Resiliensi merupakan sebuah kemampuan yang bersifat potensi dan
dimiliki oleh setiap individu, sehingga resiliensi pada individu tidak akan
muncul begitu saja. Kemunculan atau terjadinya resiliensi pada individu
dengan permasalahan tertentu tidak lepas dari faktor – faktor yang
mempengaruhi munculnya kemampuan untuk beresiliensi. Faktor internal
maupun eksternal sama – sama memberikan pengaruh besar bagi hal ini.
Masten & Coatswerth mengatakan untuk dapat mengidentifikasi resiliensi
diperlukan dua syarat, yaitu ;
a) adanya ancaman yang signifikan pada
individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan
trauma yang kronis), serta
b) adanya kualitas adaptasi atau perkembangan
individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner)
(Davis, 1999).
Reivich & Shatte (1999) juga mengatakan bahwa resiliensi dibangun
dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu
yang memiliki kemampuan itu secara keseluruhan (https://id.wikipedia.org).
Tujuh kemampuan yang dimaksud oleh Reivich & Shatte (1999) yaitu ;
a. Regulasi emosi, merupakan kemampuan untuk tetap tenang ketika berada
dalam situasi tertekan. Individu dengan kemampuan regulasi emosi dapat mengendalikan dirinya terhadap gejolak perasaanya, sehingga dengan
adanya pengekspresian emosi yang tepat selain lebih sehat dan konstruktif
individu juga dapat menjadi lebih tenang dan fokus dalam menghadapi
permasalahannya.
b. Pengendalian impuls, merupakan kemampuan untuk mengedalikan
dorongan – dorongan, keinginan, kesukaan serta tekanan yang muncul
dalam diri individu. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyesuaian
terhadap lingkungan sosial, dimana individu berusaha menciptakan
lingkungan yang nyaman bagi dirinya maupun orang lain.
c. Optimisme, adanya rasa percaya akan masa depan dan kemampuan untuk
mengontrol hidupnya kedepan. Individu yang resilien merupakan individu
yang optimis.
d. Empati, menggambarkan kemampuan individu dalam memahami keadaan
psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Individu yang memiliki
kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
e. Analisis penyebab masalah, menggambarkan bagaimana individu
melakukan analisis terhadap masalahnya berdasarkan gaya berpikirnya
karena hal ini berkaitan erat dengan kemampuan kognisi.
f. Efikasi diri, kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri untuk dapat
menghadapi dan menyelesaikan masalah secara efektif.
g. Peningkatan aspek positif, individu yang meningkatkan aspek positif
dalam dirinya mampu melakukan pembedaan terhadap resiko yang realistis dan tidak realistis serta memiliki makna dan tujuan hidup dalam
melihat gambaran besar kehidupan.
Gotberg (1994) juga menambahkan bahwa ada tiga faktor lain yang
menjadi sumber pembentukan dan pengembangan resiliensi yang juga berasal
dari dalam diri individu, yaitu :
a. I have (aku punya), yaitu hubungan yang dilandasi dengan rasa percaya
dan dorongan untuk mandiri.
b. I am (aku ini), yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri, diterima dan
disayangi oleh orang lain
c. I can (aku dapat), yaitu kemampuan untuk berkomunikasi, menjalin
hubungan yang saling percaya dan memecahkan masalah.
Faktor internal lain yang juga mempengaruhi kemampuan resiliensi
adalah gaya koping dan kepribadian individu (Mancini dan Bonano, 2006).
Selain itu faktor jenis kelamin, usia, tingkat trauma, pendapatan, frekuensi
penyakit kronis, tekanan dari masa lalu dan sekarang, serta bagaimana
lingkungan sosial memberikan supportnya juga memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam mengembangkan kemampuan resiliensi individu (Bonano,
Rennicke dan Dekel, 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar