Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh para ahli
tersebut di atas, guna pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih
pendekatan yang dikemukakan oleh Edward III, yang dianggap relevan dengan
materi pembahasan dari obyek yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti
menjustifikasi teori-teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori
implementasi kebijakan publik, melainkan lebih mengarahkan kepada peneliti
agar lebih fokus terhadap variable-variabel yang dikaji melalui penelitian ini,
sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini.
Edward III (dalam Nawawi, 2007) menyarankan untuk memperhatikan
empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu:
a. Komunikasi (communication)
Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik.
Komunikasi menyangkut proses penyampaian informasi atau transmisi,
kejelasan informasi tersbut serta konsistensi informasi yang disampaikan.
Komunikasi sangat penting, karena suatu program hanya dapat
dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana, dimana
komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para
implementer akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap
kebijakan yang akan diterapkan di masayarakat. Ada tiga indikator yang
dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek komunikasi ini,
yaitu:
1) Transmisi, yaitu penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu hasil implementasi yang baik pula. Seringkali
yang terjadi dalam proses transmisi ini yaitu adanya salah pengertian,
hal ini terjadi karena komunikasi implementasi tersebut telah melalui
beberap tingkatan birokrasi, sehingga hal yang diharapkan terdistorsi
di tengah jalan
.
2) Kejelasan informasi, yaitu petunjuk pelaksanaan dari sebuah
kebijakan harus jelas agar pengimplementasiannya berjalan
sebagaimana yang diinginkan.
3) Konsistensi informasi yang disampaikan, yaitu perintah-perintah
pelaksanaan harus konsisten dan jelas, perintah tersebut tidak
bertentangan sehingga dapat memudahkan para pelaksana kebijakan
untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila perintah yang
diberikan seringkali berubah-ubah, maka dapat menimbulkan
kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
b. Sumber daya (resources)
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas
dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi
ini pun cenderung tidak akan efektif. Sumber daya yang penting meliputi:
1. Staf (staff)
Staf yang memadai, dalam pengimplementasian kebijakan, staf
merupakan salah satu faktor yang penting. Jumlah staf dan mutuatau
keahlian-keahlian yang dimiliki staf harus memadai.
2. Informasi (information)
Informasi dalam hal ini memilik dua bentuk yaitu informasi mengenai
bagaimana melaksanakan kebijakan dan data tentang ketaatan
personil-personil lain terhadap peraturan pemerintah.
3. Wewenang (authority)
Wewenang ini akan berbeda-beda dari suatu program ke program
yang lain serta mempunyai bayak bentuk yang berbeda, seperti
misalnya menarik dana dari suatu program, membeli barang-barang
dan jasa, dan lain sebaginya.
4. Fasilitas (facilities)
Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf yang memadai,
mungkin memahami apa yang harus dilakukan, dan mungkin
mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa
bangunan sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa
perlengkapan, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan
implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.
c. Disposisi (attitudes)
Jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijakan, hal tersebut
berarti bahwa adanya dukungan, kemungkinan besar mereka
melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh para
pembuat keputusan. Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku atau
perspekif para pelaksana berbeda dengan para pembuat keputusan,
maka dapat menyebabkan proses pelaksanaan suatu kebijakan menjadi
semakin sulit. Edwards III (dalam Nawawi, 2007) mengemukakan dua hal
yang perlu diperhatikan dalam mengatasi dampak dari kekuatan-kekuatan
seringnya birokrat mengesampingkan implementasi kebijakan yang telah
ditetapkan oleh pejabat tinggi, yaitu:
1. Penempatan Pegawai (staffing the bureaucracy), dimana sikap dari
para aparart birokrasi kadangkala menyebabkan masalah apabila
sikap ataupun cara pandangnya berbeda dengan pembuat kebijakan.
2. Insentif (Incentives),
Mengubah personil dalam birokrasi pemeritah merupakan pekerjaan
yang sulit dan tidak menjamin proses implementasi dapat berjalan
lancar. Salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah
kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentifinsentif.
d. Struktur birokrasi
Struktur organisasi adalah susunan komponen (unit-unit) kerja dalam
organisasi yang menunjukkan adanya pembagian kerja serta adanya
kejelasan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan yang berbeda-beda
diintegrasikan atau dikoordinasikan. Selain itu, struktur organisasi juga
menunjukkan spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian
laporan.
Adapun aspek-aspek dari struktur birokrasi, yaitu:
1) Adanya suatu SOP (Standard Operating Procedure) yang mengatur
tata aliran pekerjaan dan pelaksana program. SOP juga memberikan
keseragaman dalam tindakan para pegawai dalam organisasi yang
komplek dan luas, dalam pelaksanaannya dapat menghasilkan
fleksibilitas yang sangat baik, serta adanya keadilan dalam
pelaksanaan aturan.
2) Fragmentasi (fragmentation) adalah adanya penyebaran tanggung
jawab pada suatu area kebijakan di antara beberapa unit organisasi.
Hal ini mengakibatkan koordinasi kebijakan menjadi sulit, dimana
sumber daya dan kebutuhan atas kewenangan untuk menyelesaikan
masalah yang timbul kadangkala tersebar di antara beberapa unit
birokrasi. Oleh sebab itu perlu adanya kekuatan pemusatan
koordinasi antara unit-unit yang terkait dan hal tersebut bukan hal
yang mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar