemberdayaan berkaitan dengan konsep mengenai
kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk
membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan
dan minat mereka. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial
antar manusia.
Dengan pemahaman kekuasaan seperti hal diatas, pemberdayaan
sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna.
Dengan kata lain dapat dikatakan terjadinya proses pemberdayaan sangat
tergantung pada dua hal yakni : (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika
kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan
cara apapun. (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan
pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Terkait dengan pengertian pemberdayaan, berdasarkan UU no 6 Tahun
2014 tentang Desa dijelaskan bahwa Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah
upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan
meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,
kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan,
program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan
prioritas kebutuhan masyarakat Desa.
29
Menurut World Bank (2001) pemberdayaan dapat diartikan sebagai
upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok
masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau
menyuarakan pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan
keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metoda, produk,
tindakan, dll.) yang terbaik bagi pribadi, keluarga dan masyarakatnya.
Menurut Parsons, et al., (1994) pemberdayaan adalah sebuah proses
agar setiap orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai
pengontroloan, dan mempengaruhi, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga
yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang
memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya (Dikutip dalam buku Pemberdayaan Masyarakat karya Totok
Mardikanto dan Poerwiki Soebiato, 2013).
Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut pemimpin harus
dapat menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan
bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Dan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering), dalam rangka ini pemimpin memerlukan langkah-langkah yang
lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana, pemimpin juga
harus menyediakan berbagai masukan serta akses ke berbagai peluang yang
akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Serta pemimpin harus
30
melindungi masyarakatnya, dengan mencegah masyarakat yang lemah
menjadi bertambah lemah yakni mencegah masyarakat yang tidak produktif
menjadi bertambah tidak produktif.
Pemberdayaan, pada hakikatnya adalah untuk menyiapkan masyarakat
agar mereka mampu dan mau secara aktif berpartisipasi dalam setiap program
dan kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk memperbaik mutu hidup
masyarakat, baik dalam pengertian ekonomi, sosial, fisik, maupun mental.
Meskipun partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang harus
ditumbuhkembangkan dalam proses pembangunan namun didalam praktiknya,
tidak selalu diupayakan dengan sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar