Minggu, 31 Mei 2020

Teori Partisipasi (skripsi dan tesis)

  Partisipasi sering kali diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sukarela tanpa adanya tekanan dari siapapun. Partisipasi berarti ”mengambil bagian”, atau menurut Hoofsteede dalam buku yang ditulis oleh Khairuddin adalah, ”The taking part in one or more phases of the process”, partisipasi berarti ambil bagian dalam suatu tahap atau  lebih dari suatu proses (Khairuddin, 1992: 124). Jnanabrota Bhattacharyya dalam tulisan yang dikutip oleh Taliziduhu Ndraha mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Sedangkan Mubyarto mendefinisikannya sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri (Taliziduhu Ndraha, 1987: 102). Menurut Mikkelsen (Soetomo, 2006: 438) misalnya menginventarisasi adanya enam tafsiran dan makna yang berbeda tentang partisipasi yaitu. a. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. b. Partisipasi “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan. c. Partisipasi suatu proses yang aktif, mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu. d. Partisipasi pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial. e. Partisipasi keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. f. Partisipasi keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka Partisipasi merupakan salah satu cara untuk mempunyai ciri khas yang lain daripada yang lain. Hal ini disebabkan partisipasi lebih ditekankan pada segi psikologis daripada segi materi, artinya dengan jalan melibatkan seseorang di dalamnya, maka orang tersebut akan ikut bertanggung jawab. Ini berarti bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orangorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan 33 kontribusi kepada tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan tersebut. Keith Davis & John W. Newstrom (1995: 179-181) memaparkan partisipasi memiliki tiga gagasan penting sebagai berikut. a. Keterlibatan mental dan emosional/inisiatif Pertama dan yang paling utama, partisipasi berarti keterlibatan mental dan emosional daripada hanya berupa aktivitas fisik. Diri orang itu sendiri yang terlibat, bukan hanya keterampilannya. Keterlibatan ini bersifat psikologis daripada fisik. Seseorang berpartisipasi berarti terlibat egonya daripada hanya terlibat tugas. b. Motivasi kontribusi Gagasan kedua yang penting dalam partisipasi adalah memotivasi orang-orang yang memberikan kontribusi. Mereka diberi kesempatan untuk menyalurkan sumber inisiatif dan kreativitasnya untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian, partisipasi berbeda dari “kesepakatan”. Partisipasi lebih dari sekadar upaya untuk memperoleh kesepakatan atas sesuatu yang telah diputuskan. c. Tanggung jawab Gagasan ketiga adalah partisipasi mendorong orang-orang untuk menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga merupakan proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri dalam organisasi dan mau mewujudkan keberhasilannya. Pada saat orang-orang mau menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, mereka melihat 34 adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan, yaitu merasa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang upaya menimbulkan kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah utama mengembangkan kelompok untuk menjadi unit kerja yang berhasil. Menurut (Khairuddin, 1992: 126) ditinjau dari segi motivasinya, partisipasi anggota masyarakat terjadi karena. 1) Takut/terpaksa Partisipasi yang dilakukan dengan terpaksa atau takut biasanya akibat adanya perintah yang kaku dari atasan, sehingga masyarakat seakan-akan terpaksa untuk melaksanakan rencana yang telah ditentukan. 2) Ikut-ikutan Sedangkan berpartisipasi dengan ikut-ikutan, hanya didorong oleh rasa solidaritas yang tinggi diantara sesama anggota masyarakat Desa. Apalagi jika yang memulai adalah pimpinan mereka, sehingga keikutsertaan mereka bukan karena dorongan hati sendiri, tetapi merupakan perwujudan kebersamaan saja, yang sudah merupakan kondisi sosial budaya masyarakat Desa (misalnya: gotong royong). 3) Kesadaran Motivasi partisipasi yang ketiga adalah kesadaran, yaitu partisipasi yang timbul karena kehendak dari pribadi anggota masyarakat. Hal ini dilandasi oleh dorongan yang timbul dari hati nurani sendiri

Pengertian Penyintas Lahar Dingin (skripsi dan tesis)

Penyintas diartikan sebagai individu yang selamat, yang berarti tidak meninggal, dan dapat bertahan dalam situasi bencana. Individuindividu tersebut adalah penyintas, bukan hanya korban. Penyintas bisa laki-laki ataupun perempuan, baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja, pemuda, orang dewasa, tengah baya, pasangan bersangkar kosong, masa matang, ataupun usia lanjut (Wiryasaputra T. S. 2006.). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1072), penyintas berasal dari kata dasar dari sintas yang mempunyai makna terus  bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Kemudian dalam pemakaiannya diberikan awalan pe-, sehingga menjadi penyintas, tanpa mengurangi makna dari arti sintas tersebut. Lahar dingin merupakan lahar yang berasal dari bahan letusan yang sudah mengendap, kemudian mengalir deras menuruni lereng gunung (Fetriyan. 2010). Berdasarkan pengertian penyintas dan pengertian lahar dingin di atas, sehingga dapat disimpulkan pengertian penyintas lahar dingin adalah semua manusia yang selamat dan dapat bertahan hidup serta bangkit dari bencana aliran deras material letusan Gunung berapi.

Manfaat Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)

Dukungan sosial dapat mengurangi efek-efek penekanan terhadap kesehatan seperti depresi dan keluhan-keluhan fisik. Hal ini berarti bahwa dukungan sosial yang diperoleh individu dapat meningkatan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental individu. Menurut Chaplin J.P. (Pearson, 1990: 68) dukungan sosial memberikan beberapa keuntungan/manfaat yaitu dengan cara. 1) Membantu individu mengembangkan atau menyarankan sumbersumber psikologis yang dimilikinya dalam menghadapi tekanan. Dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan kecemasan. 2) Menyediakan bantuan dalam menghadapi tuntutan terhadap keadaan mereka. 3) Menjadi sumber-sumber material seperti: uang, kebutuhan material dan kebutuhan yang tersedia. 4) Memberikan panduan cognition (bimbingan) dan saran. Menurut (Zainudin Sri Kuntjoro. 2002) berpendapat bahwa dukungan sosial selalu mencakup dua hal, meliputi. 1) Jumlah dukungan sosial yang tersedia, merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas).  2) Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas). Hal di atas penting dipahami oleh partisipan yang akan memberikan dukungan sosial, karena menyangkut tentang persepsi tentang keberadaan dan ketepatan dukungan sosial bagi seseorang. Dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari bantuan itu. Hal itu erat kaitannya dengan ketepatan dukungan sosial yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan manfaat bantuan yang diberikan padanya karena sesuatu yang aktual dan memberikan kepuasan

Aspek-Aspek Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)

Menurut Sarason I. G. (1983: 128) ada dua aspek yang terlibat dalam dukungan sosial ini, meliputi. 1) Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup dapat diandalkan individu saat membutuhkan. Aspek ini terkait dengan kuantitas dukungan yang diterima individu. 2) Derajat kepuasan terhadap dukungan yang didapatkan. Derajat kepuasan berhubungan dengan kualitas dukungan yang dirasakan oleh individu

Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)

Menurut Smet Bart (1994: 22) dukungan sosial dibedakan ke dalam empat bentuk, antara lain berikut ini. 1) Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. 26 2) Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu. 3) Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, seperti memberikan bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya. 4) Dukungan informatif mencakup pemberian nasehat, petunjukpetunjuk, saran ataupun umpan balik. 
Menurut Sarafino E.P. (1998: 98) menyampaikan lima bentuk dukungan sosial, meliputi. 1) Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka. 2) Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan penghargaan yang positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain, seperti misalnya perbandingan dengan orangorang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. Hal seperti ini dapat menambah penghargaan diri. Melalui interaksi dengan orang lain, individu akan dapat mengevaluasi dan mempertegas keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku orang lain. Jenis dukungan ini membantu individu merasa dirinya berharga, mampu, dan dihargai. 3) Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, dapat berupa jasa, waktu, atau uang. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau pemberian pekerjaan saat individu mengalami stres karena kehilangan pekerjaan. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya. 4) Dukungan informatif, mencakup pemberian nasihat, petunjukpetunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. 5) Dukungan jaringan sosial, mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial.
 Berdasarkan bentuk-bentuk dukungan sosial yang telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk dukungan sosial  menurut Sarafino E.P. (1998: 98). Bentuk dukungan tersebut mencakup semua bentuk dukungan sosial dari tokoh-tokoh yang lain, yaitu; dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif, dukungan jaringan sosial. Jenis dukungan yang diterima dan diperlukan oleh individu tergantung pada keadaan yang penuh tekanan. Misalnya, dukungan instrumental akan lebih efektif apabila individu berada dalam keadaan yang penuh kesukaran seperti kemiskinan. Dukungan informatif akan bermanfaat apabila individu berada dalam kondisi kekurangan pengetahuan dan keterampilan, dan dalam kondisi yang tidak jelas mengenai suatu persoalan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk dukungan akan lebih efektif tergantung pada suatu kondisi tertentu. 

Sumber-Sumber Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)

Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitar. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan aspek paling penting untuk diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang akan tahu kepada siapa ia akan mendapatkan dukungan sosial sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak. Sumber dukungan sosial dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 1) Sumber artifisial, yaitu dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan   dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial. 2) Sumber natural, yaitu dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Misalnya anggota keluarga, teman dekat, atau guru (Zainuddin Sri Kuntjoro. 2008.). Dalam penelitian ini sumber dukungan sosial yang di gunakan adalah sumber artifisial dan natural. Mengingat penelitan ini merupakan penelitian mengenai bencana alam. Dalam proses resiliensinya masyarakat membutuhkan dukungan artifisial berupa kebutuhan primer dan tentu saja membutuhkan dukungan untuk menumbuhkan resiliensi para penyintas lahar dingin Merapi berupa dukungan natural dari orangorang yang berpengaruh kepada penyintas. Orang-orang berpengaruh disini dapat melalui orang-orang terdekat dalam keluarga dan orangorang di luar keluarga. 

Pengertian Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)

 Sarason (Smet, 1994: 128) yang menyatakan bahwa dukungan sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Rook (Smet Bart, 1994 :130) mendefinisikan dukungan sosial sebagai salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi individu dari konsekuensi stres. Dukungan sosial yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri dan kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok. Dalam hal ini orang-orang yang merasa memperoleh dukungan sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya. 
Dukungan sosial  merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik individu (Smet Bart, 1999: 134). Dukungan sosial sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial. Ikatanikatan sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan Psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum. Dukungan sosial (social suppourt) sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya (Zainuddin Sri Kuntjoro, 2008). Beberapa pengertian tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di lingkungan dapat menjadi dukungan sosial atau tidak, tergantung pada sejauh mana individu merasakan hal itu sebagai dukungan sosial. Setiap informasi apapun dari lingkungan sosial yang menimbulkan persepsi individu, bahwa individu menerima efek positif, penegasan, atau bantuan menandakan suatu ungkapan dari adanya dukungan sosial. Adanya perasaan didukung oleh lingkungan membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah terutama pada waktu menghadapi peristiwa yang menekan. Orientasi subyektif yang memperlihatkan bahwa dukungan sosial terdiri atas informasi yang menuntun orang meyakini bahwa ia diurus dan disayangi. Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dukungan sosial dapat disimpulkan sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi (skripsi dan tesis)

Everall Robin, (2006: 461-470) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi, antara lain sebagi berikut. 1) Faktor Individual Faktor individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Keterampilan kognitif berpengaruh penting pada resiliensi individu. Intelegensi minimal rata-rata dibutuhkan bagi pertumbuhan resiliensi pada diri individu karena resiliensi sangat terkait erat dengan kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat, kemampuan membaca, dan komunikasi non verbal. Resiliensi juga  dihubungkan dengan kemampuan untuk melepaskan pikiran dari trauma dengan menggunakan fantasi dan harapan-harapan yang ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan. Delgado (LaFramboise Teresa D, 2006: 195-196) menambahkan dua hal terkait dengan faktor individual, meliputi. a) Gender Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi individu. Resiko kerentanan terhadap tekanan emosional, perlindungan terhadap situasi yang mengandung resiko, dan respon terhadap kesulitan yang dihadapi dipengaruhi oleh gender. b) Keterikatan dengan Kebudayaan Keterikatan dengan budaya meliputi keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan terhadap nilai-nilai yang diyakini dalam kebudayaan tersebut. Resiliensi dipengaruhi secara kuat oleh kebudayaan, baik sikap-sikap yang diyakini dalam suatu budaya, nilai-nilai, dan standar kebaikan dalam suatu masyarakat. 2) Faktor Keluarga Faktor keluarga meliputi dukungan yang bersumber dari orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk memperlakukan dan melayani anak. Selain dukungan dari orang tua struktur keluarga juga berperan penting bagi individu.  3) Faktor Komunitas Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja. Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Pada umumnya di negara Indonesia penyebab-penyebab kemiskinan diantaranya laju pertumbuhan penduduk, angkatan kerja, distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan, tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya perhatian dari pemerintah. Keterbatasan kesempatan kerja merupakan suatu keadaan dimana kurangnya peluang setiap penduduk di suatu negara untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Keadaan tersebut dapat diakibatkan karena kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh setiap individu terhadap suatu jenis pekerjaan tertentu. Faktor pendidikan juga mempengaruhi setiap individu untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Keterbatasan kesempatan kerja juga memicu munculnya pengangguran sebagai masalah sosial. Kemiskinan dan keterbatasan kesempatan kerja merupakan kategori masalah sosial ekonomi yang bersifat komunitas. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan resiliensi dipengaruhi oleh faktor-faktor dari dalam individu (internal) dan faktor-faktor dari luar individu (exsternal). Faktor internal meliputi, kemampuan kognitif, gender, serta keterikatan individu dengan budaya. Faktor exsternal mencakup faktor dari keluarga dan komunitas

Aspek-Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)

 Reivich K. & Shatte A. (2002: 36-46) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi, aspek-aspek tersebut adalah regulasi emosi (emotional regulation), kontrol impuls (impulse control), optimisme (optimism), analisis kausal (causal analysis), empati (empathy), efikasi diri (self efficacy), dan pencapaian (reaching out). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut. 1) Regulasi emosi (emotional regulation) Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan untuk tetap tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. Individu yang resilien menggunakan serangkaian keterampilan yang telah dikembangkan untuk membantu mengontrol emosi, atensi dan perilakunya. Kemampuan regulasi penting untuk menjalin hubungan interpersonal, kesuksesan bekerja dan mempertahankan kesehatan fisik. Tidak setiap emosi harus diperbaiki atau dikontrol, ekspresi emosi secara tepatlah yang menjadi bagian dari resiliensi. 2) Kontrol impuls (impulse control) Kontrol impuls berkaitan erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kontrol impuls yang kuat, cenderung memiliki regulasi emosi yang tinggi, sedangkan individu dengan kontrol emosi yang rendah cenderung menerima keyakinan secara impulsive, yaitu suatu situasi sebagai kebenaran dan bertindak atas 16 dasar hal tersebut. Kondisi ini seringkali menimbulkan konsekuensi negatif yang dapat menghambat resiliensi. 3) Optimisme (optimism) Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Mereka yakin bahwa berbagai hal dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah kehidupannya dibandingkan orang yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik, lebih produktif dalam bekerja dan lebih berprestasi dalam olah raga. Hal ini merupakan fakta yang ditujukkan oleh ratusan studi yang terkontrol dengan baik. 4) Kemampuan menganalisis masalah (causal analysis) Kemampuan menganalisis masalah merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada kemampuan pada diri individu secara akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan mereka. Jika seseorang tidak mampu memperkirakan penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut akan membuat kesalahan yang sama. 5) Empati (empathy) Empati menggambarkan sebaik apa seseorang dapat membaca petunjuk dari orang lain berkaitan dengan kondisi emosional orang tersebut. Beberapa individu dapat menginterpretasikan perilaku non verbal orang lain, seperti 17 ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh dan menentukan apa yang dipikirkan serta dirisaukan orang tersebut. Ketidakmampuan dalam hal ini akan berdampak pada kesuksesan dalam bisnis dan menunjukan perilaku non resilien. 6) Efikasi Diri (self efficacy) Efikasi diri menggambarkan keyakinan seseorang bahwa ia dapat memecahkan masalah yang dialaminya dalam keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai kesuksesan. Dalam lingkungan kerja, seseorang yang memiliki keyakinan terhadap dirinya untuk memecahkan masalah, maka dia muncul sebagai pemimpin. 7) Pencapaian (reaching out) Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk mencapai keberhasilan. Dalam hal ini terkait dengan keberanian seseorang untuk mencoba mengatasi masalah, karena masalah dianggap sebagai suatu tantangan bukan suatu ancaman. Bogar Christine B. (2006: 321-322) dalam penelitiannya mengidentifikasikan lima determinan dari resiliensi yang harus dimiliki oleh setiap individu supaya bisa menjadi resilien, antara lain sebagai berikut. 1) Keterampilan Interpersonal Keterampilan interpersonal merupakan keterampilan yang dipelajari ataupun bawaan pada diri seseorang yang dapat memfasilitasi kemampuannya dalam berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain. Keterampilan ini meliputi kemampuan verbal, kedekatan secara emosional, kemandirian berpikir, serta optimisme dalam hubungan dengan orang lain dan kehidupan. 2) Kompetensi Kompetensi diartikan sebagai bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dan memberikan kontribusi terhadap kemampuannya untuk memiliki resiliensi pada masa dewasa. Termasuk dalam kompetensi ini adalah prestasi yang menonjol, kesuksesan dalam bidang akademis di sekolah. 3) Self-regard yang tinggi Penerimaan diri yang positif yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah pikiran yang negatif menjadi pikiran yang positif terhadap diri mereka. Hal ini mampu menumbuhkan pikiran pada individu bahwa mereka dapat memegang kendali atas kehidupannya. 4) Spiritualitas Spiritualitas dan religiusitas, keduanya adalah komponen yang penting bagi resiliensi seseorang. Kepercayaan ini dapat menjadi sandaran bagi individu dalam mengatasi berbagai permasalahan saat peristiwa buruk menimpa. 5) Situasi kehidupan yang bermanfaat Meskipun tidak semua peristiwa kehidupan bersifat positif, namun bagi indvidu baik peristiwa- peristiwa yang negatif ataupun positif mampu menantang individu untuk menjadi lebih kuat dan memiliki empati terhadap kehidupan orang lain. Penelitian ini akan merujuk pada tujuh aspek resiliensi dari Reivich K. & Shatte A. (2002: 36-46), yaitu : regulasi emosi (emotional regulation), kontrol impuls (impulse control), optimisme (optimism), analisis kausal (causal analysis), empati (empathy), efikasi diri (self efficacy), dan pencapaian (reaching out). 

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)

Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk kembali dalam bentuk semula. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit (Reivich K. & Shatte A., 2002: 1). Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday Morgot, 1997: 348). Tidak jauh berbeda dengan definisi yang disampaikan di atas Newcomb (LaFramboise Teresa. D. 2006: 194) melihat resiliensi sebagai suatu mekanisme perlindungan yang memodifikasi respon individu terhadap situasi-situasi yang beresiko pada titik-titik kritis sepanjang kehidupan seseorang. Tingkat kekenyalan yang membuat seseorang mampu untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang demikian dinamakan resiliensi (Sales Pau Perez. 2005: 369). Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan untuk  mengatasi atau beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan Garmezy, Luther&Zigler, (Holaday Morgot. 1997: 348). 
Menurut Block (Papalia D. E. 2001:525) resiliensi dikonseptualisasikan sebagai salah satu tipe kepribadian dengan ciriciri, kemampuan penyesuaian yang baik, percaya diri, mandiri, pandai berbicara, penuh perhatian, suka membantu dan berpusat pada tugas. Menurut Garmezy (Damon William, 1998: 499) menyampaikan konsep yang berbeda, resiliensi bukan dilihat sebagai sifat yang menetap pada diri individu, namun sebagai hasil transaksi yang dinamis antara kekuatan dari luar dengan kekuatan dari dalam individu. Hal ini senada dengan Masten (LaFramboise Teresa D. 2006: 194) yang mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan sebuah proses dan bukan atribut bawaan yang tetap. Resiliensi lebih akurat jika dilihat sebagai bagian dari perkembangan kesehatan mental dalam diri seseorang yang dapat dipertinggi dalam siklus kehidupan seseorang. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit sehingga individu dapat terlindungi dari efek negatif resiko dan kemalangan

Pengertian Wirausahawan (skripsi dan tesis)

Robert D. Hisrich () dapat mendefinisikan melalui tiga pendekatan; 1) pendekatan ekonomi, entrepreneur adalah orang yang membawa sumber-sumber daya tenaga, material, dan aset-aset lain ke dalam kombinasi yang membuat nilainya lebih tinggi dibandingkan sebelumnya, dan juga seseorang yang memperkenalkan perubahan, inovasi/pembaruan, dan suatu order/tatanan atau tata dunia baru; 2) pendekatan psikologi, entrepreneur adalah betul-betul seorang yang digerakkan secara khas oleh kekuatan tertentu kegiatan untuk menghasilkan atau mencapai sesuatu, pada persoalan, percobaan, pada penyempurnaan, atau mungkin pada wewenang mencari jalan keluar yang lain; 3) Pendekatan seorang pebisnis, entrepreneur adalah seorang pebisnis yang muncul sebagai ancaman, pesaing yang agresif, sebaliknya pada pebisnis lain sesama entrepreneural mungkin sebagai sekutu/mitra, sebuah sumber penawaran, seorang pelanggan, atau seorang yang menciptakan kekayaan bagi orang lain, juga menemukan jalan lebih baik untuk memanfaatkan sumber-sumber daya, mengurangi pemborosan, dan d menghasilkan lapangan pekerjaan baru bagi orang lain yang dengan senang hati untuk menjalankannya (Saiman, 2009). Kata wirausaha dalam bahasa Indonesia merupakan gabungan dari kata “wira” yang artinya gagah berani, perkasa dan kata “usaha”, sehingga secara harfiah wirausahawan diartikan sebagai orang yang gagah berani atau perkasa dalam berusaha (Riyanti, 2003). Wirausaha atau wiraswasta menurut Priyono dan Soerata (2005) berasal dari kata “wira” yang berarti utama, gagah, luhur berani atau pejuang; “swa” berarti sendiri; dan kata ”sta” berarti berdiri. Dari asal katanya “swasta” berarti berdiri di atas kaki sendiri atau berdiri di atas kemampuan sendiri. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa wirausahawan atau wiraswastawan berarti orang yang berjuang dengan gagah berani, juga luhur dan pantas diteladani dalam bidang usaha, atau dengan kata lain wirausahawan adalah orangorang yang mempunyai sifat-sifat kewirausahaan atau kewiraswastaan seperti: keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri. Sehingga wirausahawan kuliner adalah orang yang memiliki keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri dalam bidang kuliner.

Ciri-ciri Individu yang Memiliki Resiliensi (skripsi dan tesis)

 Ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi menurut Sarafino (1994), yaitu (a) memiliki temperamen yang lebih tenang, sehingga dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan lingkungan; (b) memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari tekanan dan berusaha untuk mengatasinya. Sedangkan menurut Grotberg (1994), mengatakan bahwa individu yang memiliki resiliensi (a) mempunyai kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati; (b) memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari permasalahan dan berusaha untuk mengatasinya; (c) mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatif sendiri dan memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Reivich (2002), menambahkan bahwa individu yang memiliki resiliensi (a) mampu mengatasi stress; (b) bersikap realistik serta optimistik dalam mengatasi masalah; (c) mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan nyaman. Maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengekspresikan secara nyaman.  Dengan demikian, individu mampu mengambil keputusan yang realistik dan tetap bersikap optimis. Individu juga tetap memiliki sikap kepedulian terhadap sesama

Sumber Resiliensi (skripsi dan tesis)

Menurut Grotberg (1994) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai berikut: 
1. I Have ( sumber dukungan eksternal ) 
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut. (Grotberg : 1994) 
2. I Am ( kemampuan individu ) 
I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya. Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka. (Grotberg : 1994)
3. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal ) 
I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik. Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 22 dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam katakata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang tidak baik. (Grotberg : 1994) 

Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)

 Wolin dan wolin (1994) mengemukakan tujuh aspek utama yang dimiliki oleh individu agar mencapai resilience yaitu: a) Insight Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. Insight adalah kemampuan yang paling mempengaruhi resiliensi. (Wolin dan wolin :1994) b) Kemandirian Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. (Wolin dan wolin : 1994) c) Hubungan Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat. (Wolin dan wolin : 1994)d) Inisiatif Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah. (Wolin dan wolin : 1994) e) Kreativitas Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. (Wolin dan wolin : 1994) f) Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan. (Wolin dan wolin :1994) Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. (Wolin dan wolin :1994) Sedangkan menurut Allen (2005), Aspek-aspek dari resiliensi adalah dapat mengenali diri sendiri dan orang lain , memiliki self esteem yang tinggi, memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman, kesabaran yang tinggi dalam situasi yang sulit, Open Mindedness, memiliki keberanian, menjadi pribadi yang disiplin, kreatif, jujur, humoris, memberikan arti pada hidup, dan memiliki harapan

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)

Menurut Masten dan Reed (2002) resiliensi didefinisikan sebagai kumpulan fenomena yang dikarakteristikkan oleh pola adaptasi positif pada kontek keterpurukan. Menurut Jonh G Allen (2005) dalam bukunya Coping With Trauma, bahwasannya; “Reciliency is the capacity to cope with adversity”. Atau kemampuan seseorang dalam menghadapi atau menanggulangi kesengasaraan atau situsi sulit. Menurut Best Masten & Garmezy (1990) dalam Margareth E. Blausten & Kristine M. Kinniburg (2010) dalam bukunya Treathing Traumatic Stress in childern and adolecent, menyebutkan bahwasannya resiliensi adalah ; “The process of, the capacity for, or outcome of successful adaptation despite challenging or threatening circumstances” atau proses dari kemampuan beradaptasi dari tantangan atau kenyataan yang mengancam. Dalam buku Character & Resilience Manifesto karangan Chris Paterson, Claire Tyler, dan Jen Lexmond (2014) mengutarakan bahwa resiliensi adalah; “These are the attributes that enable individuals to make the most of opportunities that present themselves, to stick with things when the going gets tough, to bounce back from adversity and to forge and maintain meaningful relationship”, atau term dari individu yang memungkinkan untuk membuat keadaan yang lebih 1 menguntungkan atau layak dari sesuatu yang menusuk dan keras, untuk melambungkan kembali dari kesengsaraan dan memberikan arti dalam sebuah hubungan” Dalam Buku The Road to Resilience (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societes : 2012) Resiliensi adalah ; “Ability of systems to respond and adapt effectively to changing circumstance . Yakni kemampuan untuk merespon dan beradaptasi secara efektif untuk merubah keadaan.” Menurut Ann S. Mastern and Abigail H. Gerwirtz dalam buku Blackwell handbook of early Childhood Development (2006), milik Kathleen McCartney dan Deborah Philips, yang tercantum dalam glosarium bahwasannya resiliensi adalah; “Positive patterns of adaptation in the context of risk or adversity”, yakni pola positif untuk beradaptasi dalam konteks resiko atau kemalangan. Menurut Cowen and work (1988) dalam buku Bill Gillham and James A. Thompson yakni Child Safety: problem and prevention from preschool to adolescence (2005) bahwa ; “Resiliensi adalah the process (however it operates) by which children over-come adverse experiences” Yakni proses oleh individu/anak-anak dalam menanggulangi pengalaman yang menyakitkan. Menurut Dulmu & Rapp-Plagici (2004) dalam CognitiveBehavioral Interventions In Educational Settings : 2006. Resiliensi adalah kapasitas untuk mengembangkan diri walaupun terdapat faktor resiko atau untuk membuka diri dari kondisi stres. Resiliensi mewujudkan kualitas pribadi yang memungkinkan satu untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan. Penelitian selama 20 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah karakteristik multidimensi yang bervariasi dengan konteks, waktu, usia, jenis kelamin, dan asal budaya, serta dalam individu mengalami situasi kehidupan yang berbeda. (Connor & Davidson, 2003) Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relative baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak, remaja dan orang dewasa sembuh dari kondisi stress, trauma, dan resiko dalam kehidupan mereka. (Desmita, 2010) “Resilience is defined as an individual's or family's abilities to function well and achieve life's goals despite overbearing stressors or challenges that might easily impair the person or family. Embedded in the term is a sense of elasticity and flexibility, such as the abilities to bounce back from an overwhelming stressor and to remain flexible in the presence of ongoing pressures.” Artinya resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan individu atau keluarga untuk mencapai tujuan hidup yang baik meskipun stress atau tantangan dapat mengganggu individu maupun keluarga. Tertanam dalam istilah ini, rasa elastisitas dan fleksibilitas seperti kemampuan untuk bangkit dan tetap fleksibel dengan adanya tekanan yang berkelanjutan. (Mullin, Arce, Vol 11 No.4, 2008) Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan positif. Reivich dan shatte memandang bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich dan Shatte tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari. Resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam Larson dan Luthans, 2006). Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap resilien. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien) secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang (Corner, 1995). Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi kesulitan, rasa frustrasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu (Janas, 2002). Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam proses kehidupan (Henderson, 2003) Dari beberapa definisi dari para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwasannya resiliensi adalah kemampuan sesorang untuk beradaptasi terhadap masalah yang sedang dihadapi dengan cara mencari solusi dari masalah tersebut, sehingga ia dapat bangkit dari masalah yang membuat hidupnya terpuruk atau pada kondisi yang tidak menyenangkan.

Hubungan Kemampuan Resiliensi pada Mahasiswa Perantau dengan Tipe Kepribadian (skripsi dan tesis)

Setiap manusia terlahir dengan kemampuan tertentu dan dalam berbagai macam bentuk, salah satunya adalah kemampuan yang tidak tampak secara nyata ketika tidak diperlukan atau tidak rangsang. Kemampuan ini disebut dengan potensi, potensi ini memiliki berbagai macam fungsi salah satunya adalah sebagai upaya pertahanan diri dan menjaga kelangsungan hidup seseorang. Resiliensi merupakan salah satu dari bagian potensi individu yang berfungsi sebagai upaya untuk mempertahankan diri. Resiliensi merupakan suatu suatu proses dinamis dimana individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi permasalahan yang signifikan (Schoon, 2006). Resiliensi akan berkembang menjadi sebuah kemampuan ketika individu berada dalam keadaan tertekan, misalnya trauma pasca bencana, drop out dari bangku perkuliahan. Muncul dan berkembangnya resiliensi juga disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal, salah satunya adalah kepribadian yang dimiliki individu (Mancini & Bonano, 2006). Kepribadian merupakan penanda atau identitas yang dimiliki oleh setiap individu. Kepribadian merupakan salah satu bagian diri individu yang menjadikan individu tersebut khas dan berbeda dengan individu lainnya. Kepribadian merupakan sebuah sistem yang dihasilkan dari proses interaksi berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Pengalaman, norma, budaya, kondisi lingkungan,   kesempatan, cara berpikir, cara bersikap, perasaaan – perasaan serta kondisi fisik maupun psikis individu merupakan faktor – faktor yang saling berinteraksi dan membentuk sistem tersebut. Kepribadian merupakan ciri yang unik dalam setiap individu, sehingga ada berbagai macam kepribadian yang diklasifikasikan kedalam berbagai tipe berdasarkan kategori tertentu. Salah satu dari sekian banyak tipe kepribadian adalah kepribadian ekstravert atau tipe A dan kepribadian introvert atau tipe B (Alwisol, 2011). Setiap kepribadian memiliki ciri kepribadian tertentu yang digunakan untuk menggambarkan siapa dirinya dan bagaimana dia bersikap. Selain dari perilaku sehari – hari, ciri kepribadian ini akan terlihat perbedaanya ketika menghadapi situasi atau permasalahan tertentu. Chen (2002), mengatakan bahwa individu dengan kepribadian ekstravert cenderung menggunakan cara penyelesaian masalah yang bersifat maladaptif, hal ini mungkin disebabkan oleh karakteristik kepribadian ekstravert yang cenderung meledak – ledak dibandingkan individu dengan kepribadian introvert yang lebih tenang dan terkontrol. 
Selain itu Eysenck juga mengatakan bahwa individu ekstravert cenderung agresif dan tidak berhati hati, sedangkan individu introvert lebih tenang dan memikirkan semuanya dengan hati - hati ketika mnghadapi permasalahan (Alwisol, 2011). 47 Selain faktor psikis, faktor fisiologis juga menentukan bagaimana cara individu memberikan respon terhadap stimulus. Seperti yang dikatakan Eysenck bahwa individu ekstravert memiliki CAL (Cortical Arousal Level) sangat rendah artinya tidak peka dan lemah sehingga membutuhkan banyak rangsangan dibandingkan individu introvert yang CALnya tinggi. Werner (Friborg, 2005) mengatakan bahwa individu yang resilien memiliki orientasi sosial yang tinggi, sehingga mereka mampu membangun kesan yang positif terhadap dirinya sendiri melalui interaksi sosial yang dilakukannya. Oleh karena itu, tipe kepribadian memiliki kaitan yang erat dengan resiliensi dalam tugas fungsinya sebagai faktor pendukung pemenuhan syarat kemampuan untuk menjadi resilien pada individu.

Pengertian Mahasiswa Perantau (skripsi dan tesis)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa merupakan orang yang belajar di sebuah perguruan tinggi. Mahasiswa merupakan individu yang sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas / Kejuruan (SMA/K) dan sedang menempuh proses belajar di sebuah perguruan tinggi. Mahasiswa belajar pada perguruan tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu keahlian jenjang pendidikan tinggi meliputi pendidikan diploma, sarjana, magister atau spesialis (http://kbbi.web.id). Berdasarkan tingkatan proses perkembangan, mahasiswa berada pada periode peralihan dari masa remaja akhir menuju masa perkembangan dewasa awal, yaitu pada rentang usia 17 hingga 25 tahun (Hurlock, 2011). Oleh karena itu, yang dimaksud dengan mahasiswa perantau merupakan individu yang berada pada rentang usia 17 hingga 25 tahun yang meninggalkan daerah asalnya untuk menempuh pendidikan pada sebuah perguruan tinggi didaerah lain. Merantau merupakan kegiatan bepergian dari satu daerah ke daerah lainnya dengan tujuan tertentu, misalnya untuk bekerja dan mendapatkan pengetahuan baru (http://kbbi.web.id). Kegiatan merantau sudah menjadi budaya dan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Pada zaman globalisasi seperti ini, merantau tidak hanya dilakukan antar daerah didalam negeri saja tetapi juga keluar negeri. Faktor pendorong terbesar masyarakat Indonesia 44 pergi merantau saat ini adalah faktor ekonomi dan pendidikan (https://id.m.wikipedia.id). Menurut Naim terdapat enam unsur pokok merantau, yaitu : a) meninggalkan kampung halaman sendiri, b) dengan kemauan sendiri, c) untuk jangka waktu yang lama, d) dengan tujuan untuk mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, e) biasanya dengan maksud kembali pulang, f) merantau adalah lembaga sosial dalam arti kebiasaan atau perilaku yang dilakukan oleh banyak orang yang membudaya. Selain itu, merantau juga dilakukan karena faktor ekonomi, pendidikan, gangguan keamanan, sistem sosial (mochtarnaim.wordpress.com). Sektor pembangunan dan pengembangan yang masih belum merata di negara ini dan hanya terpusat di kota – kota besar, membuat sebagian besar masyarakatnya memilih untuk merantau untuk mendapatkan pekerjaan ataupun pendidikan yang lebih baik. Hal ini pula yang terjadi pada mahasiswa yang berasal dari daerah terpencil hingga yang berasal dari luar pulau. Para mahasiswa ini rela meninggalkan kampung halamannya dan berpindah ke daerah lain untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa mahasiswa perantau merupakan individu yang meninggalkan kampung halamannya dan pergi kedaerah lain dengan tujuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dan bermaksud untuk kembali pulang. Oleh karena itu dalam penelitian ini, mahasiswa perantau yang dimaksud adalah para mahasiswa yang berasal dari luar pulau Jawa

Tipe Kepribadian Eysenck (skripsi dan tesis)

 Ada berbagai jenis kepribadian dengan karakteristiknya masing – masing. Oleh karena itu, beberapa ahli melakukan klasifikasi berdasarkan karakteristiknya sehingga mempermudah individu untuk mengenali jenis kepribadiannya. Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) dan Big Five Personality merupakan salah satu bentuk klasifikasi kepribadian yang telah dilakukan oleh para ahli. Myers-Briggs Type Indicator mencoba mengklasifikasikan kepribadian kedalam 16 tipe kepribadian yang terbagi atas empat karakteristik, yaitu ekstravert – introvert, sensitif – intuitif, pemikir – perasa, dan memahami – menilai. Berbeda dengan MBTI, Big Five Personality mengklasifikasikan kepribadian kedalam lima besar dimensi kepribadian yang saling mendasari dan mecakup sebagian besar variasi yang signifikan. Faktor – faktor kelima model ini mencakup ekstraversi, mudah akur dan bersepakat, berhati – hati, stabilitas emosi, serta terbuka terhadap hal – hal baru (http://id.m.wikipedia.org) Eysenck (Alwisol, 2011) mengkonsepkan ekstraversi dan introversi sebagai kepribadian yang dipengaruhi oleh kondisi fisiologis yang bersifat keturunan. Individu dengan kepribadian ekstraversi cenderung memilih kegiatan yang berbaur dengan banyak orang, demikian sebaliknya dimana individu intraversi lebih memiih kegiatan yang tidak melibatkan banyak orang. Carl Jung juga membagi orientasi kepribadian kedalam dua sikap yaitu ekstraversi dan intraversi, dimana sikap ekstraversi mengarahkan individu kedunia luar, dunia objektif sedangkan sikap intraversi mengarahkan individu kedunia dalam, dunia subjektif (Hall & Lindzey, 2009). Kedua sikap ini yang berlawanan ini dimiliki oleh setiap kepribadian. Artinya dalam kepribadian yang dimiliki individu terdapat sikap ektstraversi dan introversi, tetapi biasanya salah satunya dalam keadaan dominan dan sadar sementara yang lainnya kurang dominan dan tak sadar.
a. Karakteristik Kepribadian Ekstravert 
Setiap kepribadian menjadi unik dan berbeda serta mudah dibedakan antara satu dengan yang lainnya disebabkan oleh adanya sifat atau  karakteristik tertentu. Eysenck (Alwisol, 2011) juga menggambarkan individu dengan kepribadian tipe ekstravert sebagai individu yang sosiabel, lincah, aktif, asertif, suka mencari sensasi riang, dominan, bersemangat dan berani. Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kepribadian tipe ekstravert menyukai kegiatan yang berhubungan dengan orang lain serta tidak diam di satu tempat. Karakteristik ini akan semakin tampak nyata ketika individu tersebut berada dalam situasi sulit atau memiliki permasalahan terntentu. Individu dengan kepribadian tipe ekstravert cenderung terburu – buru dan tidak bisa berpikir dengan benar ketika menghadapi permasalahan tertentu, sehingga solusi untuk permasalahannya cenderung diambil tanpa memikirkan konsekuensinya. Selain itu, individu ekstravert cenderung melibatkan orang lain dalam permasalahan yang dihadapinya. Hal ini terjadi karena individu ekstravert akan mengalami stress yang berlebihan ketika harus menghadapi permasalahannya sendiri. Bagi individu ekstravert, kehadiran dan dukungan dari orang lain sangat penting dalam kehidupan ataupun permasalahannya. Ketika dukungan yang diharapkannya tidak terpenuhi maka individu dengan tipe kepribadian ekstravert ini akan cenderung melampiaskan stress yang dirasakannya pada hal – hal yang bersifat negatif dan merusak dirinya sendiri. Mereka akan melakukan hal – hal yang tidak disukai oleh orang lain dengan harapan orang lain dapat mengerti apa yang diinginkannya (Chen, 2002). 
 b. Karakteristik Kepribadian Introvert 
Individu dengan tipe kepribadian introverst memiliki ciri kepribadian yang berbanding terbalik dengan tipe ekstraverst. Eysenck mengatakan bahwa ciri kepribadian introvert merupakan kebalikannya. Eysenck menggambarkan individu introvert sebagai makhluk yang individual, pasif, tertutup, tenang, dan berhati – hati sehingga individu introvert lebih menyukai kegiatan yang tidak berkaitan dengan keramaian serta berhubungan dengan banyak orang . Berbeda dengan individu ekstravert yang membutuhkan dukungan orang lain dalam menghadapi masalahnya, individu dengan kepribadian introvert cenderung berusaha dengan kemampuannya sendiri sampai batas maksimalnya. Ketika menghadapi permasalahan maka akan dipikirkan dengan hati – hati dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada. Individu introvert jarang sekali membagi permasalahannya kepada orang lain, kecuali orang lain tersebut memiliki attachment yang sangat lekat dengannya. Tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh individu ekstravert, individu introvert juga akan mengalami rasa stress bahkan bisa menjadi depresi ketika usaha mengandalkan kemampuan diri sendiri ini gagal. Selain itu, kesulitan untuk menyampaikan apa yang dirasakannya pada orang lain juga akan menambah beban psikisnya (Chen, 2002)

Pengertian Kepribadian (skripsi dan tesis)

Ada begitu banyak pengertian atau makna yang dapat diketahui terkait dengan kata kepribadian. Pada pemakaian pertama, istilah kepribadian ini menggambarkan mengenai kemampuan atau kecakapan sosial individu. Allport menjelaskan dalam penelitian kepustakaan yang dilakukannya, bahwa terdapat hampir definisi yang berbeda mengenai istilah kepribadian ini (Hall & Lindzey, 2009). Allport sendiri mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis yang dalam sistem psikofisiknya individu dapat menentukan penyesuaian yang unik sesuai dengan lingkungannya (Alwisol, 2011). Prinsip dasar dari definisi dan teori Allport mengenai kepribadian adalah bahwa tingkah laku akan terus bergerak, mengalir dan diatur oleh tujuan utama kesadaran yang bersumber dari masa kini dan masa yang akan datang bukan masa lalu. Hal ini sangat berbeda dengan definisi yang disampaikan oleh Freud bahwa ketidaksadaran beserta insting – insting seks serta agresi yang terdapat didalamnya memiliki peran penting untuk menentukan tingkah laku individu. Selain itu, Freud juga mengatakan bahwa apa yang terjadi dimasa lalu individu juga menentukan bagaimana individu tersebut akan berperilaku (Alwisol, 2011). 
Menurut Jung, tingkah laku manusia tidak hanya ditentukan oleh sejarah individu dan ras (kausalitas) tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi (teleologi). Jung juga melihat kepribadian dari dua sisi yaitu prospektif dan retrospektif   yang artinya memperhatikan masa depan sebagai garis atau arah perkembangan individu dan masa lalu sebagai bahan evaluasi bagi diri individu (Hall & Lindzey, 2009). Prinsip dasar teori yang dikemukakan oleh Freud dan Jung melibatkan proses dari kesadaran dan ketidaksadaran. Prinsip dasar ini yang kurang disetujui oleh aliran tipologi biologis. Salah satu tokohnya, Eysenck mengatakan bahwa kepribadian merupakan keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme yang ditentukan oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku ini berasal dan dikembangkan melalui interaksi dari empat sektor utama yaitu sektor kognitif (intelligence), konatif (character), afektif (temperament), dan somatik (constitution) (Alwisol, 2011). Selain itu, Maslow juga mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk sadar yang menentukan tingkah laku dan pengalamannya sendiri. Tingkah laku yang dilakukan oleh individu ini didasari oleh adanya tuntutan akan pemenuhan kebutuhan – kebutuhan tertentu, sehingga tingkah laku bergerak kearah pengungkapan potensi yang dimiliki oleh individu (eksistensi) (Hall & Lindzey, 2009). Skinner (Alwisol, 2011) juga mengatakan bahwa tingkah laku mengikuti hukum tertentu, dapat diramalkan dan dapat dikontrol sehingga tidak ada kaitannya dengan kehidupan internal individu seperi insting, motif, drives, aktualisasi diri ataupun aktivitas lain yang berkaitan dengan ketidaksadaran. Kepribadian merupakan bagian yang cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan individu sehari – hari, sehingga menjadi salah satu indikator untuk melakukan identifikasi pada individu tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor – faktor unik dan khas sebagai salah satu faktor pembentuk perilaku individu tersebut. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa kepribadian merupakan sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan banyak aspek, baik itu internal (conscious, unconscious, kebutuhan fisik maupun psikis, kognisi, afeksi, dan sebagainya) maupun eksternal (norma, kondisi lingkungan, kesempatan dan sebagainya). Proses interaksi yang terjadi terhadap kedua aspek ini akhirnya yang membentuk pola tingkah laku, pola berpikir yang berbeda pada masing – masing individu sehingga menjadikan individu tersebut unik. 

Karakteristik Resiliensi Mahasiswa Perantau (skripsi dan tesis)

Mahasiswa perantau merupakan pendatang dari daerah diluar pulau Jawa dengan tujuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari daerah asalnya. Sebagai seorang pendatang tentunya ada permasalahan tertentu yang harus dihadapi oleh para mahasiswa ini, salah satunya adalah adanya perbedaan yang sangat kontradiktif. Perbedaan kebiasaan, budaya, kesibukan, gaya hidup hingga jenis makanannya membuat para mahasiswa ini harus melakukan penyesuaian diri dengan cepat. Kegagalan adaptasi tentunya akan memberikan dampak tersendiri, misalnya nilai akademik menurun drastic, terlibat pergaulan bebas, dan sebagainya. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari dataran tinggi dan lautan yang luas. Demikian halnya dengan pulau – pulau yang berada diluar pulaau jawa yang mayoritas merupakan dataran tinggi, tanah kapur, gersang dan medan yang sulit dilalui, secara tidak langsung menggambarkan karakteristik penduduknya. Mahasiswa yang berasal dari luar pulau biasanya memiliki watak yang keras, kemauan yang tinggi, tidak mudah menyerah dan optimise. Karakteristik ini tentunya sangat membantu para mahasiswa perantau untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi. Resiliensi merupakan salah satu reaksi psikis yang dilakukan mahasiswa perantau dalam menghadapi permasalahannya.
 Resiliensi pada mahasiswa perantau ini memiliki karakteritik, antara lain (http://lontar.ui.ac.id) ; a. Accecptance of Self and Life, yaitu adanya kemampuan individu untuk menerima, menghadapi dan mentransformasikan masalah yang sedang dihadapi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gotberg (1994) dan Reivich & Shatte (1999) bahwa faktor pembentuk dan pendukung resiliensi yang pertama kali harus ada dalam diri individu adalah I have (aku punya), I am (aku ini), I can (aku dapat) serta kemampuan untuk mengontrol dan mengatur apa yang dirasakan dan keinginan ataupun tekanan yang muncul dari dalam diri individu. b. Personal Competence, yaitu adanya keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri, sikap mandiri, berpendirian, serta kegigihan dalam menghadapi rintangan. Reivich & Shatte (1999) dengan jelas mengatakan optimisme serta efikasi diri menjadi hal penting berikutnya yang dibutuhkan oleh individu untuk menghadapi permasalahannya. Hal ini juga harus disertai dengan kemampuan individu tersebut untuk melakukan analisa terhadap permasalahannya, sehingga individu tersebut dapat menentukan langkah selanjutnya dalam menghadapi permasalahan tersebut. 

Karateristik Resiliensi (skripsi dan tesis)

 Resiliensi merupakan sebuah proses, artinya resiliensi tidak akan muncul begitu saja meskipun kemampuan ini sudah ada dalam diri individu sejak lama. Resiliensi memerlukan faktor – faktor pendorong untuk dapat muncul, oleh karena itu ada beberapa karakteristik yang menjadi patokan seorang individu dikatakan sebagai individu yang resilien. Wolin & Wolin (1999), juga menyebutkan bahwa ada tujuh karakteristik yang membuat individu dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap permasalahannya dan menadi resilien.
 Tujuh karakteristik yang dimaksud oleh Wolin & Wolin (1999) ini adalah ; a. Insight, kemampuan individu untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri berdasarkan apa yang terjadi dilingkungan sekitarnya dan juga terbuka terhadap dirinya sendiri. b. Kemandirian, kemampuan untuk mengambil jarak dari sumber permasalahannya baik secara emosinal maupun secara fisik. Kemandirian ini dimiliki oleh individu yang dapat melihat secara positif dan optimis pada kehidupannya. c. Hubungan, kemampuan untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan yang positif dengan lingkungan sosialnya. Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur dan berkualitas dengan lingkungannya dengan memiliki role model yang benar. d. Inisiatif, adanya keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya dimana individu yang resilien akan menjadi proaktif, bertanggung jawab terhadap pemecahan masalah serta menyesuaikan diri terhadap hal – hal yang bisa diubah dan yang tidak bisa diubah. e. Kreativitas, membuat individu untuk menggunakan kemampuan kognitifnya dalam membuat pilihan, alternative pemecahan masalah hinggaa konsekuensinya. Mampu menggunakan denga baik media – media terbatas yang ada dilingkungannya untuk pemecahan masalah. f. Moralitas, orientasi pada nilai – nilai atau normat tertentu untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dan produktif. g. Humor, kemampuan untuk melihat sisi positif dari kehidupan atau peristiwa yang dialaminya. Menemukan kebahagiaan dari peristiwa yang dialaminya, sehingga individu akan merasa lebih ringan dalam menghadapi permasalahannya. 
Selain itu, Sendjaja juga mengatakan bahwa individu yang resilien memiliki karakteristik (http://bp3m.uksw.edu) ; a. Berani menerima realita, sebagaimana adanya, bukan atas apa yang dharapkan b. Mampu menterjemahkan makna dibalik peristiwa sulit yand dialaminya, mampu mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. c. Mampu mentransformasikan makna tersebut ke dalam aksi nyata atau perilaku konkrit ditengah situasi yang sulit. 35 Berdasarkan apa yang diutarakan oleh Reivich & State dan Senjaja diatas, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi resilien individu harus memenuhi dan memiliki syarat – syarat berikut, antara lain ; a) penerimaan diri; b) adanya perilaku mandiri; c) memiliki interaksi sosial; d) inisiatif dan kreatifitas, serta e) memiliki nilai yang dijadikan pegangan hidup

Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi (skripsi dan tesis)

Resiliensi merupakan sebuah kemampuan yang bersifat potensi dan dimiliki oleh setiap individu, sehingga resiliensi pada individu tidak akan muncul begitu saja. Kemunculan atau terjadinya resiliensi pada individu dengan permasalahan tertentu tidak lepas dari faktor – faktor yang mempengaruhi munculnya kemampuan untuk beresiliensi. Faktor internal maupun eksternal sama – sama memberikan pengaruh besar bagi hal ini. Masten & Coatswerth mengatakan untuk dapat mengidentifikasi resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu ; 
a) adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis), serta 
b) adanya kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner) (Davis, 1999). Reivich & Shatte (1999) juga mengatakan bahwa resiliensi dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu yang memiliki kemampuan itu secara keseluruhan (https://id.wikipedia.org). Tujuh kemampuan yang dimaksud oleh Reivich & Shatte (1999) yaitu ; 
a. Regulasi emosi, merupakan kemampuan untuk tetap tenang ketika berada dalam situasi tertekan. Individu dengan kemampuan regulasi emosi dapat mengendalikan dirinya terhadap gejolak perasaanya, sehingga dengan adanya pengekspresian emosi yang tepat selain lebih sehat dan konstruktif individu juga dapat menjadi lebih tenang dan fokus dalam menghadapi permasalahannya. b. Pengendalian impuls, merupakan kemampuan untuk mengedalikan dorongan – dorongan, keinginan, kesukaan serta tekanan yang muncul dalam diri individu. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyesuaian terhadap lingkungan sosial, dimana individu berusaha menciptakan lingkungan yang nyaman bagi dirinya maupun orang lain.
 c. Optimisme, adanya rasa percaya akan masa depan dan kemampuan untuk mengontrol hidupnya kedepan. Individu yang resilien merupakan individu yang optimis. 
d. Empati, menggambarkan kemampuan individu dalam memahami keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Individu yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. 
e. Analisis penyebab masalah, menggambarkan bagaimana individu melakukan analisis terhadap masalahnya berdasarkan gaya berpikirnya karena hal ini berkaitan erat dengan kemampuan kognisi. 
f. Efikasi diri, kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri untuk dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah secara efektif. 
g. Peningkatan aspek positif, individu yang meningkatkan aspek positif dalam dirinya mampu melakukan pembedaan terhadap resiko yang realistis dan tidak realistis serta memiliki makna dan tujuan hidup dalam melihat gambaran besar kehidupan. 
Gotberg (1994) juga menambahkan bahwa ada tiga faktor lain yang menjadi sumber pembentukan dan pengembangan resiliensi yang juga berasal dari dalam diri individu, yaitu : 
a. I have (aku punya), yaitu hubungan yang dilandasi dengan rasa percaya dan dorongan untuk mandiri.
 b. I am (aku ini), yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri, diterima dan disayangi oleh orang lain c. I can (aku dapat), yaitu kemampuan untuk berkomunikasi, menjalin hubungan yang saling percaya dan memecahkan masalah. Faktor internal lain yang juga mempengaruhi kemampuan resiliensi adalah gaya koping dan kepribadian individu (Mancini dan Bonano, 2006). 
Selain itu faktor jenis kelamin, usia, tingkat trauma, pendapatan, frekuensi penyakit kronis, tekanan dari masa lalu dan sekarang, serta bagaimana lingkungan sosial memberikan supportnya juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mengembangkan kemampuan resiliensi individu (Bonano, Rennicke dan Dekel, 2007)

Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)

 Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris resilience yang berarti daya lenting, daya lentur atau kemampuan untuk kembali ke bentuk semula. Resiliensi merupakan salah satu bentuk upaya pertahanan diri manusia yang tersimpan dalam bentuk potensi dan akan timbul ketika individu tersebut berada dalam situasi tertentu. Hal ini sesuai dengan yang pendapat Wolff, bahwa resiliensi merupakan sebuah trait. Trait ini merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran individu dan melindunginya dari segala rintangan kehidupan (Banaag, 2002). Resiliensi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dinamis dimana individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi permasalahan yang signifikan (Schoon, 2006). Menurut Lamond, dkk. kemampuan untuk ber-resiliensi berkonotasi dengan kemampuan individu untuk beradaptasi secara positif terhadap kesulitan (Shen & Zeng, 2010). Banaag (2002) juga mengatakan bahwa resiliensi merupakan proses interaksi antara faktor individual dan faktor lingkungan. Faktor individual berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan  melakukan kontruksi secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi dan “melunakkan” kesulitan hidup yang dialami individu. 
Selain itu adanya peristiwa tertentu yang terjadi dalam kehidupan individu akan memberikan pembelajaran dalam membentuk perilaku kesiapan. Perilaku kesiapan ini juga harus didukung oleh kemampuan individu untuk bangkit kembali dari peristiwa trauma yang telah terjadi. Kemampuan inilah yang disebut dengan resiliensi (Jhangiani, 2004). Resiliensi merupakan keberhasilan dalam menyesuaikan diri terhadap tekanan yang terjadi, dimana proses ini memiliki kapasitas untuk membangun hasil positif dalam peritiwa kehidupan yang penuh tekanan (Ong, dkk., 2006). Bernard (2004) juga mengatakan bahwa setiap individu memiliki kapasitas untuk menjadi resilien yang berarti setiap individu terlahir dengan kemampuan tersebut. Setelah peristiwa traumatis yang pernah dialaminya, individu yang resilien tentunya menjadi lebih kuat dan mengetahui bagaimana selanjutnya untuk menyesuaikan diri dan mengatasi permasalahannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan potensi yang dimiliki oleh setiap individu. Potensi ini akan menjadi sebuah kemampuan untuk mempertahankan diri ketika individu berada dalam menghadapi situsi tertentu, sehingga individu tersebut dapat menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi permasalahannya. Selain itu, potensi  resiliensi ini tidak akan muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil dari proses interaksi faktor – faktor yang bersifat internal dan eksternal. 

Hubungan antara Kebersyukuran dengan Resiliensi (skripsi dan tesis)

Berdasarkan definisi, aspek, hingga faktor yang telah dijelaskan di atas, bersyukur mampu menghasilkan sebuah masa yang begitu menenangkan dari apa yang telah dialami oleh seseorang. Walker dan Pitts (2006) juga menyatakan bahwa bersyukur merupakan kondisi yang membuat seseorang nyaman dan terkait dengan emosi yang positif. Emmons dan McCullogh (2003) telah menyimpulkan, orang-orang yang bersyukur setiap minggunya berolahraga lebih rutin, menunjukkan lebih sedikit keluhan fisik, merasa secara keseluruhan hidup mereka lebih baik dan lebih optimistis dalam menghadapi minggu berikutnya dibandingkan mereka yang justru menukis keluhan-keluhan atau peristiwaperistiwa kehidupan yang sifatnya netral. Orang-orang yang bersyukur lebih mungkin membuat kemajuan terhadap tujuan atau target penting mereka, seperti target akademik, interpersonal, atau menyangkut kesehatan, dibandingkan subjek lain yang tidak bersyukur. Kebersyukuran setiap hari pada orang dewasa menghasilkan level kewaspadaan (alertedness), antusiasme, determinasi, kepedulian (attentiveness) dan energi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berfokus pada mengeluh atau melakukan perbandingan sosial ke bawah (downward social comparison/merasa diri lebih baik dari pada orang lain). Disimpulkan juga bahwa, bersyukur yang dilakukan oleh penderita penyakit neuromuskular menghasilkan mood positif yang lebih tinggi, sense of-connectedness yang lebih tinggi dengan orang lain, lebih optimis dalam hidup dan memiliki durasi dan kualitas tidur yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (Emmons,2003). Hasil ini mengisyaratkan tingkat resiliensi lebih baik pada orang yang bersyukur. Orang yang bersyukur melaporkan level emosi positif, kepuasan hidup, semangat hidup dan optimisme yang lebih tinggi, serta level depresi dan stres yang lebih rendah. Orang yang bersyukur bukannya mengabaikan atau menyangkal aspek-aspek negatif dalam hidup, melainkan dapat mengelola sudut pandangnya untuk dapat menerima. Kebersyukurannya mampu meningkatkan perasaan senang lebih daripada dibanding emosi tidak menyenangkan (Wood, 2007). 
Perkembangan lebih lanjut, kebersyukuran dapat menjadi terapi psikologis yang potensial. Latihan/intervensi kebersyukuran dapat diterapkan diberbagai bidang kehidupan, di sekolah, organisasi atau perusahaan, bidang kesehatan, untuk menyelesaikan masalah sosial dan keluarga, dan macam-macam. Kebersyukuran lebih dari sekedar mengucapkan segala puji bagi Allah SWT dibibir. Hati orang-orang yang bersyukur berbicara. Jiwanya mencari-cari agar dapat selalu bersyukur, dengan banyak merenungkan nikmat kehidupan yang diberikan Allah, berefleksi atas kehidupan, menahan diri agar tidak mudah mengeluh, tidak terburu-buru dalam menilai suatu masalah atau situasi yang buruk dan sebagainya. Menurut Reivich, dkk (Helton & Smith, 2004), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sevelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Orang yang percaya bahwa mampu secara langsung menghadapi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya dan cepat mengambil tindakan dalam keadaan tersebut secara terkendali. Resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat dari kebersyukuran d iatas. Yu dan Zhang (2007) menyatakan, resiliensi dapat ditumbuhkan melalui tiga aspek, yaitu : kegigihan atau tidak putus asa, kekuatan dan optimisme. Ketiga aspek ini merupakan hasil dari kebersyukuran (McCullogh, 2003). Reivich dan Shatte (2002), resiliensi terdiri dari tujuh aspek, yaitu : regulasi emosi, pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimistis, empati dan keterjangkauan. Sementara Subandi (2014) pada kebersyukuran menyatakan, manfaat dari kebersyukuran meliputi regulasi emosi, pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimis, empati dan keterjangkauan. Dengan demikian tujuh aspek resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat kebersyukuran. Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang mebuat individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan , yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Dalam pengertian ini maka karakteristik orang bersyukur sangat berperan dalam membangun resiliensi. Reivich dan Shatte (2005), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan reaching out. Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah kondisi yang menekan. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif dan berperilaku agresif. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis. Causal Analysis menunjuk pada kemampuan individu untuk 17 mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Empati secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepribadian terhadap orang lain (Greef,2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005). Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). Menurut Ballenger-Browning dan Douglas (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi diantaranya adalah : 1) Pandangan positif, menggunakan strategi kognitif-behavioral untuk meningkatkan optimisme dan menurunkan pesimisme, salah satunya adalah menggunakan selera humor. 2) Spritualitas, mengembangkan dan hidup dengan prinsip-prinsip yang bermakna dan menempatkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam tindakan altruisme. 3) Penerimaan, memahami dan mempunyai keyakinan atas suatu peristiwa yang sedang terjadi atau yang telah terjadi. Kemampuan untuk membentuk resiliensi yang disampaikan oleh Reivich (2005) dan faktor yang mempengaruhi resiliensi oleh Douglas (2010) di atas, terkandung dalam hikmah bersyukur sebagaimana telah diuraikan pada awal paragraf. Kebersyukuran dapat menenangkan hati orang yang sedang menderita ketenangan ini sangat penting agar tidak panik dan menjaga seseorang dari kekesalan emosi akibat penyakit yang diderita. Pembicaraan mereka akan lebih diarahkan untuk hal-hal positif, misalnya saling berbagi pengalaman dengan narapidana lain, membangun komunitas sesama narapidana dengan tujuan meringankan tekanan, berbagai pengalaman dengan orang lain yang masih terhindar dari berbagai macam masalah dan sebagainya. Seseorang yang menyandang sebagai narapidana perlu memiliki kemampuan khusus, seperti rasa syukur agar lebih mudah dalam membangun kemampuan untuk bertahan dan mampu bangkit dari keadaan yang sulit (resiliensi). Resiliensi itu sendiri diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk tetap berkondisi baik dan memiliki solusi yang produktif ketika berhadapan dengan kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan adanya stres di kehidupannya. Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang membuat individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan, yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Individu yang resilien mampu tenang dalam situasi yang menekan, hal ini dapat terjadi bila individu selalu beribadah dan taat kepada Allah SWT, karena bersyukur juga mengingatkan bahwa manusia memiliki Sang Maha Pencipta yang mengetahui kemampuan dan keterbasan kemampuannya, terlebih bagi para narapidana yang memiliki kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Individu yang bersyukur percaya atas segala yang menjadi keputusan Allah SWT adalah hal yang terbaik untuk dirinya sekalipun itu berupa kesulitan dan Allah menegaskan bahwa kesulitan tidak pernah berdiri sendiri (Rakhmat, 19 2010), kesulitan akan selalu berdampingan dengan kemudahan, sehingga manusia patut tetap merasa tenang untuk situasi yang sulit. 

Hubungan antara Kebersyukuran dengan Resiliensi (skripsi dan tesis)

 Berdasarkan definisi, aspek, hingga faktor yang telah dijelaskan di atas, bersyukur mampu menghasilkan sebuah masa yang begitu menenangkan dari apa yang telah dialami oleh seseorang. Walker dan Pitts (2006) juga menyatakan bahwa bersyukur merupakan kondisi yang membuat seseorang nyaman dan terkait dengan emosi yang positif. Emmons dan McCullogh (2003) telah menyimpulkan, orang-orang yang bersyukur setiap minggunya berolahraga lebih rutin, menunjukkan lebih sedikit keluhan fisik, merasa secara keseluruhan hidup mereka lebih baik dan lebih optimistis dalam menghadapi minggu berikutnya dibandingkan mereka yang justru menukis keluhan-keluhan atau peristiwaperistiwa kehidupan yang sifatnya netral. Orang-orang yang bersyukur lebih mungkin membuat kemajuan terhadap tujuan atau target penting mereka, seperti target akademik, interpersonal, atau menyangkut kesehatan, dibandingkan subjek lain yang tidak bersyukur. Kebersyukuran setiap hari pada orang dewasa menghasilkan level kewaspadaan (alertedness), antusiasme, determinasi, kepedulian (attentiveness) dan energi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berfokus pada mengeluh atau melakukan perbandingan sosial ke bawah (downward social comparison/merasa diri lebih baik dari pada orang lain). Disimpulkan juga bahwa, bersyukur yang dilakukan oleh penderita penyakit neuromuskular menghasilkan mood positif yang lebih tinggi, sense of-connectedness yang lebih tinggi dengan orang lain, lebih optimis dalam hidup dan memiliki durasi dan kualitas tidur yang lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (Emmons,2003). Hasil ini mengisyaratkan tingkat resiliensi lebih baik pada orang yang bersyukur. Orang yang bersyukur melaporkan level emosi positif, kepuasan hidup, semangat hidup dan optimisme yang lebih tinggi, serta level depresi dan stres yang lebih rendah. Orang yang bersyukur bukannya mengabaikan atau menyangkal aspek-aspek negatif dalam hidup, melainkan dapat mengelola sudut pandangnya untuk dapat menerima. Kebersyukurannya mampu meningkatkan perasaan senang lebih daripada dibanding emosi tidak menyenangkan (Wood, 2007). 
 Perkembangan lebih lanjut, kebersyukuran dapat menjadi terapi psikologis yang potensial. Latihan/intervensi kebersyukuran dapat diterapkan diberbagai bidang kehidupan, di sekolah, organisasi atau perusahaan, bidang kesehatan, untuk menyelesaikan masalah sosial dan keluarga, dan macam-macam. Kebersyukuran lebih dari sekedar mengucapkan segala puji bagi Allah SWT dibibir. Hati orang-orang yang bersyukur berbicara. Jiwanya mencari-cari agar dapat selalu bersyukur, dengan banyak merenungkan nikmat kehidupan yang diberikan Allah, berefleksi atas kehidupan, menahan diri agar tidak mudah mengeluh, tidak terburu-buru dalam menilai suatu masalah atau situasi yang buruk dan sebagainya. Menurut Reivich, dkk (Helton & Smith, 2004), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sevelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Orang yang percaya bahwa mampu secara langsung menghadapi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya dan cepat mengambil tindakan dalam keadaan tersebut secara terkendali. Resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat dari kebersyukuran d iatas. Yu dan Zhang (2007) menyatakan, resiliensi dapat ditumbuhkan melalui tiga aspek, yaitu : kegigihan atau tidak putus asa, kekuatan dan optimisme. Ketiga aspek ini merupakan hasil dari kebersyukuran (McCullogh, 2003). Reivich dan Shatte (2002), resiliensi terdiri dari tujuh aspek, yaitu : regulasi emosi, pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimistis, empati dan keterjangkauan. Sementara Subandi (2014) pada kebersyukuran menyatakan, manfaat dari kebersyukuran meliputi regulasi emosi, pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimis, empati dan keterjangkauan. Dengan demikian tujuh aspek resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat kebersyukuran. Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang mebuat individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan , yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Dalam pengertian ini maka karakteristik orang bersyukur sangat berperan dalam membangun resiliensi. Reivich dan Shatte (2005), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan reaching out. Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah kondisi yang menekan. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif dan berperilaku agresif. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang optimis. Causal Analysis menunjuk pada kemampuan individu untuk 17 mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Empati secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan memiliki kepribadian terhadap orang lain (Greef,2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte, 2005). Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002). Menurut Ballenger-Browning dan Douglas (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi diantaranya adalah : 
1) Pandangan positif, menggunakan strategi kognitif-behavioral untuk meningkatkan optimisme dan menurunkan pesimisme, salah satunya adalah menggunakan selera humor. 
2) Spritualitas, mengembangkan dan hidup dengan prinsip-prinsip yang bermakna dan menempatkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam tindakan altruisme. 
3) Penerimaan, memahami dan mempunyai keyakinan atas suatu peristiwa yang sedang terjadi atau yang telah terjadi. 
Kemampuan untuk membentuk resiliensi yang disampaikan oleh Reivich (2005) dan faktor yang mempengaruhi resiliensi oleh Douglas (2010) di atas, terkandung dalam hikmah bersyukur sebagaimana telah diuraikan pada awal paragraf. Kebersyukuran dapat menenangkan hati orang yang sedang menderita ketenangan ini sangat penting agar tidak panik dan menjaga seseorang dari kekesalan emosi akibat penyakit yang diderita. Pembicaraan mereka akan lebih diarahkan untuk hal-hal positif, misalnya saling berbagi pengalaman dengan narapidana lain, membangun komunitas sesama narapidana dengan tujuan meringankan tekanan, berbagai pengalaman dengan orang lain yang masih terhindar dari berbagai macam masalah dan sebagainya. Seseorang yang menyandang sebagai narapidana perlu memiliki kemampuan khusus, seperti rasa syukur agar lebih mudah dalam membangun kemampuan untuk bertahan dan mampu bangkit dari keadaan yang sulit (resiliensi). Resiliensi itu sendiri diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk tetap berkondisi baik dan memiliki solusi yang produktif ketika berhadapan dengan kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan adanya stres di kehidupannya. Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang membuat individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan, yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Individu yang resilien mampu tenang dalam situasi yang menekan, hal ini dapat terjadi bila individu selalu beribadah dan taat kepada Allah SWT, karena bersyukur juga mengingatkan bahwa manusia memiliki Sang Maha Pencipta yang mengetahui kemampuan dan keterbasan kemampuannya, terlebih bagi para narapidana yang memiliki kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Individu yang bersyukur percaya atas segala yang menjadi keputusan Allah SWT adalah hal yang terbaik untuk dirinya sekalipun itu berupa kesulitan dan Allah menegaskan bahwa kesulitan tidak pernah berdiri sendiri (Rakhmat, 19 2010), kesulitan akan selalu berdampingan dengan kemudahan, sehingga manusia patut tetap merasa tenang untuk situasi yang sulit. 

Faktor yang Mempengaruhi Kebersyukuran (skripsi dan tesis)

 Kebersyukuran dalam diri individu tentu di dorong oleh beberapa faktor. Faktor yang berperan kebersyukuran individu dalam penelitian Hambali, Meiz, dan Fahmi (2015) menyebutkan antara lain : 1) Penerimaan diri akan keadaan yang dialami sebagai sebuah takdir dan selalu berpikir positif tentang rencana baik dari Allah SWT . 2) Pengetahuan, pengalaman, dukungan sosial serta kondisi spiritual dalam menerima kondisi yang terjadi saat ini. 3) Rasa apresiasi yang hangat untuk seseorang meliputi cinta dan kasih sayang yang ditujukan pada anak, pasangan dan orang lain yang membantu. 4) Niat baik yang ditunjukkan kepada seseorang berupa keinginan untuk membantu orang lain yang kesulitan, keinginan besar untuk berbagi khususnya pada orang  tua yang mengalami kondisi yang sama, juga muncul keinginan menjalankan ajaran agama sebaikbaiknya. 5) Kecenderungan untuk bertindak positif dan nyata berdasarkan rasa apresiasi dan kehendak baik (tawakal). Tindakan kongkrit ini diwujudkan secara detil dalam menjaga kondisi diri pribadi, menyiapkan dana dan fasilitas, menolong dan tidak menyakiti orang lain, membalas kebaikan orang lain, termasuk juga rajin berdoa, beribadah dan melakukan perbuatan baik menurut agama serta adanya upaya kongkrit mengajak orang lain melakukan perbuatan nyata yang baik. 6) Kemunculan pengalaman spiritual yang mendalam dan beragam sehingga memunculkan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT . 7) Merasakan ketenangan jiwa/kepuasan batin, berpikir positif, dan optimisme serta harapan dalam memandang hidup

Aspek-aspek Kebersyukuran (skripsi dan tesis)

 Terdapat lima sendi dan dasar yang melandaskan syukur yang dinyatakan oleh Al-Jauziyah (1998) bila salah satunya tidak terpenuhi maka syukur itu belumlah sempurna, kelima sendi tersebut adalah : 1. Orang yang bersyukur tunduk pada apa yang disyukuri, berarti orang yang bersyukur sadar bahwa apa yang disyukurinya berasal dari Allah SWT sehingga tunduk terhadap yang memberi apapun yang disyukurinya. 
2. Mencintai-Nya, berarti orang yang bersyukur mencintai Allah SWT sebagai Dzat Yang Maha Pemurah memberikan nikmat untuk disyukuri. 
3. Mengakui nikmat-Nya, berarti orang yang bersyukur mengakui nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. 
4. Memuji-Nya karena nikmat itu, berarti orang yang bersyukur memuji Allah SWT atas nikmat yang telah dirasakannya. 
 5. Tidak menggunakan nikmat itu sebagai sesuatu yang dibenci-Nya, orang yang bersyukur tidak menyalahgunakan segala nikmat yang diberi Allah SWT untuk hal-hal yang dilarang oleh-Nya. Kurniawan, dkk ( 2012 ) juga memaparkan bahwa bersyukur dalam persfektif islam terbentuk atas empat aspek, yaitu : 
1. Bersyukur dengan Qolbu Seseorang dikatakan bersyukur dengan qolbu ketika meyakini dan mengakui semua nikmat yang diterima berasal dari Allah SWT. Meyakini bahwa ada keterlibatan Allah di dalam setiap nikmat yang diperoleh , dan menyadari bahwa setiap kebaikan yang diterima dari orang lain berasal dari Allah SWT.
 2. Bersyukur dengan lisan kepada Allah SWT Seseorang dikatakan bersyukur dengan lisan kepada Allah SWT ketika senantiasa memuji Allah atas segala karunia yang diterimanya. Bahkan bukan hanya ketika mendapatkan perkara yang menggembirakan, seseorang yang bersyukur dengan lisan kepada Allah tetap memuji-Nya ketika mendapat perkara yang dibencinya.
 3. Bersyukur dengan lisan kepada manusia Seseorang dikatakan bersyukur dengan lisan kepada manusia ketika mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah berbuat baik, memberikan nasihat kepadanya, begitupula kepada orang yang telah menginspirasinya berbuat kebaikan.
 4. Bersyukur dengan tindakan Seseorang yang dikatakan bersyukur dengan tindakan ketika memaksimalkan seluruh potensi yang dikaruniakan Allah kepadanya untuk kemanfaatan orang banyak. Begitu pula dengan mempergunakan waktu luang yang dimiliki untuk melakukan kebaikan

Definisi Kebersyukuran (skripsi dan tesis)

Menurut Emmons dan McCullogh (2003), bersyukur dalam konsep barat berasal dari bahasa latin gratia yang berarti keramah tamahan dan kegembiraan. Lebih lanjut Emmons dan McCullogh (2003) menjelaskan bahwa bersyukur dapat dikonseptualisasikan sebagai rasa emosi, sikap, nilai moral, kebiasaan, kepribadian atau sifat dan respon coping. Wood, dkk (2010) menyatakan bersyukur atau rasa syukur adalah emosi yang terjadi setelah individu menerima bantuan atau sesuatu yang dianggap berharga, bernilai, dan bersifat altruistik ( diutamakan ). Bersyukur juga merupakan perasaan yang disampaikan sebagai rasa terima kasih yang bertahan, berkelanjutan pada suatu situasi dan dari waktu ke waktu (Emmons & Shelton, 2002). Bersyukur adalah sebuah instrumen yang mampu mengurangi berbagai pengaruh negatif pada diri individu. Dalam situasi trauma, bersyukur adalah suatu proses pertumbuhan yang mengikuti sebuah kejadian krisis maupun trauma (Subandi, dkk 2014). Islam menerangkan wujud syukur dengan lebih luas dan mendalam, seperti di antaranya yang disampaikan oleh Ibnu Manzhur bahwa syukur adalah membalas nikmat dengan ucapan, perbuatan dan disertai niat, memuji Sang Pemberi Nikmat dengan lisan dan menggunakan nikmat itu untuk taat kepada-Nya (Abdullah, 2013).
 Ibnu Qayyim Al Jauziyah (2015) mendefinisikan syukur adalah melakukan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala hal yang dicintai-Nya lahir dan batin. Aljauziyah juga menerangkan syukur berarti mengakui dengan segenap jiwa, raga, dan perasaan atas nikmat Allah dan memperlakukannya dengan suka cita (Aman, 2008) Bentuk syukur yang terbaik adalah mencurahkan segala potensi jiwa raga untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melaksanakan semua perintah- Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya (Ahyadi,1995). Selain itu, Ahyadi (1995) juga menyebutkan bahwa bersyukur dan merasakan nikmat akan karunia Tuhan merupakan salah satu ciri-ciri kehidupan alam perasaan orang yang beriman. Shihab (Chairani dan Kurniawan, 2008) menjelaskan bahwa syukur berarti mengguanakan seluruh kekuatan untuk memfungsikan semua nikmat Allah yang dilimpahkan-Nya sesuai dengan tujuan penganugerahan-Nya. Dari seluruh definisi mengenai syukur yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa syukur berarti perasaan yang lebih dari pada terima kasih yang diucapkan secara lisan maupun dengan hati atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT.

Faktor –faktor yang mempengaruhi resiliensi (skripsi dan tesis)

Menurut Everall, Allrows dan Paulson (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi tersiri dari empat faktor, yakni faktor individu, keluarga, komunitas dan faktor resiko.
 a. Faktor Individu 
Yang dimaksud faktor individu adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri yang mampu membuat sesorang menjadi resilien. Hal-hal yang termasuk dalam faktor individu ini antar lain : 
1) Fungsi kognitif atau intelegensi Individu dengan intelegensi yang baik memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik. Levin (2002) menyetakan kecerdasan yang dimaksud tidak selalu IQ yang baik, namun bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan kecerdasannya untuk dapat memahami orang lain maupun diri sendiri dalam banyak situasi. 
2) Strategi coping Penelitian mengindikasikan bahwa remaja yang resilien memiliki kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dan menggunakan problem focused coping atau fokus terhadap permasalahn sebagai strategi mengatasi masalahnya. 
3) Locus of Control Locus of control yang membuat individu menjadi resilien adalah yang cenderung ke dalam diri yaitu internal locus of control, dimana dengan begitu individu memiliki keyakinan dan rasa percaya, cenderung memiliki tujuan, harapan, rencana pada masa depan dan ambisi bahwa dirinya memiliki kemampuan. 
 4) Konsep Diri Beberapa penelitian juga menemukan bahwa konsep diri yang positif dan harga diri yang baik membuat individu menjadi resilien.
 b. Faktor Keluarga 
Beberapa penelitian serupa menjelaskan bahwa individu yang menerima secara langsung arahan dan dukungan dari orang tua dalam keadaan yang buruk akan lebih merasa termotivasi, optimis dan yakin bahwa individu tersebut mampu untuk menjadi sukses 
c. Faktor Komunitas atau Eksternal
 Pada situasi yang buruk, individu yang resilien lebih sering mencari dan menerima dukungan juga kepedulian dari orang dewasa selain orang tua, seperti guru, pelatih, konselor sekolah, kepala sekolah dan tetangga. Begitupula dengan memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, juga lingkungan yang baik. 
d. Faktor Resiko 
Herman, dkk (2011) menyebutkan beberapa faktor yang ada dalam faktor resiko sebagai stressor atau tekanan. Faktor tersebut berupa keadaan kekurangan, kehilangan, peristiwa negatif dalam hidup, perperangan, bencana alam dan sebagainya. Penelitian yang sama juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi resilensi selain faktor yang telah disebut diatas, yaitu regulasi emosi, emosi positif, spiritualitas, harapan, optimisme, kemampuan beradaptasi, faktor demografis (usia, gender, jenis kelamin, ras dan etnik) ataupun faktor lain yang mampu meningkatkan resiliensi seperti tahapan kehidupam yang telah dilalui sebagai fase perkembangan hidup. Dengan demikian, secara garis besar terdapat tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor individu, keluarga dan eksternal (kominutas). Penelitian ini memiliki variabel bebas yaitu kebersyukuran yang temasuk dalam faktor individual atau faktor yang berasal dari dalam diri individu yang disampaikan oleh Herman, dkk (2011), yaitu spritualitas, karena perilaku bersyukur terkait dengan hubungan manusia dan keyakinannya terhadap Allah SWT, begitu pula dengan spritualitas yang menjelaskan mengenai perihal keyakinan secara lebih luas. Dari teori teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi dapat ditimbulkan melaui tiga faktor yaitu faktor individu, keluarga dan komunitas. Salah satu faktor utama yang berasal dari dalam individu adalah rasa kebersyukuran

Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)

 Aspek-aspek resiliensi menurut Connor dan Davidson (2003) terdiri dari lima aspek, berikut adalah aspek-aspek tersebut :
 a. Personal competence, high standards, and tenacity Merupakan faktor yang mendukung seorang untuk terus maju terhadap tujuan saat orang tersebut mengalami tekanan atau adversity.
 b. Trust in one’s instincts, tolerance of negative affect, and strengthening effects of stress Aspek ini berfokus pada ketenangan, keputusan dan ketepatan saat menghadapi stres. 
c. Positive acceptance of change, and secure relationships. Hal ini berkaitan dengan adaptasi yang dimiliki seseorang. 
d. Control Aspek ini berfokus pada kontrol dalam mencapai tujuan dan kemampuan untuk mendapatkan bantuan dari orang lain ataupun dukungan sosial. 
e. Spiritual influences Merupakan kepercayaan seseorang pada Tuhan atau nasib.
Aspek-aspek resiliensi menurut Connor dan Davidson (2003) dan telah dimodifikasi oleh Yu dan Zhang (2007) terdiri dari tiga aspek utama, yaitu: 
a. Tenacity (Kegigihan) Menggambarkan ketenangan hati, ketetapan waktu, ketekunan, dan kemampuan mengontrol diri individu dalam menghadapi situasi yang sulit dan menantang
b. Strength (Kekuatan) Menggambarkan kapasitas individu untuk memperoleh kembali dan menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman di masa lalu.
 c. Optimism (Optimisme) Merefleksikan kecenderungan individu untuk melihat sisi positif dari setiap permasalahan dan percaya terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial. Aspek ini menekankan pada kepercayaan diri individu dalam melawan situasi yang sulit.
 Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri dari tujuh aspek, berikut adalah aspek-aspek tersebut :
 a. Regulasi emosi 
Kemampuan untuk mengelola sisi internal diri agar tetap efektif dibawah tekanan individu yang resilien mengembangkan keterampilan dirinya untuk membantunya mengandalikan emosi, perhatian, maupun perilakunya dengan baik. 
b. Pengendalian dorongan 
Kemampuan untuk mengelola bentuk perilaku dari impuls emosional pikiran, termasuk kemapuan untuk menunda mendapatkan hal yang dapat memuaskan bagi individu. Kemampuan mengendalikan dorongan juga terkait dengan regulasi emosi. 
c. Analisis kausa
l Kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab dari masalah secara akurat. Individu yang resilien memiliki gaya berfikir yang terbiasa untuk mengidentifikasi penyebab yang memungkinkan dan mendapatkan sesuatu yang berpotensi menjadi solusi.
 d. Efikasi diri 
Efikasi diri merupakan keyakinan individu dapat memecahkan masalah dan berhasil individu tersebut yakin bahwa dirinya telah efektif dalam hidupnya. Individu yang resilien yakin dan percaya diri sehingga dapat membangun kepercayaan dengan orang lain, juga menempatkan dirinya untuk berada di tempat yang lebih baik dan lebih banyak memiliki kesempatan. 
e. Realistis dan optimis 
Kemampuan yang dimiliki individu untuk tetap positif tentang masa depan yang belum menjadi terealisasi dalam perencanaan. Hal tersebut terkait dengan self esteem, tetapi juga memiliki hubungan kausalitas dengan efikasi diri juga melibatkan akurasi dan realisme.
 f. Empati 
Kemampuan untuk membaca isyarat perilaku orang lain untuk memahami keadaan psikologis dan emosional mereka, sehingga dapat menbangun hubungan yang lebih baik. Individu yang resilien mampu membaca isyarat-isyarat non verbal orang lain untuk membangun hubungan yang lebih dalam dan cenderung untuk menyesuaikan keadaan emosi mereka. 
g. Keterjangkauan
 Kemampuan untuk meningkatkan aspek positif dari kehidupan dan mengambil suatu kesempatan yang baru sebagai tantangan. Mejangkau sesuatu yang terhambat oleh rasa malu, perfeksionis, dan self handicapping. Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek resiliensi diatas, penelitian ini sesuai dengan teori Connor dan Davidson (2003) yang telah dimodifikasi oleh Yu dan Zhang (2007) melihat dari kondisi atau kriteria subjek yang digunakan yaitu pasien penderita penyakit kronis, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan tiga aspek utama resiliensi yang terdiri dari tenacity, strength, dan optimism.