Sabtu, 25 April 2020

Pengelolaan obat (skripsi dan tesis)


Menurut Quick et al (1997) siklus pengelolaan obat meliputi seleksi, pengadaan, distribusi, serta penggunaan yang didukung oleh struktur organisasi, keuangan, dan sistem informasi manajemen yang layak serta staf yag termotivasi. 

Tujuan pengelolaan obat adalah terjaminnya ketersediaan obat yang bermutu baik, secara tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu serta digunakan secara rasional dan supaya dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) (Anonim,2002). Agar tujuan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka pada Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dalam pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan sebaiknya ada pembagian tugas dan peran seperti di bawah ini :
a.  Perencanaan kebutuhan obat untuk pelayanan kesehatan dasar disusun oleh tim perencanaan obat terpadu berdasarkan system “bottom up”
b. Perhitungan rencana kebutuhan obat untuk satu tahun anggaran disusun dengan menggunakan pola konsumsi dan atau epidemiologi.
c. Mengkoordinasikan perencanaan kebutuhan obat dari beberapa sumber dana, agar jenis dan jumlah obat yang disediakan sesuai dengan kebutuhan dan tidak tumpang tindih.
d. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengajukan rencana kebutuhan obat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, Pusat, Provinsi dan sumber lainnya.
e. Melakukan Pelatihan Petugas Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan untuk Puskesmas
f. Melakukan Bimbingan Teknis, Monitoring dan Evaluasi Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ke Puskesmas.
g. Melaksanakan Advokasi Penyediaan Anggaran Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
h. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggungjawab terhadap pen-distribusian obat kepada unit pelayanan kesehatan dasar.
i. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap penanganan obat dan perbekalan kesehatan yang rusak dan kadaluwarsa.
j. Dinas Kesehatan Kab/Kota bertanggungjawab terhadap jaminan mutu obat yang ada di Instalasi Farmasi dan Unit Pelayanan Kesehatan Dasar.
Instalasi Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai tugas pokok melaksanakan semua aspek pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian penggunaan, pencatatan pelaporan, monitoring, supervisi dan evaluasi. Termasuk didalamnya pelatihan pengelolaan obat serta melakukan koordinasi dalam perencanaan dan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan.
Instalasi Farmasi di Provinsi/ Kabupaten/ Kota mempunyai fungsi antara lain :
a. Melakukan seleksi obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar.
b. Melakukan perhitungan kebutuhan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar.
c. Pro-aktif membantu perencanaan dan pelaksanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan di Kabupaten/ Kota.
d. Melakukan penerimaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai sumber anggaran.
e. Melakukan penyimpanan obat publik dan perbekalan kesehatan dari berbagai sumber anggaran.
f. Melakukan pendistribusian obat publik dan perbekalan kesehatan yang berasal dari berbagai sumber anggaran sesuai dengan permintaan dari pemilik program atau permintaan unit pelayanan kesehatan.
g. Melakukan pencatatan pelaporan obat publik dan perbekalan kesehatan serta obat program kesehatan yang menjadi tanggung jawabnya.
h. Melakukan monitoring, supervisi dan evaluasi pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan pada unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya.
i. Melaksanakan kegiatan pelatihan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta penggunaan obat rasional bagi tenaga kesehatan di unit pelayanan kesehatan dasar
j. Melaksanakan kegiatan bimbingan teknis pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan serta pengendalian penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan dasar
k. Melaksanakan kegiatan administrasi unit pengelola obat publik dan perbekalan kesehatan
  A.1 Perencanaan
Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan Quick et al (1997), perencanaan obat merupakan suatu proses kegiatan pengelolaan obat yang memerlukan adanya dukungan sumber daya manusia dan kebijakan obat yang berkaitan erat dengan penyediaan obat sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan maka perencanaan obat harus dikelola secara efektif dan efisien. Dengan adanya efesiensi dalam perencanaan obat dapat menurunkan biaya belanja obat, sehingga dana tersebut dana tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi yang pada gilirannya dapat meningkatkan petumbuhan ekonomi negara (Chan,C.K, 2000).
Proses pemilihan obat sebaiknya mengikuti pedoman seleksi obat yang telah disusun oleh WHO (1993), yaitu: memilih obat yang telah terbukti efektif dan merupakan drug of choice, mencegah duplikasi obat, pemilihan obat yang seminimal untuk suatu jenis penyakit, melaksanakan evaluasi kontra indikasi dan efek samping secara cermat.
Salah satu cara untuk meningkatkan efesiensi penggunaan dana obat yang terbatas adalah dengan cara mengelompokkan obat berdasarkan kepada dampak tiap jenis obat pada kesehatan berdasarkan metode VEN. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok berikut:
1.      Kelompok V (Vital) adalah kelompok obat-obatan yang sangat esensial, yang termasuk dalam kelompok ini adalah obat-obatan penyelamat (life saving drugs), obat-obat untuk pelayanan kesehatan khusus (vaksin, dll), obat-obatan untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian terbesar.
2.      Kelompok E (Esensial) adalah kelompok obat-obatan yang harus ada yang diperlukan untuk menyelamatkan kehidupan, yang bekerja pada sumber penyakit.
3.      Kelompok N (Non Esensial) adalah merupakan obat-obat penunjang yaitu obat-obatan yang kerjanya ringan yang biasa digunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatas keluhan ringan contohnya vitamin (Quick et al, 1997)
Analisa perencanaan lain yang dapat digunakan adalah analisa ABC (Always Better Control) yaitu suatu metode pengelompokan obat berdasarkan kebutuhan dana, yaitu:
1.      Kelompok A adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70 % dari jumlah dana obat keseluruhan
2.      Kelompok B adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%
3.      Kelompok C adalah kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana keseluruhan.
   Untuk lebih akuratnya perencanaan obat dan untuk menyesuaikan rencana pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia, maka dapat dilakukan analisa ABC-VEN
Beberapa macam metode yang digunakan dalam melakukan perencanaan, antara lain:
1.      Metode Epidemiologi
Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan pola pengobatan penyakit yang terjadi dalam masyarakat sekitar. Juga dengan memperhatikan kemampuan dan sosio cultural masyarakat sekitar.
2.      Metode Konsusmsi
Perencanaa dengan metode ini dibuat berdasarkan data pengeluaran barang metode lalu.
3.      Metode kombinasi
Merupakan metode gabungan dari metode epidemiologi dan metode konsumsi
Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat adalah sebagai berikut (Anonim,2002a):
1. Tahapan pemilihan obat, tahap ini dimulai dengan tahap seleksi atau pemilihan obat bertujuan untuk menentukan apakah obat benar-benar diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah.
2. Tahap kompilasi pemakaian obat, berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masing-masing jenis obat di Puskesmas selama satu tahun sebagai pembanding stok optimum.
3.   Tahap perhitungan kebutuhan obat dapat menggunakan metode konsumsi, metode epidemiologi atau gabungan dari kedua metode tersebut.
4.      Tahap proyeksi kebutuhan obat, adalah perhitungan kebutuhan obat secara komprehensif dengan mempertimbangkan data pemakaian obat dan jumlah sisa stok pada periode yang masih berjalan dari berbagai sumber anggaran.
5.      Tahap penyesuaian rencana pengadaan obat, dengan melaksanakan penyesuaian rencana pengadaan obat dengan jumlah dana yang tersedia maka informasi yang didapat adalah jumlah rencana pengadaan, skala prioritas masing-masing jenis obat dan jumlah kemasan, untuk rencana pengadaan obat tahun yang akan datang.
Proses perencanaan obat diawali dengan seleksi obat untuk menentukan obat-obat yang diperlukan berdasarkan obat generik yang tercantum dalam DOEN yang masih berlaku. World Health Organization (WHO) merekomendasikan kriteria seleksi obat-obat esensial berdasarkan bahwa obat-obat tersebut dapat memberikan kepuasan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh mayoritas masyarakat, tersedia setiap saat dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat. Pemilihan obat berdasarkan pola prevalensi penyakit di fasilitas pelayanan dengan personel yang berpengalaman dan terlatih. Obat yang dipilih mempunyai mutu yang terjamin, termasuk bioavailabilitas, stabil dalam penyimpanan dan dengan bahan aktif yang tunggal (Quick et al., 1997).
Tahap kompilasi pemakaian obat dilakukan dengan menentukan jumlah pemakaian obat setiap bulan dari masing-masing sub unit  menggunakan format Laporan Pemakain Dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang diajukan oleh Puskesmas dengan mengetahui kepala Puskesmas untuk ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota dan selanjutnya diproses oleh Instalasi Farmasi (IF) (Depkes, 2004). LPLPO merupakan sistem informasi obat yang digunakan Puskesmas untuk meminta dan melaporkan pemakaian obat ke IF. Kegunaan dari LPLPO adalah sebagai bukti penerimaan, pengeluaran dan penggunaan obat di Puskesmas. Informasi yang didapat di dalam LPLPO berupa sisa stok, jumlah pemakaian, jumlah obat yang diterima dan jumlah kunjungan resep tiap bulannya. Format ini juga digunakan sub-sub unit pelayanan untuk memperoleh obat ke Puskesmas (Depkes, 2005).
Menurut Departemen Kesehatan RI (Anonim, 2002) melaui penelaahan konsep pada Pedoman Supervisi Dan Evaluasi Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, maka diukur indikator-indikator perencanaan obat Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
1.      Ketepatan perencanaan obat
Ketersediaan perencanaan obat adalah perencanaan kebutuhan nyata obat untuk Kabupaten/Kota dibagi dengan pemakaian obat pertahun. Ketepatan perencanaan kebutuhan obat Kabupaten/Kota merupakan awal dari fungsi pengelolaan obat yang strategis. Angka ideal dari perencanaan kebutuhn adalah 100% dari kebutuhan baik dalam jumlah dan jenis obat.
2.      Kesesuian item obat yang tersedia dengan DOEN
Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan. Kesesuaian jenis obat dengan DOEN merupakan upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pemanfaatan dana pengadaan obat. Angka ideal kesesuaian jenis obat adalah 100% dari daftar DOEN. Kesesuaian item obat dengan DOEN adalah total obat yang masuk dalam DOEN dibagi dengan total jenis obat yang tersedia di gudang/instalasi pengelolaan obat.
3.      Rata-rata waktu kekosongan obat
Rata-rata waktu kekosongan obat menggambarkan kapasits sistem pengadaan dan distribusi dalam menjamin kesinambungan suplai obat dan merupakan salah satu faktor koreksi dalam perencanaan obat khususnya dalam penetapan pemakaian rata-rata per bulan. Angka ideal kekosongan obat adalah 0 (nol). Rata-rata waktu kekosongan obat didefinisikan sebagai jumlah hari obat kosong dalam waktu satu tahun.
4.      Tingkat ketersediaan obat
Ketersediaan kebutuhan obat adalah kondisi terpenuhinya jumlah obat-obatan yang diperlukan daerah dalam rangka pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Kategori status ketersediaan obat adalah:
a)      Berlebih jika persediaan lebih dari 18 bulan pemakaian rata-rata
b)      Aman jika persediaan antara 12-18 bulan pemakaian rata-rata
c)      Kurang jika persediaan dibawah 12 bulan pemakaian rata-rata
d)     Stok kosong apabila persediaan kurang dari 1 bulan pemakaian rata-rata
Obat yang disediakan untuk tingkat pelayanan kesehatan di Puskesmas harus sesuai dengan kebutuhan populasi berarti jumlah (kuantum) obat yang tersedia minimal harus sama dengan stok selama waktu tunggu kedatangan obat. Kecukupan obat merupakan indikasi kesinambungan pelayanan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di Kabupaten/Kota.
5.      Persentase obat kadaluwarsa
Terjadinya obat kadaluwarsa mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurang baik sistem distribusi, kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan perubahan pola penyakit. Angka ideal persentase obat kadaluwarsa adalah 0%. Persentase obat kadaluwarsa didefinisikan sebagai jumlah jenis obat yang kadaluwarsa dibagi dengan total jenis penyakit.
A.2 Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui pembelian, baik secara langsung atau tender dari distributor, produksi/pembuatan sediaan farmasi baik steril maupun non steril, maupun bersasal dari sumbangan/hibah (Anonim, 2004).
Proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam Keppres No. 80 tahun 2003 untuk proses pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan setelah tahun 2003 (sebelumnya proses pengadaan barang/jassa dilaksanakan sesuai Keppres No. 18 tahun 2000), bertujuan agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayi oleh APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.

Tidak ada komentar: