Sabtu, 31 Oktober 2020

Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

 Pengendalian mutu pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah terkait obat atau mencegah terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien (patient safety). Kegiatan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian meliputi(3) : a. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai standar. b. Pelaksanaan, yaitu: 1) Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja (membandingkan antara capaian dengan rencana kerja) 2) Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian. c. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu: 1) Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar. 2) Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.

Pelayanan Farmasi Klinik (skripsi dan tesis)


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat
dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik di
puskesmas rawat jalan meliputi(3):
a. Pengkajian Resep, Penyerahan Obat dan Pemberian Informasi Obat
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk
pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi
meliputi:
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
2) Nama, dan paraf dokter
3) Tanggal resep
4) Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan
2) Dosis dan jumlah obat
3) Stabilitas dan ketersediaan
4) Aturan dan cara penggunaan
5) Inkompatibilitas (ketidakcampuran obat)
Persyaratan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat
2) Duplikasi pengobatan
3) Alergi, interaksi dan efek samping obat
4) Kontra indikasi
5) Efek adiktif.
Kegiatan penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi
obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap
menyiapkan/meracik obat, memberikan label/ etiket, menyerahan
sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai
pendokumentasian.
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada
dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien.
Kegiatan ini meliputi:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara
pro aktif dan pasif.
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding dan
lain-lain.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta masyarakat.
5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian
dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan bahan medis
habis pakai.
6) Mengoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan pelayanan
kefarmasian.
c. Konseling
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat
pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan
dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar
mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan
pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek
samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan
obat.
d. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat
yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal
yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan
terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
e. Pemantauan Terapi Obat
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan
efikasi dan meminimalkan efek samping.
f. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat
secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang
digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional)
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian,
pengorganisasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan
standar prosedur operasional sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Sumber daya kefarmasian yang dimaksud meliputi sumber daya manusia dan sarana dan prasarana.
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal
harus dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai
penanggung jawab, yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian
sesuai kebutuhan. Jumlah kebutuhan Apoteker di Puskesmas dihitung
berdasarkan rasio kunjungan pasien, baik rawat inap maupun rawat jalan
serta memperhatikan pengembangan Puskesmas. Rasio untuk
menentukan jumlah Apoteker di Puskesmas adalah 1 (satu) Apoteker
untuk 50 (lima puluh) pasien perhari. Semua tenaga kefarmasian harus
memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik untuk melaksanakan
pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan termasuk
puskesmas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Semua tenaga kefarmasian di puskesmas melaksanakan pelayanan
kefarmasian berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang
dibuat secara tertulis, disusun oleh kepala ruang farmasi dan ditetapkan
oleh kepala puskesmas(3)
Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di
Puskesmas meliputi sarana yang memiliki fungsi sebagai ruang
penerimaan resep, ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi
sediaan secara terbatas), ruang penyerahan obat, ruang konseling, ruang
penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai, ruang arsip

Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (skripsi dan tesis)


Pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai merupakan salah
satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan,
permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian,
pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuan
pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai adalah untuk menjamin
kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan bahan medis
habis pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan
kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem
informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai meliputi(3):
a. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai.
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis
habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka
pemenuhan kebutuhan puskesmas.
b. Permintaan obat dan bahan medis habis pakai.
Tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai adalah
memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di puskesmas,
sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan
diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan dan kebijakan pemerintah
daerah setempat.
c. Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai.
Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan
dalam menerima obat dan bahan medis habis pakai dari instalasi
farmasi Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah
diajukan.
d. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai.
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu
kegiatan pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak
hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya
tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bentuk dan jenis sediaan
2) Stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban)
3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar
4) Narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus.
e. Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai.
Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan
pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai secara
merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi
puskesmas dan jaringannya.
f. Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai.
Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan
untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan
strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/ kekosongan obat di unit pelayanan
kesehatan dasar. Pengendalian obat terdiri dari:
1) Pengendalian persediaan
2) Pengendalian penggunaan
3) Penanganan obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
g. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan.
Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan
dalam rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis pakai
secara tertib, baik obat dan bahan medis habis pakai yang diterima,
disimpan, didistribusikan dan digunakan di puskesmas atau unit
pelayanan lainnya.
h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis
pakai.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis
pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
1) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat
menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan
2) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan
medis habis pakai
3) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan

Standar Pelayanan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

 Standar pelayanan kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(3) . Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan kefarmasian di Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan

Administrasi Apotik (skripsi dan tesis)

Administrasi merupakan proses pencatatan seluruh kegiatan teknis yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Menurut Anief (1995), administrasi yang biasa dilakukan apotek meliputi: a. Administrasi pembukuan yaitu pencatatan uang masuk dan uang yang keluar. b. Administrasi penjualan yaitu pencatatan pelayanan resep, penjualan bebas dan penjualan secara tunai dan kredit. c. Administrasi pergudangan yaitu pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang.   d. Administrasi pembelian yaitu pencatatan pembelian harian secara tunai atau kredit. e. Administrasi piutang yaitu pencatatan penjualan kredit, pelunasan piutang dan penghasilan sisa piutang. f. Administrasi kepegawaian yaitu pencatatan absensi karyawan dan gaji

Manajemen Apotek (skripsi dan tesis)

 Manajemen dapat diartikan sebagai salah satu usaha atau kegiatan yang dilaksanakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip-prinsip dasar manajemen dapat dipelajari tetapi hasil yang diperoleh dalam penerapannya masih banyak tergantung pada bakat-bakat perorangan. Manajemen yang baik akan memberikan hasil yang memuaskan sesuai harapan (Anief, 1995). Menurut Umar (2005), dalam mengelola sebuah apotek berlaku cara mengelola fungsi-fungsi manajemen meliputi: a. Fungsi perencanaan (planning) yaitu menyusun program kerja untuk mencapai suatu tujuan (sasaran). b. Fungsi pengorganisasian (organization) yaitu membagi-bagi pekerjaan yang ada di apotek dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab pada setiap fungsi. c. Fungsi Kepemimpinan (actuating) yaitu melaksanakan program kerja sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab pekerjaannya serta sasaran yang akan dicapainya. d. Fungsi pengawasan (controlling) yaitu melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan sistem operasional dan sasaran yang dicapai melalui indikator tingkat keberhasilan pada setiap fungsi. Apotek dalam mendistribusikan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan dari pemasok kepada konsumen memiliki 5 fungsi kegiatan (Umar, 2005) yaitu: a. Pembelian (phurcashing) b. Gudang (ware house) c. Pelayanan dan penjualan (servicing and selling) d. Keuangan (finanching) e. Pembukuan (accounting) Seorang APA selain menguasai ilmu kefarmasian, juga harus dibekali dengan ilmu lainnya seperti ilmu pemasaran (marketing) dan ilmu akuntansi (accounting). Sehingga seorang APA dalam menjalankan profesi apotekernya di apotek tidak hanya sebagai penanggung jawab teknik kefarmasian saja, melainkan juga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat (Umar, 2005).

Asisten Apoteker (skripsi dan tesis)

Asisten apoteker memiliki tugas dan fungsi dalam pengelolaan apotek, yaitu (Umar, 2005): 1. Fungsi pembelian meliputi: mendata kebutuhan barang, membuat kebutuhan pareto barang, mendata pemasok, merencanakan dan melakukan pembelian sesuai dengan yang dibutuhkan, kecuali ketentuan lain dari APA dan memeriksa harga. 2. Fungsi gudang meliputi: menerima dan mengeluarkan berdasarkan fisik barang, menata, merawat dan menjaga keamanan barang.   3. Fungsi pelayanan meliputi: melakukan penjualan dengan harga yang telah ditetapkan, menjaga kenyamanan ruang tunggu, melayani konsumen dengan ramah dan membina hubungan baik dengan pelanggan.

Apoteker (skripsi dan tesis)

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (PP 51, 2009). Apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pemimpim dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola sumber daya (manusia, fisik dan anggaran) secara efektif, selalu belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes RI, 2004)

Apotek (skripsi dan tesis)

Berdasarkan PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Sarana dan prasarana yang harus dimiliki oleh apotek untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah (Menkes RI, 2004): 1. Papan nama apotek yang dapat terlihat dengan jelas, memuat nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor izin apotek dan alamat apotek. 2. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien yaitu bersih, ventilasi yang memadai, cahaya yang cukup, tersedia tempat duduk dan ada tempat sampah. 3. Tersedianya tempat untuk mendisplai obat bebas dan obat bebas terbatas serta informasi bagi pasien berupa brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan. 4. Ruang untuk memberikan konseling bagi pasien. 5. Ruang peracikan. Universitas Sumatera Utara 6. Ruang/tempat penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. 7. Ruang/tempat penyerahan obat. 8. Tempat pencucian alat. 9. Peralatan penunjang kebersihan apotek

Pekerjaan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu dan kemanfaatan (PP 51, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 yang dimaksud dengan: a) Nilai Ilmiah adalah Pekerjaan Kefarmasian harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi. b) Keadilan adalah penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau serta pelayanan yang bermutu. c) Kemanusiaan adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial dan ras. d) Keseimbangan adalah dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian harus tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. e) Perlindungan dan keselamatan adalah Pekerjaan Kefarmasian tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan pasien. 
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian adalah untuk: 1. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. 2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan dan 3. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian berupa: a. Apotek b. Instalasi farmasi rumah sakit c. Puskesmas d. Klinik  e. Toko obat atau f. Praktek bersama Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan atau tenaga teknis kefarmasian. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. 

Pelayanan Kefarmasian (skripsi dan tesis)

 Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI, 2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien berfungsi sebagai (Bahfen, 2006): 1. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan obat. 2. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat. 3. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan. 4. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien. 5. Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis.  6. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat. 7. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat. 8. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan. 9. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan

Puskesmas (skripsi dan tesis)

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar-Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Depkes, RI., 2006). Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurangkurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya.Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni: a. pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, b. pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan c. pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut: a. papan nama “apotek” yang dapat terlihat jelas oleh pasien b. ruang tunggu yang nyaman bagi pasien  c. peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan miligram, mortir-stamper, gelasukur, corong, rak alat-alat, dan lainlain d. tersedia tempat dan alat untuk mendisplaiin formasi obat bebas dalam upaya penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, dan majalah kesehatan e. tersedia sumber informasi dan literature obat yang memadai untuk pelayanan informasi obat, antara lain: Farmakope Indonesia edisiterakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI) f. tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai, g. tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria, serum dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku h. tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau computer agar pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat dipantau dengan baik i. tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan informasi obat (Depkes, RI., 2006). 

Faktor – faktor kepuasaan pasien (skripsi dan tesis)

 Mempertahankan konsumen agar tetap loyal terhadap apotek adalah lebih sulit. Kepuasan konsumen adalah merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan konsumen yaitu kualitas pelayanan pada konsumen. Kepuasan konsumen adalah merupakan faktor penentu kesetiaan terhadap apotek (Sari, 2008). Menurut Tjiptono, dkk., (2001), kepuasan konsumen ditentukan oleh beberapa faktor: a. Sikap pendekatan petugas medis terhadap konsumen. b.Prosedur yang tidak membingungkan konsumen. c.Waktu tunggu yang tidak terlalu lama yang dirasakan oleh konsumen. d.Keramahan petugas kesehatan terhadap konsumen.  e.Proses penyembuhan yang dirasakan konsumen. Menurut Budiastuti (2002), kepuasan pasien terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor antara lain: a. Kualitas produk atau jasa Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas produk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan. b. Kualitas pelayanan Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkannya. c. Faktor Emosional Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi. d. Harga Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.  e. Biaya Mendapatkan produk atau jasa, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan. Sumber daya manusia untuk mengelola apotek adalah seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus: a. mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, b.mampu mengambil keputusan yang tepat, c. mampu berkomunikasi antar profesi, d.mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, e. mampu mengelola SDM secara efektif,selalu belajar sepanjang karier. f. membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menkes, RI., 2004). Pelayanan konsumen dapat berupa produk, jasa atau campuaran produk dan jasa. Apotek merupakan pelayanan produk dan jasa yang dikaitkan dengan kepuasan konsumen (Harianto, 2005). Terdapat lima determinan penilaian jasa yaitu: a. Kehandalan (reliability), kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. b. Ketanggapan (responsiveness), kemauan untuk membantu pelanggan yang memberikan jasa dengan cepat. c. Keyakinan (confidence), pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau “assurance”. Universitas Sumatera Utara 22 d. Empati (emphaty), syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan. e. Berwujud (tangible), penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi (Supranto, 2006)

Definisi kepuasan pasien (skripsi dan tesis)

 Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang terjadi setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja dan harapan-harapannya (Kothler, 1999). Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Pengukuran kepuasan konsumen  merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila konsumen merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan konsumen, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008). Kepuasan konsumen dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Hal ini akan merupakan promosi dari mulut ke mulut bagi calon konsumen lainnya yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek (Supranto, 2006)

Indikator mutu pelayanan resep (skripsi dan tesis)

Untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, digunakan tujuh imdikator untuk evaluasi mutu pelayanan yaitu: a. Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. b. Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca. c. Kemasan obat yang diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. d. Penyerahan obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. . Informasi obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. f. Konseling Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. g. Monitoring penggunaan obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

Skrining Resep (skripsi dan tesis)

Skrining resep adalah hasil evaluasi dengan cara membandingkan literatur dan ketentuan yang telah ditetapkan terhadap resep dokter. Tahapan proses skrining resep meliputi: a. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu : nama dokter, nomor ijin praktek, Alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin dan berat badan pasien b. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu : bentuk sediaan, dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat   c. Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian (dosis,durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya), membuat kartu pengobatan pasien d. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan (Menkes, RI., 2004). 

Standard penulisan resep (skripsi dan tesis)

Resep selalu dimulai dengan tanda R/ yang artinya recipe (ambillah). Dibelakang tanda ini (R/) biasanya baru tertera nama dan jumlah obat. Suatu resep yang lengkap harus memuat: a. Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter atau dokter gigi b. Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat c. Memberi tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep d. Tanda tangan atau paraf dokter penulisan resep sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlalu e. Nama pasien, jenis kelamin, umur, serta alamat f. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya melebihi dosis maksimal.

Resep (skripsi dan tesis)

 
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Menkes, RI., 2014). Resep harus ditulis secara jelas dan lengkap. Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap ,Apoteker harus menanyakan obat kepada dokter penulis resep

Pelayanan Farmasi klinis (skripsi dan tesis)

Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan obat dan bahan medis habis pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien(Menkes, RI., 2014). Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk: a. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. b. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas, keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai. c. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian. d. Melaksanakan kebijakan obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional (Menkes, RI., 2014). Pelayanan farmasi klinik meliputi: a. Pengkajian Resep, Penyerahan obat, dan Pemberian Informasi obat Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi: i. Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien. ii. Nama, dan paraf dokter. iii. Tanggal resep. iv. Ruangan/unit asal resep. Persyaratan farmasetik meliputi: i. Bentuk dan kekuatan sediaan. ii. Dosis dan jumlah obat. iii. Stabilitas dan ketersediaan. iv. Aturan dan cara penggunaan. v. Inkompatibilitas (ketidakcampuran obat). Persyaratan klinis meliputi: i. indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat. ii. Ketepatan Duplikasi pengobatan. iii. Alergi, interaksi dan efek samping obat. 
 iv. Kontra indikasi. v. Efek adiktif. Kegiatan penyerahan (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, menyerahan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian. Tujuan: i. Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan. ii. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan. b. Pelayanan Informasi Obat (PIO) Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Tujuan: i. Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat. ii. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat (contoh: kebijakan permintaan obat oleh jaringan dengan mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang memadai). iii. Menunjang penggunaan obat yang rasional (Menkes, RI., 2014).  c. Konseling Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara dan lama penggunaan obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat. Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan mendapat risiko masalah terkait obat misalnya komorbiditas, lanjut usia, lingkungan sosial, karateristik obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas penggunaan obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana menggunakan obat dan/atau alat kesehatan perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat (Menkes, RI., 2014). d. Ronde/Visite Pasien Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain. Tujuan: i. Memeriksa obat pasien. ii. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.  iii. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat. iv. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien. Pasien rawat inap yang telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya kelanjutan terapi dan kurangnya kepatuhan penggunaan obat. Untuk itu, perlu juga dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan obat sehingga tercapai keberhasilan terapi obat. e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat (ESO) Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Tujuan: i. Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang. ii. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan (Menkes, RI., 2014). f. Pemantauan terapi obat (PTO) Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Tujuan: i. Mendeteksi masalah yang terkait dengan obat. ii. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan obat (Menkes, RI., 2014). g. Evaluasi penggunaan obat Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional). Tujuan: i. Mendapatkan gambaran pola penggunaan obat pada kasus tertentu. ii. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu (Menkes, RI., 2014).

Pengelolaan perbekalan kefarmasian (skripsi dan tesis)

Pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian, yang dimulai dari perencanaan, permintaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan (Menkes, RI., 2014). Kepala Ruang Farmasi di Puskesmas mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjamin terlaksananya pengelolaan obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang baik. Kegiatan pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai meliputi: a. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi obat dan bahan medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan: i. perkiraan jenis dan jumlah obat dan bahan medis habis pakai yang mendekati kebutuhan; ii. meningkatkan penggunaan obat secara rasional; dan iii. meningkatkan efisiensi penggunaan obat. Perencanaan kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di Puskesmas. b. Permintaan obat dan bahan medis habis pakai Tujuan permintaan obat dan bahan medis habis pakai adalah memenuhi kebutuhan obat dan bahan medis habis pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat. c. Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai Penerimaan obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan dalam menerima obat dan bahan medis habis pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya adalah agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas. Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat dan bahan medis habis pakai berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Masa kedaluwarsa minimal dari obat yang diterima disesuaikan dengan periode pengelolaan di Puskesmas ditambah satu bulan. d. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Tujuannya adalah agar mutu obat yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Penyimpanan obat dan bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan halhal sebagai berikut: i. bentuk dan jenis sediaan; ii. stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban); iii. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan iv. narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus. . Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai Pendistribusian obat dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan obat dan bahan medis habis pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. f. Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai Pengendalian obat dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian obat terdiri dari: i. Pengendalian persediaan; ii. Pengendalian penggunaan; dan iii. Penanganan Obat hilang, rusak, dan kadaluwarsa. g. Pencatatan, pelaporan dan pengarsipan Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatalaksanaan obat dan bahan medis habis pakai secara tertib, baik obat dan bahan medis habis pakai yang diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya (Menkes, RI., 2014). Tujuan pencatatan, pelaporan dan pengarsipan adalah: i. Bukti bahwa pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai telah dilakukan; ii. Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan iii. Sumber data untuk pembuatan laporan. h. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai Pemantauan dan evaluasi pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk: i. mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan; ii. memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai; dan iii. memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan (Menkes, RI., 2014).

Pelayanan kefarmasian (skripsi dan tesis)

 Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Menkes, RI., 2004). Pada penelitian Purwastuti, digolongkan pelayanan farmasi sebagai salah satu pelayanan penunjang medik terapeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti ruang operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien menghadapi beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan farmasi. Mereka mempunyai posisi yang cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk pelayanan saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya (Purwastuti, 2005).

Organizing Drug Supply (skripsi dan tesis)

 Manajemen suplai obat yang baik membutuhkan adanya sistem yang mendukung pengelolaan suplai obat. Quick et. all (1997) menyebutkan the process of organizing the supply system involves interaction among multiple divisions within the hospital, and between other ministries. Organizing drug supply consists of organizational structure and administration, information system, personnel, facilities, and financial management. a. Organizational structure and administration Organisasi IFRS harus didesain dan dikembangkan sedemikian rupa agar faktor-faktor teknis, administratif, dan manusia yang mempengaruhi mutu produk dan pelayanan berada pada satu kendali. Pengendalian tersebut dapat dilaksanakan melalui suatu struktur organisasi IFRS yang terdiri atas penetapan pekerjaan yang dilakukan beserta tanggung jawab dan hubungan hierarki untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Quick et. all (1997) menyebutkan one of the fundamental of supply management mentioned above is the clear assignment of responsibilities and establishment of authority relationship. b. Information system Reliable, comprehensive and current information is a prerequisite for sound management and management and decision making at all levels. An information system forms which are used to communicate supply needs, consumption data, and other information to various offices 40 in the supply system, and reports which summarize the data from records and forms for planning and evaluation purposes (Quick et. all, 1997). A good information system provides decision makers with information needed to make the best possible choices. The amount and type of information needed, its form, and the degree of accuracy required are, therefore, determined by the particular needs of an individual supply system. Dalam pengelolaan manajemen obat, sistem informasi mempunyai peran penting terutama untuk mengetahui kebutuhan akan suplai obat, data konsumsi obat dan data lain yang berkaitan dengan pengadaan obat untuk evaluasi dan membuat perencanaan manajemen obat selanjutnya. c. Personnel Sumber daya manusia mempunyai peran yang penting dalam IFRS. Personel pendukung yang cukup (asisten, teknisi, dan secretariat) harus tersedia dalam menjalankan tugas IFRS. Personel harus memiliki pendidikan dan pelatihan yang diperlukan dalam bertugas. Kompetensi dan semua staf harus dipelihara melalui program dan kegiatan pendidikan berkelanjutan (Siregar, 2004). The performance of the staff which determined the effectiveness of the pharmaceutical supply system.
 Recruitment of qualified individuals, clear definition of job responsibilities, adequate training and preparation for specific job assignment and regular supervision a field too broad to cover in any detail. Several observations related to drug supply are worthy of mention (Quick et. all, 1997): 1) Job description 2) Qualification 3) Pharmaceutical expertise 4) Coordination of authority and responsibility 5) In service training 6) Staff motivation 7) Image of supply management 8) Guiding the supply related activities of health workers d. Facilities, equipment and supplies IFRS harus didukung dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi, profesional dana administratif (Siregar, 2004). Fasilitas, peralatan dan suplai yang dikemukakan oleh (Quick et. all, 1997) adalah sebagai berikut: 1) Facilities Pharmaceutical management is one health system component where adequate office facilities for central administration and appropriate storage units for supply protection are essential. 2) Equipment Vehicles are the biggest bottleneck in many distribution system, with high maintenance costs, scheduling problems, and rapidly rising operational expense as fuel prices escalate.  3) Supplies The drug supply system really involves only two basic commodities: the medicines and the paper that controls drug in the shape of forms, ledger, stock cards, and procedure books. e. Financial management Financial management is a complex and specialized area which requires qualified and experienced managers, accountants, and other personnel. The detail of financial management vary from country to country however there are several specific observations which can be made about financial management (Quick et. all, 1997). 

Standar Pelaksanaan Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

 Fungsi instalansi farmasi rumah sakit dilakukan sesuai dengan praktik profesional dan etika yang dapat diterima dan sesuai dengan persyaratan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan tersebut dituangkan dalam standar minimal pelaksanaan instalansi farmasi rumah sakit yang telah ditetapkan dengan konsensus dan disetujui oleh badan yang berwenang berisi peraturan, pedoman atau karakteristik kegiatan, hasil kegiatan yang ditujukan untuk pencapaian derajad optimal pelayanan farmasi. Standar minimal pelaksanaan instalansi farmasi rumah sakit adalah sebagai beriktu (Siregar, 2004): 37 1) Standar manajerial Instalansi farmasi rumah sakit harus dipimpin oleh seorang apoteker yang secara profesional kompeten dan memenuhi persyaratan hukum. Jabatan pimpinan IFSR harus berada dalam tingkat yang sama dengan jabatan pimpinan staf medis fungsional dalam struktur rumah sakit. 2) Fasilitas Ruangan, peralatan dan perbekalan harus disediakan untuk fungsi profesional dan administratif IFRS sebagaimana dipersyaratkan. IFRS harus dilengkapai dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi profesional dan administratif. 3) Distribusi dan pengendalian obat Kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang berkaitan dengan distribusi obat intra rumah sakit, harus dikembangkan oleh pimpinan IFRS bersama PFT, staf medis, perawat dan perwakilan disiplin lain. 4) Informasi obat IFRS bertugas dan bertanggung jawab menyediakan/memberikan informasi yang akurat dan komprehensif bagi staf medis, profesional kesehatan, dan pasien serta harus membuat IFRS sebagai sentra informasi obat.  5) Jaminan terapi obat yang rasional Salah satu aspek penting dalam pelayanan kefarmasian adalah memaksimalkan penggunaan obat rasional. Dalam hal ini apoteker bersama-sama dengan staf medis wajib mengembangkan berbagai kebijakan dan prosedur terdokumentasi guna memastikan mutu dari terapi obat yang diberikan. 6) Penelitian Praktik kefarmasian didasari oleh berbagai ilmu seperti fisikokimia, biologi, farmasetik, biomedik, dan sosioekonomi. Apoteker dalam rumah sakit harus dapat berfungsi baik dalam penelitian dengan bekerjasama dengan profesional pelayanan kesehatan lainnya. 7) Pemberian/konsumsi obat yang aman Kebijakan dan prosedur terdokumentasi yang menguasai pemberian obat dan produk biologik yang aman harus dikemabangkan oleh PFT yang bekerjasaman dengan IFRS, perawat dan jika perlu perwakilan disiplin lain. Kebijakan dan prosedur tersebut harus selalu dikaji ulang paling sedikit setiap tahun. 8) Mutu dalam pelayanan IFRS merupakan suatu organisasi pelayanan yang merupakan suatu sistem terorganisasi dari keterampilan dan fasilitas khusus. Sebagai organisasi pelayanan, IFRS diharapkan dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan harapan konsumen agar dapat memberikan kepuasan

Pelayanan Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

 Instalansi farmasi merupakan suatu organisasi pelayanan di rumah sakit yang memberikan pelayanan produk bersifat nyata (tangible) dan pelayanan farmasi yang bersifat tidak nyata (intangible) (Siregar, 2004). Pada proses pelayanan tersebut, terdapat pertemuan antara petugas farmasi dengan konsumen. Pada pelayanan farmasi klinik mensyaratkan adanya kegiatan komunikasi antara apoteker dan pasien, perawat dan petugas kesehatan, konseling obat kepada penderita, dan konsultasi obat oleh apoteker untuk petugas kesehatan yang lain. 36 Pertemuan antara petugas farmasi dengan konsumen, dapat mengidentifikasi kebutuhan dan mengetahui umpan balik pelayanan yang telah diberikan. Penilaian yang dilakukan oleh konsumen dijadikan sebagai masukan untuk memperbaiki pelayanan. Apabila hasil pelayanan kurang memenuhi harapan pasien, akan dilakukan tindakan perbaikan. Pencapaian kepuasan konsumen dilakukan dengan memelihara respon yang seimbang terhadap kebutuhan dan harapan, menerjemahkan kebutuhan dan harapan menjadi persyaratan serta mengkomunikasikan persyaratan tersebut pada seluruh tingkat petugas farmasi dan mengembangkan seluruh proses untuk menciptakan nilai bagi pihak yang berkepentingan (Siregar, 2004)

Tugas dan Tanggung Jawab Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Tugas utama IFSR adalah melakukan pengelolaan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung kepada penderita sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam 35 rumah sakit baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Instalasi farmasi bertanggung jawab menyediakan terapi obat yang optimal bagi semua pasien dan menjamin pelayanan yang bermutu tinggi. Instalansi farmasi rumah sakit adalah satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat. Intalansi farmasi juga bertanggung jawab mengembangkan suatu pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan baik dan tepat untuk memenuhi kebutuhan berbagai bagian/unit diagnosis dan terapi, unit pelayanan keperawatan, staf medis, dan rumah sakit secara keseluruhan untuk kepentingan pelayanan pasien yang lebih baik (Siregar, 2004).  

Tujuan Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

 
Instalansi farmasi rumah sakit harus mempunyai sasaran jangka panjang yang menjadi arah dari kegiatan sehari-hari dengan tujuan sebagai berikut (Siregar, 2004): 1) Memberi manfaat kepada penderita, rumah sakit, sejawat profesi kesehatan dan kepada profesi farmasi oleh apoteker rumah sakit yang kompeten dalam memenuhi syarat.   2) Membantu dalam penyediaan perbekalan yang memadai oleh apoteker rumah sakit yang memenuhi syarat. 3) Menjamin praktik profesional yang bermutu tinggi melalui penetapan dan pemerliharaan standar etika profesional, pendidikan dan pencapaian melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi. 4) Meningkatkan penelitian dalam praktik farmasi rumah sakit dan dalam ilmu farmasetik pada umumnya. 5) Menyebarkan pengetahuan farmasi dengan mengadakan pertukaran informasi antara para apoteker rumah sakit, anggota profesi dan spesialis serumpun. 6) Memperluas dan memperkuat kemampuan apoteker rumah sakit. 7) Meningkatkan pengetahuan dan pengertian praktik farmasi rumah sakit kontemporer bagi masyarakat, pemerintah, industri farmasi dan profesional kesehatan lainnya. 8) Membantu menyediakan personel pendukung yang bermutu untuk IFSR. 9) Membantu dalam pengembangan dan kemajuan profesi kefarmasian

Pengertian Instalansi Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

 . Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah salah satu instalasi di rumah sakit yang mempunyai tugas cukup berat mengingat bahwa perbekalan farmasi rumah sakit merupakan hal yang kompleks. Material yang dipergunakan cukup banyak, teknologi yang terus berkembang dan otoritas kewenangan medis yang berada dikelompok profesi. Daya beli pasien yang berbeda mempengaruhi jenis obat yang digunakan. Harus diingat bahwa pelayanan perbekalan farmasi berorientasi kepada pasien menuju penggunaan obat secara rasional (Santoso, 1996). Instalansi adalah fasilitas penyelenggara pelayanan medis, pelayanan penunjang medis, kegiatan penelitian, pengembangan, pendidikan, pelatihan dan pemeliharaan sarana rumah sakit (Siregar, 2004). Farmasi rumah sakit adalah seluruh aspek kefarmasian yang dilakukan di suatu rumah sakit. Instalansi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah suatu bagian/unit/devisi atau fasilitas di rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri. Instalansi farmasi rumah sakit didevinisikan sebagai suatu departemen atau unit di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan dan kompeten secara profesional (Siregar, 2004). Pengelolaan obat di rumah sakit merupakan salah satu segi manajemen rumah sakit yang penting, oleh karena ketidak efisiensian akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medik maupun secara ekonomis. Ketidak lancaran pelayanan obat di rumah sakit akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit (Santoso, 1997).
Dengan demikian pengelolaan perbekalan farmasi rumah sakit harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi, kepentingan ilmiah atau profesi dan faktor pasien. Untuk efisiensi diperlukan persediaan perbekalan farmasi yang tepat baik bahan baku maupun bahan jadi. Stok yang berlebihan merupakan pemborosan modal, sedangkan kekurangan stok dapat berarti penundaan atau kehilangan kesempatan (Papilaya,1992). Kebutuhan pasien harus mendapat perhatiaan utama, terutama pada persediaan farmasi rumah sakit yang sangat mempengaruhi kesembuhan apalagi keselamatan jiwa pasien. Dapat disimpulkan instalansi farmasi merupakan tempat penyelenggaraan farmasi yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang terdiri atas pelayanan paripurna mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan persediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu dan pengendalian distribusi di rumah sakit. 

Pengukuran Kepuasan Pelanggan (skripsi dan tesis)

 
Menurut Kotler (2009), terdapat empat metode pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu: 1) Sistem keluhan dan saran Perusahaan harus memberi kesempatan kepada pelanggan untuk menyampaikan saran, pendapat, kritik, dan keluhan mereka melalui surat, kartu, maupun saluran bebas pulsa. Dengan metode ini maka perusahaan akan memperoleh informasi dan dapat menjadi masukan bagi perusahaan, sehingga perusahaan dapat mengambi langkah dengan cepat untuk bereaksi dan mengatasi permasalahan yang ada. 2) Ghost shopping Metode ini dilakukan dengan cara mengutus seseorang untuk menjadi pelanggan atau pembeli potensial produk perusahaan pesaing, kemudian mereka mengamati cara kerja perusahaan tersebut dalam hal pelayanan permintaan, penanganan keluhan, dan sebagainya, kemudian melaporkannya. 3) Lost customer analysis Metode ini dilakukan dengan cara menghubungi pelanggan yang telah berhenti membeli atau pindah ke perusahaan lain. Hal ini dilakukan untuk mengetahui alasan-alasan mereka sehingga perusahaan dapat mengambil langkah untuk menyempurnakan produk atau jasa yang diberikan dan memperbaiki kebijakankebijakannya. 4) Survei kepuasan pelanggan Untuk meneliti kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan survei, baik melalui telepon atau wawancara langsung. Dengan metode ini perusahaan akan memperoleh informasi, tanggapan, dan umpan balik secara langsung dari pelanggan. 
Dimensi pengukuran kepuasan pelanggan menurut Parasuraman (1985) dalam mengevaluasi kepuasan jasa yang bersifat intangible konsumen umumnya menggunakan beberapa atribut atau faktor-faktor sebagai berikut: 1) Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. 2) Keandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan. 3) Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dan tanggap. 4) Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan. 31 5) Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan. Pengukuran kepuasan pelanggan menurut Supranto (2006) pada bidang mutu pendukung staf adalah sebagai berikut (1) Keberadaan dukungan (availability of support); (2) Ketanggapan dukungan (responsiveness of support): (3) Ketepatan waktu dukungan (timeliness of support); (4) Penyelesaian dukungan (completeness of support); (5) Profesionalisme dukungan (professionalism of support); (6) Kepuasan menyeluruh (overall satisfaction of support). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dimensi pengukuran kepuasan yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Parasuraman (1985) yang mencakup lima dimensi yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan empathy.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan (skripsi dan tesis)

 
Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan pelanggan yang dikemukakan oleh Nasution (2010) adalah sebagai berikut: 1) Kebutuhan dan keinginan: berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan pelanggan ketika sedang melakukan traksaksi dengan penyedia layanan jasa. Jika kebutuhan dan keinginan pelanggan besar, maka harapan pelanggan akan tinggi. 2) Pengalaman masa lalu: pengalaman yang dirasakan pelanggan ketika memanfaatkan layanan jasa di masa lalu. 3) Pengalaman dari teman: teman dan relasi sering kali menceritakan kualitas layanan jasa tertentu, yang akan mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap layanan jasa tersebut. 4) Komunikasi melalui iklan dan pemasaran: iklan dan pemasaran yang dilakukan oleh penyedia layanan jasa diharapkan tidak terlalu berlebihan sehingga tidak menumbuhkan ekspektasi yang berlebihan dari pelanggan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen yang dikemukakan oleh Tjiptono (2001) adalah: 1) Kinerja (performance) karakteristik operasi pokok dari produk inti (core product) yang dibeli. 2) Ciri-ciri atau keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap. 27 3) Kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau gagal digunakan. 4) Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya. 5) Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama produk tersebut dapat terus digunakan. 6) Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi serta penanganan keluhan yang memuaskan. 7) Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera. 8) Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Lupiyoadi (2001) menyatakan bahwa terdapat lima faktor penting dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan yaitu kualitas produk, kualitas pelayanan, emosional, harga, dan biaya. 1) Kualitas produk Faktor kualitas produk sangat penting dalam sektor jasa. Konsumen akan merasa senang apabila hasil evaluasi yang mereka lakukan menunjukkan bahwa produk yang mereka konsumsi berkualitas. Produk yang ditawarkan perusahaan dapat berupa barang maupun jasa. 28 2) Kualitas pelayanan Terutama untuk industri jasa, pelanggan akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan. 3) Emosional Pelanggan akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan merasa kagum terhadapnya bila menggunakan produk dengan merek tertentu. Kepuasan yang muncul bukan akibat dari kualitas produk, tetapi dari nilai sosial atau self-esteem yang membuat pelanggan menjadi puas terhadap merek tertentu. 4) Harga Produk dengan kualitas sama tetapi mempunyai harga yang relatif lebih murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada konsumen. Tingkat harga yang ditetapkan perusahaan akan sangat menentukan tingkat kepuasan pelanggan. 5) Biaya Pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa itu. Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan adalah kualitas produk atau kinerja jasa, kualitas pelayanan, emosional, harga, dan biaya

Pengertian Kepuasan (skripsi dan tesis)

 Kepuasan menurut Kotler (2009) adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil dari suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan konsumen (consumer satisfaction) merupakan tingkat perasaan konsumen setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang dia rasakan dibandingkan dengan harapannya. Kepuasan pelanggan menurut Nasution (2010) adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja actual produk yang dirasakan setelah pemakaian. Kepuasan pelanggan dalam hal ini adalah kesesuaian antara kinerja produk atau jasa sesuai dengan harapan pelanggan (Sunarto, 2004).
 Tjiptono (2001), menyebutkan kepuasan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Menurut Supranto (2006: 44) istilah kepuasan pelanggan merupakan label yang digunakan oleh pelanggan untuk meringkas suatu himpunan aksi atau tindakan yang terlihat, terkait dengan produk atau jasa. Menurut Kotler (2009) kepuasan pelanggan yaitu kesesuaian antara kinerja dengan pro duk/jasa yang diharapkan. Bila kinerja produk jauh lebih rendah dibandingkan harapan pelanggan, pembelinya tidak puas. Sebaliknya bila kinerja sesuai dengan harapan atau melebihi harapan, pembelinya merasa puas atau merasa amat gembira. Nasution (2010) menyebutkan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian. 
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan mencakup harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Apabila hasil kinerja yang dirasakan dibawah harapan, maka klien akan kurang puas bahkan tidak puas, namun sebaliknya bila sesuai dengan harapan, klien akan puas dan bila kinerja melebihi harapan akan sangat puas.

Unsur Pelayanan Farmasi (skripsi dan tesis)

 Pelayanan farmasi di rumah sakit bertanggung jawab secara profesional untuk memberikan pelayanan farmasi di rumah sakit. Terdapat empat unsur utama pelayanan farmasi yang harus dilakukan oleh apoteker yaitu pelayanan farmasi yang baik, pelayanan profesi apoteker dalam proses penggunaan obat, praktik dispensing, dan pelayanan profesional apoteker yang proaktif (Siregar, 2004). 
a. Pelayanan farmasi yang baik 
Salah satu misi dari praktik farmasi adalah menyediakan obatobatan, produk pelayanan kesehatan lain, memberikan pelayanan serta membantu penderita dan masyarakat serta mengupayakan penggunaan yang terbaik dari sediaan produk tersebut. Pelayanan farmasi yang luas mencakup keterlibatan dalam berbagai kegiatan untuk memastikan kesehatan yang baik dan menghindari kesakitan dalam populasi (Siregar, 2004). Mutu dari setiap proses penggunaan obat harus dipastikan untuk mencapai manfaat terapi yang maksimal dan menghindarkan efek samping yang tak menguntungkan. Beberapa persyaratan pelayanan farmasi yang baik menurut WHO yang dikutip oleh (Siregar, 2004) adalah sebagai berikut: 1) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa perhatian pertama dari seorang apoteker haruslah kesejahteraan/ keselamatan penderita di rumah sakit. 2) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa inti dari kegiatan IFRS adalah penyediaan obat-obatan dan produk perawatan kesehatan lain dengan mutu terjamin, informasi dan nasehat yang tepat bagi pasien dan pemantauan efek dari penggunaannya. 3) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa suatu bagian terpadu dari kontribusi apoteker adalah penyempurnaan penulisan order/resep yang rasional dan ekonomis serta ketepatan penggunaan obat. 4) Pelayanan farmasi yang baik mensyaratkan bahwa tujuan tiap unsur dari pelayanan farmasi adalah relevansi dengan individu, secara jelas ditetapkan dan secara efektif dikomunikasikan kepada semua yang terlibat. 
 b. Pelayanan profesi apoteker dalam proses penggunaan obat 
Proses penggunaan obat adalah suatu sistem yang sangat rumit terdiri atas berbagai tahap yang masing-masing tahap harus diselesaikan untuk mencapai terapi obat yang optimal. Kesalahan dan kegagalan dapat terjadi pada setiap proses yang dilakukan. Apoteker mempunyai peran untuk mendeteksi dan mencegah masalah yang berkaitan dengan obat. Tujuan utama pelayanan apoteker dalan proses penggunaan obat adalah (Siregar, 2004): 1) Melindungi pasien dari terjadinya kembali penyakit yang proses dengan obat. 2) Mendeteksi dan memperbaiki ketidaktepatan atau bahaya terapi yang diberikan bersamaan. 3) Meramalkan dan mencegah toksisitas obat. 4) Meningkatkan kepatuhan penderita melalui fungsi farmasi. Apoteker dapat menjalankan perannya dengan baik, diperlukan pengetahuan yang seksama tentang proses penggunaan obat. Tahap utama dalam proses penggunaan obat oleh apoteker adalah sebagai berikut (Siregar, 2004): 1) Identifikasi masalah pasien 2) Pengambilan sejarah penggunaan obat 3) Penulisan order/resep 4) Seleksi produk obat  5) Dispensing obat 6) Edukasi dan konseling pasien 7) Pemberian/konsumsi obat 8) Pemantauan terapi obat 9) Evaluasi penggunaan obat 10) Pendidikan in service untuk profesional kesehatan c. Praktik dispensing yang baik Dispensing obat adalah proses yang mencakup berbagai kegiatan yang dilakukan oleh apoteker mulai dari penerimaan resep sampai dengan menyerahkan obat yang tepat pada pasien (Siregar, 2004). Aktivitas yang ada dalam proses dispensing diantaranya adalah menerima dan memvalidasi resep, mengerti dan menginterpretasikan maksud dokter dalam resep, solusi masalah jika terdapat masalah dalam resep, mengisi P-3, meracik obat dengan teliti, memberi wadah dan etiket yang benar, merekam semua tindakan, mendistribusikan obat kepada pasien disertai dengan nasehat atau informasi yang diperlukan oleh pasien (Siregar, 2004). Pelaksanaan proses dispensing dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagai berikut (Siregar, 2004): 1) Lingkungan dispensing 2) Personel dispensing 3) Proses dispensing  d. Pelayanan profesional apoteker yang proaktif dalam berbagai kegiatan rumah sakit Pelayanan dan partisipasi apoteker dalam proses penggunaan obat adalah pelayanan yang langsung berinteraksi dengan penderita dan profesional pelaku perawatan kesehatan. Apoteker harus berpartisipasi aktif dalam kegiatan lain yang merupakan program rumah sakit yang berorientasi pada kepentingan pasien dan berkaitan dengan obat (Siregar, 2004)

Pelayanan Farmasi Rumah Sakit (skripsi dan tesis)

Sebagai suatu sistem, pelayanan farmasi rumah sakit terdiri dari komponen-komponen yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi satu sama lain, dipersiapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (WHO, 1996).
 a. Masukan 
Masukan dari sistem pelayanan farmasi rumah sakit terdiri dari atas data pola penyakit, standar diagnosis dan terapi, formularium, pengembangan rumah sakit, sumber dana dan sumber tenaga. Data dari pola penyakit dari pasien yang berkunjung, akan dipengaruhi oleh tingkat sosio ekonomi, pendidikan, kebudayaan, lingkungan dan perilaku masyarakat. Dengan mengetahui pola penyakit dari waktu kewaktu, dapat membantu perencanaan, pengadaan, stok dan penyaluran perbekalan farmasi rumah sakit. Dengan demikian maka jenis bahan farmasi atau obat dapat disesuaikan dengan pola penyakit yang ada, sehingga persediaan dapat dibagi menjadi persediaan rutin, persedian untuk keadaan darurat dan persediaan bahan farmasi atau obat yang jarang digunakan, jumlah  masing-masing bahan disesuaikan dengan kebutuhan yang diperkirakan sehingga dapat diharapkan akan terjadi suatu efisiensi. Standar diagnosis dan terapi dibuat oleh kelompok profesi (dokter) dan dapat digunakan oleh kelompok profesi tersebut sehingga sangat membantu dalam penyederhanaan persediaan farmasi rumah sakit. Bila obat yang diresepkan dokter tidak tersedia di farmasi maka menggatian obat yang sejenis dapat dilakukan dengan berpedoman pada standar yang telah disetujui. Formularium merupakan standar obat yang dipakai di rumah sakit dengan tujuan mencapai efisiensi melalui mencegah duplikasi obat, pemilihan obat berdasarkan kebutuhan rumah sakit dan memperhitungkan rasio, manfaat dan resiko. Penetapan standar diagnosa dan terapi beserta formularium rumah sakit merupakan tugas dari komite farmasi dan terapi. Pengembangan rumah sakit akan mempengaruhi penggunaan perbekalan farmasi atau obat. Perbekalan farmasi harus menunjukan kearah masa yang akan datang. Sebagai sumber dana, peran farmasi cukup besar dalam pemasukan sumber dana untuk rumah sakit, sehingga pengembangan farmasi perlu mendapat perhatian.
 b. Proses
 Proses dalam pengelolaan perbekalan farmasi terdiri atas perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, penyaluran, penghapusan, informasi obat dan pengawasan.  Proses perencanaan dibuat dengan memperhatikan stok minimum, BOR, LOS, Formularium, pola penyakit dan hal-hal lain seperti obat-obatan untuk kasus darurat medik, ledakan penyakit. Seleksi obat harus dari jalur yang resmi, sehingga kualitas obat bisa di pertanggung-jawabkan. Bila ada masalah reaksi obat hal tersebut dapat di telusuri dan dapat dimintakan pertanggung-jawaban dari distributor atau pabrik. Prosedur pengadaan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga mutu obat dapat terjamin, sedangkan secara ekonomis harga sesuai dengan standar yang berlaku. Riwayat penggunaan obat sangat di perlukan untuk menetapkan suatu pola kebijakan pengadaan. Pengadaan barang dapat dilakukan dengan prosedur pemesanan dan pembelian atau produksi. Pesanan yang diantar harus segera diperiksa dan disimpan di tempat yang aman. Kesesuaian pesanan dan barang yang di terima harus terbukti berdasarkan jumlah, jenis, spesifik dan mutu. Tim pemeriksaan secara organisasi harus berbeda dengan tim pengadaan. Fungsi penyimpanan mempertahankan mutu obat sehingga tidak terjadi kerusakan selama penyimpanan, mempermudah pencarian obat di gudang, sehingga tidak kehilangan letak obat, mempermudah stok opname dan pengawasan, mencegah bahaya akibat penyimpanan yang salah. Ada 2 macam gudang yaitu gudang terbuka, yang digunakan untuk menyimpan barang yang perputaranya cepat, mulai saat barang  tersebut diterima sampai disalurkan kembali kepada pemakai. Gudang ini sebagai perantara antara gudang induk dengan pemakai. Sedangkan yang kedua adalah gudang tertutup, yang tertutup bagai pegawai rumah sakit ataupun bagi lalulintas barang. Barang yang keluar masuk harus melalui prosedur tertentu. Petugas gudang bertanggung-jawab terhadap keamanan gudang dan stok obat di gudang. Penyaluran obat untuk pasien rawat jalan pada dasarnya sama dengan farmasi biasa, peranan farmasi masalah sebagai suatu mata rantai terakhir dari suatu sistem distribusi dari pabrik farmasi kepada konsumen melalui PBF (Pedagang Besar Farmasi) dan berfungsi sebagai pengecer melayani kebutuhan konsumen. Fungsi penghapusan terdiri dari penelitian barang dan pelaksanaan penghapusan, sehingga barang tersebut tidak tercatat lagi pada tata usaha barang. Pada umumnya barang yang dihapus dari daftar pembukuan harus memenuhi kriteria dinyatakan rusak (kadar luarsa), sudah tua ditinjau dari segi klinis dan ekonomis, hilang atau surut karena sebab lain. Informasi obat harus diberikan kepada semua pihak terkait seperti tenaga medis, paramedis, tenaga administrasi, pasien dan keluarga pasien atau masyarakat. Sedangkan pemberian informasi dapat dilakukan beberapa cara seperti, viatelepon, konsultasi, majalah, pendidikan dan latihan, penyuluhan, penyampaian hasil penelitian, data dan literatur obat baru. Pengawasan dalam pengelolaan perbekalan farmasi rumah sakit dilaksanakan dengan cara pengawasan melekat yaitu dilaksanakan oleh atasan langsung (Kepala Instalasi Farmasi) dengan cara inspektif, verifikatif, maupun dengan investigatif. Pemeriksaan dapat insidentil ataupun berkala sesuai dengan kebutuhan. Untuk pemeriksaan fisik obat-obatan dilakukan dengan metode acak oleh apoteker. 
c. Luaran
 Luaran dari sistem pelayanan farmasi rumah sakit terdiri atas pemberian obat secara rasional, mutu pelayanan kesehatan, biaya pelayanan kesehatan dan perilaku rasional. Pemberian obat secara rasional harus memenuhi kriteria tepat indikasi, tepat penderitaan, tepat obat, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping obat. Atas dasar ini diharapkan pemberian obat dengan biaya yang rendah dapat memberikan efektifitas tinggi dan dampak negatif obat yang rendah. Mutu pelayan kesehatan yang meningkat, dapat dilihat dari mutu pelayanan medis atau kepuasan pasien, mutu pelayanan administrasi yang menyangkut aturan dan prosedur pelayanan, mutu tentang menajemen yang menyangkut perencanaan, pengorganisasian, proses kegiatan dan pengawasan dan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Perilaku pengguanaan obat yang rasional, dengan pengelolaan perbekalan farmasi yang baik melalui proses standarisasi diagnosa dan  terapi, formularium yang ditetapkan oleh KFT (Komite Farmasi dan Terapi) dan pemberian informasi yang menandai serta proses pengawasan, diharapkan perilaku rasional dalam penggunaan obat akan meningkat. Peningkatan perilaku rasional dalam penggunaan obat diharapkan dapat terjadi pada semua pihak yang terkait dengan penggunaan obat yaitu kelompok profesi medis, manajemen maupun masyarakat. Masyarakat pengguna jasa menyerahkan pilihan obat kepada kelompok profesi. Kelompok profesi dapat menerapkan proses pemberian obat secara rasional, sedangkan kelompok manajemen menyediakan obat yang dibutuhkan

Jumat, 30 Oktober 2020

.Pemberian Informasi Obat 1. Definisi Pemberian Informasi Obat Menurut WHO pemberian informasi obat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses terapi rasional. Pemberian informasi obat adalah salah satu tahap pada pelayanan resep untuk menghindari masalah yang berkaitan dengan terapi obat. Pemberian informasi obat memiliki peran yang penting dalam rangka memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan yang bermutu bagi pasien (Umi Athiyah,2014). 2. Tujuan Pemberian Informasi Obat a. Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan b. Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan 13 3. Pemberian Informasi Obat terdiri dari : (Berdasarkan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016) a. Nama obat b. Sediaan obat c. Dosis d. Cara memakai obat e. Penyimpanan obat f. Indikasi obat g. Kontraindikasi h. Interaksi obat i. Stabilitas j. Efek samping obat k. Etiket obat

.Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (skripsi dan tesis)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk : a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar : 1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai a. Perencanaan Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai untuk menentukan jenis dan jumlah sediaan farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Tujuan perencanaan adalah untuk mendapatkan : 1) Perkiraan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang mendekati kebutuhan. 2) Meningkatkan penggunaan obat secara rasional 3) Meningkatkan efisiensi penggunaan obat Perencanaan kebutuhan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh ruang farmasi di Puskesmas. b. Permintaan Tujuan permintaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai adalah memenuhi kebutuhan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat. Permintaan diajukan  kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah daerah setempat. c. Penerimaan Penerimaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakaiadalah suatu kegiatan dalam menerima sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas secara mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuan penerimaan adalah agar sediaan farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. d. Penyimpanan Penyimpanan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai merupakan suatu kegiatan pengaturan terhadap sediaan farmasi yang diterima agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Tujuan penyimpanan adalah agar mutu sediaan farmasi yang tersedia di puskesmas dapat dipertahankan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
 Penyimpanan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1) Bentuk dan jenis sediaan 2) Kondisi yang dipersyarakan dalam penandaan di kemasan sediaan farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban 3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar 4) Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 5) Tempat penyimpanan sediaan farmasi tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi e. Pendistribusian Pendistribusian sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai merupakan kegiatan pengeluaran dan penyerahan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya.
Tujuan pendistribusian adalah untuk memenuhi kebutuhan sediaan farmasi sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja puskesmas dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat. Sub-sub di puskesmas dan jaringannya antara lain : 1) Sub unit pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas 2) Puskesmas pembantu 3) Puskesmas keliling 4) Posyandu 5) Polindes f. Pengendalian Pengendalian sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Tujuan pengendalian adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian sediaan farmasi terdiri dari : 1) Penegendalian persediaan 2) Pengendalian penggunaan 3) Penanganan sediaan farmasi hilang, rusak, dan kadaluarsa g. Pemantauan dan Evaluasi Pemantauan dan evaluasi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk : 1) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan 2) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai 3) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan. (Permenkes Nomor 74 Tahun 2016) 9 2. Pelayanan Farmasi Klinik a. Pengkajian resep, pelayanan resep, dan pemberian informasi obat. Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap dan rawat jalan. Kegiatan penyerahan obat (Dispensing) dan pemberian informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap menyiapkan/meracik obat, memberikan etiket, menyerahkan sediaan farmasi dengan informasi yang memadai disertai pendokumentasian.
 Tujuan : 1) Pasien memperoleh obat sesuai dengan kebutuhan klinis/pengobatan. 2) Pasien memahami tujuan pengobatan dan mematuhi intruksi pengobatan. b. Pelayanan Informasi Obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat,jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Pelayanan Informasi Obat bertujuan : 1) Menyediakan informasi mengenai obat kepada tenaga kesehatan lain di lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat. 2) Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat. 3) Menunjang penggunaan obat yang rasional. 
Kegiatan Pelayanan Informasi obat , meliputi : 1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro aktif dan pasif. 2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga ksehatan melalui telepon, surat atau tatap muka. 3) Membuat buletin, leaflet, label obat, poster, majalah dinding dan lainlain. 10 4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap, serta masyarakat. 5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan obat dan bahan medis habis pakai. 6) Mengoordinasikan penelitian terkait obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan : 1) Sumber informasi obat 2) Tempat 3) Tenaga 4) Perlengkapan c. Konseling Konseling merupakan proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan obat pasien rawat jalan/rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan,jadwal pengobatan, cara dan lama pengobatan, efek samping,tandatanda toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan obat.
 Kegiatan : 1) Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien 2) Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka. 3) Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan obat 4) Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi. d. Visite pasien Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain. 11 Tujuan : 1) Memeriksa obat pasien 2) Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilahan obat dengan mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien. 3) Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan obat 4) Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam terapi pasien e. Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau modifikasi fungsi fisiologis.
 Tujuan : 1) Menemukan efek samping obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang. 2) Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping obat yang sudah sangat dikenal atau yang baru saja ditemukan. Kegiatan : 1) Menganalisis laporan efek samping obat 2) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalamin efek samping obat. 3) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Faktor yang perlu diperhatikan : 1) Kerja sama dengan tim keehatan lain 2) Keterseediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) f. Pemantauan Terapi Obat (PTO) Pemantau terapi obat (TPO) merupakan suatu proses yang memastikan bahwa seseorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Tujuan : 1) Mendeteksi masalah yang terkait dengan obat   2) Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan obat Kegiatan : 1) Memilih pasien yang memenuhi kriteria 2) Membuat catatan awal 3) Memperkenalkan diri pada pasien 4) Memberikan penjelasan pada pasien 5) Mengambil data yang dibutuhkan 6) Melakukan evaluasi 7) Memberikan rekomendasi g. Evaluasi Penggunaan Obat Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional). Tujuan : 1) Mendapatkan gambaran pola pengunaan obat pada kasus tertentu 2) Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan obat tertentu. (Permenkes Nomor 74 Tahun 2016)

Rabu, 28 Oktober 2020

Dampak Materialisme yang Ditimbulkan (skripsi dan tesis)

Menurut Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon (2004), orientasi nilai materialisme pada individu dapat merusak hubungan interpersonal dan relasi dalam komunitas. Hal ini karena hubungan interpersonal pada individu yang materialistik akan ditandai dengan reaksi emosi yang ekstrim, bukan dengan kepercayaan dan kebahagiaan. Selain itu, individu yang materialistik sering membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga menimbulkan perasaan yang buruk terhadap diri sendiri dan membuat individu akan semakin materialistik (Kasser et al., 2004).  

Faktor penyebab materialisme (skripsi dan tesis)

 Ada 3 faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon, 2004 dalam Polak & McCoullough, 2006) yaitu sebagai berikut: Pertama, insecurity yaitu kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas dan ragu tentang perasaan berharga, mengatasi tantangan secara efektif, dan perasaan aman terhadap dunia yang sulit diprediksi; dengan cara memiliki materi-materi dalam rangka mengatasi perasaan tidak aman (insecurity) tersebut, pemaparan terhadap model dan nilai materialistik, dalam bentuk pesan-pesan implisit dan eksplisit yang menampilkan pentingnya uang dan kepemilikan. Kedua, gaya hidup yang materialistik pada anggota keluarga dan teman sebaya, juga yang ditampilkan oleh media, menimbulkan materialisme pada individu dan pengiklanan dan penyebaran kapitalisme. Ketiga, iklan-iklan yang terpengaruh oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang dapat menimbulkan perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh akan berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan cara memiliki uang atau materimateri lainnya yang ditampilkan oleh iklan tersebut.

Dimensi materialisme (skripsi dan tesis)

Materialisme ini dibagi dalam 3 dimensi oleh Richins & Dawson (1992 dalam Ahuvia & Wong, 1995). Berikut ini 3 dimensi materialisme menurut Richin & Dawson yaitu: Pertama, dimensi pentingnya harta dalam hidup seseorang (acquisition centrality) bertujuan untuk mengukur derajat keyakinan seseorang yang menganggap bahwa harta dan kepemilikan sangat penting dalam kehidupan seseorang. Dimensi ini terlihat pada ciri dimana umumnya mereka egois dan terpusat pada diri sendiri, serta mereka mencari gaya hidup yang penuh dengan kepemilikan, contohnya: mereka menginginkan untuk mempunyai tidak hanya “sesuatu”, tetapi lebih dari sebuah gaya hidup yang biasa dan sederhana. Kedua, dimensi kepemilikian merupakan ukuran kesuksesan hidup (possession defined success) untuk mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikanya. Dimensi ini terlihat pada ciri orang yang mengutamakan menghargai dan memamerkan kepemilikan. Ketiga, dimensi kepemilikan dan harta benda merupakan sumber kebahagian (acquisition as the pursuit of happiness) untuk mengukur keyakinan apakah seseorang memandang kepemilikan dan harta merupakan hal yang penting untuk kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup. Dimensi ini terlihat pada ciri dimana mereka miliki sekarang tidak dapat memberikan kepuasan yaitu seseorang yang selalu mengharapkan kepemilikan yang lebih tinggi agar mendapatkan kebahagian yang lebih besar.

Definisi materialisme (skripsi dan tesis)

 Materialisme menurut Belk (1985) adalah individu yang menempatkan kepemilikan duniawi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup sehingga kepemilikan duniawi sebagai sebuah tujuan hidup. Belk (1985) juga mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang dimiliki setiap orang. Belk (1985) menyatakan bahwa materialisme terdiri atas 4 dimensi yaitu: possessiveness yaitu kecenderungan untuk mempertahankan kontrol atau kepemilikan harta seseorang, nongenerosity yaitu keengganan untuk memberikan harta atau berbagi harta dengan orang lain, envy yaitu ketidaksenangan atau niat jahat pada keunggulan orang lain dalam kebahagiaan, kesuksesan, reputasi, atau kepemilikan apa pun yang diinginkan, dan preservation yaitu konservasi peristiwa, pengalaman, dan kenangan dalam bentuk materi. Selain itu, Materialisme menurut Richins & Dawson (1992 dalam Ahuvia & Wong, 1995) adalah nilai individu atau dasar kepercayaan yang menganut pentingnya kepemilikan benda atau materi sebagai kesejahteraan dan kesempurnaan hidup

Faktor-Faktor Materialisme (skripsi dan tesis)

Ada berbagai pengaruh eksternal maupun internal yang tidak sehat, yang mengaktivasi materialisme pada diri individu. Menurut Husna (2015), terdapat beberapa penelitian terkait dengan tema materialisme dan telah ditemukan sejumlah faktor yang mempengaruhinya, diantaranya adalah: a. Faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah dan kecemasan akan kematian dan rasa tidak aman. b. Faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak suportif dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial serta stres dan konflik dalam keluarga. c. Faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media. d. Faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda dan media yang mendorong konsumerisme. e. Faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran. f. Faktor jenis kelamin. Menurut Mangestuti (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), mahasiswa perempuan lebih materialis dan memiliki kecenderungan belanja kompulsif yang lebih tinggi dibanding dengan lakilaki. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki persentase berbelanja lebih besar dibanding dengan laki-laki.  g. Faktor kemudahan berhutang (kartu kredit). Anak-anak muda sekarang memiliki nilai materialistik tinggi karena mereka mendukung kredit. Bank yang memberikan fasilitas kredit ataupun toko yang memberikan layanan pembelian secara kredit juga mampu membuat orang suka berbelanja maupun memiliki nilai materialistik tinggi. 
Menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), ada beberapa faktor yang membentuk nilai materialisme pada diri individu diantaranya yaitu: a. Psychological inscurity, yaitu ketidakamanan psikologis. Individu yang merasa tidak aman secara psikologis dapat melakukan kompensasi dengan berjuang keras untuk materi. Ketidakamanan psikologis dapat bersumber dari: 1) Pola asuh. Orang tua yang kurang mendukung tumbuhnya rasa aman pada anak akan menghasilkan anak-anak yang kurang aman secara psikologis. 2) Orang tua yang bercerai atau berpisah. Orang tua yang bercerai atau berpisah juga akan menghasilkan anak-anak yang tidak aman secara psikologis, sehingga mereka cenderung lebih materialis. 3) Deprivasi ekonomi. Orang yang berasal dari keluarga yang secara ekonomi kurang, cenderung lebih materialistik karena merasa kurang aman dengan kondisinya. Hasil penelitian menemukan bahwa individu yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang menguntungkan seringkali lebih materialis.  b. Tayangan peran model yang materialis 1) Tayangan Iklan. Iklan di berbagai media yang menayangkan gaya hidup yang menganggap penting materi dapat membuat individu menjadi materialis. Iklan di TV sering kali menggambarkan gambaran ideal dari selebriti dan kehidupannya. Ia akan mendorong pemirsa untuk membandingkan kehidupan sendiri dengan image ideal. 2) Orang tua yang materialis. Orang tua yang materialis cenderung menghasilkan anak-anak yang materialis. Orang tua yang memiliki harapan tinggi terhadap materi, akan menghasilkan anak-anak yang cenderung materialis. 3) Peer group yang materialis. Peer group materialis yang dijadikan referensi dalam berperilaku juga akan berpengaruh pada temannya. Komunikasi dengan peer merefleksikan interaksi dengan teman. Individu yang sering kali berkomunikasi dengan teman mungkin menunjukkan kebutuhan yang kuat untuk diterima oleh peer. Perbandingan sosial dengan teman merupakan prediktor yang lebih baik pada materialisme dibanding dengan figure di media. Hal ini mungkin disebabkan karena teman lebih mudah diakses dan pola-pola konsumsi mereka lebih konkrit dan lebih mudah untuk diobservasi. Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi materialisme seseorang menurut Kasser (dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015), terdiri dari psychological inscurity yaitu ketidakamanan psikologis dan tayangan peran model yang materialis. Menurut beberapa  penelitian yang terkait dengan tema materialisme diperoleh beberapa faktor diantaranya: faktor psikologis, berupa harga diri yang rendah, kecemasan akan kematian dan rasa tidak aman, faktor keluarga, berupa pengasuhan keluarga yang tidak mendukung dalam membangun self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial dan stres dan konflik dalam keluarga, faktor pergaulan, berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media, faktor lingkungan, berupa lingkungan yang menggoda serta media yang mendorong konsumerisme, faktor kemudahan berhutang kemudian faktor religius, berupa rendahnya religiusitas dan kebersyukuran (Husna, 2015), dan faktor jenis kelamin (Mangestuti dalam Djudiyah dan Sumantri, 2015). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan materialisme adalah religiusitas. Peneliti memilih faktor religiusitas disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah belum adanya penelitian terkait dengan faktor religiusitas sebagai variabel yang berhubungan dengan materialisme pada mahasiswa usia remaja akhir. Kemudian terkait dengan faktor lainnya, peranan faktor religiusitas cukup menonjol karena nilai-nilai religiusitas lebih melekat pada internal jiwa individu. Nilai-nilai religiusitas tersebut dapat melandasi sikap dan pandangan individu di dalam menghadapi lingkungan hidup yang terpapar nilai-nilai materialisme, sehingga individu tersebut tidak mudah terjebak pada nilai-nilai materialisme tersebut. Menurut Jalaluddin, (2016) bahwa nilai-nilai religiusitas sebagai realitas yang abstrak menjadi daya dorong atau prinsip yang menjadi pedoman hidup. 
 Dalam realitasnya, nilai memiliki pengaruh dalam mengatur pola tingkah laku, pola berpikir, dan pola bersikap. Dari beberapa hasil penelitian juga ditemuka kesimpulan bahwa individu yang memiliki religiusitas tinggi berdampak negatif yang signifikan pada materialisme dan berdampak positif pada kepuasan hidup (Rakrachakarn et al. dalam Husna, 2016). Kasser, dkk, (dalam Husna, 2015) menyatakan bahwa nilai-nilai religiusitas berlawanan dengan nilai-nilai materialisme. Lebih lanjut Menurut Djudiyah dan Sumantri, (2015) bahwa religiusitas merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk meminimalisir nilai materialistik pada mahasiswa

Aspek-aspek materialisme (skripsi dan tesis)

 Menurut Richins dan Dawson (1992), Individu yang materialistis dikenal meyakini  keyakinan yang mana ketiganya merupakan aspek-aspek nilai materialisme, yaitu: a. Acquisition Centrality   Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting. Individu yang materialistis menempatkan barang tersebut dan pemerolehannya di pusat kehidupan mereka. Kepemilikan barang memberikan makna bagi hidup dan memberikan tujuan bagi aktivitas atau usaha keseharian. Pada titik ekstremnya, individu materialis dapat dikatakan memuja benda-benda, dan pengejaran atas benda-benda tersebut menggantikan tempat agama dalam menstruktur kehidupan dan mengarahkan perilaku mereka. b. Acquisition as the Pursuit of Happines Keyakinan bahwa barang dan uang adalah jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, kehidupan yang lebih baik, dan identitas diri yang lebih positif. Satu alasan mengapa harta benda dan perolehannya menjadi sangat penting bagi individu yang materialis adalah karena mereka memandang ini penting bagi kepuasan hidup dan well-being mereka. Individu materialis mengejar kebahagiaan lewat perolehan barang ketimbang lewat cara yang lain, seperti hubungan personal, pengalaman, atau prestasi. c. Possession-Defined Success Keyakinan bahwa kepemilikan barang dan uang merupakan alat ukur untuk mengevaluasi prestasi diri sendiri juga orang lain. Individu yang materialis cenderung untuk menilai kesuksesan diri dan orang lain dari jumlah dan kualitas barang yang dikumpulkan. Mereka memandang kesejahteraan atau well-being material sebagai bukti kesuksesan dan kebenaran cara berpikir (right-mindedness). Nilai suatu kepemilikan  barang tidak hanya dari kemampuannya untuk memberikan status, tetapi juga memproyeksikan kesan diri yang diinginkan dan identitas individu sebagai partisipan dalam kehidupan sempurna yang dibayangkan. 
 Menurut Belk (1985), individu yang materialistis dapat dijelaskan melalui aspek-aspek berikut: a. Kepemilikan (Possessiveness) Kepemilikan adalah kecenderungan dan tendensi untuk menahan kontrol atau kepemilikan milik individu. Ruang lingkup kepemilikan tersebut meliputi kepedulian individu atas kehilangan harta bendanya baik melalui tindakan mereka sendiri maupun orang lain. Individu tersebut lebih menyukai kontrol yang lebih besar atas objek yang diperoleh melalui kepemilikan tersebut. individu yang memiliki tingkat materialisme tinggi menganggap penting kelekatan pada kepemilikan barang duniawi, kepemilikan tersebut menjadi pusat sentral kehidupan individu yang diyakininya memberikan sumber kepuasan dan ketidakpuasan dalam hidup (Belk, 1985). b. Ketidakmurahan hati (nongenerosity) Ketidakmurahan hati adalah sebuah sikap ketidak bersediaan individu memberikan kepemilikan barangnya untuk orang lain. Individu yang materialistis cenderung dimotivasi oleh sifat egois. Individu tersebut lebih mementingkan diri sendiri atas orang lain. Ketidak-sediaan meminjamkan atau menyumbangkan harta benda kepada orang lain dianggap sebagai ekspresi dari sifat kepribadian individu materialistis (Husna, 2016). c. Kecemburuan/iri hati (envy) 12 Kecemburuan/iri hati adalah sebuah sikap interpersonal individu yang melibatkan ketidaksenangan dan niat buruk pada individu lain dalam kebahagiaan, kesuksesan, reputasi atau kepemilikan apa pun yang diinginkan. rasa iri hati pada individu materialis ditetapkan pada kepemilikan barang orang lain. iri hati tersebut berorientasi pada kepemilikan individu lain atas sesuatu. Seperti halnya kepemilikan (Possessiveness) dan ketidakmurahan hati (nongenerosity), iri hati (envy) di sini dipahami sebagai ciri umum daripada sikap tertentu terhadap individu. individu yang iri hati mengharapkan kepemilikan harta benda dari individu lain. Individu yang iri hati juga membenci mereka yang memiliki harta yang diinginkannya dan merasa direndahkan secara pribadi oleh individu lain yang memiliki benda-benda yang diinginkan, terutama jika individu lain tersebut dipandang kurang layak memiliki harta tersebut (Shoeck, dalam Belk, 1985). 
 Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa aspek materialisme menurut Richins dan Dawson (1992), terdiri dari kepemilikan barang milik material dan uang adalah tujuan hidup yang paling penting, barang sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan personal, barang milik sebagai alat ukur kesuksesan, sedangkan menurut pendapat Belk (1985), aspek materialisme terdiri dari kepemilikan, ketidakmurahan hati dan kecemburuan/iri hati. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan aspek materialisme menurut pendapat Richins dan Dawson (1992) karena cakupan penjelasan setiap aspeknya lebih luas serta sesuai dengan permasalahan pada subjek yang 13 peneliti angkat. Selain itu banyak penelitian sebelumnya yang menggunakan aspek-aspek materialisme Richins dan Dawson sebagai orientasi nilai individual.