Kamis, 12 November 2020

Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia (skripsi dan tesis)

Seorang manajer harus pintar menjalankan fungsi manajemen, disamping itu manajer harus melakukan pengawasan terhadap karyawan yang telah diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional. Dengan kata lain manajer harus mempunyai fungsi organisasi yaitu fungsi manajerial dan fungsi operasional. Secara garis besar Fungsi Sumber Daya Manusia seperti yang dikemukakan Hasibuan (2011:22) terbagi 2 fungsi yaitu fungsi manajerial, dan fungsi oprasional sebagai berikut : 1. Fungsi-Fungsi Manajerial meliputi : a. Perencanaan (Planning) Perencanaan adalah merencanakan tenaga kerja secara efektif dan efisien agar sesuai dengan kebutuhan perusahaan dalam membantu terwujudnya tujuan. Perencanaan dilakukan dengan menetapkan program kepegawaian. Program kepegawaian meliputi pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, pengadaan, pengembangan, kompensasi pengintegrasian, pemeliharaan, kedisiplinan dan pemberhentian karyawan. Program kepegawaian yang baik akan membantu tercapainya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. b. Pengorganisasian (Organizing) Pengorganisasian adalah kegiatan untuk mengorganisasi semua karyawan dengan menetapkan pembagian kerja, delegasi wewenang, integrasi dan koordinasi dalam bagan organisasi. organisasi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan organisasi yang baik akan membantu terwujudnya tujuan secara efektif. c. Pengarahan (Directing) Pengarahan adalah kegiatan yang mengarahkan semua karyawan, agar   mau bekerja sama dan bekerja efektif serta efisien dalam membantu tercapainya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Pengarahan dilakukan oelha pimpinan perusahaan dengan memberikan tugas kepada bawahan agar mengerjakan semua tugasnya dengan baik. d. Pengendalian (Controlling) Pengendalian adalah kegiatan mengendalikan semua karyawan, agar menaati peraturan perusahaan dan bekerja sesuai dengan rencana. Apabila terdapat kesalahan, diadakan tindakan perbaikan rencana. Pengendalian karyawan meliputi kehadiran, kedisiplinan, perilaku, kerja sama, pelaksanaan, dan menjaga situasi lingkungan pekerjaan. 2. Fungsi – Fungsi Operasional a. Pengadaan (Procurement) Pengadaan adalah proses penarikan, seleksi, penempatan untuk mendapatkan karyawan yang sesuai yang dibutuhkan oleh perusahaan. Pengadaan yang baik akan membantu mewujudkan tujuan perusahaan. b. Pengembangan (Development) Pengembangan adalah proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan melalui pendidikan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan yang di berikan kepada karyawan, harus sesuai dengan kebutuhan pekerjaan untuk masa kini maupun masa yang akan datang. c. Kompensasi (Compensation) Kompensasi adalah pemberian balas jasa secara langsung atau tidak  langsung. Uang atau barang kepada karyawan sebagai imbalan balas jasa yang di berikan kepada perusahaan. Prinsip kompensasi adalah adil dan layak, adil diartikan sesuai dengan prestasi kerjanya, layak diartikan dapat memenuhi kebutuhan primernya serta berpedoman pada batas upah minimum pemerintah dan berdasarkan internal dan eksternal. d. Pengintegrasian (Integration) Pengintegrasian adalah menyangkut kegiatan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan karyawan, agar terciptanya kerja sama yang serasi dan saling menguntungkan. Perusahaan memperoleh laba, karyawan dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil pekerjaanya di perusahaan. Pengintegrasian penting dan sulit dalam manajemen sumber daya manusia, karena mempersatukan dua kepentingan yang bertolak belakang. e. Pemeliharaan (Maintenance) Pemeliharaan merupakan suatu kegiatan untuk memelihara meningkatkan kondisi fisik, mental dan loyalitas seorang karyawan agar mereka mau mengabdi pada pekerjaan sampai mereka pensiun nanti. Pemeliharaan yang baik dengan program kesejahteraan yang berdasarkan kebutuhan sebagian karyawan serta berpedoman pada internal dan eksternal konsistensi. f. Kedisiplinan Kedisiplinan merupakan fungsi MSDM yang terpenting dan kunci  terwujudnya tujuan karena tanpa disiplin yang baik sulit terwujud yang maksimal. Kedisiplinan adalah keinginan dan kesadaran untuk mentaati peraturan-peraturan perusahaan dan norma-norma sosial. g. Pemberhentian Pemberhentian (separation) adalah putusnya hubungan kerja seseorang dari suatu perusahaan. Pemberhentian ini disebabkan oleh keinginan karyawan, keinginan perusahaan, kontrak kerja berakhir, pension, dan sebab-sebab lainnya. 

Manajemen Sumber Daya Manusia (skripsi dan tesis)

Manajemen Sumber Daya Manusia atau MSDM adalah bagian dari fungsi manajemen, manajemen sumber daya manusia lebih memfokuskan diri kepada unsur manusia dimana unsur manusia merupakan aset utama organisasi yang harus dipelihara dengan baik dan dimanfaatlan secara produktif. MSDM Memfokuskan diri kepada individu baik sebagai subjek atau pelaku dan sekaligus sebagai objek dari pelaku. Berikut ini merupakan pengertian MSDM menurut   beberapa ahli, yaitu : Flippo dalam Suwanto dan Priansa (2011:29), menyatakan ”Manajemen Sumber Daya Manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dari pengadaan, pengembangan, pengintegrasian, dan pemberhentian karyawan, dengan maksud terwujudnya tujuan perusahaan individu, karyawan, dan masyarakat. Rivai (2011:29) menyatakan : “Manajamen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian.” Cascio dalam Alvin Arifin (2010:20) menyatakan : “Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan seni dan ilmu yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar menjadi efisien dan efektif dalam membantu terwujudnya tujuan organisasi, para pegawai, dan masyarakat”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia adalah suatu cara mencapai suatu tujuan dengan cara menggerakan organisasi melalui perencanaan pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang baik, sehingga menjadi suber daya manusia yang terdidik, terampil, cakap, berdisiplin, tekun, kreatif, idealis, mau bekerja keras, kuat fisik dan mental serta setia kepada cita-cita dan tujuan organisasi akan berpengaruh positif terhadap keberhasilan dan kemajuan organisasi.

Pengertian Manajemen (skripsi dan tesis)

Manajemen merupakan ilmu sekaligus seni dalam mengatur proses pemanfatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan adanya manajemen diharapkan daya guna dan hasil guna unsur-unsur manajemen akan dapat ditingkatkan. Berikut ini dikemukakan mengenai pendapat beberapa ahli tentang pengertian manajemen : Terry (2005:3) memberikan definisi sebagai berikut: “Management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish stated objective by use of human being and other resources”. Stoner dalam Handoko (2009:3), menyatakan : “Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha dari para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang ditetapkan”. Stoner dalam Manulang (2007:5) mendefinisikan manajemen adalah : “Proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”. Menurut Stoner dalam Manulang (2007:5) proses tersebut terdiri dari kegiatan-kegiatan manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Proses tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Perencanaan berarti bahwa para manajer memikirkan kegiatankegiatan mereka sebelum dilaksanakan. 2. Pengorganisasian berarti bahwa para manajer mengkoordinasikan sumber daya-sumber daya manusia dan material organisasi. 3. Pengarahan yaitu para manajer mengarahkan, memimpin dan mempengaruhi para bawahan. 4. Pengawasan berarti para manajer berupaya untuk menjamin bahwa organisasi bergerak ke arah tujuan-tujuannya, apabila ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur yang benar maka para manajer harus membetulkannya. Alasan utama manejemen sangat dibutuhkan menurut Terry dalam dalam Manulang (2007:5) antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mencapai tujuan, manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan 15 organisasi dan tujuan pribadi. 2. Untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, manajemen dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan, sasara-sasaran dan kegiatan-kegiatan yang saling bertentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam organisasi, seperti pemilik dan karyawan, kreditur, konsumen, pemasok, serikat pekerjaan, masyarakat dan pemerintah. 3. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas. Suatu pekerjaan sebuah organisasi dapat diukur dengan banyak cara yang berbeda. Salah satu cara umum adalah dengan mengukur efisiensi dan efektifitas. Berdasarkan definisi di atas, manajemen merupakan kegiatan untuk mengatur suatu perencanaan supaya tujuan organisasi tercapai dengan baik. Kegiatan manajemen, terdiri dari adanya proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, penempatan, dan motivasi, sehingga tercipta koordinasi yang baik sesama anggota yang melaksanakan organisasi tersebut

Konsep Partisipasi Masyarakat (skripsi dan tesis)

 Dikutip dalam buku Pemberdayaan Masyarakat karya Totok Mardikanto dan Poerwiki Soebiato, 2013, menurut Bornby partisipasi diartikan sebagai tindakan untuk “mengambil bagian” yaitu kegiatan atau pernyataan untuk mengambil bagian dari kegiatan dengan maksud memperoleh manfaat. Dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang di dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, diluar pekerjaan atau profesinya sendiri (Theodorson, 1969). Keikutsertaan tersebut, dilakukan sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial antara individu yang bersangkutan dengan anggota masyarakat yang lain (Raharjo, 1983).  Sedangkan menurut Beal (1964) partisipasi, khususnya partisipasi yang tumbuh karena pengaruh atau karena tumbuh adanya rangsangan dari luar, merupakan gejala yang dapat diindikasikan sebagai proses perubahan sosial yang eksogen. Sebagai suatu kegiatan, Verhangen (1979) menyatakan bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut, dilandasi oleh adanya kesadaran yang dimiliki oleh masyarakat mengenai (a) kondisi yang tidak memuaskan dan harus diperbaiki, (b) kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia atau masyarakatnya sendiri, (c) kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakukan, (d) adanya kepercayaan diri, bahwa ia dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi kegiatan yang bersangkutan. Yadav (UNAPDI, 1980) Dikutip dalam buku Pemberdayaan Masyarakat karya Totok Mardikanto dan Poerwiki Soebiato, 2013, mengemukakan tentang adanya empat macam kegiatan yang menunjukkan partsipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, partisipasi dalam pemantuan dan evalusai pembangunan, serta partisipasi dalam pemanfaatan hasil-hasil pembangunan. a. Partisipasi dalam pengambilan keputusan 32 Partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang programprogram pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat lokal. b. Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan Partisipasi masyarakat dalam pelaksaan kegiatan harus diartikan sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau beragam bentuk sumbangan lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh masing-masing warga masyarakat yang bersangkutan. c. Partisipasi dalam pemantuan dan evaluasi pembangunan Kegiatan pemantuan dan evaluasi program diperlukan bukan hanya agar tujuannya dapat dicapai sesuai harapan namun juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat diperlukan. d. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil-hasil pembangunan Pemanfaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang. 33 Dilihat dari tingkatan atau tahapan partisipasi, Wilcox (1988) mengemukakan adanya lima tingkatan partisipasi, yaitu (1) Memberikan informasi (Information), (2) Konsultasi (Consultation) yaitu menawarkan pendapat, sebagai pendengar yang baik untuk memberikan umpan-balik, tetapi tidak terlibat dalam implementasi ide dan gagasan tersebut. (3) Pengambilan keputusan bersama (Deciding together), dalam arti memberikan dukungan terhadap ide, gagasan, pilihan-pilihan serta, mengembangkan peluang yang diperlukan guna pengambilan keputusan. (4) Bertindak bersama (Acting together), dalam arti tidak sekadar ikut dalam pengambilan keputusan, tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam pelaksanaan kegiatannya. (5) Memberikan dukungan (Supporting independent community interest) dimana kelompok-kelompok lokal menawarkan pendanaan, nasehat, dan dukungan lain untuk mengembangkan agenda kegiatan

Konsep Pemberdayaan Masyarakat (skripsi dan tesis)

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata „power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan berkaitan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Dengan pemahaman kekuasaan seperti hal diatas, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain dapat dikatakan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal yakni : (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun. (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. Terkait dengan pengertian pemberdayaan, berdasarkan UU no 6 Tahun 2014 tentang Desa dijelaskan bahwa Pemberdayaan Masyarakat Desa adalah upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. 29 Menurut World Bank (2001) pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep, metoda, produk, tindakan, dll.) yang terbaik bagi pribadi, keluarga dan masyarakatnya. Menurut Parsons, et al., (1994) pemberdayaan adalah sebuah proses agar setiap orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontroloan, dan mempengaruhi, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Dikutip dalam buku Pemberdayaan Masyarakat karya Totok Mardikanto dan Poerwiki Soebiato, 2013). Dalam upaya memberdayakan masyarakat tersebut pemimpin harus dapat menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Dan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), dalam rangka ini pemimpin memerlukan langkah-langkah yang lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana, pemimpin juga harus menyediakan berbagai masukan serta akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Serta pemimpin harus 30 melindungi masyarakatnya, dengan mencegah masyarakat yang lemah menjadi bertambah lemah yakni mencegah masyarakat yang tidak produktif menjadi bertambah tidak produktif. Pemberdayaan, pada hakikatnya adalah untuk menyiapkan masyarakat agar mereka mampu dan mau secara aktif berpartisipasi dalam setiap program dan kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk memperbaik mutu hidup masyarakat, baik dalam pengertian ekonomi, sosial, fisik, maupun mental. Meskipun partisipasi masyarakat merupakan sesuatu yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses pembangunan namun didalam praktiknya, tidak selalu diupayakan dengan sungguh-sungguh.

Konsep Kebijakan (skripsi dan tesis)

 Dikutip dari buku yang berjudul Analisis Kebijakan Publik karya Joko Widodo tahun 2007, Friedrich dalam Wahab mengartikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Adapun elemen yang terkandung dalam kebijakan publik sebagaimana yang dikemukakan oleh Anderson dalam Islamy (1994) yang antara lain mencakup beberapa hal berikut : 1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. 2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. 3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan. 4. Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu). 5. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif). Program baru yang dicetuskan oleh seorang Lurah merupakan suatu kebijakan dengan tujuan untuk mewujdukan suatu sasaran yang diinginkan. Dalam hal ini yaitu untuk memberdayakan masyarakatnya. 

Konsep Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

 Bass (1990) menyatakan bahwa sejumlah definisi kepemimpinan dilihat sebagai fokus proses kelompok, yaitu pemimpin berada di pusat perubahan dan aktivitas kelompok serta pemimpin membentuk keinginan atau tujuan dari kelompok tersebut. Definisi yang lain adalah konsep kepemimpinan dari sudut pandang kepribadian, yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kombinasi dari sifat khusus yang dimiliki sejumlah individu. Sifat ini yang memungkinkan individu tersebut untuk meminta orang lain menyelesaikan tugas. Pendekatan lain untuk kepemimpinan mendefinisikan hal itu sebagai tindakan atau perilaku, yaitu hal-hal yang dilakukan pemimpin untuk menghasilkan perubahan di dalam kelompok. Selain itu, sejumlah definisi lainnya kepemimpinan dipandang dari segi hubungan kekuasaan yang muncul antara pemimpin dan pengikutnya. Dari sudut pandang ini, pemimpin memiliki kekuasaan yang mereka gunakan, untuk menghasilkan perubahan dalam diri orang lain. Dengan seiringnya waktu, beberapa ahli dan akademisi membicarakan kepemimpinan dari sudut pandang keterampilan yang menekankan pada kecakapan (pengetahuan dan ketrampilan) yang dapat mewujudkan kepemimpinan yang efektif.

Konsep Kelurahan (skripsi dan tesis)

 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, dijelaskan bahwa kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk atau masyarakat yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan   Republik Indonesia. Kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau kota. Kelurahan merupakan unit pemerintah terkecil atau pemerintah terkecil setingkat dengan desa. Namun berbeda dengan desa, kelurahan memiliki hak mengatur wilayah yang lebih terbatas. Perbedaan antara desa dan kelurahan dapat dilihat dari pemimpin dan cara pemilihannya. Desa dipimpin oleh kepala desa yang dipilih oleh masyarakat, sedangkan Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat atau dipilih oleh Bupati/Walikota. Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kepala Kelurahan adalah penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah, urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lurah memiliki tugas untuk membangun mental masyarakat baik dalam menumbuhkan maupun mengembangkan semangat membangun yang dijiwai oleh asas usaha bersama dan kekeluargaan. Untuk memperlancar jalannya pemerintahan Kelurahan di dalam Kelurahan dapat dibentuk Lingkungan yang dikepalai oleh kepala Lingkungan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Kepala Lingkungan adalah unsur pelaksana tugas Kepala Kelurahan dengan wilayah kerja tertentu. Kepala Lingkungan adalah Pegawai Negeri yang diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas nama Gubernur Kepala Daerah 26 tingkat I, dengan memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Konsep Peranan (skripsi dan tesis)

Peranan berasal dari kata peran. Menurut Biddle dan Thomas, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang  diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Sedangkan didalam kamus besar bahasa Indonesia peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat (E.St. Harahap, dkk, 2007: 854). Sedangkan makna peran yang dijelaskan dalam Status, Kedudukan dan Peran dalam masyarakat, dapat dijelaskan melalui beberapa cara, yaitu pertama penjelasan historis. Menurut penjelasan historis, peran berarti karakter yang dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah penampilan dengan peran tertentu. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial. Peran dalam ilmu sosial berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang didudukinya tersebut. Mengenai peranan ini, Horoepoetri, Arimbi dan Santosa (2003), mengemukakan beberapa dimensi peran, yakni sebagai berikut : 1. Peran sebagai suatu kebijakan. Penganut paham ini berpendapat bahwa peran merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik dilaksanakan. 2. Peran sebagai strategi. Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. pendapat ini didasarkan pada suatu paham bahwa keputusan dan kepedulian masyarakat pada tiap tingkatan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut memiliki kredibilitas. 3. Peran sebagai alat komunikasi. Peran didayagunakan sebagai instrument atau alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses 22 pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandaskan oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan referensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai, guna mewujudkan keputusan yang responsif dan responsibel 4. Peran sebagai alat penyelesaian sengketa. Peran didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi dan meredam konflik melalui usaha pencapaian konsesus dari pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat meningkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan dan kerancuan. 5. Peran sebagai terapi. Menurut persepsi ini, peran dilakukan sebagai upaya mengobati masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidakberdayaan, tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat. Selain hal diatas, adapun beberapa fungsi dari kepemimpinan itu sendiri yakni : 1. Fungsi perencanaan Bagaimana seorang pemimpin perlu membuat perencanaan yang menyeluruh bagi organisasi dan bagi diri sendiri selaku penanggung jawab tercapainya tujuan organisasi tersebut. 2. Fungsi memandang kedepan Seorang pemimpin yang senantiasa memandang ke depan berarti akan mampu mendorong apa yang akan terjadi serta selalu waspada terhadap 23 kemungkinan. Oleh sebab seorang pemimpin harus peka terhadap perkembangan situasi baik di dalam maupun diluar organisasi sehingga mampu mendeteksi hambatan-hambatan yang muncul, baik yang kecil maupun yang besar. 3. Fungsi pengembangan loyalitas Seseorang pemimpin harus memberi teladan baik dalam pemikiran, katakata, maupun tingkah laku sehari – hari yang menunjukkan kepada anak buahnya pemimpin sendiri tidak pernah mengingkari dan menyeleweng dari loyalitas segala sesuatu tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya. 4. Fungsi pengawasan Fungsi pengawasan merupakan fungsi pemimpin untuk senantiasa meneliti kemampuan pelaksanaan rencana. Dengan adanya pengawasan maka hambatan – hambatan dapat segera diketemukan, untuk dipecahkan sehingga semua kegiatan kembali berlangsung menurut rel yang telah ditetapkan dalam rencana. 5. Fungsi mengambil keputusan Pengambilan keputusan dapat dilakukan secara individu, kelompok tim atau panitia, dewan, komisi, referendum, mengajukan usul tertulis dan lain sebagainya. 6. Fungsi memberi motivasi Pemimpin harus dapat memberi semangat, membesarkan hati, mempengaruhi anak buahnya agar rajin bekerja dan menunjukkan prestasi yang baik terhadap organisasi yang dipimpinnya. Pemberian anugerah yang 24 berupa ganjaran, hadiah, pujian atau ucapan terima kasih sangat diperlukan oleh anak buah sebab mereka merasa bahwa hasil jerih payahnya diperhatikan dan dihargai oleh pemimpinnya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kepemimpinan dapat berperan dengan baik, antara lain: 1. Yang menjadi dasar utama dalam efektivitas kepemimpinan bukan pengangkatan atau penunjukannya, melainkan penerimaan orang lain terhadap kepemimpinan yang bersangkutan 2. Efektivitas kepemimpinan tercermin dari kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang 3. Efektivitas kepemimpinan menuntut kemahiran untuk “membaca” situasi 4. Perilaku seseorang tidak terbentuk begitu saja, melainkan melalui pertumbuhan dan perkembangan 5. Kehidupan organisasi yang dinamis dan serasi dapat tercipta bila setiap anggota mau menyesuaikan cara berfikir dan bertindaknya untuk mencapai tujuan organisasi.

Pemimpin Formal (skripsi dan tesis)

Lurah ialah pemimpin suatu daerah yang penempatan dan penugasannya ditunjuk langsung oleh Kepala Daerah berdasarkan Surat Keputusan yang dibuat oleh Kepala Daerah, oleh karena itu Lurah merupakan pemimpin formal. Pemimpin formal ialah orang yang oleh organisasi/lembaga  tertentu diajak sebagai pemimpin, berdasarkan keputusan dan pengangkatan resmi untuk memangku suatu jabatan dalam struktur organisasi dengan segala hak dan kewajiban yang berkaitan dengannya, untuk mencapai sasaran organisasi. Adapun ciri-ciri dari pemimpin formal yakni : (1) Berstatus sebagai pemimpin formal selama masa jabatan tertentu, atas dasar legalitas formal oleh penunjukan pihak yang berwenang (ada legilitimasi). (2) Sebelum pengangkatannya dia harus memenuhi beberapa persyaratan formal terlebih dahulu. (3) Ia diberi dukungan oleh organsisasi formal untuk menjalankan tugas kewajibannya. Karena itu pemimpin formal selalu memiliki atasan. (4) Pemimpin mendapatkan balas jasa materiil dan immaterial tertentu, serta keuntungan ekstra dan penghasilan sampingan. (5) Pemimpin bisa mencapai promosi atau kenaikan pangkat formal dan dapat di mutasikan. (6) Apabila pemimpin melakukan kesalahan-kesalahan, dia akan dikenai sanksi dan hukuman. (7) Selama jabatan kepemimpinan, dia diberi kekuasaan dan wewenang, antara lain untuk: menentukan kebijakan, memberikan motivasi kerja kepada bawahan, menggariskan pedoman dan petunjuk, mengalokasikan jabatan dan penempatan bawahannya; melakukan komunikasi, mengadakan supervise dan control, menetapkan sasaran organisasi, dan mengambil keputusan-keputusan penting lainnya.

Faktor-Faktor Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

Keberhasilan seorang pemimpin/kepemimpinan juga dapat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Faktor keturunan, pemimpin berasal dari orang tua dengan kondisi sosialekonomis yang bagaimana/ hal ini mempengaruhi ideologi yang dianut masyarakat dan bentuk aktivitas perjuangannya. Disesuaikan dengan status sosial mereka. 2. Faktor Usia, faktor usia menentukan moderat atau kesigapan kegiatan/aksi yang dilakukan. 3. Jenis Pendidikan, dengan adanya jenis pendidikan akan terdapat warna kepada minat dan bidang yang akan ditekuni, beserta ambisi-ambisi politiknya. 4. Lingkungan Sosial atau masyarakat sekitar, yakni tempat hidup/tempat tinggal pemimpin, dan masyarakat yang diminati serta diperjuangkan kebutuhan-kebutuhannya (misalnya kelompok penduduk yang mengalami penggusuran, mengalami kesengsaraan, dan perlakuan-perlakuan yang tidak adil, dll)

Syarat-syarat Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

 Kartono dalam Pasolong (2008, h.114-115), mengatakan bahwa persyaratan kepemimpinan itu harus selalu dikaitkan dengan tiga hal penting, yaitu: (1) Kekuasaan, yaitu otoritas dan legalitas yang memberikan kewenangan kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu, (2) Kelebihan, keunggulan, keutamaan, sehingga orang mampu mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin, dan bersedia melakuka perbuatan-perbuatan tertentu. (3) Kemampuan, yaitu segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan/keterampilan teknis maupun sosial yang dianggap melebihi dari kemampuan anggota biasa. Sementara itu Stodgill (dikutip dalam buku Kartono dalam Pasolong) menyatakan pemimpin itu harus mempunyai kelebihan sebagai persyaratan, antara lain : (1) Kepastian, kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara, kemampuan menilai. (2) Prestasi, gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan dalam bidang tertentu. (3) Tangggung jawab, berani, tekun, mandiri, kreatif, ulet, percaya diri, agresif. (4) Partisipasi aktif, memiliki stabilitas tinggi, kooperatif, mampu bergaul. (5) Status, kedudukan sosial ekonomi cukup tinggi dan terkenal.

Tipe atau Gaya Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

Stoner dalam Pasolong (2010, h.37), mengatakan bahwa gaya kepemimpinan (leadership style) adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Adapun tipe atau gaya kepemimpinan yang digunakan ialah (sumber : Kartini Kartono, 2006) 1. Tipe Karismatis Tipe pemimpin karismatik ini memiliki kekuatan energi, daya tarik dan perbawa yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia 16 mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa diperaya. Tipe pemimpin ini banyak memiliki inspirasi, keberanian dan berkeyakinan teguh pada pendirian sendiri. Totalitas kepribadian pemimpin seperti ini memancarkan pengaruh dan daya tarik yang teramat besar. 2. Tipe Otokratis Pemimpin dengan tipe otokratis mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya selalu mau berperan sebagai pemain tunggal. Setiap perintah dan kebijakan ditetapkan tanpa berkonsultasi dengan bawahannya. Anak buah tidak pernah diberi informasi mendetail mengenai rencana dan tindakan yang harus dilakukan. Semua pujian dan kritik terhadap segenap anak buahnya diberikan atas pertimbangan pribadi pemimpin sendiri. selanjutnya pemimpin selalu berdiri jauh dari anggota kelompoknya jadi ada sikap menyisihkan diri dari eksklusivisme. Pemimpin otokratis itu senantiasa ingin berkuasa absolute, tunggal, dan merajai keadaan. Sikap dan prinsip-prinsipnya sangat konservatif dan ketatkaku. 3. Tipe Laisser Faire Pada tipe kepemimpinan ini, pemimpin praktis tidak memimpin dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semau sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahan sendiri. Pemimpin dengan tipe ini bisa disebut pemimpin symbol dan tidak memiliki 17 keterampilan teknis dikarenakan kedudukannya sebagai pemimpina diperoleh melalui penyogokan, suapan, atau berkat sistem nepotisme. Pemimpin dengan tipe ini tidak mempunyai kewibawaan dan tidak bisa mengontrol anak buahnya, tidak mampu melaksanakan koordinasi kerja dan tidak berdaya sama sekalai menciptakan suasana kerja yang kooperatif. 4. Tipe Demokratis Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan, dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal dan kerja sama yang baik. Kekuatan kepemimpinan demokratis terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok. Kepemimpinan dengan tipe ini menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasihat dan sugesti bawahan. Serta bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing, mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat. Untuk melihat gaya kepemimpinan seorang pemimpin dapat dilihat melalui indikator-indikator. Menurut Siagian (2002:121), indikator-indikator yang dapat dilihat sebagai berikut : 1. Iklim saling mempercayai 2. Penghargaan terhadap ide bawahan 3. Memperhitungkan perasaan para bawahan 4. Perhatian pada kenyamanan kerja bagi para bawahan 5. Perhatian pada kesejahteraan bawahan (skripsi dan tesis)

6. Memperhitungkan faktor kepuasan kerja para bawahan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dipercayakan padanya 7. Pengakuan atas status para bawahan secara tepat dan profesional

Pemberdayaan (Empowerment) (skripsi dan tesis)

 Dalam literatur Barat, ide mengenai pemberdayaan (empowerment) dipelopori oleh Mary Parker Follet (1868-1933) dalam seri ceramahnya mengenai kepemimpinan, pengendalian, otoritas dan konflik antar individu pada awal abad ke 20 (Eylon, 1998; Parker, 1984). Setelah itu istilah ini banyak digunakan dalam bidang ilmu-ilmu sosial (sosiologi, psikologi, politik dan ekonomi) misalnya, memberdayakan atau memberi keupayaan kepada wanita atau golongan minoritas. Kini penggunaannya telah diperluaskan dalam bidang pengurusan organisasi yang lebih mikro sifatnya. Empowerment, dari sudut istilah, menurut kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English ialah “to give power or authority to act” (memberi kuasa atau otoritas untuk bertindak). Kamus Merriam Webster Dictionary pula memberi makna empowerment sebagai “to give official authority or legal power to” (memberi otoritas resmi atau kuasa sah kepada). Dari kedua sumber ini, dapat dilihat bahwa empowerment melibatkan dua elemen penting yaitu kuasa atau otoritas dan juga bertindak atau melakukan sesuatu. Dalam konteks organisasi, berarti melibatkan orang atasan atau majikan yang memberi kuasa kepada orang bawahan untuk bertindak dalam ruang lingkup kerja yang telah ditentukan (Arsiah, 2006). Conger dan Kanungo (1988) menggariskan tiga sebab kenapa konstruk pemberdayaan begitu menarik minat para peneliti dan semakin diamalkan oleh para manajer dalam pengurusan harian organisasi. Pertama, kajian dalam kepemimpinan (leadership) dan manajemen menunjukkan bahwa memberdayakan orang bawahan merupakan salah satu faktor utama dalam keberhasilan pengurusan dan organisasi. Kedua, analisis kuasa dalam organisasi membuktikan bahwa perkembangan kuasa dan keberhasilan organisasi bertambah bilamana orang atasan berkongsi kuasa dan kawalan dengan orang bawahan. Ketiga, pengalaman dalam pembentukan tim dalam organisasi membuktikan bahwa teknik pemberdayaan memainkan peranan penting dalam pembentukan dan penyelenggaraan tim. Menurut Conger dan Kanungo (1988) pula pemberdayaan merupakan satu konstruk psikologi yang lebih memfokus kepada tanggapan pekerja itu sendiri mengenai pengalamannya diberdayakan/dimampukan dalam suatu organisasi. Tanggapan ini akan mempengaruhi empat dimensi kognisi (kesadaran) yaitu : makna (meaning), kompetensi (competence), penentuan diri (self determination) dan impak (impact). Makna, atau kebermaknaan ialah nilai kerja atau tujuan yang dinilai mengikut ideal atau kriteria individu yang melibatkan pandangan intrinsik individu terhadap tugas yang diberikan. Kompetensi ialah keyakinan individu terhadap keupayaannya melaksanakan aktivitas dengan menggunakan kemahiran yang ada. Penentuan diri merujuk kepada sejauh mana individu mempunyai pilihan dalam memulakan atau melaksanakan tindakan. Dan impak ialah sejauh mana seorang individu boleh mempengaruhi hasil strategik, administrasi dan pengoperasian di tempat kerja. Berdasarkan konsepsi pemberdayaan ini, Spreitzer (1995) mengembangkan skala untuk mengukur derajat psikologi dari empat unsur pemberdayaan tersebut, yaitu makna, kompetensi, penentuan diri dan impak, yang dinamakannya pemberdayaan psikologis (psychological empowerment). Secara definisinya pemberdayaan psikologis adalah satu set motivasi instrinsik yang ditanamkan pada empat dimensi kesadaran (cognition) seorang individu terhadap orientasi peran kerjanya, yang meliputi kebermaknaan (meaning), kompetensi (keyakinan diri/self effifacy), penentuan diri dan impak (Debora, 2006). Secara teknisnya pemberdayaan psikologis diukur dengan Psychological Empowerment Scale (PEC) yang diperkenalkan oleh Thomas dan Velthouse (1990) yang kemudian dikembangkan oleh Spreitzer (1995). Pendekatan pemberdayaan pekerja akan memberikan peluang kepada pekerja berpengetahuan (knowledge workers) dalam memanfaatkan pengetahuannya untuk menciptakan produk dan jasa yang mampu menghasilkan nilai bagi pelanggan. Disamping itu juga memberikan keleluasaan akses ke pusat informasi perusahaan sehingga memampukan mereka mengambil keputusan dalam merespon dengan cepat perubahan keperluan pelanggan. Pekerja berpengetahuan memerlukan suasana kerja yang merangsang inovasi, toleran terhadap eksperimen hal yang baru dan kesediaan manajemen untuk menerima kegagalan eksperimen (Setyawan dan Mulyadi, 1999). Pemberdayaan pekerja merupakan suatu proses yang mesti dilaksanakan sebagai akibat tuntutan pergeseran teknologi dan jenis pekerja yang sesuai dengan teknologi masa depan. Melalui pemberdayaan diharapkan terjadi perkongsian kuasa (sharing of power), di mana bawahan dilibatkan secara bersama-sama dengan pihak pengurus (manajemen) untuk melakukan perubahan dengan menerapkan pelbagai praktek pengurusan. Dalam hal ini pengurus secara signifikan menguatkan keyakinan bawahan pada kemampuan diri sendiri. Dengan adanya keyakinan diri yang lebih kuat, para pekerja akan lebih mampu melakukan berbagai tugas yang menantang (Sutanto, 2001). Pemberdayaan merupakan hubungan interpersonal yang mendorong mutual trust (saling percaya) antara pekerja dan majikan (Khan, 1997). Untuk satu hal, pemberdayaan memerlukan tindakan sungguh-sungguh dari pihak pengurus untuk menyerahkan kekuasaan kepada pekerja dalam menentukan cara terbaik melaksanakan, mengawal sarana produksi dan menilai hasilnya. Dengan kata lain adalah otonomi (Wilberforce, 2000). Dalam hal ini, pemberdayaan dapat ditinjau melalui dua sudut pandang (Setyawan dan Mulyadi, 1999), yaitu: 1. Dari sudut pandang Pengurus (majikan) Pemberdayaan merupakan proses pemberian kuasa kepada pekerja untuk memampukan diri di dalam merencanakan dan mengendalikan pelaksanaan (implementasi) rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Dari sudut pandang pekerja Pemberdayaan merupakan proses untuk meningkatkan keandalan dirinya agar dipercaya oleh majikan dalam merencanakan dan mengendalikan implementasi rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya Pemberdayaan dapat diwujudkan dengan teknik partisipasi manajemen seperti MBO (Management by Objective), peningkatan kualitas lingkungan dan pemberian wewenang. (Conger & Kanungo, 1988). Akan tetapi pemberdayaan berbeda dengan pelbagai pendekatan partisipasi di masa lalu yang cenderung hanya menekankan pengumpulan input atau masukan dari pekerja, tetapi tidak disertai dengan delegasi wewenang. Sepintas lalu pemberdayaan mirip dengan pengendalian otoritas, namun ada dua karakteristik yang membuat pemberdayaan menjadi unik (Soetomo, 1999). Pertama, setiap orang didorong untuk berinisiatif dan berbuat lebih jauh (just do it). Kedua, otoritas yang diberikan disertai dengan sumbersumber (resources) yang menunjang sehingga hasilnya dapat diawasi secara langsung. Dengan adanya pelbagai pemahaman tentang pemberdayaan maka dapat dibedakan antara pekerja yang diberdayakan dan yang tidak.

Teori Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

Penelitian ini menggunakan teori kepemimpinan legal formal, teori kepemimpinan karismatik, teori kepemimpinan tranformasional (Dikutip dari buku Kepemimpinan : Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi dan Penelitian karya Wirawan tahun 2003) 
1. Teori kepemimpinan legal formal Weber menjelaskan kepemimpinan yang berotoritas legal formal merupakan seorang pemimpin yang pengabsahannya berasal dari pengakuan di depan hukum. Yang bersangkutan dipilih oleh mereka yang memiliki hak untuk memilih aturan yang sudah dibakukan. Wewenang, tugas pokok serta fungsi yang dimilikinya berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku.
 2. Teori kepemimpinan karismatik (Charismatic Leadership) Weber (1974) memberi definisi tentang karisma yaitu sebagai karakteristik kepribadian khusus yang memberi seseorang suatu kekuatan luar biasa.  Pemimpin-pemimpin karismatik yang menampilkan atau mempunyai ciriciri seperti memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan yang jelas, mengkomsumsikan visi itu dengan efektif, mendemonstrasikan konsistensi dan fokus serta mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan memanfaatkannya.
 3. Teori kepemimpinan transformasional (Transformational Leadership) Teori ini mengatakan bahwa pemimpin-pemimpin transaksional membimbing atau memotivasi pengikutnya ke arah tujuan yang telah ditentukan dengan cara menjelaskan ketentuan-ketentuan tentang peran dan tugas. Pemimpin-pemimpin transformasional memberikan pertimbangan yang bersifat individual, stimulasi intelektual, dan memiliki kharisma. Kepemimpinan transformasional dibangun/berkembang dari kepemimpinan transaksional.

Pengertian Kepemimpinan (skripsi dan tesis)

Dalam buku Manajemen karya Griffin (2003) disebutkan kepemimpinan adalah sebagai proses, yakni penggunaan pengaruh tanpa paksaan untuk membentuk tujuan-tujuan grup atau organisasi, memotivasi perilaku ke arah pencapaian tujuan-tujuan tersebut, dan membantu mendefinisikan kultur grup atau organisasi. Sedangkan kepemimpinan sebagai atribut ialah sekolompok karakteristik yang dimiliki oleh individu yang dipandang sebagai pemimpin. Dan pemimpin adalah individu yang mampu mempengaruhi perilaku orang lain tanpa harus mengandalkan kekerasan, pemimpin adalah individu yang diterima oleh lain sebagai pemimpin. Selain pengertian tersebut, menurut Ordway Tead dalam bukunya The Art Of Leadership menyatakan kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar merasa mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Dikutip dalam Kartini Kartono, 2006 : 37). Makna kepemimpinan sebagaimana dikemukakan tadi akan semakin jelas dengan definisi-definisi mengenai kepemimpinan menurut beberapa ahli. George R. Terry dalam bukunya Principle of Management (Dikutip dalam Kartini Kartono, 2006 : 37) berkata kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar mereka suka berusaha mencapai tujuan kelompok. Pendapat lain dikemukakan oleh Howard H. Hyot dalam bukunya Aspect of Modern Public Administration (Dikutip dalam Kartini Kartono, 2006 : 37) menyatakan kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, kemampuan untuk membimbing orang. Pendapat lain dikemukakan oleh E,S Bogardus (Dikutip dalam Pamudji, 1992 : 11) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kepribadian yang beraksi dalam kondisi-kondisi kelompok, tidak saja kepemimpinan itu suatu kepribadian dan suatu gejala kelompok, ia juga merupakan suatu proses sosial yang melibatkan sejumlah orang dalam kontak mental dalam mana seseorang  mendominasi orang-orang lain. Selain itu menurut Munson (Dikutip dalam Pamudji, 1992 : 11) kepemimpinan sebagai “kemampuan/kesanggupan untuk menangani atau menggarap orang-orang sedemikian rupa untuk mencapai hasil yang sebesar-besarnya dengan sekecil mungkin pergesekan dan sebesar mungkin kerjasama. Kepemimpinan adalah kekuatan moral yang kreatif dan direktif”

Rabu, 11 November 2020

Indikator Lingkungan Kerja (skripi dan tesis)

 Lingkungan kerja dalam organisasi dalam hal ini kantor pertanahan sangat penting untuk diperhatikan. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksanakan proses kegiatan, namun lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap karyawan dalam mejalankan tugas pokok dari pekerjaan tersebut. Lingkungan kerja yang baik akan dapat mengakibatkan sesama rekan kerja akan lebih saling mendukung satu sama lain untuk menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepada mereka, sehingga nantinya lingkungan kerja yang kondusif akan menciptakan kepuasan kerja bagi karyawan dan akan menghasilkan kinerja yang baik bagi organisasi. Kepuasan kerja karena adanya lingkungan kerja yang nyaman akan menimbulkan terbentuknya loyalitas kerja. Berikut ini beberapa faktor yang diuraikan Sedarmayanti (2011) yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya adalah: 1. Penerangan / cahaya di tempat kerja 2. Temperatur / suhu udara di tempat kerja 3. Kelembaban di tempat kerja 4. Sirkulasi udara di tempat kerja 5. Kebisingan di tempat kerja 6. Bau tidak sedap di tempat kerja 7. Tata warna di tempat kerja 8. Dekorasi di tempat kerja 9. Musik di tempat kerja 10. Keamanan di tempat kerja Suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal, sehat, aman dan nyaman sehingga dapat meningkatkan gairah kerja para karyawan. 
Indikator yang diuraikan A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2005), yaitu : 1. Penerangan / cahaya di tempat kerja. Cahaya lampu sangat besar manfaatnya bagi karyawan guna mendapat keselamatan dan kelancaran kerja, karena jika cahaya lampu yang tidak memadai akan berpengaruh terhadap keterampilan karyawan yang dalam melaksanakan tugas-tugasnya banyak mengalami kesalahan yang pada akhirnya pengerjaannya kurang efisien sehingga tujuan perusahaan sulit untuk dicapai. 2. Temperatur / suhu udara di tempat kerja. Setiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur yang berbeda. Manusia selalu mempertahankan tubuhnya dalam keadaan normal, dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di luar tubuh. Tetapi kemampuan untuk menyesuaikan diri tersebut ada batasnya. Manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan temperatur luar tubuh tidak lebih dari 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin, dari keadaan normal tubuh. 3. Kelembaban di tempat kerja. Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara, biasanya dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udara. Jika keadaan dengan temperatur udara sangat panas dan kelembaban tinggi, akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar, karena sistem. Selain itu, semakin cepatnya denyut jantung diakibatkan aktifnya peredaran darah untuk 32 memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia akan selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu disekitarnya. 4. Sirkulasi udara di tempat kerja. Udara disekitar dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah bercampur dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu proses metabolisme. Dengan cukupnya oksigen di sekitar tempat kerja, maka akan memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani, sumber utamanya adalah tanaman di sekitar tempat kerja, karena tanaman merupakan penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia. Dengan terciptanya rasa sejuk dan segar selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan tubuh akibat lelah setelah bekerja. 5. Kebisingan di tempat kerja. Kebisingan merupakan suatu bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga, karena jika dalam jangka panjang bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan dalam bekerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan kesalahan dalam berkomunikasi. Bahkan menurut penelitian, kebisingan serius dapat menyebabkan kematian. Kriteria pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya dihindarkan agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien. 6. Tata warna di tempat kerja. Menata warna di tempat kerja perlu dipelajari dan direncanakan dengan sebaik mungkin, karena pada kenyataannya tata warna tidak dapat dipisahkan dengan penataan dekorasi. Hal ini dapat dimaklumi karena pengaruh warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan. 7. Dekorasi di tempat kerja. Dekorasi ada hubungannya dengan tata warna yang baik, karena dekorasi tidak hanya berkaitan dengan hiasan ruang kerja saja, 33 akan tetapi berkaitan juga dengan cara mengatur tata letak, tata warna, perlengkapan, dan lainnya untuk bekerja. 8. Musik di tempat kerja. Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan suasana, waktu dan tempat dapat membangkitkan dan merangsang karyawan untuk bekerja. Oleh karena itu, lagu-lagu perlu dipilih dengan selektif untuk dikumandangkan di tempat kerja. 9. Keamanan di tempat kerja. Guna menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam keadaan aman, maka perlu diperhatikan adanya keamanan dalam bekerja. Oleh karena itu faktor keamanan perlu diwujudkkan keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan di tempat kerja adalah dengan memanfaatkan tenaga Satuan Petugas Keamanann (SATPAM). Indikator lingkungan kerja yang efektif dalam perusahaan ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan (Gie dalam Nuraini, 2013): 1. Cahaya. Cahaya penerangan yang cukup memancarkan dengan tepat akan menambah efisiensi kerja para karyawan/pegawai, karena mereka dapat bekerja dengan lebih cepat lebih sedikit membuat kesalahan dan matanya tak lekas menjadi lelah. 2. Warna. Warna merupakan salah satu faktor yang penting untuk memperbesar efisiensi kerja para karyawan, khususnya warna akan mempengaruhi keadaan jiwa mereka dengan memakai warna yang tepat pada dinding ruang dan alatalat lainnya kegembiraan dan ketenangan bekerja para karyawan akan terpelihara. 3. Udara. Mengenai faktor udara ini, yang sering sekali adalah suhu udara dan banyaknya uap air pada udara itu. 34 4. Suara. Untuk mengatasi terjadinya kegaduhan, perlu kiranya meletakkan alat-alat yang memiliki suara yang keras, seperti mesin ketik pesawat telpon, parkir motor, dan lain-lain, pada ruang khusus, sehingga tidak mengganggu pekerja lainnya dalam melaksanakan tugasnya. Dalam penelitian ini indikator lingkungan yang digunakan mengadopsi sesuai dengan lingkungan kerja yang ada di kantor pertanahan yang meliputi antara lain: 1. Kondisi pencahayaan di lingkungan kerja 2. Tingkat kebisingan suara di lingkungan kerja 3. Tersedianya sirkulasi udara, 4. Hubungan kerja dengan antar rekan kerja 5. Jaminan rasa aman bagi karyawan serta penilaian karyawan mengenai kenyamanan bekerja. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja (skripi dan tesis)


Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik, sehingga
dicapai suatu hasil yang optimal, apabila diantaranya ditunjang oleh suatu kondisi yang sesuai. Suatu kondisi lingkungan dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal, sehat, aman dan nyaman.
Ketidaksesuaian kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama.
Lebih jauh lagi, keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut tenaga dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien. Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja.
Menurut (Sedarmayanti dalam Wulan, 2011) menyatakan bahwa secara
garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi dua faktor yaitu faktor
lingkungan kerja fisik dan faktor lingkungan kerja non fisik.
1. Faktor Lingkungan Kerja Fisik :
a. Pewarnaan
b. Penerangan
c. Sirkulasi Udara
d. Suara bising
e. Ruang gerak
f. Keamanan
g. Kebersihan.
2. Faktor Lingkungan Kerja Non Fisik:
a. Struktur kerja
b. Tanggung jawab kerja
c. Perhatian
d. Dukungan organisasi
e. Kerja sama antar kelompok
f. Kelancaran komunikasi.
Menurut (Suwatno dan Priansa, 2011) secara umum lingkungan kerja
terdiri dari lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja psikis.
1. Faktor Lingkungan Fisik. Faktor lingkungan fisik adalah lingkungan yang
berada disekitar pekerja itu sendiri. Kondisi di lingkungan kerja dapat
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan yang meliputi:
a. Rencana Ruang Kerja, meliputi kesesuaian pengaturan dan tata letak
peralatan kerja, hal ini berpengaruh besar terhadap kenyamanan dan
tampilan kerja karyawan.
b. Rancangan Pekerjaan, meliputi peralatan kerja dan prosedur kerja atau
metode kerja, peralatan kerja yang tidak sesuai dengan pekerjaannya akan
mempengaruhi kesehatan hasil kerja karyawan.
c. Kondisi Lingkungan Kerja, Penerangan dan kebisingan sangat
berhubungan dengan kenyamanan para pekerja dalam bekerja. Sirkulasi
udara, suhu ruangan dan penerangan yang sesuai sangat mempengaruhi
kondisi seseorang dalam menjalankan tugasnya.
d. Tingkat Visual Pripacy dan Acoustical Privacy. Dalam tingkat pekerjaan
tertentu membutuhkan tempat kerja yang dapat memberi privasi bagi
karyawannya. Yang dimaksud privasi disini adalah sebagai “ keleluasan
pribadi “ terhadap hal-hal yang menyangkut dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan acoustical privasi berhubungan dengan pendengaran.
2. Faktor Lingkungan Psikis. Faktor lingkungan psikis adalah hal-hal yang
menyangkut dengan hubungan sosial dan keorganisasian. Kondisi psikis yang
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah:
a. Pekerjaan Yang Berlebihan. Pekerjaan yang berlebihan dengan waktu
yang terbatas atau mendesak dalam penyelesaian suatu pekerjaan akan
menimbulkan penekanan dan ketegangan terhadap karyawan, sehingga
hasil yang didapat kurang maksimal.
b. Sistem Pengawasan Yang Buruk. Sistem pengawasan yang buruk dan
tidak efisien dapat menimbulkan ketidak puasaan lainnya, seperti ketidak
stabilan suasana dan kurangnya umpan balik prestasi kerja.
c. Frustasi. Frustasi dapat berdampak pada terhambatnya usaha pencapaian
tujuan, misalnya harapan perusahaan tidak sesuai dengan harapan
karyawan, apabila hal ini berlangsung terus menerus akan menimbulkan
frustasi bagi karyawan.
d. Perubahan-Perubahan Dalam Segala Bentuk. Perubahan yang terjadi
dalam pekerjaaan akan mempengaruhi cara orang-orang dalam bekerja,
misalnya perubahan lingkungan kerja seperti perubahan jenis pekerjaan,
perubahan organisasi, dan pergantian pemimpin perusahaan.
e. Perselisihan Antara Pribadi Dan Kelompok. Hal ini terjadi apabila kedua
belah pihak mempunyai tujuan yang sama dan bersaing untuk mencapai
tujuan tersebut. Perselisihan ini dapat berdampak negatif yaitu terjadinya
peselisihan dalam berkomunikasi, kurangnya kekompakan dan kerjasama.
Sedangkan dampak positifnya adalah adanya usaha positif untuk
mengatasi perselisihan ditempat kerja, diantaranya: persaingan, masalah
status dan perbedaan antara individu.
Lingkungan kerja fisik maupun psikis keduanya sama pentingnya dalam
sebuah organisasi, kedua lingkungan kerja ini tidak bisa dipisahkan. Apabila
sebuah perusahaan hanya mengutamakan satu jenis lingkungan kerja saja, tidak akan tercipta lingkungan kerja yang baik, dan lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien dan akan menyebabkan perusahaan tersebut mengalami penurunan produktivitas kerja

Jenis lingkungan kerja (skripi dan tesis)

Menurut Sedarmayanti (2011) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 (dua) yaitu :  1. Lingkungan tempat kerja/Lingkungan kerja fisik (physical working environment) Lingkungan kerja fisik adJenis lingkungan kerja Menurut Sedarmayanti (2011) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 (dua) yaitu : 25 1. Lingkungan tempat kerja/Lingkungan kerja fisik (physical working environment) Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori yakni: a. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan pegawai (seperti : ruang kerja, meja, kursi, dan sebagainya). b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum (seperti lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain). Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap pegawai, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai sifat dan tingkah lakunya, kemudian digunakan sebagai dasar untuk memikirkan lingkungan fisik yang sesuai. 2. Suasana kerja/Lingkungan non fisik (Non-physical working environment) Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan. Menurut Nitisemito (2000). Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan, maupun yang memiliki status jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri. 
 Lingkungan kerja non fisik merupakan keadaan lingkungan tempat kerja karyawan yang berupa suasana kerja yang harmonis dimana terjadi hubungan atau komunikasi antara bawahan dengan atasan (hubungan vertikal) serta hubungan antar sesama karyawan (hubungan horizontal). Penerapan hubungan pekerjaan yang baik antar karyawan akan terlihat pada suasana kerja yang: 1. Tidak terdapat konflik antar karyawan 2. Setiap karyawan bersemangat dan bergairah dalam menyelesaikan pekerjaaan yang menjadi tugasnya. 3. Setiap masalah dapat diselesaikan dengan penuh kekeluargaan. 4. Pelaksanaan pekerjaan diliputi oleh suasana santai dan keakraban, bukan suasana yang mencekam penuh ancaman. 5. Adanya saling menghargai dan percaya antar karyawanalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori yakni: a. Lingkungan yang langsung berhubungan dengan pegawai (seperti : ruang kerja, meja, kursi, dan sebagainya). b. Lingkungan perantara atau lingkungan umum (seperti lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain). Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap pegawai, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia, baik mengenai sifat dan tingkah lakunya, kemudian digunakan sebagai dasar untuk memikirkan lingkungan fisik yang sesuai. 2. Suasana kerja/Lingkungan non fisik (Non-physical working environment) Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan. Menurut Nitisemito (2000). Perusahaan hendaknya dapat mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan, bawahan, maupun yang memiliki status jabatan yang sama di perusahaan. Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan, komunikasi yang baik, dan pengendalian diri. 
 Lingkungan kerja non fisik merupakan keadaan lingkungan tempat kerja karyawan yang berupa suasana kerja yang harmonis dimana terjadi hubungan atau komunikasi antara bawahan dengan atasan (hubungan vertikal) serta hubungan antar sesama karyawan (hubungan horizontal). Penerapan hubungan pekerjaan yang baik antar karyawan akan terlihat pada suasana kerja yang: 1. Tidak terdapat konflik antar karyawan 2. Setiap karyawan bersemangat dan bergairah dalam menyelesaikan pekerjaaan yang menjadi tugasnya. 3. Setiap masalah dapat diselesaikan dengan penuh kekeluargaan. 4. Pelaksanaan pekerjaan diliputi oleh suasana santai dan keakraban, bukan suasana yang mencekam penuh ancaman. 5. Adanya saling menghargai dan percaya antar karyawan

Pengertian lingkungan kerja (skripi dan tesis)

 Keadaan lingkungan kerja yang baik akan memberikan dampak yang positif bagi karyawan dalam meningkatkan prestasi kerja karyawan. Hal itu merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh agar karyawan dapat melaksanakan tugasnya tanpa mengalami gangguan, karena lingkungan kerja sangat mempengaruhi prestasi kerja karyawan. Menurut Sedarmayati (2011) definisi lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok. Pendapat lain menurut Nitisemito (2000), yang dimaksud lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan agar tercipta suatu kepuasan kerja guna meningkatkan kinerja. Pada umumnya karyawan menghendaki tempat kerja menyenangkan, aman dan cukup tenang. Udara yang selalu segar dan kerja yang menyenangkan, berarti pula meninbulkan perasaan puas dikalangan pekerja. Sehingga dengan cara demikian dapat dikurangi atau dihindari pemborosan waktu dan biaya, merosotnya kesehatan karyawan dan banyaknya kecelakaan kerja. Menurut Sarwono (2005) lingkungan kerja adalah lingkungan dimana pegawai / karyawan melakukan pekerjaannya sehari-hari. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para pegawai untuk dapat berkerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka pegawai tersebut akan betah di tempat kerjanya untuk melakukan aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan optimis prestasi kerja pegawai juga tinggi. Lingkungan kerja tersebut mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara  sesama pegawai dan hubungan kerja antar bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat pegawai bekerja. 
Sementara itu, menurut Fieldman oleh penelitian Nasution dan Rodhiah dalam (Jurnal Manajemen, 2008) menjelaskan bahwa lingkungan kerja merupakan faktor-faktor diluar manusia baik fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi yang pembentukannya terkait dengan kemampuan manusia. Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah sebuah hal yang berada disekitar pekerjaan yang dapat mempengaruhi karyawan dalam melaksanakan tugas, kondisi kerja, hubungan karyawan didalam perusahaan dan kinerja karyawan tersebut. Dapat disimpulkan lingkungan kerja adalah lingkungan dimana pegawai melakukan pekerjaannya sehari-hari. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para pegawai untuk dapat berkerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka pegawai tersebut akan betah di tempat kerjanya untuk melakukan aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan optimis prestasi kerja pegawai juga tinggi. Lingkungan kerja tersebut mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara sesama pegawai dan hubungan kerja antar bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat pegawai bekerja

Indikator beban kerja (skripi dan tesis)

 Beban kerja setiap karyawan dalam melaksanakan tugas pekerjaan yang dipercayakan untuk dikerjakan dan dipertanggung jawabkan oleh satuan organisasi yakni Kantor Pertanahan, atau seorang karyawan tertentu sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan sehingga efektivitas kerja akan berhasil dengan baik. Pada dasarnya beban kerja sebagai perbedaan antara kemampuan karyawan dengan tuntutan pekerjaan. Jika kemampuan lebih tinggi daripada tuntutan pekerjaan, akan muncul perasaan bosan. Namun sebaliknya jika kemampuan pekerja lebih rendah daripada tuntutan pekerjaan maka akan muncul kelelahan yang lebih. Dalam persepsi karyawan, apabila karyawan tersebut memiliki persepsi yang positif maka mereka akan menganggap beban kerja sebagai tantangan dalam bekerja sehingga mereka lebih bersungguh-sungguh dalam bekerja dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun organisasi. Manfaat yang dapat diberikan kepada organisasi adalah munculnya kepuasan dalam bekerja yang berdampak pada sikap loyalitas karyawan tersebut kepada organisasi. Sebaliknya jika persepsi negatif yang muncul maka beban kerja dianggap sebagai tekanan kerja sehingga dapat mempengaruhi kinerja individu, memiliki dampak negatif bagi dirinya maupun kelanjutan organisasi. Menurut Sitepu (2013) menjelaskan bahwa dalam penelitiannya bahwa beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Jika kemampuan pekerja lebih tinggi daripada tuntutan pekerjaan, akan muncul perasaan bosan. Namun sebaliknya, jika kemampuan pekerja lebih rendah daripada tuntutan pekerjaan, maka akan muncul kelelahan yang lebih. Beban kerja yang dibebankan kepada karyawan dapat dikategorikan kedalam tiga kondisi, yaitu beban kerja yang sesuai standar, beban kerja yang terlalu tinggi (over capacity) dan beban kerja yang terlalu rendah (under capacity). Indikator dari beban kerja dalam penelitiannya adalah waktu kerja, jumlah pekerjaan, faktor internal tubuh dan faktor eksternal tubuh. Sama halnya dengan pendapat Anita (2013) menjelaskan beban kerja diatas, dapat disimpulkan bahwa beban kerja merupakan suatu rangkaian kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Dimensi beban kerja menurut Suwatno (2003) menggunakan indikator-indikator, antara lain : Jam kerja efektif , Latar Belakang Pendidikan, Jenis pekerjaan yang diberikan. 
Menurut Murti (2013) beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu. Indikator-indikator beban kerja mencakup: 1. perbaikan yang terus menerus dalam bekerja 2. peningkatan mutu hasil pekerjaan 3. sikap terhadap pegawai 4. pemahaman substansi dasar tentang bekerja 5. etos kerja 6. perilaku ketika bekerja 7. menyelesaikan tugas yang menantang 22 8. kondisi fisik tempat bekerja, dan sikap terhadap waktu. Berdasarkan dari Kementrian kesehatan (2004) menjelaskan banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan oleh karyawan yang profesional dalam satu tahun dalam satu sarana kesehatan akan berdampak pada perasaan memiliki beban kerja. Sama halnya dengan Supardi (2007) Beban kerja mengharuskan pekerjaan tersebut dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan dalam batas waktu tertentu. Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih ialah kondisi kerja, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Dalam kondisi tertentu hal ini merupakan motivasi dan menghasilkan prestasi, namun bila desakan waktu menyebabkan banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih Dalam penelitian ini indikator beban kerja yang digunakan mengadopsi indikator beban kerja yang ada didalam lingkungan peneliti, maka indikator yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Variasi pekerjaan yang harus dilakukan. 2. Target banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan 3. Tingkat kesulitan pegawai dalam menyelesaikan tugas 4. Adanya batasan waktu yang telah ditetapkan 5. Adanya Under pressure terhadap pegawai dalam bekerja 

Dampak Beban Kerja (skripi dan tesis)

Beban kerja yang dapat menimbulkan stres terbagi menjadi dua (Susanto, 2011) : 1. Role overload. Role overload terjadi ketika tuntutan-tuntutan melebihi kapasitas dari seorang manajer atau karyawan untuk memenuhi tuntutan tersebut secara memadai. 2. Role underload. Role underload adalah pekerjaan di mana tuntutan-tuntutan yang dihadapi dibawah kapasitas yang dimiliki seorang karyawan.  Pada tataran yang wajar beban tugas yang harus dikekerjakan oleh karyawan seharusnya dalam batasan kemampuannya, baik jumlah kerja ataupun tingkat kesulitan yang dihadapi. Namun demikian tidak jarang kondisi tertentu beban kerja ini meningkat dan di luar batasan wajar sehingga dapat mengakibatkan stres kerja. Menurut Schultz dan Schultz (2010) dampak beban kerjadi bedakan menjadi dua macam, yaitu quantitative overload dan qualitative overload. 1. quantitative overload. Pada beban kerja yang bersifat quantitative overload adalah keharusan mengerjakan terlalu banyak tugas atau penyediaan waktu yang tidak cukup untuk menyelesaikan tugas. Dengan kata lain, beban kerja berlebihan kuantitatif merupakan beban kerja yang terjadi apabila terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan pada satuan waktu tertentu (too much to do). Unsur yang menyebabkan beban kerja berlebihan kuantitatif ini adalah desakan waktu. Waktu merupakan salah satu ukuran efisiensi. Pedoman yang banyak didengar adalah “cepat dan selamat”. Atas dasar ini orang sering harus bekerja berkejaran dengan waktu dan hal ini dapat mengakibatkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang. Bagaimanapun juga beban kerja berlebihan kuantitatif merupakan pembangkit stress pada para pekerja 2. qualitative overload Beban kerja yang bersifat qualitative overload adalah beban kerja yang terjadi apabila orang merasa kurang mampu menyelesaikan tugasnya atau standar hasil karyanya terlalu tinggi. Dengan kata lain, beban kerja kualitatif merupakan beban kerja yang terjadi apabila pekerjaan yang  dihadapi terlalu sulit (too difficult to do). Beban berlebihan kualitatif, adalah beban kerja karena kemajemukan pekerjaan. Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk dan kemajemukan pekerjaan ini bisa meningkat karena peningkatan dari jumlah informasi yang harus digunakan, peningkatan dari canggihnya informasi atau dari ketrampilan yang diperlukan dalam pekerjaan, serta perluasan dan tambahan alternatif dari metode-metode pekerjaan. Kemajemukan pekerjaan memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi dari pada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi menyebabkan produktif, tetapi menjadi destruktif. Hal ini dapat menimbulkan kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik

Pengertian beban kerja (skripi dan tesis)

 Beban kerja merupakan salah satu aspek yang harus di perhatikan oleh setiap perusahaan, karena beban kerja salah satu yang dapat meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang merupakan beban kerja baginya, beban-beban tersebut tergantung bagaimana orang tersebut bekerja. Dari sudut pandang ergonomi setiap beban kerja yang diterima seseorang harus sesuai dan seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut (Munandar, 2001). Menurut Tarwaka (2010) beban kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi. Mengingat pekerjaan manusia bersifat mental dan fisik, maka masing-masing mempunyai tingkat pembebanan yang berbeda-beda. Tingkat pembebanan yang terlalu tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan dan terjadi overstress, sebaliknya intensitas pembebanan yang terlalu rendah memungkinkan rasa bosan dan kejenuhan atau understress. Beban kerja adalah frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing pekerjaan dalam jangka waktu tertentu (Irwandy, 2007). Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja yang terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seorang pegawai menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Pada dasarnya beban kerja merupakan salah satu unsur yang harus diperhatikan bagi seorang tenaga kerja 13 untuk mendapatkan keserasian dan produktivitas kerja yang tinggi selain unsur beban tambahan akibat lingkungan kerja dan kapasitas kerja (Sudiharto, 2001). Sedangkan menurut Permendagri No. 12/2008, beban kerja adalah besaran pekerjaan yang harus dipikul oleh suatu jabatan atau unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume kerja dan norma waktu. Dengan demikian pengertian beban kerja adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang dalam menyelesaikan tugas-tugas suatu pekerjaan atau kelompok jabatan yang dilaksanakan dalam keadaan normal dalam suatu jangka waktu tertentu

Definisi Job Autonomy (skripi dan tesis)

 
Menurut Zhou dan Shalley (2008) menyatakan bahwa job autonomy mengacu
pada kebebasan dan kemerdekaan bahwa orang-orang melakukan, memiliki tugas dalam menentukan bagaimana melaksanakan tugas mereka. Hackman dan Oldham, dalamSlatten and Mehmetoglu (2011)menyatakan bahwa mereka telah mengidentifikasi lima karakteristik inti terkait dengan pekerjaan: (1) skill variety; sejauh mana pekerjaan memerlukan sejumlah keterampilan yang berbeda, kemampuan, atau bakat. (2) task identity; mendefinisikan sejauh mana pekerjaan diselesaikan secara lengkap dari awal pekerjaan sampai akhir. (3) task significance; Signifikansi tugas mengacu pada pentingnya pekerjaan, sejauh mana pekerjaan memiliki dampak pada kehidupan orang lain, organisasi langsung atau lingkungan eksternal. (4) feedback; Umpan balik adalah sejauh mana individu melakukan pekerjaan memperoleh informasi tentang efektivitas kinerja. Umpan balik tidak hanya mengacu pada umpan balik pengawasan, tetapi juga kemampuan untuk mengamati hasil kerja mereka. Adapun yang ke(5) autonomy; sejauh mana seorang pekerja bebas untuk menjadwalkan kecepatan kerja nya dan menentukan prosedur yang akan digunakan. Kelima karakteristik inti sering disebutkan dalam kaitannya  dengan istilah umum "pekerjaan yang mencakup sumber daya".
Hasil penelitian Gellatly dan Irving (2001) serta Langfred dan Moye (2004)
dalam Saragih (2011) menunjukan adanya efek positif dari job autonomy terhadap kinerja, selain itujob autonomy dapat meningkatkan kinerja karena pekerja dengan job autonomy yang tinggi akan melihat bahwa dirinya dipercaya untuk melakukan tugas tersebut. Pandangan ini berdampak positif terhadap efek motivasi intrinsik dan efektivitas dalam bekerja. Menurut Thompson dan Prottas (2005 dalam Saragih, (2011) menemukan bahwa otonomi kerja secara signifikan negatif terhadap stres kerja, keinginan berpindah, dan pekerjaan dan konflik keluarga. Selanjutnya, Kauffeld (2006), Nonaka et al, (2000). Dalam Smith et al. (2003) juga menemukan hubungan positif antara otonomi kerja dan kompetensi pekerja dan kreativitas.
Menurut Hackman dan Oldham dalam Saragih (2011) menyatakan bahwa job
autonomy didefinisikan sebagai sejauh mana pekerjaan memberikan kebebasan substansial, kemandirian, dan keleluasaan untuk individu dalam pekerjaan penjadwalan dan dalam menentukan prosedur yang harus digunakan dalam melaksanakannya. Dimana mempunyai inti karakteristik seperti, variasi keahlian, identitas tugas, signifikansi tugas dan umpan balik dari pekerjaan.Langfred dan Moye (2004dalam Saragih, 2011) menyatakan bahwa job autonomy dapat meningkatkan kinerja karena mereka menganggap diri mereka mampu dan lebih percaya diri dalam menjalankan tugas. Secara psikologis, karyawan akan lebih memotivasi untuk melakukan yang terbaik dan mengarah pada kinerja yang lebih tinggi.

 

Terdapat hubungan positif antara otonomi kerja dengan prestasi kerja yang dimediasi oleh motivasi intrinsik (skripi dan tesis)

Morgeson dan Campion (2002:589); Parker (1998:835), baru-baru ini melaporkan bahwa hubungan antara otonomi kerja dengan prestasi kerja dimediasi oleh motivasi intrinsik. Temuan ini menunjukkan bahwa otonomi meningkatkan  motivasi karyawan untuk mengenali lebih beragam keterampilan dan pengetahuan yang penting bagi pekerjaan mereka dan bahwa mereka akan mencoba dan menguasai tugas-tugas baru dan mengintegrasikan tugas-tugas yang lebih fokus ke pekerjaan mereka. Meskipun mekanisme ini harus meningkatkan motivasi intrinsik (misalnya melalui perasaan kompetensi dan makna, juga mungkin sebagian merupakan jalur independen untuk kinerja). 
 

Motivasi intrinsik berhubungan positif dengan prestasi kerja (skripi dan tesis)

Menurut Gagne dan Deci (2005:331); Kuvaas (2006b:504), (2007:378), menyebutkan beberapa studi yang telah menemukan hubungan positif antara otonomi kerja, motivasi intrinsik dan prestasi kerja dalam organisasi. Namun, Gagne dan Deci (2005:347) juga mengutip bukti-bukti menunjukkan bahwa motivasi intrinsik tampaknya menghasilkan prestasi yang lebih baik terutama untuk tugas-tugas yang menarik. 

Otonomi kerja berhubungan positif dengan motivasi intrinsik (skripi dan tesis)

Argumen dasar yang dikemukakan oleh Hackman dan Oldham (1976:250) adalah bahwa otonomi pekerjaan mengarah pada keadaan psikologis dan pada akhirnya motivasi intrinsik akan bekerja. Morgeson dan Campion, (2002:589); Parker, (1998:835), menunjukkan bahwa otonomi meningkatkan motivasi karyawan untuk mengenali lebih beragam keterampilan dan pengetahuan yang penting bagi pekerjaan mereka dan bahwa mereka akan mencoba dan menguasai tugas-tugas baru dan mengintegrasikan tugas-tugas yang lebih fokus ke pekerjaan mereka. 


Ciri-ciri Karyawan Berprestasi (skripi dan tesis)

 Menurut Dessler (2003:252) faktor-faktor penentu dalam diri pribadi seseorang dalam meraih prestasi kerja adalah : 1. Kreativitas Pikiran lincah yang senantiasa bergerak menghasilkan dan membangun ideide baru. 2. Progresivitas Kemampuan maju terus dan hasrat meraih prestasi dalam setiap usaha, jabatan atau pekerjaan yang ditangani. 3. Integritas Akhlak yang luhur dan hati yang bersih sehingga mempunyai kebajikan hidup (misalnya : kejujuran, kesetiaan, semangat pengabdian dan rasa tanggung jawab). 4. Kapabilitas Keterampilan kerja, kemahiran memutuskan dan pengetahuan efisiensi yang diperoleh dari pendidikan formal, pengalaman hidup maupun terutama pengembangan diri. Personalitas Sifat-sifat pribadi yang menimbulkan penghargaan tinggi pada rekan maupun pihak bawahan, misalnya : ketegasan (sifat percaya diri), kemanusian (sifat humanitas) dan keadilan (sifat objektif).

Tujuan dan Manfaat Penilaian Prestasi Kerja (skripi dan tesis)

 Penilaian prestasi kerja karyawan bertujuan dan berguna untuk perusahaan serta bermanfaat bagi karyawan. Menurut Dessler (2003:241) tujuan penilaian prestasi kerja adalah sebagai berikut: 1. Penilaian prestasi menyediakan informasi tentang keputusan promosi dan gaji yang dapat digunakan. Pada tingkat unit organisasi dapat menentukan kontribusi suatu unit atau divisi dalam perusahaan terhadap organisasi perusahaan secara keseluruhan dan dalam tingkat karyawan dapat membedakan tingkat prestasi kerja setiap karyawan. 2. Penilaian prestasi kerja memberikan kesempatan untuk mengkaji ulang pekerjaan karyawan yang berhubungan dengan perilaku. Dimana setiap karyawan ingin memiliki peluang untuk mengembangkan kemampuan kerjanya sampai tingkat maksimal, dan mengembangkan sebuah rencana untuk memperbaiki kekurangan yang mungkin didapati dari penilaian. 3. Bagian dari proses perencanaan karir di perusahaan, karena penilaian memberikan sebuah kesempatan baik untuk mengkaji ulang rencana karir seseorang dalam posisinya sesuai dengan kekuatan dan kelemahan. Dimana setiap orang ingin mengetahui secara pasti tangga karir yang dinaikinya apabila dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. 4. Penilaian dapat membantu karyawan dengan baik untuk mengatur dan meningkatkan prestasi perusahaan. Dimana setiap karyawan ingin mendapatkan perlakuan yang objektif dan penilaian dasar prestasi kerjanya dengan bersedia menerima tanggung jawab yang lebih besar.

Pengertian Prestasi Kerja (skripi dan tesis)

 Menurut (Dessler (2003:322); George dan Gareth R Jones (2002:249); Bernadin dan Russel (1993:378)), prestasi kerja didefinisikan sebagai catatan dari hasil-hasil yang diperoleh melalui fungsi-fungsi pekerjaan tertentu dengan melakukan evaluasi kinerja untuk mendorong motivasi dan prestasi karyawan saat ini atau prestasinya pada masa lalu yang berhubungan dengan standar kinerjanya secara periodik, serta untuk menyediakan informasi yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan managerial. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa prestasi kerja lebih menekankan pada hasil atau yang diperoleh dari sebuah pekerjaan sebagai kontribusi pada perusahaan. Prestasi kerja sebagai tingkat pelaksanaan tugas yang bias dicapai oleh seseorang, unit, atau divisi, dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasanbatasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan perusahaan. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi intrinsik (skripi dan tesis)

 Gibson et al (2003:109) mengemukakan bahwa Herzberg menyatakan adanya faktor-faktor yag mempengaruhi motivasi intrinsik seseorang, yaitu : 1. Pengakuan. Adalah suatu sikap yang diberikan oleh perusahaan atau lingkungan kerja atas hasil kerja yang telah diperoleh karyawan yang memungkinkan karyawan menerima penghargaan dan pengakuan dari lingkungan kerja. 2. Kemungkinan untuk berkembang. Adalah suatu kegiatan yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan kemampuan secara optimal. 3. Pekerjaan itu sendiri. Adalah bagian dari tugas yang dilakukan bagi seseorang yang tertantang untuk memenuhi tuntutan tugas yang diberikan kepadanya dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki secara optimal. 4. Tanggung jawab. Adalah sikap seseorang dalam melaksanakan atau menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, atau usaha pihak perusahaan dalam memberikan suatu usaha pekerjaan yang tepat bagi karyawannya. Kemajuan. Adalah bagian dari kegiatan perusahaan yang memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk meningkatkan atau mengembangkan karir dengan cara memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi karyawan yang mempunyai prestasi kerja baik untuk dipromosikan.

Komponen-komponen motivasi intrinsik (skripi dan tesis)

Pemahaman lebih luas tentang motivasi intrinsik dapat digambarkan dalam model motivasi intrinsik Ken Thomas. Model Thomas tersebut mengemukakan bahwa motivasi intrinsik dicapai ketika seseorang mengalami perasaan-perasaan adanya pilihan, kompetensi, penuh arti dan kemajuan (Robbins, 2003:232). Adapun penjelasan-penjelasan dari komponen-komponen motivasi intrinsik tersebut adalah: 1. Pilihan. Peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan tugas yang masuk akal bagi Anda dan melaksanakannya dengan cara yang memadai. 2. Kompetensi. Pencapaian yang Anda rasakan saat melakukan kegiatan pilihan Anda dengan cara yang amat terampil. 3. Penuh arti. Peluang untuk mengejar sasaran tugas yang bernilai, sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar Kemajuan Perasaan bahwa anda membuat langkah maju yang berarti dalam mencapai sasaran tugas Anda

Pengertian Motivasi Intrinsik (skripi dan tesis)

Motivasi intinsik adalah motivasi yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak kelihatan, contohnya kebanggaan pekerja terhadap perusahaan sehingga rasa kepemilikan dari karyawan atas perusahaan yang dengan sendirinya akan meningkatkan motivasi dari karyawan (Herpen, Praag dan Cools, 2003:1) Motivasi intrinsik menunjukkan tingkat di mana seorang karyawan mengalami perasaan internal atau imbalan internal yang dirasakan ketika melakukan suatu pekerjaan dengan efektif, sehingga menimbulkan motivasi-motivasi di dalam diri dan dari orang itu sendiri. Biasanya melekat pada orang itu sendiri dan untuk mendapatkannya tidak tergantung pada keterlibatan atau tindakan-tindakan dari orang lain atau hal-hal lainnya (Newstrom dan Davis, 2002:316). Gibson, Ivancevich dan Donnely (2003:155), juga menyebutkan serangkaian kondisi intrinsik, yang apabila ada dalam suatu pekerjaan tersebut akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat, yang bisa menghasilkan prestasi kerja yang baik. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka tidak akan timbul rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Menurut Herzberg dalam (Robbin, 2003:229), faktor-faktor yang memotivasi atau faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja akan mendorong prestasi kerja seseorang. Dan jika faktor intrinsik tersebut tidak ada maka tidak akan menimbulkan rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Jadi faktor intrinsik tidak begitu berpengaruh terhadap ketidakpuasan seseorang jika salah satu faktor tersebut tidak ada. Hal ini dikarenakan faktor ekstrinsik dapat berubah dan terus berkembang dari waktu ke waktu sehingga sulit untuk memotivasi seseorang Tidak demikian halnya dengan faktor intrinsik, yang apabila memperolehnya, maka akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang tersebut, karena keberhasilan yang telah diraihnya dan berusaha untuk berbuat lebih baik lagi untuk mencapai suatu keberhasilan yang maksimal

Otonomi Kerja (skripi dan tesis)

 Otonomi kerja merupakan tingkat kebebasan yang diberikan kepada karyawan untuk dapat membuat jadwal pekerjaannya sendiri dan memilih cara kerja untuk melaksanakan jadwal tersebut (Schermerhorn, 2008:359). Artinya kepada para pekerja diberi kebebasan untuk mengendalikan pelaksanaan tugasnya berdasarkan uraian dan spesifikasi pekerjaan yang dibebankan kepadanya Otonomi kerja adalah derajat yang memberikan kebebasan pekerjaan, kemerdekaan, dan keleluasaan untuk individu dalam penjadwalan kerja dan dalam menentukan prosedur untuk digunakan dalam pelaksanaannya. Contoh pekerjaan dengan nilai tinggi pada otonomi adalah tugas seorang tenaga penjualan yang membuat jadwal kerja sendiri setiap hari dan memutuskan pada pendekatan penjualan yang paling efektif untuk setiap pelanggan tanpa pengawasan. Pekerjaan dengan nilai rendah dalam dimensi ini akan menjadi tugas seorang tenaga penjualan yang akan diberikan satu rujukan setiap harinya. Hal ini diperlukan untuk mengikuti standar rencana penjualan dengan setiap pelanggan yang potensial (Robbins and Judge, 2009:250). Dalam pengaturan organisasi, otonomi kerja sering digunakan untuk menilai kekuatan situasional (Barrick dan Mount, (1993:111); Lee et al., (1990:870); Peters et al., (1982:609)). Hackman dan Oldham (1976:259) mendefinisikan otonomi kerja sebagai derajat satu kebebasan memiliki jadwal dan menentukan metode yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Dalam situasi di mana individu memiliki tingkat tinggi otonomi kerja (yaitu, sebuah situasi yang lemah), perilaku akan lebih mungkin berkaitan dengan perbedaan kepribadian individu karena ada kebijaksanaan dalam pilihan perilaku yang digunakan untuk menyelesaikan tugas yang ditugaskan atau mencapai tujuan tertentu. Dalam pekerjaan dengan tingkat otonomi yang rendah (yaitu, sebuah situasi yang kuat), tindakan individu kemungkinan akan dibatasi oleh berbagai faktor termasuk pengawasan yang ketat, machine-driven pacing, dan aturan kerja secara terperinci. Oleh karena itu, dalam kondisi otonomi kerja yang rendah, kepribadian mungkin memainkan peran sedikit atau tidak dalam perilaku individu karena mereka tidak mempunyai wewenang mengenai kegiatan yang berhubungan dengan kinerja. Meskipun (Mischel, 1977:333) secara khusus mengacu pada perilaku sebagai variabel kriteria dalam argumen kekuatan situasional itu, penelitian kecil telah dilakukan pemeriksaan sejauh mana pekerjaan otonomi moderat memiliki hubungan antara kepribadian dan perilaku. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa kinerja adalah fungsi dari interaksi antara otonomi kerja dan berbagai variabel perbedaan individu yang meliputi: karakteristik kepribadian Tipe A, hati nurani, extraversion, dan keramahan pertumbuhan membutuhkan kekuatan dan kebutuhan akan prestasi (Steers dan Spencer, (1977:472); Lee et al, (1990:870); Barrick dan Mount, (1993:111); Hackman dan Lawler, (1971:259)).

Pengertian Budaya Organisasi (skripi dan tesis)

Menurut Robbins (2006), bahwa budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, suatu sistem dari makna bersama. Budaya organisasi dapat memperngaruhi cara anggota dalam bertingkah laku, cara menggambarkan pekerjaan, dan cara bekerja dengan anggota lain. Setiap perusahaan mempunyai budaya organisasi yang baik karena budaya organisasi berhubungan dengan berhasil tidaknya organisasi mencapai tujuannya. Budaya organisasi yang positif akan memacu organisasi ke arah yang lebih baik. Apabila budaya organisasi negatif akan berdampak negatif pula bagi organisasi. Oleh sebab itu, apabila organisasinya baik maka kinerja yang akan dicapai pasti juga akan baik. Schein (Sigit Soehardi, 2003) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola asumsi-asumsi dasar yang oleh suatu kelompok tertentu telah ditemukan, dibuka, atau dikembangkang melalui pelajaran untuk memecahkan masalah-masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, dan yang berjalan cukup lama untuk dipandang sahih, dan oleh sebab itu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memandang, berfikir dan merasa dalam kaitannya dengan masalah-masalah tersebut. Denison (2000), menjelaskan empat prinsip integratif hubungan timbal balik antara budaya organisasi dengan efektifitas kerja organisasi. Empat prinsip meliputi keterlibatan (involvement), konsistensi (concistency), adaptabilitas (adaptibility), dan misi (mission). Budaya organisasi memiliki dampak besar pada karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung. Para peneliti menunjukkan bahwa budaya organisasi mempengaruhi produktivitas organisasi, efektivitas, kinerjanya, kepuasan kerja, komitmen, inovasi dan kepemimpinan dan pengambilan keputusan (Mehr, Emadi, Cheraghian, Roshani & Behzadi, 2012)

Pengertian Kepuasan Kerja (skripi dan tesis)

Kepuasan kerja terdiri dari perasaan dan tingkah laku yang dimiliki seseorang tentang pekerjaannya (Riggio, 2000). Semua aspek penting pekerjaan, baik dan buruk, positif dan negatif, memberikan kontribusi terhadap perkembangan perasaan kepuasan (atau ketidakpuasan). Kepuasan kerja ialah secara individu seseorang mempunyai sifat yang berneda sehingga mempunyai tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan pada masing-masing individu yang terlibat dalam suatu organisasi (Trisnowati, 2011). Rose (2001) menjelaskan kepuasan kerja terdapat dua dimensi utama, yaitu sumber intrinsik dan ekstrinsik. Sumber intrinsik tergantung pada karakteristik orang itu sendiri seperti inisiatifnya mengambil sifat, transaksi dan hubungannya dengan atasannya dan kinerjanya sendiri. Sumber-sumber ekstrinsik meliputi keuntungan finansial seperti bonus, peringkat atau kenaikan jabatan dan keamanan kerja. Beberapa peneliti telah menemukan suatu cara yang menghubungkan antara otonomi dan kepuasan kerja. Individu merasa bangga dengan pekerjaan mereka jika mereka diberi otonomi (Mehmood, Irum, Ahmed & Sultana, 2012). Setiap organisasi yang ingin sukses dan mempertahankan karyawan harus memastikan bahwa karyawannya puas. Organisasi dengan jumlah karyawan yang kepuasannya lebih besar memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih efektif dan pekerja yang puas lebih produktif dibandingkan dengan pekerja yang tidak puas (Robbins & Judge, 2007). Menurut Veithzal Rivai (2009) indikator kepuasan kerja meliputi: (1) pekerjaan itu sendiri, (2) promosi, (3) kelompok kerja, (4) kondisi kerja, (5) tingkat upah/gaji, (6) pengawasan

Pengertian Komitmen Organisasi (skripi dan tesis)

 Komitmen organisasi merupakan nilai personal, yang mengacu sebagai sikap loyal pada onisasi / rgperusahaan.” (Robbins, 2006). Hatmoko (2006), mendefinisikan komitmen organisasi ialah loyalitas karyawan pada organisasi untuk mencapai sasaran, nilai-nilai, kesediaan dan kemauan berusaha menjadi sesuatu bagian perusahaan, keinginan bertahan. Banyak studi yang dilakukan bahwa komitmen organisasi merupakan ukuran kekuatan identitas, keterlibatan karyawan mencapai tujuan dan nilai- nilai organisasi. Kepuasan kerja berkaitan dengan lingkungan tugas, sedang komitmen organisasi berkaitan dengan pencapaian pemberdayaan organisasi (Mc. Neese-Smith, 1996). Adanya komitmen diharapkan kinerja pegawai meningkat. Luthans (2006) menjelaskan komitmen organisasi adalah sebuah sikap merefleksikan loyalitas karyawan kepada organisasi dan merupakan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengungkapkan perhatian mereka terhadap organisasi, keberhasilan organisasi serta kemajuan yang berkelanjutan

Otonomi kerja (skripi dan tesis)

 Otonomi kerja (job autonomy) merupakan tingkat kebebasan, independensi, dan kebijaksanaan yang dimiliki seseorang dalam merencanakan suatu pekerjaan dan menentukan cara apa yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut (Astriana, 2010). Otonomi melibatkan tanggung jawab atas hasil pekerjaan yang menghasilkan hasil seperti efisiensi kerja yang tinggi dan tingkat motivasi intrinsik yang lebih tinggi (Hackman & Oldham1976; Langfred & Moye, 2004). Chung (1977) menekankan bahwa otonomi memiliki dampak pada metode kerja, kecepatan kerja dan penetapan tujuan. Individu dengan otonomi memiliki kebebasan untuk mengendalikan laju kerja dan mengatur proses kerja dan prosedur evaluasi. Otonomi dan kemandirian tidak sama dengan pekerja otonom dapat bergantung pada komunikasi interpersonal untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung (Dee, Henkin & Chen, 2000). Penelitian ini menggambarkan bahwa otonomi kerja menjadi hal yang penting bagi banyak hasil kerja yang positif.Gellatly and Irving (2001), Langfred dan Moye (2004) menemukan efek positif dari otonomi kerja terhadap kinerja pekerjaan. Otonomi pekerjaan meningkatkan kinerja karena pekerja dengan otonomi kerja yang tinggi akan merasa bahwa dia dipercaya untuk melakukan tugas tersebut. Ini akan berdampak positif untuk motivasi intrinsik mereka dan efektivitas dalam bekerja. Saragih (2011) menjelaskan bahwa otonomi kerja didefinisikan sebagai sejauh mana pekerjaan memberikan kebebasan substansial, kemandirian, dan keleluasaan untuk individu dalam pekerjaan penjadwalan dan dalam menentukan prosedur yang digunakan dalam melaksanakannya. Pearson, et al, (2009), mengembangkan tiga skala penilaian (indikator) dalam otonomi

Sabtu, 07 November 2020

Risk Perception (skripsi dan tesis)

Sjoberg, Moen dan Rundmo (2004) mengemukakan bahwa persepsi risiko adalah penilaian subjektif tentang terjadinya suatu kecelakaan dan seberapa besar perhatian individu akan konsekuensinya. Untuk memahami risiko mencakup evaluasi probabilitas serta konsekuensi dari hasil negatif. Baird dan Thomas (1985 dalam Sitkin dan Weingart, 1995) menambahkan dengan penilaian seseorang terhadap seberapa berbahayanya sebuah situasi berdasarkan perkiraan kemungkinan dari derajat ketidakpastian pada situasi yang dihadapi, tingkat kontrol terhadap ketidakpastian tersebut, dan kepercayaan diri dalam perkiraan ketidakpastian tersebut. Sedangkan menurut Mullai (2006) persepsi risiko adalah hasil interpretasi dari penilainan seseorang terhadap suatu tingkat risiko berdasarkan kepercayaan dirinya sendiri apakah risiko yang dihadapinya dapat ditoleransi atau tidak. Maka persepsi risiko dapat diartikan sebagai penilaian seseorang terhadap seberapa bahaya suatu situasi berdasarkan probabilitas, konsekuensi serta kepercayaan diri seseorang dalam perkiraan ketidakpastian tersebut. Faktor yang mempengaruhi persepsirisk perception individu adalah sebagai berikut seseorang (Ropeik dan Slovic, 2003): 1. Ketakutan (dread). Individu mempersepsi sesuatu kejadian memiliki risiko yang besar apabila akibat yang akan ditimbulkan menakutkan misalnya kematian. 2. Kontrol. Persepsi risiko suatu situasi akan dianggap lebih kecil apabila individu merasa memiliki kontrol (kendali) atas situasi yang dihadapinya. 3. Asal risiko (alam atau manusia). Persepsi resiko rendah apabila penyebab dari risiko tersebut berasal dari alam. Sebaliknya, suatu kejadian dipersepsi memiliki risiko yang lebih tinggi jika disebabkan oleh perbuatan manusia. 4. Pilihan. Risiko yang dipilih sendiri oleh individu akan dipersepsi lebih rendah dibandingkan dengan risiko yang dipaksakan oleh pihak lain. 5. Melibatkan anak-anak. Manusia secara alamiah memiliki dorongan untuk mempertahankan kelangsungan hidup keturunannya, sehingga ditemukan bahwa risiko pada anak-anak lebih dianggap berbahaya dibandingkan pada orang dewasa sekalipun risiko yang ada sama. 6. Baru tidaknya risiko. Pada situasi risiko yang baru, risiko akan dipersepsi lebih tinggi daripada persepsi risiko terhadap situasi yang sudah pernah dihadapi sebelumnya. 7. Kewaspadaan (alertness). Semakin tersedia kewaspadaan tersebut ke dalam kesadaran individu dan ia menjadi semakin perhatian terhadap risiko tersebut. 8. Bias hal itu akan terjadi pada diri sendiri. Individu akan mempersepsikan risiko yang lebih besar apabila berpikir bahwa dirinya dan orang-orang yang ia sayangi dapat menjadi korban. 9. Pertukaran risiko keuntungan (The Risk-Benefit tradeoff).The Risk-Benefit tradeoff membuat individu lebih atau kurang takut terhadap suatu ancaman. 10. Kepercayaan. Semakin kecil kepercayaan individu terhadap hal yang dapat melindungi diri, maka semakin tinggi persepsinya terhadap risiko yang akan dihadapi.

Konformitas (skripsi dan tesis)

Konformitas merupakan perubahan perilaku atau kepercayaan seseorang akibat dari tekanan kelompok (Myers, 2014). Baron & Byrne (2006) mendefiniskan konformitas sebagai suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma. Konformitas adalah perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, baik yang sungguh-sungguh ada maupun yang dibayangkan saja (Kiesler & Kiesler, 1969 dalam Sarwono,2005).Maka konformitas dapat diartikan sebagai perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan kelompok baik secara langsung ataupun yang hanya dibayangkan saja agar sesuai dengan norma. Myers (2014) menyatakan bahwa ada dua bentuk konformitas yang biasa muncul pada individu yaitu compliance (pemenuhan) dan acceptance (penerimaan).Sarwono (2005) menyatakan bahwa compliance merupakan konformitas yang dilakukan secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, walaupun hatinya tidak setuju. Apabila perilaku ini adalah suatu perintah, maka disebut ketaatan (obedience). Baron & Byrne (2006) compliance merupakan bentuk pengaruh sosial yang menyertakan permintaan langsung dari seseorang kepada orang lain. Konformitas ini berdasarkan keinginan seseorang untuk memenuhi ekspektansi orang lain, seringkali untuk mendapatlan penerimaan dengan kata lain agar disukai orang lain atau disebabkan oleh normative influence. Normative influence adalah mengikuti orang lain untuk menghindari penolakan, untuk tetap diperlakukan baik atau untuk mendapatkan persetujuan orang lain. Pada bentuk acceptance, konformitas terjadi karena kelompok menyediakan informasi penting yang tidak dimiliki oleh individu (informational influence). Jadi acceptance adalah konformitas yang didasari oleh penerimaan seseorang terhadap bukti realitas yang diberikan oleh orang lain