Partisipasi sering kali
diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sukarela tanpa adanya tekanan
dari siapapun.
Partisipasi berarti ”mengambil bagian”, atau menurut Hoofsteede dalam
buku yang ditulis oleh Khairuddin adalah, ”The taking part in one or more
phases of the process”, partisipasi berarti ambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses (Khairuddin, 1992: 124). Jnanabrota Bhattacharyya
dalam tulisan yang dikutip oleh Taliziduhu Ndraha mengartikan partisipasi
sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Sedangkan Mubyarto
mendefinisikannya sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap
program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan
kepentingan diri sendiri (Taliziduhu Ndraha, 1987: 102).
Menurut Mikkelsen (Soetomo, 2006: 438) misalnya menginventarisasi
adanya enam tafsiran dan makna yang berbeda tentang partisipasi yaitu.
a. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa
ikut serta dalam pengambilan keputusan.
b. Partisipasi “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi
proyek-proyek pembangunan.
c. Partisipasi suatu proses yang aktif, mengandung arti bahwa orang atau
kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan
kebebasannya untuk melakukan hal itu.
d. Partisipasi pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan staf
yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek agar supaya
memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak
sosial.
e. Partisipasi keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukannya sendiri.
f. Partisipasi keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan
dan lingkungan mereka
Partisipasi merupakan salah satu cara untuk mempunyai ciri khas yang
lain daripada yang lain. Hal ini disebabkan partisipasi lebih ditekankan pada
segi psikologis daripada segi materi, artinya dengan jalan melibatkan
seseorang di dalamnya, maka orang tersebut akan ikut bertanggung jawab. Ini
berarti bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orangorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan
33
kontribusi kepada tujuan kelompok atau berbagai tanggung jawab pencapaian
tujuan tersebut.
Keith Davis & John W. Newstrom (1995: 179-181) memaparkan
partisipasi memiliki tiga gagasan penting sebagai berikut.
a. Keterlibatan mental dan emosional/inisiatif
Pertama dan yang paling utama, partisipasi berarti keterlibatan
mental dan emosional daripada hanya berupa aktivitas fisik. Diri orang itu
sendiri yang terlibat, bukan hanya keterampilannya. Keterlibatan ini
bersifat psikologis daripada fisik. Seseorang berpartisipasi berarti terlibat
egonya daripada hanya terlibat tugas.
b. Motivasi kontribusi
Gagasan kedua yang penting dalam partisipasi adalah memotivasi
orang-orang yang memberikan kontribusi. Mereka diberi kesempatan
untuk menyalurkan sumber inisiatif dan kreativitasnya untuk mencapai
tujuan organisasi. Dengan demikian, partisipasi berbeda dari
“kesepakatan”. Partisipasi lebih dari sekadar upaya untuk memperoleh
kesepakatan atas sesuatu yang telah diputuskan.
c. Tanggung jawab
Gagasan ketiga adalah partisipasi mendorong orang-orang untuk
menerima tanggung jawab dalam aktivitas kelompok. Ini juga merupakan
proses sosial yang melaluinya orang-orang menjadi terlibat sendiri dalam
organisasi dan mau mewujudkan keberhasilannya. Pada saat orang-orang
mau menerima tanggung jawab aktivitas kelompok, mereka melihat
34
adanya peluang untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan, yaitu
merasa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaannya. Gagasan tentang
upaya menimbulkan kerja tim dalam kelompok ini merupakan langkah
utama mengembangkan kelompok untuk menjadi unit kerja yang berhasil.
Menurut (Khairuddin, 1992: 126) ditinjau dari segi motivasinya,
partisipasi anggota masyarakat terjadi karena.
1) Takut/terpaksa
Partisipasi yang dilakukan dengan terpaksa atau takut biasanya
akibat adanya perintah yang kaku dari atasan, sehingga masyarakat
seakan-akan terpaksa untuk melaksanakan rencana yang telah
ditentukan.
2) Ikut-ikutan
Sedangkan berpartisipasi dengan ikut-ikutan, hanya didorong oleh
rasa solidaritas yang tinggi diantara sesama anggota masyarakat Desa.
Apalagi jika yang memulai adalah pimpinan mereka, sehingga
keikutsertaan mereka bukan karena dorongan hati sendiri, tetapi
merupakan perwujudan kebersamaan saja, yang sudah merupakan
kondisi sosial budaya masyarakat Desa (misalnya: gotong royong).
3) Kesadaran
Motivasi partisipasi yang ketiga adalah kesadaran, yaitu
partisipasi yang timbul karena kehendak dari pribadi anggota
masyarakat. Hal ini dilandasi oleh dorongan yang timbul dari hati
nurani sendiri
Minggu, 31 Mei 2020
Pengertian Penyintas Lahar Dingin (skripsi dan tesis)
Penyintas diartikan sebagai individu yang selamat, yang berarti
tidak meninggal, dan dapat bertahan dalam situasi bencana. Individuindividu tersebut adalah penyintas, bukan hanya korban. Penyintas bisa
laki-laki ataupun perempuan, baru menikah, orang hamil, usia bayi,
anak, remaja, pemuda, orang dewasa, tengah baya, pasangan bersangkar
kosong, masa matang, ataupun usia lanjut (Wiryasaputra T. S. 2006.).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1072), penyintas
berasal dari kata dasar dari sintas yang mempunyai makna terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Kemudian
dalam pemakaiannya diberikan awalan pe-, sehingga menjadi
penyintas, tanpa mengurangi makna dari arti sintas tersebut.
Lahar dingin merupakan lahar yang berasal dari bahan letusan
yang sudah mengendap, kemudian mengalir deras menuruni lereng
gunung (Fetriyan. 2010).
Berdasarkan pengertian penyintas dan pengertian lahar dingin di
atas, sehingga dapat disimpulkan pengertian penyintas lahar dingin
adalah semua manusia yang selamat dan dapat bertahan hidup serta
bangkit dari bencana aliran deras material letusan Gunung berapi.
Manfaat Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)
Dukungan sosial dapat mengurangi efek-efek penekanan terhadap
kesehatan seperti depresi dan keluhan-keluhan fisik. Hal ini berarti
bahwa dukungan sosial yang diperoleh individu dapat meningkatan
kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental individu.
Menurut Chaplin J.P. (Pearson, 1990: 68) dukungan sosial
memberikan beberapa keuntungan/manfaat yaitu dengan cara.
1) Membantu individu mengembangkan atau menyarankan sumbersumber psikologis yang dimilikinya dalam menghadapi tekanan.
Dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi
kejadian dan efek dari keadaan kecemasan.
2) Menyediakan bantuan dalam menghadapi tuntutan terhadap keadaan
mereka.
3) Menjadi sumber-sumber material seperti: uang, kebutuhan material
dan kebutuhan yang tersedia.
4) Memberikan panduan cognition (bimbingan) dan saran.
Menurut (Zainudin Sri Kuntjoro. 2002) berpendapat bahwa
dukungan sosial selalu mencakup dua hal, meliputi.
1) Jumlah dukungan sosial yang tersedia, merupakan persepsi individu
terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu
membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas). 2) Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima berkaitan
dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi
(pendekatan berdasarkan kualitas).
Hal di atas penting dipahami oleh partisipan yang akan
memberikan dukungan sosial, karena menyangkut tentang persepsi
tentang keberadaan dan ketepatan dukungan sosial bagi seseorang.
Dukungan sosial bukan sekedar memberikan bantuan, tetapi yang
penting adalah bagaimana persepsi si penerima terhadap makna dari
bantuan itu. Hal itu erat kaitannya dengan ketepatan dukungan sosial
yang diberikan, dalam arti bahwa orang yang menerima sangat
merasakan manfaat bantuan yang diberikan padanya karena sesuatu
yang aktual dan memberikan kepuasan
Aspek-Aspek Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)
Menurut Sarason I. G. (1983: 128) ada dua aspek yang terlibat
dalam dukungan sosial ini, meliputi.
1) Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup dapat diandalkan
individu saat membutuhkan. Aspek ini terkait dengan kuantitas
dukungan yang diterima individu.
2) Derajat kepuasan terhadap dukungan yang didapatkan. Derajat
kepuasan berhubungan dengan kualitas dukungan yang dirasakan
oleh individu
Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)
Menurut Smet Bart (1994: 22) dukungan sosial dibedakan ke
dalam empat bentuk, antara lain berikut ini.
1) Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan.
26
2) Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan penghargaan
positif untuk orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu.
3) Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, seperti
memberikan bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.
4) Dukungan informatif mencakup pemberian nasehat, petunjukpetunjuk, saran ataupun umpan balik.
Menurut Sarafino E.P. (1998: 98) menyampaikan lima bentuk
dukungan sosial, meliputi.
1) Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional
merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan
perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan
seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana
pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa
nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi
berbagai tekanan dalam hidup mereka.
2) Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan penghargaan yang
positif untuk individu, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu
dengan individu lain, seperti misalnya perbandingan dengan orangorang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. Hal seperti
ini dapat menambah penghargaan diri. Melalui interaksi dengan orang lain, individu akan dapat mengevaluasi dan mempertegas
keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan,
dan perilaku orang lain. Jenis dukungan ini membantu individu
merasa dirinya berharga, mampu, dan dihargai.
3) Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung, dapat berupa
jasa, waktu, atau uang. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau
pemberian pekerjaan saat individu mengalami stres karena
kehilangan pekerjaan. Dukungan ini membantu individu dalam
melaksanakan aktivitasnya.
4) Dukungan informatif, mencakup pemberian nasihat, petunjukpetunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini
membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas
wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi.
Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan
memecahkan masalah secara praktis. Dukungan informatif ini juga
membantu individu mengambil keputusan karena mencakup
mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk.
5) Dukungan jaringan sosial, mencakup perasaan keanggotaan dalam
kelompok. Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan
keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan
aktivitas sosial.
Berdasarkan bentuk-bentuk dukungan sosial yang
telah disampaikan oleh beberapa ahli di atas, maka yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk dukungan sosial menurut Sarafino E.P. (1998: 98). Bentuk dukungan tersebut
mencakup semua bentuk dukungan sosial dari tokoh-tokoh yang lain,
yaitu; dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental, dukungan informatif, dukungan jaringan sosial.
Jenis dukungan yang diterima dan diperlukan oleh individu
tergantung pada keadaan yang penuh tekanan. Misalnya, dukungan
instrumental akan lebih efektif apabila individu berada dalam keadaan
yang penuh kesukaran seperti kemiskinan. Dukungan informatif akan
bermanfaat apabila individu berada dalam kondisi kekurangan
pengetahuan dan keterampilan, dan dalam kondisi yang tidak jelas
mengenai suatu persoalan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk
dukungan akan lebih efektif tergantung pada suatu kondisi tertentu.
Sumber-Sumber Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)
Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh individu dari
lingkungan sekitar. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber
dukungan sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber
dukungan sosial merupakan aspek paling penting untuk diketahui dan
dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seseorang
akan tahu kepada siapa ia akan mendapatkan dukungan sosial sesuai
dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan
sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak.
Sumber dukungan sosial dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
1) Sumber artifisial, yaitu dukungan sosial yang dirancang ke dalam
kebutuhan primer seseorang. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan
sosial.
2) Sumber natural, yaitu dukungan sosial yang natural diterima
seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara
spontan dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Misalnya
anggota keluarga, teman dekat, atau guru (Zainuddin Sri Kuntjoro.
2008.).
Dalam penelitian ini sumber dukungan sosial yang di gunakan
adalah sumber artifisial dan natural. Mengingat penelitan ini merupakan
penelitian mengenai bencana alam. Dalam proses resiliensinya
masyarakat membutuhkan dukungan artifisial berupa kebutuhan primer
dan tentu saja membutuhkan dukungan untuk menumbuhkan resiliensi
para penyintas lahar dingin Merapi berupa dukungan natural dari orangorang yang berpengaruh kepada penyintas. Orang-orang berpengaruh
disini dapat melalui orang-orang terdekat dalam keluarga dan orangorang di luar keluarga.
Pengertian Dukungan Sosial (skripsi dan tesis)
Sarason (Smet, 1994: 128) yang menyatakan bahwa dukungan
sosial adalah adanya transaksi interpersonal yang ditunjukkan dengan
memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umumnya
diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan.
Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah
laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang
dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.
Rook (Smet Bart, 1994 :130) mendefinisikan dukungan sosial
sebagai salah satu fungsi pertalian sosial yang menggambarkan tingkat
dan kualitas umum dari hubungan interpersonal yang akan melindungi
individu dari konsekuensi stres. Dukungan sosial yang diterima dapat
membuat individu merasa tenang, diperhatikan, timbul rasa percaya diri
dan kompeten. Tersedianya dukungan sosial akan membuat individu
merasa dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari kelompok.
Dalam hal ini orang-orang yang merasa memperoleh dukungan
sosial secara emosional merasa lega karena diperhatikan, mendapat
saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.
Dukungan sosial merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerangkan
bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan
mental atau kesehatan fisik individu (Smet Bart, 1999: 134). Dukungan
sosial sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial. Ikatanikatan sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan
interpersonal.
Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat
orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau
peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan
tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat
harga diri. Kondisi atau keadaan Psikologis ini dapat mempengaruhi
respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap
kesejahteraan individu secara umum. Dukungan sosial (social suppourt)
sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata
atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan
subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan
hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau
berpengaruh pada tingkah laku penerimanya (Zainuddin Sri Kuntjoro,
2008).
Beberapa pengertian tersebut menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang ada di lingkungan dapat menjadi dukungan sosial atau
tidak, tergantung pada sejauh mana individu merasakan hal itu sebagai
dukungan sosial. Setiap informasi apapun dari lingkungan sosial yang menimbulkan persepsi individu, bahwa individu menerima efek positif,
penegasan, atau bantuan menandakan suatu ungkapan dari adanya
dukungan sosial. Adanya perasaan didukung oleh lingkungan membuat
segala sesuatu menjadi lebih mudah terutama pada waktu menghadapi
peristiwa yang menekan. Orientasi subyektif yang memperlihatkan
bahwa dukungan sosial terdiri atas informasi yang menuntun orang
meyakini bahwa ia diurus dan disayangi.
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dukungan sosial
dapat disimpulkan sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau
bantuan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi (skripsi dan tesis)
Everall Robin, (2006: 461-470) memaparkan tiga faktor yang
mempengaruhi resiliensi, antara lain sebagi berikut.
1) Faktor Individual
Faktor individual meliputi kemampuan kognitif individu,
konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki
individu. Keterampilan kognitif berpengaruh penting pada
resiliensi individu. Intelegensi minimal rata-rata dibutuhkan bagi
pertumbuhan resiliensi pada diri individu karena resiliensi sangat
terkait erat dengan kemampuan untuk memahami dan
menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat, kemampuan
membaca, dan komunikasi non verbal. Resiliensi juga dihubungkan dengan kemampuan untuk melepaskan pikiran dari
trauma dengan menggunakan fantasi dan harapan-harapan yang
ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan.
Delgado (LaFramboise Teresa D, 2006: 195-196)
menambahkan dua hal terkait dengan faktor individual, meliputi.
a) Gender
Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi individu.
Resiko kerentanan terhadap tekanan emosional, perlindungan
terhadap situasi yang mengandung resiko, dan respon terhadap
kesulitan yang dihadapi dipengaruhi oleh gender.
b) Keterikatan dengan Kebudayaan
Keterikatan dengan budaya meliputi keterlibatan
seseorang dalam aktivitas-aktivitas terkait dengan budaya
setempat berikut ketaatan terhadap nilai-nilai yang diyakini
dalam kebudayaan tersebut. Resiliensi dipengaruhi secara kuat
oleh kebudayaan, baik sikap-sikap yang diyakini dalam suatu
budaya, nilai-nilai, dan standar kebaikan dalam suatu
masyarakat.
2) Faktor Keluarga
Faktor keluarga meliputi dukungan yang bersumber dari
orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk memperlakukan
dan melayani anak. Selain dukungan dari orang tua struktur
keluarga juga berperan penting bagi individu. 3) Faktor Komunitas
Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan keterbatasan
kesempatan kerja. Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh
kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan. Pada umumnya di negara Indonesia penyebab-penyebab
kemiskinan diantaranya laju pertumbuhan penduduk, angkatan
kerja, distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan, tingkat
pendidikan yang rendah, kurangnya perhatian dari pemerintah.
Keterbatasan kesempatan kerja merupakan suatu keadaan
dimana kurangnya peluang setiap penduduk di suatu negara untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak. Keadaan tersebut dapat
diakibatkan karena kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh
setiap individu terhadap suatu jenis pekerjaan tertentu. Faktor
pendidikan juga mempengaruhi setiap individu untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak. Keterbatasan kesempatan kerja juga memicu
munculnya pengangguran sebagai masalah sosial. Kemiskinan dan
keterbatasan kesempatan kerja merupakan kategori masalah sosial
ekonomi yang bersifat komunitas.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan resiliensi dipengaruhi
oleh faktor-faktor dari dalam individu (internal) dan faktor-faktor dari luar individu (exsternal). Faktor internal meliputi, kemampuan
kognitif, gender, serta keterikatan individu dengan budaya. Faktor
exsternal mencakup faktor dari keluarga dan komunitas
Aspek-Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)
Reivich K. & Shatte A. (2002: 36-46) memaparkan tujuh aspek
dari resiliensi, aspek-aspek tersebut adalah regulasi emosi (emotional
regulation), kontrol impuls (impulse control), optimisme (optimism),
analisis kausal (causal analysis), empati (empathy), efikasi diri (self
efficacy), dan pencapaian (reaching out). Adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut.
1) Regulasi emosi (emotional regulation)
Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan untuk tetap
tenang dalam kondisi yang penuh tekanan. Individu yang resilien
menggunakan serangkaian keterampilan yang telah dikembangkan
untuk membantu mengontrol emosi, atensi dan perilakunya.
Kemampuan regulasi penting untuk menjalin hubungan
interpersonal, kesuksesan bekerja dan mempertahankan kesehatan
fisik. Tidak setiap emosi harus diperbaiki atau dikontrol, ekspresi
emosi secara tepatlah yang menjadi bagian dari resiliensi.
2) Kontrol impuls (impulse control)
Kontrol impuls berkaitan erat dengan regulasi emosi.
Individu dengan kontrol impuls yang kuat, cenderung memiliki
regulasi emosi yang tinggi, sedangkan individu dengan kontrol
emosi yang rendah cenderung menerima keyakinan secara
impulsive, yaitu suatu situasi sebagai kebenaran dan bertindak atas
16
dasar hal tersebut. Kondisi ini seringkali menimbulkan
konsekuensi negatif yang dapat menghambat resiliensi.
3) Optimisme (optimism)
Individu yang resilien adalah individu yang optimis.
Mereka yakin bahwa berbagai hal dapat berubah menjadi lebih
baik. Mereka memiliki harapan terhadap masa depan dan percaya
bahwa mereka dapat mengontrol arah kehidupannya dibandingkan
orang yang pesimis, individu yang optimis lebih sehat secara fisik,
lebih produktif dalam bekerja dan lebih berprestasi dalam olah
raga. Hal ini merupakan fakta yang ditujukkan oleh ratusan studi
yang terkontrol dengan baik.
4) Kemampuan menganalisis masalah (causal analysis)
Kemampuan menganalisis masalah merupakan istilah yang
digunakan untuk merujuk pada kemampuan pada diri individu
secara akurat mengidentifikasi penyebab-penyebab dari
permasalahan mereka. Jika seseorang tidak mampu memperkirakan
penyebab dari permasalahannya secara akurat, maka individu
tersebut akan membuat kesalahan yang sama.
5) Empati (empathy)
Empati menggambarkan sebaik apa seseorang dapat
membaca petunjuk dari orang lain berkaitan dengan kondisi
emosional orang tersebut. Beberapa individu dapat
menginterpretasikan perilaku non verbal orang lain, seperti
17
ekspresi wajah, nada suara, bahasa tubuh dan menentukan apa
yang dipikirkan serta dirisaukan orang tersebut. Ketidakmampuan
dalam hal ini akan berdampak pada kesuksesan dalam bisnis dan
menunjukan perilaku non resilien.
6) Efikasi Diri (self efficacy)
Efikasi diri menggambarkan keyakinan seseorang bahwa ia
dapat memecahkan masalah yang dialaminya dalam keyakinan
seseorang terhadap kemampuannya untuk mencapai kesuksesan.
Dalam lingkungan kerja, seseorang yang memiliki keyakinan
terhadap dirinya untuk memecahkan masalah, maka dia muncul
sebagai pemimpin.
7) Pencapaian (reaching out)
Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk
mencapai keberhasilan. Dalam hal ini terkait dengan keberanian
seseorang untuk mencoba mengatasi masalah, karena masalah
dianggap sebagai suatu tantangan bukan suatu ancaman.
Bogar Christine B. (2006: 321-322) dalam penelitiannya
mengidentifikasikan lima determinan dari resiliensi yang harus
dimiliki oleh setiap individu supaya bisa menjadi resilien, antara lain
sebagai berikut.
1) Keterampilan Interpersonal
Keterampilan interpersonal merupakan keterampilan yang
dipelajari ataupun bawaan pada diri seseorang yang dapat memfasilitasi kemampuannya dalam berinteraksi secara positif dan
efektif dengan orang lain. Keterampilan ini meliputi kemampuan
verbal, kedekatan secara emosional, kemandirian berpikir, serta
optimisme dalam hubungan dengan orang lain dan kehidupan.
2) Kompetensi
Kompetensi diartikan sebagai bakat dan keterampilan yang
dimiliki oleh seseorang dan memberikan kontribusi terhadap
kemampuannya untuk memiliki resiliensi pada masa dewasa.
Termasuk dalam kompetensi ini adalah prestasi yang menonjol,
kesuksesan dalam bidang akademis di sekolah.
3) Self-regard yang tinggi
Penerimaan diri yang positif yaitu kemampuan seseorang
untuk mengubah pikiran yang negatif menjadi pikiran yang positif
terhadap diri mereka. Hal ini mampu menumbuhkan pikiran pada
individu bahwa mereka dapat memegang kendali atas
kehidupannya.
4) Spiritualitas
Spiritualitas dan religiusitas, keduanya adalah komponen
yang penting bagi resiliensi seseorang. Kepercayaan ini dapat
menjadi sandaran bagi individu dalam mengatasi berbagai
permasalahan saat peristiwa buruk menimpa. 5) Situasi kehidupan yang bermanfaat
Meskipun tidak semua peristiwa kehidupan bersifat positif,
namun bagi indvidu baik peristiwa- peristiwa yang negatif ataupun
positif mampu menantang individu untuk menjadi lebih kuat dan
memiliki empati terhadap kehidupan orang lain.
Penelitian ini akan merujuk pada tujuh aspek resiliensi dari
Reivich K. & Shatte A. (2002: 36-46), yaitu : regulasi emosi
(emotional regulation), kontrol impuls (impulse control),
optimisme (optimism), analisis kausal (causal analysis), empati
(empathy), efikasi diri (self efficacy), dan pencapaian (reaching
out).
Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)
Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa
Inggris resilience yang berarti daya lenting atau kemampuan untuk
kembali dalam bentuk semula. Resiliensi merupakan kemampuan
seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi
yang sulit (Reivich K. & Shatte A., 2002: 1). Individu yang memiliki
resiliensi mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum
trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan
yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan
kesengsaraan (Holaday Morgot, 1997: 348).
Tidak jauh berbeda dengan definisi yang disampaikan di atas
Newcomb (LaFramboise Teresa. D. 2006: 194) melihat resiliensi
sebagai suatu mekanisme perlindungan yang memodifikasi respon
individu terhadap situasi-situasi yang beresiko pada titik-titik kritis
sepanjang kehidupan seseorang. Tingkat kekenyalan yang membuat
seseorang mampu untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan
kondisi yang demikian dinamakan resiliensi (Sales Pau Perez. 2005:
369). Resiliensi secara umum didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi atau beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan
kesengsaraan Garmezy, Luther&Zigler, (Holaday Morgot. 1997: 348).
Menurut Block (Papalia D. E. 2001:525) resiliensi
dikonseptualisasikan sebagai salah satu tipe kepribadian dengan ciriciri, kemampuan penyesuaian yang baik, percaya diri, mandiri, pandai
berbicara, penuh perhatian, suka membantu dan berpusat pada tugas.
Menurut Garmezy (Damon William, 1998: 499) menyampaikan
konsep yang berbeda, resiliensi bukan dilihat sebagai sifat yang
menetap pada diri individu, namun sebagai hasil transaksi yang
dinamis antara kekuatan dari luar dengan kekuatan dari dalam
individu. Hal ini senada dengan Masten (LaFramboise Teresa D.
2006: 194) yang mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan sebuah
proses dan bukan atribut bawaan yang tetap.
Resiliensi lebih akurat jika dilihat sebagai bagian dari
perkembangan kesehatan mental dalam diri seseorang yang dapat
dipertinggi dalam siklus kehidupan seseorang. Berdasarkan uraian di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan
seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi
yang sulit sehingga individu dapat terlindungi dari efek negatif resiko
dan kemalangan
Pengertian Wirausahawan (skripsi dan tesis)
Robert D. Hisrich () dapat mendefinisikan melalui tiga pendekatan;
1) pendekatan ekonomi, entrepreneur adalah orang yang membawa
sumber-sumber daya tenaga, material, dan aset-aset lain ke dalam
kombinasi yang membuat nilainya lebih tinggi dibandingkan sebelumnya,
dan juga seseorang yang memperkenalkan perubahan, inovasi/pembaruan,
dan suatu order/tatanan atau tata dunia baru;
2) pendekatan psikologi, entrepreneur adalah betul-betul seorang yang
digerakkan secara khas oleh kekuatan tertentu kegiatan untuk
menghasilkan atau mencapai sesuatu, pada persoalan, percobaan, pada
penyempurnaan, atau mungkin pada wewenang mencari jalan keluar yang
lain;
3) Pendekatan seorang pebisnis, entrepreneur adalah seorang pebisnis
yang muncul sebagai ancaman, pesaing yang agresif, sebaliknya pada
pebisnis lain sesama entrepreneural mungkin sebagai sekutu/mitra, sebuah
sumber penawaran, seorang pelanggan, atau seorang yang menciptakan
kekayaan bagi orang lain, juga menemukan jalan lebih baik untuk
memanfaatkan sumber-sumber daya, mengurangi pemborosan, dan
d menghasilkan lapangan pekerjaan baru bagi orang lain yang dengan
senang hati untuk menjalankannya (Saiman, 2009).
Kata wirausaha dalam bahasa Indonesia merupakan gabungan dari
kata “wira” yang artinya gagah berani, perkasa dan kata “usaha”, sehingga
secara harfiah wirausahawan diartikan sebagai orang yang gagah berani
atau perkasa dalam berusaha (Riyanti, 2003). Wirausaha atau wiraswasta
menurut Priyono dan Soerata (2005) berasal dari kata “wira” yang berarti
utama, gagah, luhur berani atau pejuang; “swa” berarti sendiri; dan kata
”sta” berarti berdiri. Dari asal katanya “swasta” berarti berdiri di atas kaki
sendiri atau berdiri di atas kemampuan sendiri. Kemudian mereka
menyimpulkan bahwa wirausahawan atau wiraswastawan berarti orang
yang berjuang dengan gagah berani, juga luhur dan pantas diteladani
dalam bidang usaha, atau dengan kata lain wirausahawan adalah orangorang yang mempunyai sifat-sifat kewirausahaan atau kewiraswastaan
seperti: keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam
menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri.
Sehingga wirausahawan kuliner adalah orang yang memiliki
keberanian mengambil resiko, keutamaan dan keteladanan dalam
menangani usaha dengan berpijak pada kemauan dan kemampuan sendiri
dalam bidang kuliner.
Ciri-ciri Individu yang Memiliki Resiliensi (skripsi dan tesis)
Ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi menurut Sarafino
(1994), yaitu (a) memiliki temperamen yang lebih tenang, sehingga dapat
menciptakan hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan lingkungan;
(b) memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari tekanan dan berusaha
untuk mengatasinya. Sedangkan menurut Grotberg (1994), mengatakan
bahwa individu yang memiliki resiliensi (a) mempunyai kemampuan untuk
mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati; (b) memiliki
kemampuan untuk dapat bangkit dari permasalahan dan berusaha untuk
mengatasinya; (c) mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan
pemikiran serta inisiatif sendiri dan memiliki empati dan sikap kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Reivich (2002), menambahkan bahwa
individu yang memiliki resiliensi (a) mampu mengatasi stress; (b) bersikap
realistik serta optimistik dalam mengatasi masalah; (c) mampu
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan nyaman. Maka
dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang memiliki resiliensi dapat
mengendalikan perasaan dan mampu mengekspresikan secara nyaman. Dengan demikian, individu mampu mengambil keputusan yang realistik
dan tetap bersikap optimis. Individu juga tetap memiliki sikap kepedulian
terhadap sesama
Sumber Resiliensi (skripsi dan tesis)
Menurut Grotberg (1994) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu
sebagai berikut:
1. I Have ( sumber dukungan eksternal )
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu.
Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan
sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar
keluarga. Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang
penuh kepercayaan. Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan teman-teman yang mencintai dan menerima diri
anak tersebut. (Grotberg : 1994)
2. I Am ( kemampuan individu )
I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan
tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam
dirinya. Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai
karakteristik yang menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai
dengan usaha mereka untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain.
Mereka juga sensitif terhadap perasaan orang lain dan mengerti yang
diharapkan orang lain terhadap dirinya. Mereka juga merasa bahwa
mereka memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap
sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli mereka
terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan
berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Individu yang
resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka. (Grotberg : 1994)
3. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya
dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga
memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah
dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan
mereka dengan baik. Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
dorongan dalam hati juga dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka
mampu menyadari perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam katakata dan perilaku yang tidak mengancam perasaan dan hak orang lain.
Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk memukul, melarikan
diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada hal-hal yang
tidak baik. (Grotberg : 1994)
Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)
Wolin dan wolin (1994) mengemukakan tujuh aspek utama yang
dimiliki oleh individu agar mencapai resilience yaitu:
a) Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri
dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat
memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam
berbagai situasi. Insight adalah kemampuan yang paling mempengaruhi
resiliensi. (Wolin dan wolin :1994)
b) Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara
emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang.
Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara
jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. (Wolin dan wolin :
1994)
c) Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang
jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki
role model yang sehat. (Wolin dan wolin : 1994)d) Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab
atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien
bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan
masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat
diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang
tidak dapat diubah. (Wolin dan wolin : 1994)
e) Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,
konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu
yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu
mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat
keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang
digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat
seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.
(Wolin dan wolin : 1994)
f) Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari
kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan
dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya
untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih
ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan. (Wolin
dan wolin :1994) Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan
untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat
mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa
takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan
diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. (Wolin dan wolin
:1994)
Sedangkan menurut Allen (2005), Aspek-aspek dari resiliensi
adalah dapat mengenali diri sendiri dan orang lain , memiliki self esteem
yang tinggi, memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman,
kesabaran yang tinggi dalam situasi yang sulit, Open Mindedness,
memiliki keberanian, menjadi pribadi yang disiplin, kreatif, jujur, humoris,
memberikan arti pada hidup, dan memiliki harapan
Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)
Menurut Masten dan Reed (2002) resiliensi didefinisikan sebagai
kumpulan fenomena yang dikarakteristikkan oleh pola adaptasi positif
pada kontek keterpurukan.
Menurut Jonh G Allen (2005) dalam bukunya Coping With
Trauma, bahwasannya;
“Reciliency is the capacity to cope with adversity”. Atau
kemampuan seseorang dalam menghadapi atau menanggulangi
kesengasaraan atau situsi sulit.
Menurut Best Masten & Garmezy (1990) dalam Margareth E.
Blausten & Kristine M. Kinniburg (2010) dalam bukunya Treathing
Traumatic Stress in childern and adolecent, menyebutkan bahwasannya
resiliensi adalah ;
“The process of, the capacity for, or outcome of successful
adaptation despite challenging or threatening circumstances” atau
proses dari kemampuan beradaptasi dari tantangan atau kenyataan
yang mengancam.
Dalam buku Character & Resilience Manifesto karangan Chris
Paterson, Claire Tyler, dan Jen Lexmond (2014) mengutarakan bahwa
resiliensi adalah;
“These are the attributes that enable individuals to make the most
of opportunities that present themselves, to stick with things when
the going gets tough, to bounce back from adversity and to forge
and maintain meaningful relationship”, atau term dari individu
yang memungkinkan untuk membuat keadaan yang lebih
1 menguntungkan atau layak dari sesuatu yang menusuk dan keras,
untuk melambungkan kembali dari kesengsaraan dan memberikan
arti dalam sebuah hubungan”
Dalam Buku The Road to Resilience (International Federation of
Red Cross and Red Crescent Societes : 2012) Resiliensi adalah ;
“Ability of systems to respond and adapt effectively to changing
circumstance . Yakni kemampuan untuk merespon dan beradaptasi
secara efektif untuk merubah keadaan.”
Menurut Ann S. Mastern and Abigail H. Gerwirtz dalam buku
Blackwell handbook of early Childhood Development (2006), milik
Kathleen McCartney dan Deborah Philips, yang tercantum dalam
glosarium bahwasannya resiliensi adalah;
“Positive patterns of adaptation in the context of risk or
adversity”, yakni pola positif untuk beradaptasi dalam konteks
resiko atau kemalangan.
Menurut Cowen and work (1988) dalam buku Bill Gillham and
James A. Thompson yakni Child Safety: problem and prevention from
preschool to adolescence (2005) bahwa ;
“Resiliensi adalah the process (however it operates) by which
children over-come adverse experiences” Yakni proses oleh
individu/anak-anak dalam menanggulangi pengalaman yang
menyakitkan.
Menurut Dulmu & Rapp-Plagici (2004) dalam CognitiveBehavioral Interventions In Educational Settings : 2006. Resiliensi adalah
kapasitas untuk mengembangkan diri walaupun terdapat faktor resiko atau
untuk membuka diri dari kondisi stres.
Resiliensi mewujudkan kualitas pribadi yang memungkinkan satu
untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan. Penelitian selama 20 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa resiliensi adalah karakteristik
multidimensi yang bervariasi dengan konteks, waktu, usia, jenis kelamin,
dan asal budaya, serta dalam individu mengalami situasi kehidupan yang
berbeda. (Connor & Davidson, 2003)
Resiliensi (daya lentur) merupakan sebuah istilah yang relative
baru dalam khasanah psikologi, terutama psikologi perkembangan.
Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul
dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang bagaimana anak,
remaja dan orang dewasa sembuh dari kondisi stress, trauma, dan resiko
dalam kehidupan mereka. (Desmita, 2010)
“Resilience is defined as an individual's or family's abilities to
function well and achieve life's goals despite overbearing stressors
or challenges that might easily impair the person or family.
Embedded in the term is a sense of elasticity and flexibility, such as
the abilities to bounce back from an overwhelming stressor and to
remain flexible in the presence of ongoing pressures.”
Artinya resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan individu atau
keluarga untuk mencapai tujuan hidup yang baik meskipun stress atau
tantangan dapat mengganggu individu maupun keluarga. Tertanam dalam
istilah ini, rasa elastisitas dan fleksibilitas seperti kemampuan untuk
bangkit dan tetap fleksibel dengan adanya tekanan yang berkelanjutan.
(Mullin, Arce, Vol 11 No.4, 2008)
Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resiliensi sebagai
kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan
positif. Reivich dan shatte memandang bahwa resiliensi bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari kesulitan tetapi
resiliensi juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek
kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich dan Shatte
tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya
dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga
pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari.
Resiliensi didefinisikan sebagai kapasitas psikologis seseorang
yang bersifat positif, dengan menghindarkan diri dari ketidakbaikan,
ketidakpastian, konflik, kegagalan, sehingga dapat menciptakan perubahan
positif, kemajuan dan peningkatan tanggung jawab (Luthans, 2002 dalam
Larson dan Luthans, 2006).
Untuk mengatasi stres, depresi, dan kecemasan dibutuhkan sikap
resilien. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk tangguh (resilien)
secara alami, tetapi hal tersebut harus dipelihara dan diasah. Jika tidak
dipelihara, maka kemampuan tersebut akan hilang (Corner, 1995).
Resiliensi merupakan suatu kemampuan untuk mengatasi
kesulitan, rasa frustrasi, ataupun permasalahan yang dialami oleh individu
(Janas, 2002). Perkembangan resiliensi dalam kehidupan akan membuat
individu mampu mengatasi stres, trauma dan masalah lainnya dalam
proses kehidupan (Henderson, 2003)
Dari beberapa definisi dari para ahli tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwasannya resiliensi adalah kemampuan sesorang untuk
beradaptasi terhadap masalah yang sedang dihadapi dengan cara mencari solusi dari masalah tersebut, sehingga ia dapat bangkit dari masalah yang
membuat hidupnya terpuruk atau pada kondisi yang tidak menyenangkan.
Hubungan Kemampuan Resiliensi pada Mahasiswa Perantau dengan Tipe Kepribadian (skripsi dan tesis)
Setiap manusia terlahir dengan kemampuan tertentu dan dalam berbagai
macam bentuk, salah satunya adalah kemampuan yang tidak tampak secara nyata
ketika tidak diperlukan atau tidak rangsang. Kemampuan ini disebut dengan
potensi, potensi ini memiliki berbagai macam fungsi salah satunya adalah sebagai
upaya pertahanan diri dan menjaga kelangsungan hidup seseorang. Resiliensi
merupakan salah satu dari bagian potensi individu yang berfungsi sebagai upaya
untuk mempertahankan diri. Resiliensi merupakan suatu suatu proses dinamis
dimana individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi permasalahan
yang signifikan (Schoon, 2006). Resiliensi akan berkembang menjadi sebuah
kemampuan ketika individu berada dalam keadaan tertekan, misalnya trauma
pasca bencana, drop out dari bangku perkuliahan. Muncul dan berkembangnya
resiliensi juga disebabkan oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal,
salah satunya adalah kepribadian yang dimiliki individu (Mancini & Bonano,
2006).
Kepribadian merupakan penanda atau identitas yang dimiliki oleh setiap
individu. Kepribadian merupakan salah satu bagian diri individu yang menjadikan
individu tersebut khas dan berbeda dengan individu lainnya. Kepribadian
merupakan sebuah sistem yang dihasilkan dari proses interaksi berbagai faktor
baik internal maupun eksternal. Pengalaman, norma, budaya, kondisi lingkungan, kesempatan, cara berpikir, cara bersikap, perasaaan – perasaan serta kondisi fisik
maupun psikis individu merupakan faktor – faktor yang saling berinteraksi dan
membentuk sistem tersebut.
Kepribadian merupakan ciri yang unik dalam setiap individu, sehingga ada
berbagai macam kepribadian yang diklasifikasikan kedalam berbagai tipe
berdasarkan kategori tertentu. Salah satu dari sekian banyak tipe kepribadian
adalah kepribadian ekstravert atau tipe A dan kepribadian introvert atau tipe B
(Alwisol, 2011). Setiap kepribadian memiliki ciri kepribadian tertentu yang
digunakan untuk menggambarkan siapa dirinya dan bagaimana dia bersikap.
Selain dari perilaku sehari – hari, ciri kepribadian ini akan terlihat perbedaanya
ketika menghadapi situasi atau permasalahan tertentu.
Chen (2002), mengatakan bahwa individu dengan kepribadian ekstravert
cenderung menggunakan cara penyelesaian masalah yang bersifat maladaptif, hal
ini mungkin disebabkan oleh karakteristik kepribadian ekstravert yang cenderung
meledak – ledak dibandingkan individu dengan kepribadian introvert yang lebih
tenang dan terkontrol.
Selain itu Eysenck juga mengatakan bahwa individu
ekstravert cenderung agresif dan tidak berhati hati, sedangkan individu introvert
lebih tenang dan memikirkan semuanya dengan hati - hati ketika mnghadapi
permasalahan (Alwisol, 2011).
47
Selain faktor psikis, faktor fisiologis juga menentukan bagaimana cara
individu memberikan respon terhadap stimulus. Seperti yang dikatakan Eysenck
bahwa individu ekstravert memiliki CAL (Cortical Arousal Level) sangat rendah
artinya tidak peka dan lemah sehingga membutuhkan banyak rangsangan
dibandingkan individu introvert yang CALnya tinggi. Werner (Friborg, 2005)
mengatakan bahwa individu yang resilien memiliki orientasi sosial yang tinggi,
sehingga mereka mampu membangun kesan yang positif terhadap dirinya sendiri
melalui interaksi sosial yang dilakukannya. Oleh karena itu, tipe kepribadian
memiliki kaitan yang erat dengan resiliensi dalam tugas fungsinya sebagai faktor
pendukung pemenuhan syarat kemampuan untuk menjadi resilien pada individu.
Pengertian Mahasiswa Perantau (skripsi dan tesis)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa merupakan
orang yang belajar di sebuah perguruan tinggi. Mahasiswa merupakan
individu yang sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas / Kejuruan (SMA/K)
dan sedang menempuh proses belajar di sebuah perguruan tinggi. Mahasiswa
belajar pada perguruan tinggi untuk mempersiapkan dirinya bagi suatu
keahlian jenjang pendidikan tinggi meliputi pendidikan diploma, sarjana,
magister atau spesialis (http://kbbi.web.id). Berdasarkan tingkatan proses
perkembangan, mahasiswa berada pada periode peralihan dari masa remaja
akhir menuju masa perkembangan dewasa awal, yaitu pada rentang usia 17
hingga 25 tahun (Hurlock, 2011). Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
mahasiswa perantau merupakan individu yang berada pada rentang usia 17
hingga 25 tahun yang meninggalkan daerah asalnya untuk menempuh
pendidikan pada sebuah perguruan tinggi didaerah lain.
Merantau merupakan kegiatan bepergian dari satu daerah ke daerah
lainnya dengan tujuan tertentu, misalnya untuk bekerja dan mendapatkan
pengetahuan baru (http://kbbi.web.id). Kegiatan merantau sudah menjadi
budaya dan bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Pada zaman globalisasi
seperti ini, merantau tidak hanya dilakukan antar daerah didalam negeri saja
tetapi juga keluar negeri. Faktor pendorong terbesar masyarakat Indonesia
44
pergi merantau saat ini adalah faktor ekonomi dan pendidikan
(https://id.m.wikipedia.id). Menurut Naim terdapat enam unsur pokok
merantau, yaitu : a) meninggalkan kampung halaman sendiri, b) dengan
kemauan sendiri, c) untuk jangka waktu yang lama, d) dengan tujuan untuk
mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman, e) biasanya
dengan maksud kembali pulang, f) merantau adalah lembaga sosial dalam
arti kebiasaan atau perilaku yang dilakukan oleh banyak orang yang
membudaya. Selain itu, merantau juga dilakukan karena faktor ekonomi,
pendidikan, gangguan keamanan, sistem sosial (mochtarnaim.wordpress.com).
Sektor pembangunan dan pengembangan yang masih belum merata di
negara ini dan hanya terpusat di kota – kota besar, membuat sebagian besar
masyarakatnya memilih untuk merantau untuk mendapatkan pekerjaan
ataupun pendidikan yang lebih baik. Hal ini pula yang terjadi pada mahasiswa
yang berasal dari daerah terpencil hingga yang berasal dari luar pulau. Para
mahasiswa ini rela meninggalkan kampung halamannya dan berpindah ke
daerah lain untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Dalam hal ini
dapat disimpulkan bahwa mahasiswa perantau merupakan individu yang
meninggalkan kampung halamannya dan pergi kedaerah lain dengan tujuan
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, dan bermaksud untuk
kembali pulang. Oleh karena itu dalam penelitian ini, mahasiswa perantau
yang dimaksud adalah para mahasiswa yang berasal dari luar pulau Jawa
Tipe Kepribadian Eysenck (skripsi dan tesis)
Ada berbagai jenis kepribadian dengan karakteristiknya masing –
masing. Oleh karena itu, beberapa ahli melakukan klasifikasi berdasarkan
karakteristiknya sehingga mempermudah individu untuk mengenali jenis
kepribadiannya. Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) dan Big Five
Personality merupakan salah satu bentuk klasifikasi kepribadian yang telah
dilakukan oleh para ahli. Myers-Briggs Type Indicator mencoba
mengklasifikasikan kepribadian kedalam 16 tipe kepribadian yang terbagi atas
empat karakteristik, yaitu ekstravert – introvert, sensitif – intuitif, pemikir –
perasa, dan memahami – menilai. Berbeda dengan MBTI, Big Five Personality mengklasifikasikan kepribadian kedalam lima besar dimensi
kepribadian yang saling mendasari dan mecakup sebagian besar variasi yang
signifikan. Faktor – faktor kelima model ini mencakup ekstraversi, mudah
akur dan bersepakat, berhati – hati, stabilitas emosi, serta terbuka terhadap hal
– hal baru (http://id.m.wikipedia.org)
Eysenck (Alwisol, 2011) mengkonsepkan ekstraversi dan introversi
sebagai kepribadian yang dipengaruhi oleh kondisi fisiologis yang bersifat
keturunan. Individu dengan kepribadian ekstraversi cenderung memilih
kegiatan yang berbaur dengan banyak orang, demikian sebaliknya dimana
individu intraversi lebih memiih kegiatan yang tidak melibatkan banyak
orang. Carl Jung juga membagi orientasi kepribadian kedalam dua sikap yaitu
ekstraversi dan intraversi, dimana sikap ekstraversi mengarahkan individu
kedunia luar, dunia objektif sedangkan sikap intraversi mengarahkan individu
kedunia dalam, dunia subjektif (Hall & Lindzey, 2009). Kedua sikap ini yang
berlawanan ini dimiliki oleh setiap kepribadian. Artinya dalam kepribadian
yang dimiliki individu terdapat sikap ektstraversi dan introversi, tetapi
biasanya salah satunya dalam keadaan dominan dan sadar sementara yang
lainnya kurang dominan dan tak sadar.
a. Karakteristik Kepribadian Ekstravert
Setiap kepribadian menjadi unik dan berbeda serta mudah dibedakan
antara satu dengan yang lainnya disebabkan oleh adanya sifat atau karakteristik tertentu. Eysenck (Alwisol, 2011) juga menggambarkan individu
dengan kepribadian tipe ekstravert sebagai individu yang sosiabel, lincah,
aktif, asertif, suka mencari sensasi riang, dominan, bersemangat dan berani.
Hal ini menunjukkan bahwa individu dengan kepribadian tipe ekstravert
menyukai kegiatan yang berhubungan dengan orang lain serta tidak diam di
satu tempat. Karakteristik ini akan semakin tampak nyata ketika individu
tersebut berada dalam situasi sulit atau memiliki permasalahan terntentu.
Individu dengan kepribadian tipe ekstravert cenderung terburu – buru
dan tidak bisa berpikir dengan benar ketika menghadapi permasalahan
tertentu, sehingga solusi untuk permasalahannya cenderung diambil tanpa
memikirkan konsekuensinya. Selain itu, individu ekstravert cenderung
melibatkan orang lain dalam permasalahan yang dihadapinya. Hal ini terjadi
karena individu ekstravert akan mengalami stress yang berlebihan ketika
harus menghadapi permasalahannya sendiri. Bagi individu ekstravert,
kehadiran dan dukungan dari orang lain sangat penting dalam kehidupan
ataupun permasalahannya. Ketika dukungan yang diharapkannya tidak
terpenuhi maka individu dengan tipe kepribadian ekstravert ini akan
cenderung melampiaskan stress yang dirasakannya pada hal – hal yang
bersifat negatif dan merusak dirinya sendiri. Mereka akan melakukan hal – hal
yang tidak disukai oleh orang lain dengan harapan orang lain dapat mengerti
apa yang diinginkannya (Chen, 2002).
b. Karakteristik Kepribadian Introvert
Individu dengan tipe kepribadian introverst memiliki ciri kepribadian
yang berbanding terbalik dengan tipe ekstraverst. Eysenck mengatakan bahwa
ciri kepribadian introvert merupakan kebalikannya. Eysenck menggambarkan
individu introvert sebagai makhluk yang individual, pasif, tertutup, tenang,
dan berhati – hati sehingga individu introvert lebih menyukai kegiatan yang
tidak berkaitan dengan keramaian serta berhubungan dengan banyak orang
.
Berbeda dengan individu ekstravert yang membutuhkan dukungan
orang lain dalam menghadapi masalahnya, individu dengan kepribadian
introvert cenderung berusaha dengan kemampuannya sendiri sampai batas
maksimalnya. Ketika menghadapi permasalahan maka akan dipikirkan dengan
hati – hati dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada. Individu
introvert jarang sekali membagi permasalahannya kepada orang lain, kecuali
orang lain tersebut memiliki attachment yang sangat lekat dengannya. Tidak
jauh berbeda dengan yang dialami oleh individu ekstravert, individu introvert
juga akan mengalami rasa stress bahkan bisa menjadi depresi ketika usaha
mengandalkan kemampuan diri sendiri ini gagal. Selain itu, kesulitan untuk
menyampaikan apa yang dirasakannya pada orang lain juga akan menambah
beban psikisnya (Chen, 2002)
Pengertian Kepribadian (skripsi dan tesis)
Ada begitu banyak pengertian atau makna yang dapat diketahui terkait
dengan kata kepribadian. Pada pemakaian pertama, istilah kepribadian ini
menggambarkan mengenai kemampuan atau kecakapan sosial individu.
Allport menjelaskan dalam penelitian kepustakaan yang dilakukannya, bahwa
terdapat hampir definisi yang berbeda mengenai istilah kepribadian ini
(Hall & Lindzey, 2009). Allport sendiri mendefinisikan kepribadian sebagai
organisasi dinamis yang dalam sistem psikofisiknya individu dapat
menentukan penyesuaian yang unik sesuai dengan lingkungannya (Alwisol,
2011). Prinsip dasar dari definisi dan teori Allport mengenai kepribadian
adalah bahwa tingkah laku akan terus bergerak, mengalir dan diatur oleh
tujuan utama kesadaran yang bersumber dari masa kini dan masa yang akan
datang bukan masa lalu. Hal ini sangat berbeda dengan definisi yang
disampaikan oleh Freud bahwa ketidaksadaran beserta insting – insting seks
serta agresi yang terdapat didalamnya memiliki peran penting untuk
menentukan tingkah laku individu. Selain itu, Freud juga mengatakan bahwa
apa yang terjadi dimasa lalu individu juga menentukan bagaimana individu
tersebut akan berperilaku (Alwisol, 2011).
Menurut Jung, tingkah laku manusia tidak hanya ditentukan oleh sejarah
individu dan ras (kausalitas) tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi (teleologi).
Jung juga melihat kepribadian dari dua sisi yaitu prospektif dan retrospektif yang artinya memperhatikan masa depan sebagai garis atau arah
perkembangan individu dan masa lalu sebagai bahan evaluasi bagi diri
individu (Hall & Lindzey, 2009). Prinsip dasar teori yang dikemukakan oleh
Freud dan Jung melibatkan proses dari kesadaran dan ketidaksadaran. Prinsip
dasar ini yang kurang disetujui oleh aliran tipologi biologis. Salah satu
tokohnya, Eysenck mengatakan bahwa kepribadian merupakan keseluruhan
pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme yang ditentukan
oleh keturunan dan lingkungan. Pola tingkah laku ini berasal dan
dikembangkan melalui interaksi dari empat sektor utama yaitu sektor kognitif
(intelligence), konatif (character), afektif (temperament), dan somatik
(constitution) (Alwisol, 2011).
Selain itu, Maslow juga mengatakan bahwa manusia merupakan
makhluk sadar yang menentukan tingkah laku dan pengalamannya sendiri.
Tingkah laku yang dilakukan oleh individu ini didasari oleh adanya tuntutan
akan pemenuhan kebutuhan – kebutuhan tertentu, sehingga tingkah laku
bergerak kearah pengungkapan potensi yang dimiliki oleh individu
(eksistensi) (Hall & Lindzey, 2009). Skinner (Alwisol, 2011) juga mengatakan
bahwa tingkah laku mengikuti hukum tertentu, dapat diramalkan dan dapat
dikontrol sehingga tidak ada kaitannya dengan kehidupan internal individu
seperi insting, motif, drives, aktualisasi diri ataupun aktivitas lain yang
berkaitan dengan ketidaksadaran. Kepribadian merupakan bagian yang cukup besar pengaruhnya dalam
kehidupan individu sehari – hari, sehingga menjadi salah satu indikator untuk
melakukan identifikasi pada individu tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya
faktor – faktor unik dan khas sebagai salah satu faktor pembentuk perilaku
individu tersebut. Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa kepribadian
merupakan sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan
banyak aspek, baik itu internal (conscious, unconscious, kebutuhan fisik
maupun psikis, kognisi, afeksi, dan sebagainya) maupun eksternal (norma,
kondisi lingkungan, kesempatan dan sebagainya). Proses interaksi yang terjadi
terhadap kedua aspek ini akhirnya yang membentuk pola tingkah laku, pola
berpikir yang berbeda pada masing – masing individu sehingga menjadikan
individu tersebut unik.
Karakteristik Resiliensi Mahasiswa Perantau (skripsi dan tesis)
Mahasiswa perantau merupakan pendatang dari daerah diluar pulau Jawa
dengan tujuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari daerah
asalnya. Sebagai seorang pendatang tentunya ada permasalahan tertentu yang
harus dihadapi oleh para mahasiswa ini, salah satunya adalah adanya
perbedaan yang sangat kontradiktif. Perbedaan kebiasaan, budaya, kesibukan,
gaya hidup hingga jenis makanannya membuat para mahasiswa ini harus
melakukan penyesuaian diri dengan cepat. Kegagalan adaptasi tentunya akan
memberikan dampak tersendiri, misalnya nilai akademik menurun drastic,
terlibat pergaulan bebas, dan sebagainya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari dataran tinggi
dan lautan yang luas. Demikian halnya dengan pulau – pulau yang berada
diluar pulaau jawa yang mayoritas merupakan dataran tinggi, tanah kapur,
gersang dan medan yang sulit dilalui, secara tidak langsung menggambarkan
karakteristik penduduknya. Mahasiswa yang berasal dari luar pulau biasanya
memiliki watak yang keras, kemauan yang tinggi, tidak mudah menyerah dan optimise. Karakteristik ini tentunya sangat membantu para mahasiswa
perantau untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi. Resiliensi
merupakan salah satu reaksi psikis yang dilakukan mahasiswa perantau dalam
menghadapi permasalahannya.
Resiliensi pada mahasiswa perantau ini
memiliki karakteritik, antara lain (http://lontar.ui.ac.id) ;
a. Accecptance of Self and Life, yaitu adanya kemampuan individu untuk
menerima, menghadapi dan mentransformasikan masalah yang sedang
dihadapi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gotberg (1994) dan
Reivich & Shatte (1999) bahwa faktor pembentuk dan pendukung
resiliensi yang pertama kali harus ada dalam diri individu adalah I have
(aku punya), I am (aku ini), I can (aku dapat) serta kemampuan untuk
mengontrol dan mengatur apa yang dirasakan dan keinginan ataupun
tekanan yang muncul dari dalam diri individu.
b. Personal Competence, yaitu adanya keyakinan terhadap kemampuan diri
sendiri, sikap mandiri, berpendirian, serta kegigihan dalam menghadapi
rintangan. Reivich & Shatte (1999) dengan jelas mengatakan optimisme
serta efikasi diri menjadi hal penting berikutnya yang dibutuhkan oleh
individu untuk menghadapi permasalahannya. Hal ini juga harus disertai
dengan kemampuan individu tersebut untuk melakukan analisa terhadap
permasalahannya, sehingga individu tersebut dapat menentukan langkah
selanjutnya dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Karateristik Resiliensi (skripsi dan tesis)
Resiliensi merupakan sebuah proses, artinya resiliensi tidak akan muncul
begitu saja meskipun kemampuan ini sudah ada dalam diri individu sejak
lama. Resiliensi memerlukan faktor – faktor pendorong untuk dapat muncul,
oleh karena itu ada beberapa karakteristik yang menjadi patokan seorang
individu dikatakan sebagai individu yang resilien. Wolin & Wolin (1999),
juga menyebutkan bahwa ada tujuh karakteristik yang membuat individu
dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap permasalahannya dan menadi
resilien.
Tujuh karakteristik yang dimaksud oleh Wolin & Wolin (1999) ini
adalah ;
a. Insight, kemampuan individu untuk dapat memahami apa yang sedang
terjadi pada dirinya sendiri berdasarkan apa yang terjadi dilingkungan
sekitarnya dan juga terbuka terhadap dirinya sendiri.
b. Kemandirian, kemampuan untuk mengambil jarak dari sumber
permasalahannya baik secara emosinal maupun secara fisik. Kemandirian
ini dimiliki oleh individu yang dapat melihat secara positif dan optimis
pada kehidupannya.
c. Hubungan, kemampuan untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan
yang positif dengan lingkungan sosialnya. Individu yang resilien mampu
mengembangkan hubungan yang jujur dan berkualitas dengan
lingkungannya dengan memiliki role model yang benar.
d. Inisiatif, adanya keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap
hidupnya dimana individu yang resilien akan menjadi proaktif, bertanggung jawab terhadap pemecahan masalah serta menyesuaikan diri
terhadap hal – hal yang bisa diubah dan yang tidak bisa diubah.
e. Kreativitas, membuat individu untuk menggunakan kemampuan
kognitifnya dalam membuat pilihan, alternative pemecahan masalah
hinggaa konsekuensinya. Mampu menggunakan denga baik media – media
terbatas yang ada dilingkungannya untuk pemecahan masalah.
f. Moralitas, orientasi pada nilai – nilai atau normat tertentu untuk dapat
menjalani kehidupan yang lebih baik dan produktif.
g. Humor, kemampuan untuk melihat sisi positif dari kehidupan atau
peristiwa yang dialaminya. Menemukan kebahagiaan dari peristiwa yang
dialaminya, sehingga individu akan merasa lebih ringan dalam
menghadapi permasalahannya.
Selain itu, Sendjaja juga mengatakan bahwa individu yang resilien
memiliki karakteristik (http://bp3m.uksw.edu) ;
a. Berani menerima realita, sebagaimana adanya, bukan atas apa yang
dharapkan
b. Mampu menterjemahkan makna dibalik peristiwa sulit yand dialaminya,
mampu mengambil hikmah dari peristiwa tersebut.
c. Mampu mentransformasikan makna tersebut ke dalam aksi nyata atau
perilaku konkrit ditengah situasi yang sulit.
35
Berdasarkan apa yang diutarakan oleh Reivich & State dan Senjaja diatas,
dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi resilien individu harus memenuhi
dan memiliki syarat – syarat berikut, antara lain ; a) penerimaan diri; b)
adanya perilaku mandiri; c) memiliki interaksi sosial; d) inisiatif dan
kreatifitas, serta e) memiliki nilai yang dijadikan pegangan hidup
Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi (skripsi dan tesis)
Resiliensi merupakan sebuah kemampuan yang bersifat potensi dan
dimiliki oleh setiap individu, sehingga resiliensi pada individu tidak akan
muncul begitu saja. Kemunculan atau terjadinya resiliensi pada individu
dengan permasalahan tertentu tidak lepas dari faktor – faktor yang
mempengaruhi munculnya kemampuan untuk beresiliensi. Faktor internal
maupun eksternal sama – sama memberikan pengaruh besar bagi hal ini.
Masten & Coatswerth mengatakan untuk dapat mengidentifikasi resiliensi
diperlukan dua syarat, yaitu ;
a) adanya ancaman yang signifikan pada
individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan
trauma yang kronis), serta
b) adanya kualitas adaptasi atau perkembangan
individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner)
(Davis, 1999).
Reivich & Shatte (1999) juga mengatakan bahwa resiliensi dibangun
dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun individu
yang memiliki kemampuan itu secara keseluruhan (https://id.wikipedia.org).
Tujuh kemampuan yang dimaksud oleh Reivich & Shatte (1999) yaitu ;
a. Regulasi emosi, merupakan kemampuan untuk tetap tenang ketika berada
dalam situasi tertekan. Individu dengan kemampuan regulasi emosi dapat mengendalikan dirinya terhadap gejolak perasaanya, sehingga dengan
adanya pengekspresian emosi yang tepat selain lebih sehat dan konstruktif
individu juga dapat menjadi lebih tenang dan fokus dalam menghadapi
permasalahannya.
b. Pengendalian impuls, merupakan kemampuan untuk mengedalikan
dorongan – dorongan, keinginan, kesukaan serta tekanan yang muncul
dalam diri individu. Hal ini merupakan salah satu bentuk penyesuaian
terhadap lingkungan sosial, dimana individu berusaha menciptakan
lingkungan yang nyaman bagi dirinya maupun orang lain.
c. Optimisme, adanya rasa percaya akan masa depan dan kemampuan untuk
mengontrol hidupnya kedepan. Individu yang resilien merupakan individu
yang optimis.
d. Empati, menggambarkan kemampuan individu dalam memahami keadaan
psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Individu yang memiliki
kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
e. Analisis penyebab masalah, menggambarkan bagaimana individu
melakukan analisis terhadap masalahnya berdasarkan gaya berpikirnya
karena hal ini berkaitan erat dengan kemampuan kognisi.
f. Efikasi diri, kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri untuk dapat
menghadapi dan menyelesaikan masalah secara efektif.
g. Peningkatan aspek positif, individu yang meningkatkan aspek positif
dalam dirinya mampu melakukan pembedaan terhadap resiko yang realistis dan tidak realistis serta memiliki makna dan tujuan hidup dalam
melihat gambaran besar kehidupan.
Gotberg (1994) juga menambahkan bahwa ada tiga faktor lain yang
menjadi sumber pembentukan dan pengembangan resiliensi yang juga berasal
dari dalam diri individu, yaitu :
a. I have (aku punya), yaitu hubungan yang dilandasi dengan rasa percaya
dan dorongan untuk mandiri.
b. I am (aku ini), yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri, diterima dan
disayangi oleh orang lain
c. I can (aku dapat), yaitu kemampuan untuk berkomunikasi, menjalin
hubungan yang saling percaya dan memecahkan masalah.
Faktor internal lain yang juga mempengaruhi kemampuan resiliensi
adalah gaya koping dan kepribadian individu (Mancini dan Bonano, 2006).
Selain itu faktor jenis kelamin, usia, tingkat trauma, pendapatan, frekuensi
penyakit kronis, tekanan dari masa lalu dan sekarang, serta bagaimana
lingkungan sosial memberikan supportnya juga memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam mengembangkan kemampuan resiliensi individu (Bonano,
Rennicke dan Dekel, 2007)
Pengertian Resiliensi (skripsi dan tesis)
Secara etimologis resiliensi diadaptasi dari kata dalam Bahasa Inggris
resilience yang berarti daya lenting, daya lentur atau kemampuan untuk
kembali ke bentuk semula. Resiliensi merupakan salah satu bentuk upaya
pertahanan diri manusia yang tersimpan dalam bentuk potensi dan akan timbul
ketika individu tersebut berada dalam situasi tertentu. Hal ini sesuai dengan
yang pendapat Wolff, bahwa resiliensi merupakan sebuah trait. Trait ini
merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan kehancuran
individu dan melindunginya dari segala rintangan kehidupan (Banaag, 2002).
Resiliensi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dinamis dimana individu
menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi permasalahan yang signifikan
(Schoon, 2006).
Menurut Lamond, dkk. kemampuan untuk ber-resiliensi berkonotasi
dengan kemampuan individu untuk beradaptasi secara positif terhadap
kesulitan (Shen & Zeng, 2010). Banaag (2002) juga mengatakan bahwa
resiliensi merupakan proses interaksi antara faktor individual dan faktor
lingkungan. Faktor individual berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi
untuk melindungi dan “melunakkan” kesulitan hidup yang dialami individu.
Selain itu adanya peristiwa tertentu yang terjadi dalam kehidupan individu
akan memberikan pembelajaran dalam membentuk perilaku kesiapan. Perilaku
kesiapan ini juga harus didukung oleh kemampuan individu untuk bangkit
kembali dari peristiwa trauma yang telah terjadi. Kemampuan inilah yang
disebut dengan resiliensi (Jhangiani, 2004).
Resiliensi merupakan keberhasilan dalam menyesuaikan diri terhadap
tekanan yang terjadi, dimana proses ini memiliki kapasitas untuk membangun
hasil positif dalam peritiwa kehidupan yang penuh tekanan (Ong, dkk., 2006).
Bernard (2004) juga mengatakan bahwa setiap individu memiliki kapasitas
untuk menjadi resilien yang berarti setiap individu terlahir dengan
kemampuan tersebut. Setelah peristiwa traumatis yang pernah dialaminya,
individu yang resilien tentunya menjadi lebih kuat dan mengetahui bagaimana
selanjutnya untuk menyesuaikan diri dan mengatasi permasalahannya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan potensi
yang dimiliki oleh setiap individu. Potensi ini akan menjadi sebuah
kemampuan untuk mempertahankan diri ketika individu berada dalam
menghadapi situsi tertentu, sehingga individu tersebut dapat menunjukkan
fungsi adaptif dalam menghadapi permasalahannya. Selain itu, potensi resiliensi ini tidak akan muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil dari proses
interaksi faktor – faktor yang bersifat internal dan eksternal.
Hubungan antara Kebersyukuran dengan Resiliensi (skripsi dan tesis)
Berdasarkan definisi, aspek, hingga faktor yang telah dijelaskan di atas,
bersyukur mampu menghasilkan sebuah masa yang begitu menenangkan dari apa
yang telah dialami oleh seseorang. Walker dan Pitts (2006) juga menyatakan
bahwa bersyukur merupakan kondisi yang membuat seseorang nyaman dan terkait
dengan emosi yang positif. Emmons dan McCullogh (2003) telah menyimpulkan,
orang-orang yang bersyukur setiap minggunya berolahraga lebih rutin,
menunjukkan lebih sedikit keluhan fisik, merasa secara keseluruhan hidup mereka
lebih baik dan lebih optimistis dalam menghadapi minggu berikutnya
dibandingkan mereka yang justru menukis keluhan-keluhan atau peristiwaperistiwa kehidupan yang sifatnya netral. Orang-orang yang bersyukur lebih
mungkin membuat kemajuan terhadap tujuan atau target penting mereka, seperti
target akademik, interpersonal, atau menyangkut kesehatan, dibandingkan subjek
lain yang tidak bersyukur.
Kebersyukuran setiap hari pada orang dewasa menghasilkan level
kewaspadaan (alertedness), antusiasme, determinasi, kepedulian (attentiveness)
dan energi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berfokus pada mengeluh
atau melakukan perbandingan sosial ke bawah (downward social
comparison/merasa diri lebih baik dari pada orang lain). Disimpulkan juga bahwa,
bersyukur yang dilakukan oleh penderita penyakit neuromuskular menghasilkan
mood positif yang lebih tinggi, sense of-connectedness yang lebih tinggi dengan
orang lain, lebih optimis dalam hidup dan memiliki durasi dan kualitas tidur yang
lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (Emmons,2003). Hasil ini
mengisyaratkan tingkat resiliensi lebih baik pada orang yang bersyukur.
Orang yang bersyukur melaporkan level emosi positif, kepuasan hidup,
semangat hidup dan optimisme yang lebih tinggi, serta level depresi dan stres
yang lebih rendah. Orang yang bersyukur bukannya mengabaikan atau
menyangkal aspek-aspek negatif dalam hidup, melainkan dapat mengelola sudut
pandangnya untuk dapat menerima. Kebersyukurannya mampu meningkatkan
perasaan senang lebih daripada dibanding emosi tidak menyenangkan (Wood,
2007).
Perkembangan lebih lanjut, kebersyukuran dapat menjadi terapi psikologis
yang potensial. Latihan/intervensi kebersyukuran dapat diterapkan diberbagai
bidang kehidupan, di sekolah, organisasi atau perusahaan, bidang kesehatan,
untuk menyelesaikan masalah sosial dan keluarga, dan macam-macam.
Kebersyukuran lebih dari sekedar mengucapkan segala puji bagi Allah SWT
dibibir. Hati orang-orang yang bersyukur berbicara. Jiwanya mencari-cari agar
dapat selalu bersyukur, dengan banyak merenungkan nikmat kehidupan yang
diberikan Allah, berefleksi atas kehidupan, menahan diri agar tidak mudah
mengeluh, tidak terburu-buru dalam menilai suatu masalah atau situasi yang
buruk dan sebagainya.
Menurut Reivich, dkk (Helton & Smith, 2004), resiliensi merupakan
kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi
yang sulit. Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali
kepada kondisi sevelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa
kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress yang ekstrim
dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Orang yang percaya bahwa mampu secara
langsung menghadapi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya dan cepat
mengambil tindakan dalam keadaan tersebut secara terkendali.
Resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat dari kebersyukuran d iatas.
Yu dan Zhang (2007) menyatakan, resiliensi dapat ditumbuhkan melalui tiga
aspek, yaitu : kegigihan atau tidak putus asa, kekuatan dan optimisme. Ketiga
aspek ini merupakan hasil dari kebersyukuran (McCullogh, 2003). Reivich dan
Shatte (2002), resiliensi terdiri dari tujuh aspek, yaitu : regulasi emosi,
pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimistis, empati
dan keterjangkauan. Sementara Subandi (2014) pada kebersyukuran menyatakan,
manfaat dari kebersyukuran meliputi regulasi emosi, pengendalian dorongan,
analisis kausal, efikasi realistis serta optimis, empati dan keterjangkauan. Dengan
demikian tujuh aspek resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat
kebersyukuran.
Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang mebuat individu
mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga
individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan ,
yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Dalam
pengertian ini maka karakteristik orang bersyukur sangat berperan dalam
membangun resiliensi. Reivich dan Shatte (2005), memaparkan tujuh
kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian
impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan reaching
out. Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah kondisi yang
menekan. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat
mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan
perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan
kesabaran, impulsif dan berperilaku agresif. Optimisme adalah ketika kita melihat
bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang
optimis. Causal Analysis menunjuk pada kemampuan individu untuk
17
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama. Empati secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk memahami dan memiliki kepribadian terhadap orang lain
(Greef,2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich &
Shatte, 2005). Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.
Efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
Menurut Ballenger-Browning dan Douglas (2010) faktor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi diantaranya adalah : 1) Pandangan positif, menggunakan
strategi kognitif-behavioral untuk meningkatkan optimisme dan menurunkan
pesimisme, salah satunya adalah menggunakan selera humor. 2) Spritualitas,
mengembangkan dan hidup dengan prinsip-prinsip yang bermakna dan
menempatkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam tindakan altruisme. 3)
Penerimaan, memahami dan mempunyai keyakinan atas suatu peristiwa yang
sedang terjadi atau yang telah terjadi. Kemampuan untuk membentuk resiliensi
yang disampaikan oleh Reivich (2005) dan faktor yang mempengaruhi resiliensi
oleh Douglas (2010) di atas, terkandung dalam hikmah bersyukur sebagaimana
telah diuraikan pada awal paragraf. Kebersyukuran dapat menenangkan hati orang
yang sedang menderita ketenangan ini sangat penting agar tidak panik dan
menjaga seseorang dari kekesalan emosi akibat penyakit yang diderita.
Pembicaraan mereka akan lebih diarahkan untuk hal-hal positif, misalnya saling
berbagi pengalaman dengan narapidana lain, membangun komunitas sesama
narapidana dengan tujuan meringankan tekanan, berbagai pengalaman dengan
orang lain yang masih terhindar dari berbagai macam masalah dan sebagainya.
Seseorang yang menyandang sebagai narapidana perlu memiliki
kemampuan khusus, seperti rasa syukur agar lebih mudah dalam membangun
kemampuan untuk bertahan dan mampu bangkit dari keadaan yang sulit
(resiliensi). Resiliensi itu sendiri diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk tetap
berkondisi baik dan memiliki solusi yang produktif ketika berhadapan dengan
kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan adanya stres di kehidupannya.
Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang membuat individu
mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga
individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan,
sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui
kesulitan, yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme.
Individu yang resilien mampu tenang dalam situasi yang menekan, hal ini
dapat terjadi bila individu selalu beribadah dan taat kepada Allah SWT, karena
bersyukur juga mengingatkan bahwa manusia memiliki Sang Maha Pencipta yang
mengetahui kemampuan dan keterbasan kemampuannya, terlebih bagi para
narapidana yang memiliki kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan. Individu yang bersyukur percaya atas segala yang menjadi keputusan
Allah SWT adalah hal yang terbaik untuk dirinya sekalipun itu berupa kesulitan
dan Allah menegaskan bahwa kesulitan tidak pernah berdiri sendiri (Rakhmat,
19
2010), kesulitan akan selalu berdampingan dengan kemudahan, sehingga manusia
patut tetap merasa tenang untuk situasi yang sulit.
Hubungan antara Kebersyukuran dengan Resiliensi (skripsi dan tesis)
Berdasarkan definisi, aspek, hingga faktor yang telah dijelaskan di atas,
bersyukur mampu menghasilkan sebuah masa yang begitu menenangkan dari apa
yang telah dialami oleh seseorang. Walker dan Pitts (2006) juga menyatakan
bahwa bersyukur merupakan kondisi yang membuat seseorang nyaman dan terkait
dengan emosi yang positif. Emmons dan McCullogh (2003) telah menyimpulkan,
orang-orang yang bersyukur setiap minggunya berolahraga lebih rutin,
menunjukkan lebih sedikit keluhan fisik, merasa secara keseluruhan hidup mereka
lebih baik dan lebih optimistis dalam menghadapi minggu berikutnya
dibandingkan mereka yang justru menukis keluhan-keluhan atau peristiwaperistiwa kehidupan yang sifatnya netral. Orang-orang yang bersyukur lebih
mungkin membuat kemajuan terhadap tujuan atau target penting mereka, seperti
target akademik, interpersonal, atau menyangkut kesehatan, dibandingkan subjek
lain yang tidak bersyukur.
Kebersyukuran setiap hari pada orang dewasa menghasilkan level
kewaspadaan (alertedness), antusiasme, determinasi, kepedulian (attentiveness)
dan energi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berfokus pada mengeluh
atau melakukan perbandingan sosial ke bawah (downward social
comparison/merasa diri lebih baik dari pada orang lain). Disimpulkan juga bahwa,
bersyukur yang dilakukan oleh penderita penyakit neuromuskular menghasilkan
mood positif yang lebih tinggi, sense of-connectedness yang lebih tinggi dengan
orang lain, lebih optimis dalam hidup dan memiliki durasi dan kualitas tidur yang
lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (Emmons,2003). Hasil ini
mengisyaratkan tingkat resiliensi lebih baik pada orang yang bersyukur.
Orang yang bersyukur melaporkan level emosi positif, kepuasan hidup,
semangat hidup dan optimisme yang lebih tinggi, serta level depresi dan stres
yang lebih rendah. Orang yang bersyukur bukannya mengabaikan atau
menyangkal aspek-aspek negatif dalam hidup, melainkan dapat mengelola sudut
pandangnya untuk dapat menerima. Kebersyukurannya mampu meningkatkan
perasaan senang lebih daripada dibanding emosi tidak menyenangkan (Wood,
2007).
Perkembangan lebih lanjut, kebersyukuran dapat menjadi terapi psikologis
yang potensial. Latihan/intervensi kebersyukuran dapat diterapkan diberbagai
bidang kehidupan, di sekolah, organisasi atau perusahaan, bidang kesehatan,
untuk menyelesaikan masalah sosial dan keluarga, dan macam-macam.
Kebersyukuran lebih dari sekedar mengucapkan segala puji bagi Allah SWT
dibibir. Hati orang-orang yang bersyukur berbicara. Jiwanya mencari-cari agar
dapat selalu bersyukur, dengan banyak merenungkan nikmat kehidupan yang
diberikan Allah, berefleksi atas kehidupan, menahan diri agar tidak mudah
mengeluh, tidak terburu-buru dalam menilai suatu masalah atau situasi yang
buruk dan sebagainya.
Menurut Reivich, dkk (Helton & Smith, 2004), resiliensi merupakan
kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit dan menyesuaikan dengan kondisi
yang sulit. Individu yang memiliki resiliensi mampu untuk secara cepat kembali
kepada kondisi sevelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa
kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stress yang ekstrim
dan kesengsaraan (Holaday, 1997). Orang yang percaya bahwa mampu secara
langsung menghadapi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya dan cepat
mengambil tindakan dalam keadaan tersebut secara terkendali.
Resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat dari kebersyukuran d iatas.
Yu dan Zhang (2007) menyatakan, resiliensi dapat ditumbuhkan melalui tiga
aspek, yaitu : kegigihan atau tidak putus asa, kekuatan dan optimisme. Ketiga
aspek ini merupakan hasil dari kebersyukuran (McCullogh, 2003). Reivich dan
Shatte (2002), resiliensi terdiri dari tujuh aspek, yaitu : regulasi emosi,
pengendalian dorongan, analisis kausal, efikasi realistis serta optimistis, empati
dan keterjangkauan. Sementara Subandi (2014) pada kebersyukuran menyatakan,
manfaat dari kebersyukuran meliputi regulasi emosi, pengendalian dorongan,
analisis kausal, efikasi realistis serta optimis, empati dan keterjangkauan. Dengan
demikian tujuh aspek resiliensi sangat berhubungan dengan manfaat
kebersyukuran.
Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang mebuat individu
mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga
individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui kesulitan ,
yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme. Dalam
pengertian ini maka karakteristik orang bersyukur sangat berperan dalam
membangun resiliensi. Reivich dan Shatte (2005), memaparkan tujuh
kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian
impuls, optimisme, empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri dan reaching
out. Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dibawah kondisi yang
menekan. Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat
mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan
perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan
kesabaran, impulsif dan berperilaku agresif. Optimisme adalah ketika kita melihat
bahwa masa depan kita cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang
optimis. Causal Analysis menunjuk pada kemampuan individu untuk
17
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama. Empati secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
kemampuan untuk memahami dan memiliki kepribadian terhadap orang lain
(Greef,2005). Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich &
Shatte, 2005). Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.
Efikasi diri mempresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
Menurut Ballenger-Browning dan Douglas (2010) faktor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi diantaranya adalah :
1) Pandangan positif, menggunakan
strategi kognitif-behavioral untuk meningkatkan optimisme dan menurunkan
pesimisme, salah satunya adalah menggunakan selera humor.
2) Spritualitas,
mengembangkan dan hidup dengan prinsip-prinsip yang bermakna dan
menempatkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam tindakan altruisme.
3)
Penerimaan, memahami dan mempunyai keyakinan atas suatu peristiwa yang
sedang terjadi atau yang telah terjadi.
Kemampuan untuk membentuk resiliensi
yang disampaikan oleh Reivich (2005) dan faktor yang mempengaruhi resiliensi
oleh Douglas (2010) di atas, terkandung dalam hikmah bersyukur sebagaimana
telah diuraikan pada awal paragraf. Kebersyukuran dapat menenangkan hati orang
yang sedang menderita ketenangan ini sangat penting agar tidak panik dan
menjaga seseorang dari kekesalan emosi akibat penyakit yang diderita.
Pembicaraan mereka akan lebih diarahkan untuk hal-hal positif, misalnya saling
berbagi pengalaman dengan narapidana lain, membangun komunitas sesama
narapidana dengan tujuan meringankan tekanan, berbagai pengalaman dengan
orang lain yang masih terhindar dari berbagai macam masalah dan sebagainya.
Seseorang yang menyandang sebagai narapidana perlu memiliki
kemampuan khusus, seperti rasa syukur agar lebih mudah dalam membangun
kemampuan untuk bertahan dan mampu bangkit dari keadaan yang sulit
(resiliensi). Resiliensi itu sendiri diartikan sebagai kapasitas seseorang untuk tetap
berkondisi baik dan memiliki solusi yang produktif ketika berhadapan dengan
kesulitan ataupun trauma, yang memungkinkan adanya stres di kehidupannya.
Resiliensi merupakan ketahanan atau ketangguhan yang membuat individu
mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan, sehingga
individu mampu untuk beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan,
sehingga individu mampu untuk pulih dan berfungsi optimal dan mampu melalui
kesulitan, yang didasari oleh tiga aspek yaitu kegigihan, kekuatan dan optimisme.
Individu yang resilien mampu tenang dalam situasi yang menekan, hal ini
dapat terjadi bila individu selalu beribadah dan taat kepada Allah SWT, karena
bersyukur juga mengingatkan bahwa manusia memiliki Sang Maha Pencipta yang
mengetahui kemampuan dan keterbasan kemampuannya, terlebih bagi para
narapidana yang memiliki kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan. Individu yang bersyukur percaya atas segala yang menjadi keputusan
Allah SWT adalah hal yang terbaik untuk dirinya sekalipun itu berupa kesulitan
dan Allah menegaskan bahwa kesulitan tidak pernah berdiri sendiri (Rakhmat,
19
2010), kesulitan akan selalu berdampingan dengan kemudahan, sehingga manusia
patut tetap merasa tenang untuk situasi yang sulit.
Faktor yang Mempengaruhi Kebersyukuran (skripsi dan tesis)
Kebersyukuran dalam diri individu tentu di dorong oleh beberapa faktor.
Faktor yang berperan kebersyukuran individu dalam penelitian Hambali, Meiz,
dan Fahmi (2015) menyebutkan antara lain :
1) Penerimaan diri akan keadaan yang dialami sebagai sebuah takdir dan selalu
berpikir positif tentang rencana baik dari Allah SWT .
2) Pengetahuan, pengalaman, dukungan sosial serta kondisi spiritual dalam
menerima kondisi yang terjadi saat ini.
3) Rasa apresiasi yang hangat untuk seseorang meliputi cinta dan kasih sayang yang
ditujukan pada anak, pasangan dan orang lain yang membantu.
4) Niat baik yang ditunjukkan kepada seseorang berupa keinginan untuk membantu
orang lain yang kesulitan, keinginan besar untuk berbagi khususnya pada orang tua yang mengalami kondisi yang sama, juga muncul keinginan menjalankan
ajaran agama sebaikbaiknya.
5) Kecenderungan untuk bertindak positif dan nyata berdasarkan rasa apresiasi dan
kehendak baik (tawakal). Tindakan kongkrit ini diwujudkan secara detil dalam
menjaga kondisi diri pribadi, menyiapkan dana dan fasilitas, menolong dan tidak
menyakiti orang lain, membalas kebaikan orang lain, termasuk juga rajin berdoa,
beribadah dan melakukan perbuatan baik menurut agama serta adanya upaya
kongkrit mengajak orang lain melakukan perbuatan nyata yang baik.
6) Kemunculan pengalaman spiritual yang mendalam dan beragam sehingga
memunculkan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT .
7) Merasakan ketenangan jiwa/kepuasan batin, berpikir positif, dan optimisme serta
harapan dalam memandang hidup
Aspek-aspek Kebersyukuran (skripsi dan tesis)
Terdapat lima sendi dan dasar yang melandaskan syukur yang dinyatakan
oleh Al-Jauziyah (1998) bila salah satunya tidak terpenuhi maka syukur itu
belumlah sempurna, kelima sendi tersebut adalah :
1. Orang yang bersyukur tunduk pada apa yang disyukuri, berarti orang yang
bersyukur sadar bahwa apa yang disyukurinya berasal dari Allah SWT sehingga
tunduk terhadap yang memberi apapun yang disyukurinya.
2. Mencintai-Nya, berarti orang yang bersyukur mencintai Allah SWT
sebagai Dzat Yang Maha Pemurah memberikan nikmat untuk disyukuri.
3. Mengakui nikmat-Nya, berarti orang yang bersyukur mengakui nikmat
yang diberikan oleh Allah SWT.
4. Memuji-Nya karena nikmat itu, berarti orang yang bersyukur memuji
Allah SWT atas nikmat yang telah dirasakannya.
5. Tidak menggunakan nikmat itu sebagai sesuatu yang dibenci-Nya, orang
yang bersyukur tidak menyalahgunakan segala nikmat yang diberi Allah SWT
untuk hal-hal yang dilarang oleh-Nya.
Kurniawan, dkk ( 2012 ) juga memaparkan bahwa bersyukur dalam persfektif
islam terbentuk atas empat aspek, yaitu :
1. Bersyukur dengan Qolbu
Seseorang dikatakan bersyukur dengan qolbu ketika meyakini dan
mengakui semua nikmat yang diterima berasal dari Allah SWT. Meyakini bahwa
ada keterlibatan Allah di dalam setiap nikmat yang diperoleh , dan menyadari
bahwa setiap kebaikan yang diterima dari orang lain berasal dari Allah SWT.
2. Bersyukur dengan lisan kepada Allah SWT
Seseorang dikatakan bersyukur dengan lisan kepada Allah SWT ketika
senantiasa memuji Allah atas segala karunia yang diterimanya. Bahkan bukan
hanya ketika mendapatkan perkara yang menggembirakan, seseorang yang
bersyukur dengan lisan kepada Allah tetap memuji-Nya ketika mendapat perkara
yang dibencinya.
3. Bersyukur dengan lisan kepada manusia
Seseorang dikatakan bersyukur dengan lisan kepada manusia ketika
mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah berbuat baik, memberikan
nasihat kepadanya, begitupula kepada orang yang telah menginspirasinya berbuat
kebaikan.
4. Bersyukur dengan tindakan
Seseorang yang dikatakan bersyukur dengan tindakan ketika
memaksimalkan seluruh potensi yang dikaruniakan Allah kepadanya untuk
kemanfaatan orang banyak. Begitu pula dengan mempergunakan waktu luang
yang dimiliki untuk melakukan kebaikan
Definisi Kebersyukuran (skripsi dan tesis)
Menurut Emmons dan McCullogh (2003), bersyukur dalam konsep barat
berasal dari bahasa latin gratia yang berarti keramah tamahan dan kegembiraan.
Lebih lanjut Emmons dan McCullogh (2003) menjelaskan bahwa bersyukur dapat
dikonseptualisasikan sebagai rasa emosi, sikap, nilai moral, kebiasaan,
kepribadian atau sifat dan respon coping. Wood, dkk (2010) menyatakan
bersyukur atau rasa syukur adalah emosi yang terjadi setelah individu menerima bantuan atau sesuatu yang dianggap berharga, bernilai, dan bersifat altruistik
( diutamakan ).
Bersyukur juga merupakan perasaan yang disampaikan sebagai rasa terima
kasih yang bertahan, berkelanjutan pada suatu situasi dan dari waktu ke waktu
(Emmons & Shelton, 2002). Bersyukur adalah sebuah instrumen yang mampu
mengurangi berbagai pengaruh negatif pada diri individu. Dalam situasi trauma,
bersyukur adalah suatu proses pertumbuhan yang mengikuti sebuah kejadian
krisis maupun trauma (Subandi, dkk 2014).
Islam menerangkan wujud syukur dengan lebih luas dan mendalam, seperti
di antaranya yang disampaikan oleh Ibnu Manzhur bahwa syukur adalah
membalas nikmat dengan ucapan, perbuatan dan disertai niat, memuji Sang
Pemberi Nikmat dengan lisan dan menggunakan nikmat itu untuk taat kepada-Nya
(Abdullah, 2013).
Ibnu Qayyim Al Jauziyah (2015) mendefinisikan syukur adalah
melakukan ketaatan dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan segala hal yang
dicintai-Nya lahir dan batin. Aljauziyah juga menerangkan syukur berarti
mengakui dengan segenap jiwa, raga, dan perasaan atas nikmat Allah dan
memperlakukannya dengan suka cita (Aman, 2008)
Bentuk syukur yang terbaik adalah mencurahkan segala potensi jiwa raga
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan melaksanakan semua perintah- Nya
dan meninggalkan semua larangan-Nya (Ahyadi,1995). Selain itu, Ahyadi (1995)
juga menyebutkan bahwa bersyukur dan merasakan nikmat akan karunia Tuhan
merupakan salah satu ciri-ciri kehidupan alam perasaan orang yang beriman.
Shihab (Chairani dan Kurniawan, 2008) menjelaskan bahwa syukur berarti
mengguanakan seluruh kekuatan untuk memfungsikan semua nikmat Allah yang
dilimpahkan-Nya sesuai dengan tujuan penganugerahan-Nya. Dari seluruh
definisi mengenai syukur yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa
syukur berarti perasaan yang lebih dari pada terima kasih yang diucapkan secara
lisan maupun dengan hati atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah
SWT.
Faktor –faktor yang mempengaruhi resiliensi (skripsi dan tesis)
Menurut Everall, Allrows dan Paulson (2006) faktor-faktor yang
mempengaruhi resiliensi tersiri dari empat faktor, yakni faktor individu, keluarga,
komunitas dan faktor resiko.
a. Faktor Individu
Yang dimaksud faktor individu adalah faktor-faktor yang berasal dari
dalam diri yang mampu membuat sesorang menjadi resilien. Hal-hal yang
termasuk dalam faktor individu ini antar lain :
1) Fungsi kognitif atau intelegensi
Individu dengan intelegensi yang baik memiliki kemampuan resiliensi
yang lebih baik. Levin (2002) menyetakan kecerdasan yang dimaksud tidak selalu
IQ yang baik, namun bagaimana seseorang dapat mengaplikasikan kecerdasannya
untuk dapat memahami orang lain maupun diri sendiri dalam banyak situasi.
2) Strategi coping
Penelitian mengindikasikan bahwa remaja yang resilien memiliki
kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dan menggunakan problem
focused coping atau fokus terhadap permasalahn sebagai strategi mengatasi
masalahnya.
3) Locus of Control
Locus of control yang membuat individu menjadi resilien adalah yang
cenderung ke dalam diri yaitu internal locus of control, dimana dengan begitu
individu memiliki keyakinan dan rasa percaya, cenderung memiliki tujuan,
harapan, rencana pada masa depan dan ambisi bahwa dirinya memiliki
kemampuan.
4) Konsep Diri
Beberapa penelitian juga menemukan bahwa konsep diri yang positif dan
harga diri yang baik membuat individu menjadi resilien.
b. Faktor Keluarga
Beberapa penelitian serupa menjelaskan bahwa individu yang menerima
secara langsung arahan dan dukungan dari orang tua dalam keadaan yang buruk
akan lebih merasa termotivasi, optimis dan yakin bahwa individu tersebut mampu
untuk menjadi sukses
c. Faktor Komunitas atau Eksternal
Pada situasi yang buruk, individu yang resilien lebih sering mencari dan
menerima dukungan juga kepedulian dari orang dewasa selain orang tua, seperti
guru, pelatih, konselor sekolah, kepala sekolah dan tetangga. Begitupula dengan
memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, juga lingkungan yang baik.
d. Faktor Resiko
Herman, dkk (2011) menyebutkan beberapa faktor yang ada dalam faktor
resiko sebagai stressor atau tekanan. Faktor tersebut berupa keadaan kekurangan,
kehilangan, peristiwa negatif dalam hidup, perperangan, bencana alam dan
sebagainya. Penelitian yang sama juga menyebutkan faktor-faktor yang
mempengaruhi resilensi selain faktor yang telah disebut diatas, yaitu regulasi
emosi, emosi positif, spiritualitas, harapan, optimisme, kemampuan beradaptasi,
faktor demografis (usia, gender, jenis kelamin, ras dan etnik) ataupun faktor lain
yang mampu meningkatkan resiliensi seperti tahapan kehidupam yang telah
dilalui sebagai fase perkembangan hidup. Dengan demikian, secara garis besar
terdapat tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor individu, keluarga
dan eksternal (kominutas). Penelitian ini memiliki variabel bebas yaitu
kebersyukuran yang temasuk dalam faktor individual atau faktor yang berasal dari
dalam diri individu yang disampaikan oleh Herman, dkk (2011), yaitu spritualitas,
karena perilaku bersyukur terkait dengan hubungan manusia dan keyakinannya
terhadap Allah SWT, begitu pula dengan spritualitas yang menjelaskan mengenai
perihal keyakinan secara lebih luas.
Dari teori teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa resiliensi dapat
ditimbulkan melaui tiga faktor yaitu faktor individu, keluarga dan komunitas.
Salah satu faktor utama yang berasal dari dalam individu adalah rasa
kebersyukuran
Aspek Resiliensi (skripsi dan tesis)
Aspek-aspek resiliensi menurut Connor dan Davidson (2003) terdiri dari
lima aspek, berikut adalah aspek-aspek tersebut :
a. Personal competence, high standards, and tenacity
Merupakan faktor yang mendukung seorang untuk terus maju terhadap
tujuan saat orang tersebut mengalami tekanan atau adversity.
b. Trust in one’s instincts, tolerance of negative affect, and strengthening
effects of stress
Aspek ini berfokus pada ketenangan, keputusan dan ketepatan saat
menghadapi stres.
c. Positive acceptance of change, and secure relationships.
Hal ini berkaitan dengan adaptasi yang dimiliki seseorang.
d. Control
Aspek ini berfokus pada kontrol dalam mencapai tujuan dan kemampuan
untuk mendapatkan bantuan dari orang lain ataupun dukungan sosial.
e. Spiritual influences
Merupakan kepercayaan seseorang pada Tuhan atau nasib.
Aspek-aspek resiliensi menurut Connor dan Davidson (2003) dan telah
dimodifikasi oleh Yu dan Zhang (2007) terdiri dari tiga aspek utama, yaitu:
a. Tenacity (Kegigihan)
Menggambarkan ketenangan hati, ketetapan waktu, ketekunan, dan
kemampuan mengontrol diri individu dalam menghadapi situasi yang sulit dan
menantang
b. Strength (Kekuatan)
Menggambarkan kapasitas individu untuk memperoleh kembali dan
menjadi lebih kuat setelah mengalami kemunduran dan pengalaman di masa lalu.
c. Optimism (Optimisme)
Merefleksikan kecenderungan individu untuk melihat sisi positif dari setiap
permasalahan dan percaya terhadap diri sendiri dan lingkungan sosial. Aspek ini
menekankan pada kepercayaan diri individu dalam melawan situasi yang sulit.
Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi terdiri dari tujuh aspek, berikut
adalah aspek-aspek tersebut :
a. Regulasi emosi
Kemampuan untuk mengelola sisi internal diri agar tetap efektif dibawah
tekanan individu yang resilien mengembangkan keterampilan dirinya untuk
membantunya mengandalikan emosi, perhatian, maupun perilakunya dengan baik.
b. Pengendalian dorongan
Kemampuan untuk mengelola bentuk perilaku dari impuls emosional
pikiran, termasuk kemapuan untuk menunda mendapatkan hal yang dapat
memuaskan bagi individu. Kemampuan mengendalikan dorongan juga terkait
dengan regulasi emosi.
c. Analisis kausa
l
Kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab dari masalah secara akurat.
Individu yang resilien memiliki gaya berfikir yang terbiasa untuk
mengidentifikasi penyebab yang memungkinkan dan mendapatkan sesuatu yang
berpotensi menjadi solusi.
d. Efikasi diri
Efikasi diri merupakan keyakinan individu dapat memecahkan masalah
dan berhasil individu tersebut yakin bahwa dirinya telah efektif dalam hidupnya.
Individu yang resilien yakin dan percaya diri sehingga dapat membangun
kepercayaan dengan orang lain, juga menempatkan dirinya untuk berada di tempat
yang lebih baik dan lebih banyak memiliki kesempatan.
e. Realistis dan optimis
Kemampuan yang dimiliki individu untuk tetap positif tentang masa depan
yang belum menjadi terealisasi dalam perencanaan. Hal tersebut terkait dengan
self esteem, tetapi juga memiliki hubungan kausalitas dengan efikasi diri juga
melibatkan akurasi dan realisme.
f. Empati
Kemampuan untuk membaca isyarat perilaku orang lain untuk memahami
keadaan psikologis dan emosional mereka, sehingga dapat menbangun hubungan
yang lebih baik. Individu yang resilien mampu membaca isyarat-isyarat non
verbal orang lain untuk membangun hubungan yang lebih dalam dan cenderung
untuk menyesuaikan keadaan emosi mereka.
g. Keterjangkauan
Kemampuan untuk meningkatkan aspek positif dari kehidupan dan
mengambil suatu kesempatan yang baru sebagai tantangan. Mejangkau sesuatu
yang terhambat oleh rasa malu, perfeksionis, dan self handicapping.
Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek resiliensi diatas, penelitian ini sesuai
dengan teori Connor dan Davidson (2003) yang telah dimodifikasi oleh Yu dan
Zhang (2007) melihat dari kondisi atau kriteria subjek yang digunakan yaitu
pasien penderita penyakit kronis, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
menggunakan tiga aspek utama resiliensi yang terdiri dari tenacity, strength, dan
optimism.
Langganan:
Postingan (Atom)