Menurut Quick et
al (1997) siklus pengelolaan obat meliputi seleksi, pengadaan, distribusi,
serta penggunaan yang didukung oleh struktur organisasi, keuangan, dan sistem
informasi manajemen yang layak serta staf yag termotivasi.
Tujuan pengelolaan obat adalah terjaminnya ketersediaan
obat yang bermutu baik, secara tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu serta
digunakan secara rasional dan
supaya dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan
berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit
Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) (Anonim,2002). Agar tujuan tersebut dapat terlaksana
dengan baik, maka pada
Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan
kesehatan sebaiknya ada pembagian tugas dan peran seperti di bawah ini :
a. Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan
kesehatan dasar disusun oleh tim perencanaan obat terpadu berdasarkan system
“bottom up”
b. Perhitungan
rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan menggunakan
pola konsumsi dan atau epidemiologi.
c. Mengkoordinasikan
perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar jenis dan jumlah
obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak tumpang tindih.
d. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya.
e. Melakukan
Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk
Puskesmas
f. Melakukan
Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas.
g. Melaksanakan
Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
h. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pen-distribusian obat kepada unit
pelayanan kesehatan dasar.
i. Dinas Kesehatan
Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan perbekalan kesehatan
yang rusak dan kadaluwarsa.
j. Dinas Kesehatan
Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang ada di Instalasi
Farmasi dan Unit Pelayanan Kesehatan Dasar.
Instalasi Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai tugas pokok
melaksanakan semua aspek pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan,
meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian penggunaan, pencatatan pelaporan, monitoring, supervisi dan
evaluasi. Termasuk didalamnya pelatihan pengelolaan obat serta melakukan
koordinasi dalam perencanaan dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan.
Instalasi
Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai fungsi antara lain :
a. Melakukan seleksi
obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar.
b. Melakukan
perhitungan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan
kesehatan dasar.
c. Pro-aktif
membantu perencanaan dan pelaksanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di
Kabupaten/ Kota.
d. Melakukan
penerimaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai
sumber anggaran.
e. Melakukan
penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan dari berbagai sumber anggaran.
f. Melakukan
pendistribusian obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai
sumber anggaran sesuai dengan permintaan dari pemilik program atau permintaan
unit pelayanan kesehatan.
g. Melakukan
pencatatan pelaporan obat publik dan perbekalan kesehatan serta obat program
kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya.
h. Melakukan
monitoring, supervisi dan evaluasi pengelolaan obat publik dan perbekalan
kesehatan pada unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya.
i. Melaksanakan
kegiatan pelatihan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta
penggunaan obat rasional bagi tenaga kesehatan di unit pelayanan kesehatan
dasar
j. Melaksanakan
kegiatan bimbingan teknis pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan
serta pengendalian penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan dasar
k. Melaksanakan
kegiatan administrasi unit pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan
A.1 Perencanaan
Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam
pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan
kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Quick et al (1997), perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan
pengelolaan obat yang memerlukan adanya dukungan sumber daya manusia dan
kebijakan obat yang berkaitan erat dengan penyediaan obat sehingga untuk
meningkatkan mutu pelayanan maka perencanaan obat harus dikelola secara efektif
dan efisien. Dengan adanya efesiensi dalam perencanaan obat dapat menurunkan
biaya belanja obat, sehingga dana tersebut dana tersebut dapat digunakan untuk
meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada gilirannya dapat meningkatkan
petumbuhan ekonomi negara (Chan,C.K, 2000).
Proses pemilihan obat sebaiknya mengikuti pedoman
seleksi obat yang telah disusun oleh WHO (1993), yaitu: memilih obat yang telah
terbukti efektif dan merupakan drug of
choice, mencegah duplikasi obat, pemilihan obat yang seminimal untuk suatu
jenis penyakit, melaksanakan evaluasi kontra indikasi dan efek samping secara
cermat.
Salah satu cara untuk meningkatkan efesiensi
penggunaan dana obat yang terbatas adalah dengan cara mengelompokkan obat
berdasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan berdasarkan metode
VEN. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok berikut:
1.
Kelompok V (Vital) adalah kelompok obat-obatan
yang sangat esensial, yang termasuk dalam kelompok ini adalah obat-obatan
penyelamat (life saving drugs),
obat-obat untuk pelayanan kesehatan khusus (vaksin, dll), obat-obatan untuk
mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian terbesar.
2.
Kelompok E (Esensial) adalah kelompok obat-obatan
yang harus ada yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan, yang bekerja pada
sumber penyakit.
3.
Kelompok N (Non Esensial) adalah merupakan
obat-obat penunjang yaitu obat-obatan yang kerjanya ringan yang biasa digunakan
untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatas keluhan ringan contohnya
vitamin (Quick et al, 1997)
Analisa perencanaan lain yang dapat digunakan
adalah analisa ABC (Always Better Control)
yaitu suatu metode pengelompokan obat berdasarkan kebutuhan dana, yaitu:
1.
Kelompok A adalah kelompok jenis obat yang jumlah
nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70 % dari jumlah
dana obat keseluruhan
2.
Kelompok B adalah kelompok jenis obat yang jumlah
nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%
3.
Kelompok C adalah kelompok jenis obat yang jumlah
nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah
dana keseluruhan.
Untuk
lebih akuratnya perencanaan obat dan untuk menyesuaikan rencana pengadaan obat
dengan jumlah dana yang tersedia, maka dapat dilakukan analisa ABC-VEN
Beberapa macam metode yang digunakan dalam
melakukan perencanaan, antara lain:
1.
Metode Epidemiologi
Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan
pola penyebaran penyakit dan pola pengobatan penyakit yang terjadi dalam
masyarakat sekitar. Juga dengan memperhatikan kemampuan dan sosio cultural
masyarakat sekitar.
2.
Metode Konsusmsi
Perencanaa dengan metode
ini dibuat berdasarkan data pengeluaran barang metode lalu.
3.
Metode kombinasi
Merupakan metode gabungan dari metode
epidemiologi dan metode konsumsi
Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam
perencanaan kebutuhan obat adalah sebagai berikut (Anonim,2002a):
1. Tahapan pemilihan obat, tahap ini dimulai dengan tahap
seleksi atau pemilihan obat bertujuan untuk menentukan apakah obat benar-benar
diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.
2. Tahap kompilasi pemakaian obat, berfungsi untuk
mengetahui pemakaian bulanan masing-masing jenis obat di Puskesmas selama satu
tahun sebagai pembanding stok optimum.
3. Tahap
perhitungan kebutuhan obat dapat menggunakan metode konsumsi, metode
epidemiologi atau gabungan dari kedua metode tersebut.
4.
Tahap
proyeksi kebutuhan obat, adalah perhitungan kebutuhan obat secara komprehensif
dengan mempertimbangkan data pemakaian obat dan jumlah sisa stok pada periode
yang masih berjalan dari berbagai sumber anggaran.
5.
Tahap
penyesuaian rencana pengadaan obat, dengan melaksanakan penyesuaian rencana
pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia maka informasi yang didapat
adalah jumlah rencana pengadaan, skala prioritas masing-masing jenis obat dan
jumlah kemasan, untuk rencana pengadaan obat tahun yang akan datang.
Proses perencanaan obat diawali dengan seleksi obat untuk menentukan
obat-obat yang diperlukan berdasarkan obat generik yang tercantum dalam DOEN
yang masih berlaku. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan kriteria seleksi obat-obat esensial
berdasarkan bahwa obat-obat tersebut dapat memberikan kepuasan pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat, tersedia setiap saat dalam
jumlah cukup dan dosis yang tepat. Pemilihan obat berdasarkan pola prevalensi
penyakit di fasilitas pelayanan dengan personel yang berpengalaman dan terlatih.
Obat yang dipilih mempunyai mutu yang terjamin, termasuk bioavailabilitas,
stabil dalam penyimpanan dan dengan bahan aktif yang tunggal (Quick et al.,
1997).
Tahap kompilasi pemakaian obat dilakukan dengan menentukan jumlah pemakaian obat setiap
bulan dari masing-masing sub unit
menggunakan format Laporan Pemakain Dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO)
yang diajukan oleh Puskesmas dengan mengetahui kepala Puskesmas untuk ditujukan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota dan selanjutnya diproses oleh Instalasi
Farmasi (IF) (Depkes, 2004). LPLPO merupakan sistem informasi obat yang
digunakan Puskesmas untuk meminta dan melaporkan pemakaian obat ke IF. Kegunaan
dari LPLPO adalah sebagai bukti penerimaan, pengeluaran dan penggunaan obat di
Puskesmas. Informasi yang didapat di dalam LPLPO berupa sisa stok, jumlah
pemakaian, jumlah obat yang diterima dan jumlah kunjungan resep tiap bulannya.
Format ini juga digunakan sub-sub unit pelayanan untuk memperoleh obat ke
Puskesmas (Depkes, 2005).
Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2002) melaui
penelaahan konsep pada Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan,
maka diukur indikator-indikator perencanaan obat Kabupaten/Kota adalah sebagai
berikut:
1.
Ketepatan perencanaan obat
Ketersediaan perencanaan
obat adalah perencanaan kebutuhan nyata obat untuk Kabupaten/Kota dibagi dengan
pemakaian obat pertahun. Ketepatan perencanaan kebutuhan obat Kabupaten/Kota
merupakan awal dari fungsi pengelolaan obat yang strategis. Angka ideal dari
perencanaan kebutuhn adalah 100% dari kebutuhan baik dalam jumlah dan jenis
obat.
2. Kesesuian item obat yang
tersedia dengan DOEN
Obat esensial adalah obat
terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya
diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia pada
unit pelayanan kesehatan. Kesesuaian jenis obat dengan DOEN merupakan upaya
untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pemanfaatan dana pengadaan obat.
Angka ideal kesesuaian jenis obat adalah 100% dari daftar DOEN. Kesesuaian item
obat dengan DOEN adalah total obat yang masuk dalam DOEN dibagi dengan total
jenis obat yang tersedia di gudang/instalasi pengelolaan obat.
3. Rata-rata waktu kekosongan
obat
Rata-rata waktu kekosongan
obat menggambarkan kapasits sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin
kesinambungan suplai obat dan merupakan salah satu faktor koreksi dalam
perencanaan obat khususnya dalam penetapan pemakaian rata-rata per bulan. Angka
ideal kekosongan obat adalah 0 (nol). Rata-rata waktu kekosongan obat didefinisikan
sebagai jumlah hari obat kosong dalam waktu satu tahun.
4. Tingkat ketersediaan obat
Ketersediaan kebutuhan obat
adalah kondisi terpenuhinya jumlah obat-obatan yang diperlukan daerah dalam
rangka pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kategori status ketersediaan obat
adalah:
a) Berlebih jika persediaan lebih
dari 18 bulan pemakaian rata-rata
b) Aman jika persediaan antara
12-18 bulan pemakaian rata-rata
c) Kurang jika persediaan dibawah
12 bulan pemakaian rata-rata
d) Stok kosong apabila persediaan
kurang dari 1 bulan pemakaian rata-rata
Obat yang disediakan untuk
tingkat pelayanan kesehatan di Puskesmas harus sesuai dengan kebutuhan populasi
berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia minimal harus sama dengan stok
selama waktu tunggu kedatangan obat. Kecukupan obat merupakan indikasi
kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di
Kabupaten/Kota.
5. Persentase obat kadaluwarsa
Terjadinya obat kadaluwarsa
mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baik sistem distribusi,
kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan perubahan pola penyakit.
Angka ideal persentase obat kadaluwarsa adalah 0%. Persentase obat kadaluwarsa
didefinisikan sebagai jumlah jenis obat yang kadaluwarsa dibagi dengan total
jenis penyakit.
A.2 Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui melalui pembelian, baik secara langsung atau tender
dari distributor, produksi/pembuatan sediaan farmasi baik steril maupun non
steril, maupun bersasal dari sumbangan/hibah (Anonim, 2004).
Proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam Keppres No. 80
tahun 2003 untuk proses pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan setelah tahun
2003 (sebelumnya proses pengadaan barang/jassa dilaksanakan sesuai Keppres No.
18 tahun 2000), bertujuan agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian
atau seluruhnya dibiayi oleh APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif,
terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar