Senin, 30 Maret 2020

Likuiditas (skripsi dan tesis)

 Rasio likuiditas digambarkan mampu mengukur sejauh mana kemampuan memenuhi kewajiban jangka pendek, sehingga bila ditagih perusahaan mampu membayar utang terutama utang jatuh tempo. Kewajiban jangka pendek perusahaan berupa gaji karyawan, gaji teknisi, gaji lembur, tagihan telepon, dsb. Apabila perusahaan mampu melunasi kewajiban jangka pendeknya dengan tuntas maka potensi perusahaan mengalami financial distress akan semakin kecil menurut Fed Weston (dalam Kasmir 2008). Rasio likuiditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah current ratio. Current ratio merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih. Rasio ini dapat pula dikatakan sebagai metode untuk mengukur tingkat keamanan (margin of safety) suatu perusahaan (Kasmir, 2008). Menurut rasio likuiditas untuk perusahaan dapat dinilai aman adalah 2, artinya jika perusahaan mempunyai hutang sebesar Rp 1, maka perusahaan barus juga mempunyai aset lancar minimal sejumlah Rp 2, dari rasio ini dapat diperoleh pandangan tentang solvabilitas kas pada saat ini dan kemampuan perusahaan untuk tetap mempertahankan solvabilitasnya. Rasio solvabilitas yang kurang bsik dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap solvabilitas perusahaan. Rasio likuiditas mengukur keefektifan perusahaan dalam menggunakan aset yang dimilikinya untuk mememnuhi kewajiban – kewajiban jangka pendek perusahaan.

Financial Indicators (skripsi dan tesis)

Financial Indicators dapat dikatakan sebagagai indikator kinerja keuangan perusahaan merupakan hasil atau kondisi keuangan suatu perusahaan maupun kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan untuk suatu periode tertentu yang disajikan di dalam laporan keuangan perusahaan (Jiming dan Wei Wei, 2011). Menurut teori manajemen keuangan financial indicators dapat menggabungakan aset dan kewajiban melalui laporan laba rugi dan arus kas selain itu dapat menghilangkan efek skala perusahaan dan perbedaan industri pada penelitian Jiming dan Wei Wei, 2011 menggunakan  indikator yaitu: 1. Indikator solvabilitas meliputi solvabilitas jangka panjang dan solvabilitas jangka pendek indikator tersebut untuk mengkur keadaan perusahaan yang meliputi rasio likuiditas, current rasio, quick rasio, cash to current liability ratio, equity rario, debt asset rasio, debt equity ratio, agregat dan penutupan bunga. 2. Indikator profitabilitas merupakan sebagai pusat dari sistem keuangan. Indikator profitabilitas dapat mencerminkan profitabilitas perusahaan meliputi laba kotor bisnis utama, laba bersih dari bisnis utama, ratio of return on total assets, total accruals to total assets dan rate of return. 3. Indikator kapasitas operasi mencerminkan efisiensi operasional perusahaan meliputi perputaran piutang, perputaran persediaan, dan perputaran total aset. 4. Indikator pertumbuhan mencerminkan tingkat pertumbuhan pendapatan bisnis utama tingkat pertumbuhan laba operasi, tingkat pertumbuhan laba bersih, tingkat pertumbuhan total aset dan tingkat pertumbuhan bersih aset. 5. Indikator arus kas mencerminkan peran arus kas meliputi tingkat penjualan tunai, arus kas bersih, dari aktivitas operasi setiap saham dan arus kas masuk dan keluar dari aktivitas operasi. Indikator keuangan yang disebutkan diatas merupakan pilihan untuk melihat perusahaan pengalami financial distress sehingga dalam penelitain ini memilih variabel penelitian yaitu likuiditas, leverage, operating capacity

Financial Distres (skripsi dan tesis)

Financial distres adalah keadaan dimana keuangan perusahaan sedang mengalami kesulitan atau keadaan tidak sehat. Financial distress yaitu tahapan penurunan kondisi keuangan sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Financial distress dimulai dengan ketidak mampuan memenuhi kewajibankewajibannya, terutama kewajiban jangka pendek termasuk kewajiban likuiditas, dan merupakan kewajiban dalam kategori solvabilitas menurut Plat dan Plat (dalam Fahmi 2013:158). Financial distress adalah suatu masalah keuangan yang dapat dihadapi perusahaan yang memiliki beberapa tahapan (dalam Febriani 2010:196). Tahapan kebangkrutan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 
1. Latency. pada tahap latency, Return on Assets (ROA) akan mengalami penurunan. 
2. Shortage of Cash. Dalam tahap kekurangan kas, perusahaan kekurangan sumber daya kas untuk memnuhi kewajiban saat ini, meskipun masih mungkin memiliki tingkat profitabilitas yang kuat
 3. Financial Distres. Kesulitan keuangan dapat dianggap sebagai keadaan darurat keuangan, dimana kondisi ini mendekati kebangkrutan. 
4. Bankrupcy. Jika perusahaan tidak dapat menyembuhkan gejala kesulitan keuangan (financial distress), maka perusahaan akan bangkrut. Menurut Lizal (dalam Febrina 2010:197) mengelompokkan penyebab kesulitan keuangan, yang disebut dengan model dasar kebangkrutan atau trinitas penyebab kesulitan keuangan. 
Terdapat penyebab utama perusahaan mengalami fianancial distress dan kemudian bangkrut yaitu: 
1. Neoclassical model Financial distress dan kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya tidak tepat. Manajemen yang kurang bisa mengalokasi sumber daya (aset) yang ada diperusahaan untuk kegiatan operasional perusahaan. 
2. Financial model Perpaduan aset benar tetapi menyusun struktur keuangan salah dengan liquidity constrains. Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat bertahap hidup jangka panjang tapi harus bangkrut juga dalam jangka pendek. 
3. Corporate Gorvernance model Menurut model ini, kebangkrutan mempunyai campuran aset dan struktur keuangan yang benar tapi dikelola dengan buruk. Ketidak efisienan ini mendorong perusahaan menjadi Ollt of the market sebagai konsekuensi dari masalah dalam pengelolaan perusahaan yang tak terpecahkan. Pengukuran variabel financial distress menggunakan alat ukur interest coverage ratio (ICR) dimana fungsi rasio ini sebagai ukuran kemampuan perusahaan membayar bunga yang dimilikinya dan menghindari kebangrutan. Perusahaan yang memiliki ICR kurang dari 1 maka dianggap sedang mengalami financial distress sedangkan perusahaan tidak mengalami financial ditress harus memiliki ICR di atas 

Teori Keagenan (skripsi dan tesis)

Teori keagenan (agency theory) merupakan teori yang menjelaskan tentang adanya pemisahan kepentingan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan (Bodroastuti, 2009). Menurut teori keagenan, pemisahan ini dapat menyebabkan konflik. Terjadinya agency confict disebabkan pihak - pihak yang berhubungan yaitu principal (yang menyerahkan kontrak atau pemegang saham) dan agen (yang menerima kontrak dan mengelola dana principal) mempunyai kepentingan yang saling bertentangan. Apabila agen dan principal berupaya mengoptimalkan kepentingannya masing - masing, serta memiliki keinginan, motivasi dan tujuan yang berbeda, maka agen (manajemen) tidak selalu bertindak sesuai keinginan principal menurut Jensen dan Mecking (dalam Hanifah, 2013). Permasalahan yang muncul karena adanya perbedaan sudut pandang dan kepentingan antara agen dan principal disebut agency problem. Salah satu penyebab agency problem adalah adanya asymmetric information. Asymmetrc information adalah informasi yang tidak seimbang karena adannya distribusi informasi yang berbeda antara principal dan agen yang mengakibatkan masalah yaitu kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen (Emirzon,2007). Jensen dan Mecking (dalam Hanifah, 2013) menyatakan permasalahan adalah: 1. Moral hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja. 2. Adverse selection, yaitu keadaan dimana principal tidak dapat memehami apakah suatu keputusan diambil oleh agen benar didasakan atas informasi yang telah diperolehnya atau terjadinya sebagai sebuah kelalaian tugas. Dengan demikian perlu suatu mekanisme pengendalian yang dapat menyatukan perbedaan yaitu good corporate governance. Good corporate governance adalah sistem antisipasi agar tidak terjadi konflik atau antara pihak agen dan principal yang berdampak pada penurunan agency cost (Bondroastuti,2009)

Pengaruh Merger dan Akuisisi Terhadap Kinerja Keuangan

Peningkatan kinerja keuangan perusahaan setelah merger dan akuisisi yang diukur menggunakan ROE dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kadek dan Made (2013). Selain penelitian tersebut peningkatan ROE setelah peristiwa akuisisi juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Fuji dan Ardi (2012) pada perusahaan yang pengakuisisi. Jurnal Internasional yang disusun oleh Mahesh dan Daddikar (2012) yang melakukan penelitian tentang peningkatan kinerja pasca merger menunjukan bahwa kinerja keuangan yang diukur mengguanakan rasio ROE mengalami peningkatan yang signifikan setalah peristiwa merger. Pengaruh merger dan akuisisi tehadap peningkatan kinerja keuangan yang diukur menggunakan ROI dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Hamidah dan 20 Manasye (2013). Selain penelitian di atas. penelitian yang dilakukan oleh Fuji dan Ardi (2012) juga mengungkap adanya peningkatan kinerja keuangan pasca merger yang diukur menggunakan rasio keuangan ROI. Total Assets Turnover (TATO) mengalami peningkatan pasca merger dan akuisisi dilakukan tercermin pada penelitian yang dilakukan oleh Fuji dan Ardi (2012). Selain ROE. ROI. dan TATO yang dijadikan rasio untuk mengukur kinerja keuangan pada penelitian ini juga ditambahkan Debt to Total Equity (DTE) sebagai rasio hutang yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perushaan. Meurut Sawir Agnes (2009:13) Debt Ratio adalah sejauh mana hutang sebuah perushaan dapat ditutup oleh aktiva yang dimiliki. Penelitian terdahulu yang menggunakan DTE sebagai variabel penelitian adalah penelitian Fuji dan Ardi (2012) sebagai alasan peneliti saat ini menggunakan DTE sebagai variabel penelitian.

Alasan Perusahaan melakukan Merger dan Akuisisi (skripsi dan tesis)

Menurut James C. Van Horne dan John M. Wachowicz (2013:364) bahwa alasan perusahaan melakukan merger dan akuisisi adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan Penjualan dan Operasional yang Ekonomis Peningkatan dalam penjualan serta pencapaian operasional yang ekonomis merupakan salah satu alasan perusahaan melakukan merger dan akuisisi. Peningkatan penjualan didapat setelah peristiwa merger dan akuisisi ini diharapkan dapat meningkatkan penjualan serta pemasaran yang lebih besar. Sementara operasional ekonomis tersebut yang dimaksud adalah penambahan teknologi serta  tenaga kerja yang dapat menghasilkan produk yang lebih banyak dalam waktu yang singkat. 2. Perbaikan Manajemen Banyak perusahaan yang bekerja dalam sebuah menejemen yang tidak efisien. maka diharapkan merger dan akuisisi dapat menjawab permasalahan tersebut. 3. Pengaruh Informasi Setelah peristiwa merger dan akuisisi diharapkan dapat memberikan sinyal-sinyal positif bagi investor. sehingga nilai pasar perusahaan bisa membaik setelah merger dan akuisisi. 4. Transfer Kesejahteraan Transfer kesejahteraan yang dimaksud adalah transfer kesejahteraan antara pemegang saham dengan pemilik utang. 5. Penghematan pajak Perusahaan melakukan akuisisi sebagai potensi memperoleh penghematan pajak. Salah satu sumber penghematan pajak adalah untuk meningkatkan debt capacity. Apabila penggabungan perusahaan menyebabkan kombinasi perusahaan tersebut mampu meminjam lebih besar tanpa harus meningkatkan biaya kebangkrutan. maka tambahan pinjaman tersebut akan mampu memberikan manfaat dalam bentuk tax savings. 6. Keuntungan Leverage Perubahan yang terjadi pada leverage keuangan perusahaan setelah peristiwa merger dan akuisisi diharapkan dapat menambah nila perusahaan yang tercermin pada kinerja keuangan.  7. Hipotesis Hubris Hubris menyatakan bahwa premi lebih yang dibayar untuk perusahaan target menguntungkan pemegang saham perusahaan yang diakuisisi. 8. Agenda Manajemen Pribadi Alasan terkhir perusahaan melakukan merger dan akuisisi ini merupakan ambisi pribadi manajemen dalam rangka menguasai pasar dengan melakukan penggabungan serta pembelian terhadap perusahaan lain.

Pengertian Merger dan Akuisisi (skripsi dan tesis)

Merger adalah salah satu strategi perusahaan dalam mengembangkan dan menumbuhkan perusahaan. Merger berasal dari kata merger (latin) yang berarti bergabung. bersama. berkombinasi yang menyebabkan hilangnya identitas akibat penggabungan ini. Merger didefinisikan penggabungan usaha dari dua atau lebih perusahaan yang pada akhirnya bergabung kedalam salah satu perusahaan yang telah ada sebelumnya. sehingga menghilangkan salah satu nama perusahaan yang  melakukan merger. Dengan kata lain bahwa merger adalah kesepakatan dua atau lebih perusahaan untuk bergabung yang kemudian hanya ada satu perusahaan yang tetap hidup sebagai badan hukum. sementara yang lainnya menghentikan aktivitas atau bubar (Moin. 2010:15). Pihak yang masih hidup dalam atau yang menerima merger dinamakan surviving firm atau pihak yang mengeluarkan saham (issuing firm). Sementara itu perusahaan yang berhenti dan bubar setelah terjadinya merger dinamakan merged firm. Surviving firm dengan sendirinya memiliki ukuran yang semakin besar karena seluruh aset dan kewajiban dari merger firm dialihkan ke surviving firm. Perusahaan yang dimerger akan menanggalkan status hukumnya sebagai entitas yang terpisah dan setelah merger statusnya berubah menjadi bagian (unit bisnis) di bawah surviving firm. Dengan demikian merged firm tidak dapat bertindak hukum atas namanya sendiri. 

Kamis, 26 Maret 2020

Brand Association (skripsi dan tesis)


Aaker dalam Handayani, dkk (2010: 76), mendefinisikan brand association sebagai segala sesuatu yang terhubung di memori konsumen terhadap suatu merek. Schiffman dan Kanuk (2000: 111), menambahkan bahwa asosiasi merek yang positif mampu menciptakan citra merek yang 24 sesuai dengan keinginan konsumen, sehingga dapat menciptakan rasa percaya diri konsumen atas keputusan pembelian merek tersebut. Menurut Simamora (2003: 63), asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan tentang merek dalam ingatan. Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004: 61), asosiasi merek merupakan segala kesan yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek. Keller (2003: 731), secara konseptual membedakan tiga dimensi dari asosiasi merek, yaitu:
1) Strength (kekuatan) Kekuatan dari asosiasi merek tergantung dari banyaknya jumlah atau kuantitas dan kualitas informasi yang diterima oleh konsumen. Semakin dalam konsumen menerima informasi merek, semakin kuat asosiasi merek yang dimilikinya. Dua faktor yang memengaruhi kekuatan asosiasi merek yaitu hubungan personal dari informasi tersebut dan konsistensi informasi tersebut sepanjang waktu.
2) Favorability (kesukaan) Asosiasi merek yang disukai terbentuk oleh program pemasaran yang berjalan efektif mengantarkan produk-produknya menjadi produk yang disukai oleh konsumen.
 3) Uniqueness (keunikan) Asosiasi keunikan merek tercipta dari asosiasi kekuatan dan kesukaan yang membuat suatu merek menjadi lain daripada yang lain. Dengan adanya asosiasi unik dari suatu merek, akan tercipta keuntungan kompetitif dan alasan-alasan mengapa konsumen sebaiknya membeli merek tersebut. Asosiasi unik dirancang agar konsumen “tidak ada alasan untuk tidak” memilih merek tersebut. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asosiasi merek merupakan segala hal atau kesan yang ada di benak seseorang yang berkaitan dengan ingatannya mengenai suatu merek. Kesan-kesan yang terkait merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengonsumsi atau menggunakan suatu merek atau dengan seringnya penampakkan merek tersebut dalam strategi komunikasinya, ditambah lagi jika kaitan tersebut didukung oleh suatu jaringan dari kaitan-kaitan lain. Sebuah merek adalah seperangkat asosiasi, biasanya terangkai dalam berbagai bentuk yang bermakna.
Menurut Durianto, dkk (2004: 69), asosiasi-asosiasi yang terkait dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal berikut:
1) Atribut produk (product attributes) Atribut produk yang paling banyak digunakan dalam strategi positioning adalah mengasosiasikan suatu obyek dengan salah satu atau beberapa atribut atau karakteristik produk yang bermakna dan saling mendukung, sehingga asosiasi bisa secara langsung diterjemahkan dalam alasan untuk pembelian suatu produk.
 2) Atribut tak berwujud (intangibles attributes) Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi kualitas, kemajuan teknologi, inovasi, atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian atribut yang obyektif.
3) Manfaat bagi konsumen (customers benefits) Biasanya terdapat hubungan antara atribut produk dan manfaat bagi konsumen. Terdapat dua manfaat bagi konsumen, yaitu: (a) manfaat rasional (rational benefit), adalah manfaat yang berkaitan erat dengan suatu atribut produk dari produk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional; (b) manfaat psikologis (psychological benefit), seringkali merupakan konsekuensi ekstrim dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau menggunakan merek tersebut.
4) Harga relatif (relative price) Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali dengan penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkat harga.
 5) Penggunaan (application) Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu.
 6) Pengguna/konsumen (user/customer) Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe pengguna atau konsumen dari produk tersebut.
7) Orang terkenal/khalayak (celebrity/person) Mengkaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut.
 8) Gaya hidup/kepribadian (lifestyle/personality) Sebuah merek bisa diilhami oleh para konsumen merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup yang hampir sama.
9) Kelas produk (product class) Beberapa merek perlu membuat keputusan positioning yang menentukan dan melibatkan asosiasi-asosiasi kelas produk.
 10) Para pesaing (competitors) Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing.
 11) Negara/wilayah geografis (country/geographic area) Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat dengan produk, bahan, dan kemampuan.
Pada umumnya asosiasi merek (terutama yang membentuk brand image-nya) menjadi pijakan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitas pada merek tersebut. Dalam prakteknya, didapati banyak sekali kemungkinan asosiasi dan varian dari asosiasi merek yang dapat memberikan nilai bagi suatu merek, dipandang dari sisi perusahaan maupun dari sisi pengguna.
Menurut Simamora (2003: 82) antara lain: 1) Proses penyusunan informasi Asosiasi-asosiasi dapat membantu mengikhtisarkan sekumpulan fakta dan spesifikasi yang mungkin sulit diproses dan diakses para konsumen. 2) Pembedaan Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan suatu merek dari merek lain. 3) Alasan untuk membeli Asosiasi merek yang berhubungan dengan atribut produk atau manfaat bagi konsumen yang dapat pembeli untuk menggunakan merek tersebut. 4) Menciptakan sikap atau perasaan positif Asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya merambat pada merek yang bersangkutan.  5) Landasan untuk perluasan Asosiasi dapat menjadi dasar perluasan sebuah merek dengan menciptakan kesan kesesuaian antara merek tersebut dan produk baru perusahaan

Brand Awareness (skripsi dan tesis)


 Aaker dalam Handayani, dkk (2010: 62), mendefinisikan kesadaran merek adalah kemampuan dari konsumen potensial untuk mengenali atau mengingat bahwa suatu merek termasuk ke dalam kategori produk tertentu. Sedangkan menurut Durianto, dkk (2004: 30), brand awareness adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali suatu merek sebagai bagian dari suatu kategori produk tertentu. Kesadaran merek merupakan elemen ekuitas yang sangat penting bagi perusahaan karena kesadaran merek dapat berpengaruh secara langsung terhadap ekuitas merek. Apabila kesadaran konsumen terhadap merek rendah, maka dapat dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga akan rendah. Kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat merek suatu produk berbeda tergantung tingkat komunikasi merek atau persepsi konsumen terhadap merek produk yang ditawarkan.
 Berikut adalah tingkatan brand awareness yang dikemukakan oleh Handayani, dkk (2010: 65): 22 1) Unware of brand Pada tahapan ini, konsumen merasa ragu atau tidak yakin apakah sudah mengenal merek yang disebutkan atau belum. Tingkatan ini yang harus dihindarkan oleh perusahaan. 2) Brand recognition Pada tahapan ini, konsumen mampu mengidentifikasi merek yang disebutkan. 3) Brand recall Pada tahapan ini, konsumen mampu mengingat merek tanpa diberikan stimulus. 4) Top of mind Pada tahapan ini konsumen mengingat merek sebagai yang pertama kali muncul di pikiran saat berbicara mengenai kategori produk tertentu. Kesadaran merek akan sangat berpengaruh terhadap ekuitas suatu merek. Kesadaran merek akan memengaruhi persepsi dan tingkah laku seorang konsumen. Oleh karena itu meningkatkan kesadaran konsumen terhadap merek merupakan prioritas perusahaan untuk membangun ekuitas merek yang kuat. Durianto, dkk (2004: 57), mengungkapkan bahwa tingkat kesadaran konsumen terhadap suatu merek dapat ditingkatkan melalui berbagai upaya sebagai berikut:
1) Suatu merek harus dapat menyampaikan pesan yang mudah diingat oleh para konsumen. Pesan yang disampaikan harus  berbeda dibandingkan merek lainnya. Selain itu pesan yang disampaikan harus memiliki hubungan dengan merek dan kategori produknya.
2) Perusahaan disarankan memakai jingle lagu dan slogan yang menarik agar merek lebih mudah diingat oleh konsumen.
 3) Simbol yang digunakan perusahaan sebaiknya memiliki hubungan dengan mereknya.
4) Perusahaan dapat menggunakan merek untuk melakukan perluasan produk, sehingga merek tersebut akan semakin diingat oleh konsumen.
 5) Perusahaan dapat memperkuat kesadaran merek melalui suatu isyarat yang sesuai dengan kategori produk, merek, atau keduanya.
6) Membentuk ingatan dalam pikiran konsumen akan lebih sulit dibandingkan dengan memperkenalkan suatu produk baru, sehingga perusahaan harus selalu melakukan pengulangan untuk meningkatkan ingatan konsumen terhadap merek.

Rabu, 25 Maret 2020

Ekuitas Merek (skripsi dan tesis)


Menurut Kotler dan Keller (2009: 263), ekuitas merek adalah nilai tambah yang diberikan pada produk dan jasa. Ekuitas merek dapat tercermin dalam cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak dalam hubungannya dengan merek, dan juga harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang diberikan merek bagi perusahaan. Menurut Durianto, dkk (2004: 61), ekuitas merek dapat memberikan nilai bagi perusahaan. Berikut adalah nilai ekuitas merek bagi perusahaan:
 a. Ekuitas merek yang kuat dapat membantu perusahaan dalam upaya menarik minat calon konsumen serta upaya untuk menjalin hubungan yang baik dengan para konsumen dan dapat menghilangkan keraguan konsumen terhadap kualitas merek.
b. Seluruh elemen ekuitas merek dapat memengaruhi keputusan pembelian konsumen karena ekuitas merek yang kuat akan mengurangi keinginan konsumen untuk berpindah ke merek lain.
 c. Konsumen yang memiliki loyalitas tinggi terhadap suatu merek tidak akan mudah untuk berpindah ke merek pesaing, walaupun pesaing telah melakukan inovasi produk.
d. Asosiasi merek akan berguna bagi perusahaan untuk melakukan evaluasi atas keputusan strategi perluasan merek.
e. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menentukan harga premium serta mengurangi ketergantungan perusahaan terhadap promosi.
 f. Perusahaan yang memiliki ekuitas merek yang kuat dapat menghemat pengeluaran biaya pada saat perusahaan memutuskan untuk melakukan perluasan merek
. g. Ekuitas merek yang kuat akan menciptakan loyalitas saluran distribusi yang akan meningkatkan jumlah penjualan perusahaan.
h. Empat elemen inti ekuitas merek (brand awareness, brand association, perceived quality, dan brand loyalty) yang kuat dapat meningkatkan kekuatan elemen ekuitas merek lainnya seperti kepercayaan konsumen, dan lain-lain.
Aaker (1997: 23) mengungkapkan bahwa ekuitas merek menciptakan nilai baik pada perusahaan maupun pada konsumen. Pernyataan ini telah didukung oleh beberapa penelitian, diantaranya yang dilakukan oleh Smith (2007: 107), yang menyatakan bahwa ekuitas merek dapat menjadi pertimbangan perusahaan dalam melakukan merger atau akuisisi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Lane (1995: 70), menyebutkan bahwa ekuitas  merek memengaruhi respon pada stock market. Ekuitas merek dapat menjaga harga premium dari suatu produk (Keller, 2003: 75), selain itu menurut Rangaswamy dalam Yoo (2000: 200), ekuitas merek juga dapat memengaruhi kelangsungan hidup sebuah merek. Ekuitas merek dapat diartikan dengan kekuatan dari sebuah merek. Menurut Morgan (2000: 76), dari sisi perusahaan, melalui merek yang kuat perusahaan dapat mengelola aset-aset mereka dengan baik, meningkatkan arus kas, memperluas pangsa pasar, menetapkan harga premium, mengurangi biaya promosi, meningkatkan penjualan, menjaga stabilitas, dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Sedangkan menurut Shoker (1994: 151), apabila dikaitkan dengan perspektif konsumen, ekuitas merek merupakan suatu bentuk respon atau tanggapan dari konsumen terhadap sebuah merek. Lebih lanjut, Lassar (1995: 15) mendefinisikan ekuitas merek sebagai bentuk peningkatan perceived utility dan nilai sebuah merek dikaitkan dengan suatu produk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekuitas merek merupakan persepsi konsumen terhadap keistimewaan suatu merek dibandingkan dengan merek yang lain. Beberapa peneliti mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan indikator atau dimensi yang terdapat dalam ekuitas merek. Keller (2003: 56), menyebutkan pengetahuan merek (brand knowledge) yang terdiri atas kesadaran merek (brand awareness) dan citra merek (brand image) sebagai indikator dari ekuitas merek.
 Shocker dan Weitz dalam Gil (2007: 191), mengklasifikasikan dimensi ekuitas merek menjadi dua, yaitu citra merek (brand image) dan loyalitas merek (brand loyalty). Agarwal dan Rao dalam Gil (2007: 191), mengemukakan dua indikator utama pada ekuitas merek yaitu kualitas keseluruhan (overall quality) dan minat memilih (choice intention). Namun yang paling umum digunakan adalah pendapat Aaker (1997: 25), yaitu bahwa terdapat lima indikator atau dimensi utama pada ekuitas merek. Kelima indikator tersebut adalah kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand associations), mutu yang dirasakan (perceived quality), loyalitas merek (brand loyalty) dan aset-aset lain yang berkaitan dengan merek (other brand-related assets). Pada prakteknya, hanya empat dari kelima indikator tersebut yang digunakan pada penelitian-penelitian mengenai consumer-based brand equity, yaitu kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek. Hal ini dikarenakan aset-aset lain yang berkaitan dengan merek (seperti hak paten dan saluran distribusi), tidak berhubungan secara langsung dengan konsumen. Menurut Simamora (2003: 68), ekuitas merek tidak terjadi dengan sendirinya. Ekuitas merek dibangun oleh elemen-elemen ekuitas merek yang terdiri dari:
 a. Kesadaran merek (brand awareness).
b. Asosiasi merek (brand association).
c. Persepsi kualitas (perceived quality).
d. Loyalitas merek (brand loyalty).
e. Aset-aset merek lainnya (other proprietary brand assets), seperti hak paten, akses terhadap pasar, akses terhadap teknologi, akses terhadap sumber daya, dan lain-lain.
Menurut Durianto, dkk (2004: 4), empat elemen brand equity di luar aset-aset merek lainnya dikenal dengan elemen-elemen utama dari brand equity. Elemen brand equity yang kelima secara langsung akan dipengaruhi oleh kualitas dari empat elemen utama tersebut. 

Pengertian, Peranan dan Kegunaan Merek (skripsi dan tesis)


Melihat fenomena persaingan pemasaran yang terjadi, membuat para pemasar untuk mampu mencari, mengembangkan bahkan merebut pangsa pasar dari para pesaingnya. Selain mengandalkan produk yang dihasilkan dengan segala macam perbedaan dan keunggulannya, salah satu modal untuk memenangkan persaingan adalah dengan menggunakan merek (brand). Merek adalah sesuatu yang mudah dikenali dari sebuah produk. Melihat merek suatu produk membuat produsennya mudah dikenali. Dalam era globalisasi ini, peranan merek menjadi sangat penting karena perbedaan satu produk dari produk lainnya sangat tergantung pada merek yang ditampilkan. Selain itu, merek yang telah dipatenkan dapat membuat produk tersebut menjadi lebih terlindungi dari upaya pemalsuan dan pembajakan. Menurut UU Merek No. 15 Tahun 2001 Pasal 1 ayat 1 (Tjiptono, 2005: 2), merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
 American Marketing Association (AMA) (Kotler, 2002: 215), mendefinisikan merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Jadi merek membedakan penjual, produsen atau produk dari penjual, produsen atau produk lain. Kotler dan Susanto (2001: 575), menyatakan bahwa merek merupakan nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Selanjutnya Aaker (1997: 9), menyatakan bahwa merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu, dengan demikian membedakannya dari barang-barang dan jasa yang dihasilkan para kompetitor.
Menurut Durianto, dkk (2004: 61), merek sangat penting atau berguna karena beberapa alasan sebagai berikut:
 a. Mengkosistenkan dan menstabilkan emosi konsumen.
b. Mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar.
 c. Mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen.
d. Berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen.
e. Memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian, karena konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang dibelinya dengan produk lain.
f. Dapat berkembang menjadi sumber aset terbesar bagi perusahaan. Merek mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Menurut Kotler (2002: 460), merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena di dalamnya tercakup enam pengertian berikut:
a. Atribut Produk Merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu.
b. Manfaat Atribut perlu diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional. Konsumen sebenarnya membeli manfaat dari produk yang dibelinya.
 c. Nilai Merek menyatakan sesuatu tentang nilai produsen.
d. Budaya Merek mencerminkan budaya tertentu.
e. Kepribadian Merek mencerminkan kepribadian tertentu.
f. Pemakai Merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa merek mempunyai dua unsur, yaitu brand name yang terdiri dari huruf-huruf atau kata-kata yang dapat terbaca, serta brand mark yang berbentuk simbol, desain, selain berguna untuk membedakan satu produk dari produk pesaingnya juga berguna untuk mempermudah konsumen untuk mengenali dan mengidentifikasi barang atau jasa yang hendak dibeli.

Pengaruh Country of Origin terhadap keputusan pembelian ulang (Skripsi dan tesis)


 Menurut Kotler dan Keller (2018) menyebutkan bahwa persepsi Country Of Origin adalah asosiasi mental dan kepercayaan yang dipicu oleh suatu Negara. Pembeli memiliki perilaku dan keyakinan yang berbeda terhadap merek dari negara asalnya. Dalam penelitian Nurina Nadhifi Suria Andriani (2016), Jovita S. Dinata (2015) dan Lina Pileliene (2014) mengemukakan bahwa Country Of Origin terbukti mempengaruhi keputusan pembelian secara signifikan.

Pengaruh loyalitas merek terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis)


Konsep Loyalitas Merek dalam karya (Jacoby and Kyner, dalam Odin et al. 2001) menjelaskan tentang rangkaian tindakan konsumen dan mengemukakan enam poin yaitu non-random, Perilaku respon, Menyatakan dari waktu ke waktu, Unit pengambilan keputusan, terkait dengan satu atau lebih merek alternatif dari satu merek dan Fungsi dari proses psikologis. Dalam penelitian Adiati Hardjanti dan Yollanda Dwilova (2014), Beata Seinauskiene (2015), mengemukakan bahwa loyalitas merek berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian ulang

Pengaruh Kualitas Persepsian terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis)


Menurut Aaker (dalam Kartajaya, 2010) Kualitas Persepsian merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dengan maksud yang diharapkannya. Persepsi terhadap kualitas menggambarkan perasaan konsumen yang secara menyeluruh tentang suatu merek. Dalam konsep perilaku konsumen persepsi terhadap kualitas dari seorang konsumen adalah hal yang sangat penting, produsen berlomba dengan berbagai macam gaya untuk dapat membuat suatu produk atau jasa yang bagus menurut konsumen (Kotler, 2018). Pada penelitian Reski Pratiwi (2015) dan Aditia Hardjanti (2014) mengungkapkan bahwa Kualitas Persepsian berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian ulang.

Pengaruh asosiasi merek terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis)


Menurut Tjiptono (2014), asosiasi merek adalah Semua hal yang berkaitan dengan ingatan terhadap sebuah merek. Brand association berkaitan erat dengan brand image, yang diartikan sebagai serangkaian asosiasi merek dengan makna tertentu. Asosiasi merek memiliki tingkat kekuatan tertentu dan seiring dengan bertambahnya pengalaman konsumsi atau eksposur dengan merek spesifik. Pada penelitian Dwi Nanda Putri Sirajudin (2016), Mila Azhari (2014). Pada penelitian tersebut menunjukkan berjalan sesuai dengan keinginan yang bisa membuat konsumen memiliki rasa puas dan melakukan keputusan pembelian ulang dan sulit untuk mengganti merek (Switching brand)

Pengaruh kesadaran merek terhadap keputusan pembelian ulang (skripsi dan tesis



Menurut Rossiter dan Percy dalam Mila (2014) konsep kesadaran merek yaitu kesanggupan konsumen untuk menentukan (mengenal atau mengingat) suatu merek yang cukup terperinci untuk melakukan pembelian. Kesadaran merek merupakan langkah pertama untuk setiap konsumen terhadap setiap produk atau merek baru yang ditawarkan melalui periklanan. Aspek paling penting dari brand awareness adalah wujud informasi dalam benak di tempat yang pertama. Dalam penelitian Noor Fajar Rizky Nugrahanto (2015) dan Mila Azhari (2014) yang menyatakan adanya pengaruh kesadaran merek terhadap keputusan pembelian ulang

Keputusan Pembelian Ulang (Repurchase Decision) (skripsi dan tesis)


 Pembelian ulang adalah dimana suatu produk dibeli ternyata memiliki kepuasan yan lebih dari merek sebelumnya, maka konsumen akhirnya memiliki keinginan untuk membeli lagi produk tersbut sesudah memiliki konsumen memiliki kesan yang baik dengan produk ataupun perusahaan. (Schiffman dan Kanuk dalam Lianda, 2009). Menurut Hawkins (2007) pembelian kembali sebagai suatu aktivitas membeli kembali yang dilakukan oleh konsumen terhadap suatu produk dengan merek yang sama tanpa diikuti oleh pertimbangan yang berarti terhadap produk tersebut. Terdapat dua hal yang dapat menyebabkan seseorang melakukan pembelian ulang suatu produk. Pertama, konsumen merasa puas dengan pembelian yang mereka lakukan. Kedua, pelanggan merasa tidak puas, tetapi mereka tetap melakukan pembelian kembali. Untuk kemungkinan kedua ini lazimnya dikarenakan mereka berpendapat bahwa biaya yang harus mereka habiskan untuk mencari, mengevaluasi, dan mengadopsi produk dengan merek lain (switching cost) terlalu tinggi. Menurut Kotler dan Amstrong (2018) terdapat dua faktor yang bisa mempengaruhi niat pembelian dan keputusan pembelian ulang. a. Faktor sikap orang lain, yaitu seseorang yang mempunyai arti penting dalam memberikan pemikirannya kepada seseorang, sehingga mungkin bisa mempengaruhi keputusan pembelian seseorang. b. Faktor situasional yang tidak diharapkan, yaitu konsumen mungkin membentuk niat pembelian berdasarkan faktor–faktor seperti pendapatannya, harga dan manfaat yang diharapkannya terhadap produk yang ingin dibeli, Tetapi kejadian yang tidak terduga bisa mengubah semuanya seperti ekonomi yang menurun, pesaing yang semakin banyak, pengaruh negatif seseorang dan lain-lain. 

Negara Asal ( Country of Origin) (skripsi dan tesis)

 Kotler dan Keller (2018) menyebutkan bahwa persepsi Country Of Origin adalah asosiasi mental dan keyakinan yang dipicu oleh suatu Negara. Pembeli memiliki sikap dan keyakinan yang berbeda terhadap merek dari berbagai Negara. Tjiptono (2014) menyatakan bahwa Country Of Origin efek merupakan evaluasi yang dilakukan konsumen atas produk tidak hanya didasarkan pada daya tarik dan karakteristik fisik produk saja, tetapi negara yang memproduksinya. Negara asal merek (country of origin) didefinisikan sebagai suatu negara dimana suatu merek itu diproses/diproduksi (Ermawati, 2009). Sedangkan Johnson and Boon (2004) secara jelas mendefinisikan Negara asal merek sebagai negara tempat produksi atau perakitan yang diidentifikasikan sebagai label ”dibuat di” atau ”di produksi di”. Ronkainen (2001) bahkan menyebutkan bahwa Negara asal merek dipahami sebagai efek yang muncul dalam persepsi konsumen yang dipengaruhi oleh lokasi dimana suatu produk dihasilkan. Setiap produk atau merek yang ada di dunia ini pasti memiliki suatu Negara asal merek (Rosenbloom, 2012). Negara asal merek memililki suatu pengaruh terhadap ekuitas dari suatu merek melalui penciptaan asosiasi suatu merek terhadap negara asal suatu merek itu diproduksi (Rosenbloom, 2011). Ramayah (2011) mengatakan bahwa persepsi konsumen terhadap Negara asal merek dipengaruhi faktor system politik, kebudayaan dan keekonomian negara itu sendiri yang membuat seorang konsumen menjadi sensitif. Pengetahuan konsumen mengenai negara asal merek dari suatu merek didukung oleh faktorfaktor berikut ini (Maheswaran, 2000):
 a. Tingkat pendidikan konsumen,
Menurut Al-Sulaiti dan Baker (1998), semakin tinggi tingkat pendidikan, maka makin tinggi seseorang cenderung mempunyai wawasan lebih mengenai negara dan budaya lain, dan lebih menghargai aadanya perbedaan. Orang tersebut dapat lebih menerima produk-produk yang didatangkan dari luar negeri.
b. Kelas negara dan ekonomi,
Seseorang yang mempunyai kelas negara dan ekonomi yang tinggi diduga mempunyai sarana dan prasarana lebih untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, intensitas bepergian meningkat dan lebih terbuka dengan kultur lain. Hal tersebut menjadikan mereka lebih peka dan memperhatikan merek-merek internasional dan negara asal dari merek tersebut.
c. Level mempelajari budaya negara lain,
Bepergian ke luar negeri yang memiliki budaya yang beda merupakan suatu cara untuk mengetahui dan mempelajari budaya lain. Pada dasarnya, orang yang bepergian relatif lebih sadar dan mengamati budaya, produk dan ide-ide lain yang bukan dari daerah dimana orang tersebut berasal. Orang yang bepergian ke luar negeri, mempunyai pengetahuan terhadap merek-merek internasional dan Negara asal merek dari merek tersebut. Miranda (2012) menyimpulkan bahwa konsumen peduli tenang dari mana asal produk tersebut, bagaimana produk tersebut dibuat. Kedua faktor tersebut lalu dijadikan landasan seorang konsumen untuk mengevaluasi kualitas produk yang berakhir dengan pembelian. Dengan semakin banyaknya informasi yang dimiliki konsumen, maka efek dari negara asal akan semakin berkurang. Hal ini karena adanya rasionalitas konsumen akan kualitas suatu produk. Ketika konsumen hanya memiliki informasi lokasi produk itu dihasilkan, maka hanya itulah hal yang menjadi landasan konsumen berkeinginan untuk membeli suatu produk (Schweige, 2007). Negara asal berpengaruh terhadap keputusan beli juga bisa dikarenakan merek sudah mewakili negara asal. Di benak konsumen, merek sendiri sudah mewakili negara asal sehingga negara asal begitu diperhatikan lagi oleh konsumen. Banyak orang yang mengerti mengenai. Bagi konsumen negara asal begitu penting asalkan merek yang mereka gunakan terkenal dan terpercaya memiliki kualitas yang baik. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa negara asal berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian.

Loyalitas Merek (Brand Loyalty) (skripsi dan tesis)


Loyalitas merek memiliki hubungan antara konsumen dengan merek, yang dimana ukuran tersebut digunakan untuk memberikan sebuah gambaran bagaimana seorang kosumen pindah ke merek yang berbeda. Loyalitas merek menunjukkan sebauh relasi antara konsumen dengan merek yang dipilihnya harus diperhatikan dengan adanya pembelian kedua dan seterusnya yang dilakukan oleh konsumen. Menurut Mowen dalam Sengkey (2015), loyalitas berdasarkan pada perilaku pembelian yang terjadi pada suatu produk yang dihubungkan dengan adanya peningkatan jumlah pembelian. Konsep Loyalitas Merek dalam karya (Jacoby and Kyner, dalam Odin et al. 2001) menjelaskan tentang proses bagaimana konsumen memutuskan dan mengajukan usulan enam poin yaitu non-random, Perilaku respon, Menyatakan dari waktu ke waktu, Unit pengambilan keputusan, terkait dengan satu atau lebih merek alternatif dari satu merek dan Fungsi dari proses psikologis. Menurut Aaker (1997) loyalitas merek adalah suatu ukuran hubungan seorang konsumen terhadap sebuah merek. Ada beberapa pangkat atau lapisan dalam loyalitas merek :
a. Switches, pembeli tidak memiliki loyalitas, tidak minat pada merek perusahaan, berpindah-pindah, serta tidak lalai dalam memperhatikan perubahan terhadap harga.
 b. Habitual buyer, pembeli yang kepuasan terhadap produk, atau bersifat berulang, sehingga tidak mempunyai alasan untuk berpindah. Setidaknya tidak terjadi ketidakpuasan.
c. Satiesfied buyer, pembeli yang merasa terpuaskan, namun mereka menanggung biaya peralihan (switching cost), biaya dalam waktu, uang, atau risiko kinerja berkaitan dengan tindakan perpindahan merek.
 d. Likes the brand, pembeli yang benar – benar menyukai merek, memandang merek sebagai sahabat.
e. Committed buyer, konsumen yang loyal, mempunyai perasaan bangga dalam menjadi bagian dalam suatu merek.

Kualitas Persepsian (Perceived Quality) (skripsi dan tesis)


Menurut Aaker (dalam Kartajaya, 2010) Kualitas Persepsian merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dengan maksud yang diharapkannya. Persepsi terhadap kualitas mencerminkan perasaan konsumen yang secara menyeluruh mengenai suatu merek. Dalam konsep perilaku konsumen persepsi terhadap kualitas dari seorang konsumen adalah hal yang sangat penting, produsen bersaing dengan berbagai cara untuk dapat menghasilkan suatu produk atau jasa yang bagus menurut konsumen (Kotler, 2018). Menurut Kotler dan Keller (2018), adalah proses dimana kita memilih, mengatur, dan menerjemahkan masukan informasi untuk menciptakan gambaran yang berarti. Dalam pemasaran kecenderungan persepsi bisa dikatakan lebih penting dari realitas, karena berbekal dengan adanya persepsi konsumen dapat terpengaruhi walaupun setiap orang mempunyai persepsi pemahaman yang berbeda-beda

Asosiasi Merek (Brand Association) (skripsi dan tesis)


Kotler dan Keller (2018), asosiasi merek terdiri dari semua pikiran,perasaan, persepsi, citra, pengalaman, kepercayaan, dan sebagainya yang berkaitan dengan merek dan berhubungan dengan node merek. Sebuah merek adalah seperangkat asosiasi, biasanya terangkai dalam berbagai bentuk yang bermakna. Asosiasi dan pencitraan keduanya mewakili berbagai persepsi yang menunjukkan suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan memori terhadap sebuah merek. (Tjiptono 2014). Aaker (1997) menambahkan bahwa pada asosiasi merek ini terdapat tipetipe asosiasi, antara lain: a. Atribut produk b. Barang tak berwujud c. Manfaat bagi pelanggan d. Harga relatif e. Penggunaan / aplikasi f. Pengguna / pelanggan g. Orang terkenal h. Gaya hidup / kepribadian i. Kelas produk j. Para kompetitor, dan k. Negara / wilayah geografis

Kesadaran Merek (Brand awareness) (skripsi dan tesis)


 Menurut Rossiter dan Percy dalam Mila (2014) konsep kesadaran merek yaitu kemampuan pembeli untuk mengidentifikasi (mengenal atau mengingat) suatu merek yang cukup detail untuk melakukan pembelian. Kesadaran merek merupakan langkah awal bagi setiap konsumen terhadap setiap produk atau merek baru yang ditawarkan melalui periklanan. Aspek paling penting dari brand awareness adalah bentuk informasi dalam ingatan di tempat yang pertama. Aaker (1997) berpendapat bahwa kesadaran merek adalah kesanggupan seseorang pembeli untuk mengenali dan mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan perwujudan kategori produk tertentu. Suatu mekanisme untuk memperluas pasar merek dengan meningkatkan kesadaran. Kemudian kesadaran tersebut dapat mempengaruhi persepsi konsumen dan berprilaku. Pada dasarnya perusahaan dituntut untuk dapat memberikan ingatan yang baik pada konsumen mengenai merek yang dipasarkan, sehingga pada saat konsumen akan melakukan pembelian, mereka akan langsung teringat dengan merek yang perusahaan pasarkan. Meningkatkan kesadaran adalah suatu mekanisme untuk memperluas pasar merek. Kesadaran juga mempengaruhi persepsi dan tingkah laku. Kesadaran merek merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen lainnya. Jadi jika kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga rendah (Durianto dkk dalam Amalia 2014).

Ekuitas Merek (Brand equity) (skripsi dan tesis)


Menurut Aaker (1991) Ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau melindungi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa kepada konsumen. Terdapat lima dimensi dari Ekuitas Merek menurut Aaker (1991:15) yaitu:
 1. Kesadaran Merek (Brand Awareness), adalah kemampuan pelanggan untuk mengenali atau mengingat kembali sebuah merek dan mengaitkannya dengan satu kategori produk tertentu.
2. Asosiasi Merek (Brand Association), berkenaan dengan segala sesuatu yang terkait dalam memori pelanggan terhadap sebuah merek.
 3. Kualitas Persepsian (Perceived Quality),kualitas terhadap merek menggambarkan respons keseluruhan pelanggan terhadap kualitas dan keunggulan yang ditawarkan merek
 4. Loyalitas Merek (Brand Loyalty), adalah komitmen kuat dalam berlangganan atau membeli kembali suatu merek secara konsisten di masa mendatang.
5. Aset-aset hak milik yang lain, mewakili aset seperti paten, dan saluran distribusi. Empat dimensi yang pertama tersebut merupakan aset-aset utama dari Ekuitas Merek, sedangkan aset-aset merek lainnya hanya sebagai pelengkap.

Kesesuaian merek diri berpengaruh terhadap loyalitas merek (skripsi dan tesis)

He et al., (2012) dalam Jinzhao Lu and Yingjiao Xu (2015) menyarankan
bahwa perspektif identifikasi sosial dari loyalitas merek dapat berintegrasi dengan
perspektif lain (misalnya nilai yang dirasakan) dalam menjelaskan kesetiaan merek.
Demikian pula, telah ada peningkatan minat dalam mengadopsi keselarasan diri dalam
studi loyalitas merek. Dalam studi mereka tentang produk mewah, Liu et al., (2012)
Jinzhao Lu and Yingjiao Xu (2015) menemukan pengaruh positif pada kesesuaian diri
pada sikap merek dan loyalitas merek berdasarkan pada identifikasi konsumen dengan
merek. Amatulli dan Guido's (2011) dalam Giovannini et al., (2015) menemukan
konsumen dengan kesesuaian merek diri yang tinggi dalam mengonsumsi produk
mewah akan lebih bisa menggambarkan citra diri mereka pada fashion. Hal ini
berdampak pada peninggkatan untuk mengkonsumsi atau melakukan pembelian ulang
terhadap produk dengan merek yang sama sesuai karakteristik mereka.

Konsumsi yang mencolok berpengaruh terhadap loyalitas merek (skripsi dan tesis)

Konsumsi yang mencolok (conspicuous consumption) adalah pengeluaran yang
sia-sia untuk kesenangan semata dan hasrat untuk menunjukkan suatu posisi atau status
sosial yang lebih terpandang dibandingkan dengan kalangan-kalangan lain (Damsar.
2011). Dengan ini kaum leisure class hidup dalam aliran hedonisme yang lebih
mengedepankan pada kesenangan dan kenikmatan semata dan cenderung untuk
melakukan pemborosan (perilaku konsumtif). Semua itu menurut Veblen, merupakan
leisure class yang tumbuh dan berkembangnya melaui industri waktu luang (tempat
hiburan), seperti dunia konser, bioskop, tempat kuliner, fotografi, spa/salon kecantikan,
tempat wisata dan sebagainya. Leisure class ini akan menciptakan suatu budaya yang
ditandai oleh nafsu dan pola konsumsi yang mencolok (Damsar. 2011).
Menurut Giovannini et al., (2015) konsumsi produk mewah sering dikaitkan
dengan status konsumsi seperti keinginan untuk mendapatkan status sosial dan
loyalitas konsumen untuk merek fashion mewah. bisa terpenuhi melalui konsumsi
produk mewah yang mencolok agar memperoleh status sosial tertentu yang tidak
terbatas pada mereka yang kaya raya.

Kesadaraan merek bepengaruh terhadap loyalitas merek (skripsi dan tesis)

Sebuah merek dengan tingkat kesadaran yang tinggi serta citra yang baik lebih
dapat meningkatkan loyalitas konsumen terhadap merek dan mengingatkan
kepercayaan konsumen terhadap produk (Aaker 2012). Loyalitas merek merupakan
komitmen konsumen kepada suatu merek dan pemasok berdasarkan sikap yang positif
dan tercermin pada pembelian ulang yang konsisten (Aaker, 2013). Menurut
(Esmaeilpour 2015), loyalitas merek telah dibagi menjadi dua kategori: kesetiaan
perilaku dan sikap. Definisi perilaku dari loyalitas merek merupakan pembelian
berulang dari suatu merek seperti jumlah pembelian dan jumlah pengalihan merek telah
ditawarkan selama periode waktu. Kesetiaan perilaku saja tidak cukup untuk
menjelaskan bagaimana berbagai situasi pembelian merek yang sama oleh konsumen.
Jadi, perilaku harus dihadiri dengan sikap positif. Kesetiaan sikap mengacu pada unsurunsur
kognitif yang kuat. Loyalitas afektif juga berdampak pada komitmen dalam hal
beberapa nilai unik yang terkait dengan merek.

Pengaruh Kesadaran Merek Terhadap Kesesuaian Merek Diri (skripsi dan tesis)


Giovinni et al., (2015) menunjukkan bahwa tingkat kesadaran merek yang
tinggi secara positif mempengaruhi kesesuaian merek diri. Ini berarti konsumen dengan
kesadaran merek tinggi lebih cenderung memiliki motivasi kuat untuk membeli
merek/produk yang dengannya mereka merasakan koneksi yang kuat. Individu dengan
tingkat kesadaran merek yang tinggi juga memiliki tingkat motivasi konsumsi yang
mencolok. Memahami hubungan kompleks antara kesadaran merek, dan kesesuaian
merek diri sangat penting. Strategi pemasaran yang memposisikan merek fashion
mewah sebagai simbol status yang mendukung atau mendorong gaya hidup atau nilai
personal tertentu akan berguna saat menargetkan konsumen Generasi Y. Jenis strategi
ini juga didukung oleh penelitian Sirgy (1985) dalam Giovannini et al., (2015) yang
menentukan bahwa konsumen yang terdorong untuk merasakan hubungan dengan
produk yang mereka beli cenderung mencari merek yang mencerminkan citra diri
mereka.
Menurut Jinzhao Lu and Yingjiao Xu (2015), efek kesesuaian merek diri
berasal dari kecocokan konsep diri konsumen dengan citra merek. Secara tradisional,
citra merek dioperasionalkan sebagai "citra pengguna merek". Kesamaan citra merek
pengguna didefinisikan sebagai tingkat kesamaan yang dirasakan yang dilihat pembeli
potensial dari pengguna tipikal merek dengan dirinya sendiri. Kesesuaian diri yang
tinggi akan berarti bahwa konsumen merasakan pengguna dari merek tertentu sangat
cocok dengan citranya

Kesadaran merek berpengaruh terhadap konsumsi yang mencolok (skripsi dan tesis)

Penelitian oleh Fernandez (2009) yang menyimpulkan bahwa konsumen muda
lebih memilih untuk membeli pakaian merek karena mereka peduli dengan bagaimana
rekan mereka memandang mereka. Agar lebih efektif terhubung dengan konsumen
Generasi Y harus mengembangkan strategi yang meningkatkan kesadaran merek
dengan memusatkan perhatian pada atribut produk yang membantu konsumen merasa
percaya diri tentang membeli merek. Amatulli dan Guido (2011) dalam Giovannini et
al., (2015) mengemukakan bahwa konsumen menginginkan produk mewah yang
memiliki kepribadian sesuai dengan keinginan mereka. Produk mewah memberi
konsumen kesempatan untuk mengekspresikan individualitas mereka.
Chaudhuri dkk. (2011) dalam Giovannini et al., (2015) memusatkan perhatian pada
perbedaan konsumen yang mencolok dalam studi mereka. Penelitian mereka
mengaitkan ciri-ciri kepribadian serta motivasi sosial sebagai faktor pendukung untuk
konsumsi yang mencolok. Perilaku konsumsi yang mencolok dipengaruhi oleh
karakteristik konsumen, termasuk individualisme, visibilitas sosial, keinginan untuk
keunikan, harga diri, dan materialisme.


Harga diri berpengaruh terhadap kesadaran merek (Skripsi dan tesis)

Demikian pula, dengan rendahnya harga diri dipandang sebagai sinyal tingkat
tertentu dari "pengecualian sosial", merek terkenal dapat dipilih atau disukai sebagai
cara bagi konsumen dengan harga diri rendah untuk mendapatkan persetujuan sosial
(Giovannini et al., 2015).
Menurut penelitian (Peters et al., 2011) kebutuhan untuk memiliki harga diri tinggi
yang membuat generasi Y konsumen lebih cenderung sadar merek. Kebutuhan
konsumen generasi Y untuk harga diri dapat membantu pemasar untuk lebih
memasarkan merek mereka ke kelompok konsumen ini. Pesan iklan yang
menggunakan pendekatan peer-to-peer, akan mendukung hubungan yang kuat antara
kebutuhan harga diri dan kesadaran merek yang tinggi.

kesadaran diri publik berpengaruh terhadap kesadaran merek (skripsi dan tesis)

Kesadaran diri publik mencerminkan orang-orang menggambarkan diri mereka
sendiri dan bagaimana orang lain mempersepsikan mereka. Konsumen yang sangat
sadar publik cenderung terlalu khawatir tentang penampilan dan mode mereka
Quoquab et al., (2014). Menurut Casidy et al., (2015) bahwa tingkat kesadaran publik
yang kuat secara signifikan terkait dengan kesadaran fashion terhadap merek terkenal
dan mode pakaian dapat digunakan untuk meningkatkan citra diri sosial. Namun,

meskipun sejumlah besar studi telah meneliti kesadaran diri publik dari perspektif
psiko-sosiologis, sampai saat ini sedikit penelitian telah dikhususkan untuk memeriksa
kesadaran publik terhadap perilaku konsumen (Workman dan Seung-Hee, 2011).
Hasil penelitian Giovannini et al., (2015) menunjukkan bahwa tingkat kesadaran
diri publik pada individu secara positif mempengaruhi kesadaran merek mereka.
Karena itu semakin banyak individu yang melihat pakaian yang dikenakan maka
tingkat kesadaran merek mereka tinggi. Kesadaran merek mengacu pada keinginan
konsumen untuk membeli produk merek terkenal. Dengan kata lain, konsumen dengan
kesadaran merek yang kuat cenderung membeli produk merek yang terkenal, mahal,
dan sangat dipasarkan.

Loyalitas Merek (Brand Loyalty) (skripsi dan tesis)


Menurut Aaker (2013) menjelaskan bahwa kesetian merek adalah suatu indikator
hubungan pelanggan pada suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari Brand
Equity yang menjadi gagasan dalam pemasaran, karena hal ini digambarkan sebagai
perilaku pembelian berulang terhadap suatu merek tertentu yang dilakukan secara
konsisten untuk jangka waktu relatif lama. Kotler & Keller (2013) dengan pengelolaan
dan pemanfaatan yang benar, loyalitas merekdapat menjadi aset strategis bagi
perusahaan. Loyalitas merek memiliki 5 tingkatan, yaitu:
1. Switcher/ Price Buyer (pembeli yang berpindah-pindah)
Merupakan tingkat loyalitas yang paling besar.Dalam hal ini merek memegang
peranan yang kecil dalam keputusan pembelian, dimana konsumen lebih
memperhatikan harga dalam pembelian.
2. Habitual Buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Merupakan pembeli yang puas dalam mengkonsumsi suatu produk atau
minimal konsumen tidak mengalami kekecewaan. Tidak ada alasan yang kuat
baginya untuk berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan
usaha atau suatu tambahan biaya. Jadi, konsumen membeli suatu merek produk
karena kebiasaan.
3. Statisfied Buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
Merupakan kategori yang puas dengan merek yang mereka konsumsi. Namun
mereka dapat saja berpindah merek dengan memikul biaya peralihan
(Switching cost) seperti waktu, biaya, atau resiko yang timbul akibat biaya
peralihan tersebut.
4. Liker the Brand (menyukai merek)
Merupakan kategori pembeli yang benar-benar menyukai merek tersebut. Rasa
suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol, rangkaian
pengalaman merek, atau persepsi kualitas yang tinggi.
5. Commited Buyer (pembeli yang berkomitmen)
Merupakan kategori pelanggan yang setia. Mereka mempunyai kebanggaan
dalam menggunakan suatu merek. Merek tersebut bahkan menjadi sangat
penting bagi mereka baik dari segi fungsinya maupun sebagai ekspresi
mengenai siapa mereka sebenarnya. Ciri-ciri yang tampak pada kategori ini
adalah tindakan pembeli untuk merekomendasikan atau mempromosikan
merek yang mereka gunakan kepada oranglain.

Kesadaran Merek (Brand Consciousness) (Skripsi dan tesis)


Kesadaran merek artinya kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali
atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk
tertentu (Kotler dan Keller, 2016). Kesadaran merek terdiri dari kinerja pengakuan
merek dan penarikan merek kembali. Pengakuan merek adalah kemampuan konsumen
untuk mengenal suatu merek ketika diberikan pilihan merek sebagai isyarat. Penarikan
merek kembali adalah kemampuan konsumen untuk mengingat merek dari ingatan
ketika diberikan kategori produk, kebutuhan terpenuhi oleh kategori, atau pembelian
atau penggunaan situasi sebagai petunjuk (Kotler dan Keller, 2016).
Menurut Aaker (2013) kesadaran merek menyediakan sejumlah besar keunggulan
kompetitif yaitu :
1. Kesadaran menyediakan merek dengan rasa keakraban/dikenal, dan konsumen
biasanya menyukai sesuatu hal/merek yang dikenal dan akrab dengan dirinya.
2. Kesadaran merek dapat menjadikan sinyal kehadiran, komitmen dan atribut
yang dapat menjadi sangat penting bagi konsumen untuk mempertahankan
posisi merek di pasaran.
3. Keunggulan merek akan menentukan apabila konsumen mengingat

Harga Diri (Self Esteem) (skripsi dan tesis)


Menurut Kochar (2018) mendefinisikan harga diri sebagai tingkat dimana
seseorang tidak hanya menghargai kemampuannya tetapi juga menghargai dirinya
sendiri. Ini membantu mempersiapkan individu untuk memenuhi harapan dirinya
tentang penerimaan kekuatan dan kesuksesan pribadi. Pyszczynski et al., (2004) dalam
Giovannini et al., (2015) menemukan bahwa harga diri berpengaruh pada cara orang
bertindak dan berfungsi sebagai motivasi untuk beberapa perilaku mereka. Harga diri
juga dipandang sebagai tingkat kebutuhan manusia. Oleh karena itu, ketika seseorang
mengalami tingkat harga diri yang rendah, dia akan cenderung untuk mengadopsi /
menjalankan aktivitas yang dapat membantu meningkatkan tingkat harga diri mereka.
Studi tentang persepsi dan perilaku remaja terhadap merek (Isaksen dan Roper
2012 dalam Giovannini et al., 2015) menemukan bahwa, sebagai akibat tekanan teman
sebaya dan pentingnya kesesuaian atau kesetaraan di antara remaja yang menggunakan
barang mewah dapat mengakibatkan terjadinya penerimaan sosial dalam hal
mendapatkan pertemanan dan harga diri. Harga diri konsumen mempengaruhi
konsumen untuk membeli barang secara impulsif, karena ini adalah cara bagi
konsumen untuk mendapatkan penerimaan dengan orang lain dan kepuasan dengan diri
mereka sendiri.

Kesadaran Diri Publik (Public Self Consiciousness) (skripsi dan tesis)


Fenigstein (1979) dalam Casidy et al., (2015) mengidentifikasi dua jenis
kesadaran diri yaitu kesadaran diri pribadi dan kesadaran diri publik. Kesadaran diri
pribadi mencerminkan aspek-aspek dari diri yang tidak dapat dilihat oleh orang lain
sedangkan kesadaran diri publik mencerminkan orang-orang menggambarkan diri
mereka sendiri dan bagaimana orang lain mempersepsikan mereka.
Konsumen yang memiliki kesadaran publik cenderung terlalu khawatir tentang
penampilan dan mode mereka (Quoquab et al., 2014). Studi sebelumnya telah
menemukan bahwa tingkat kesadaran publik yang kuat secara signifikan terkait dengan
kepemimpinan opini fashion keterlibatan mode, dan kemampuan mode yang dirasakan
memberikan lebih lanjut bukti untuk gagasan bahwa mode pakaian dapat digunakan
untuk meningkatkan citra diri sosial. Namun, meskipun sejumlah besar studi telah
meneliti kesadaran diri publik dari perspektif psiko-sosiologis, sampai saat ini sedikit
penelitian telah dikhususkan untuk memeriksa kesadaran publik terhadap perilaku
konsumen (Workman dan Lee, 2013).

Generasi Y (skripsi dan tesis)


Setiap generasi pada zamannya mempunyai ciri dan karakteristik masing-masing.
Beragam kesamaan atau pun perbedaan di dalamnya layaknya dapat dijadikan sebagai
gambaran umum atas bagaimana mereka berperilaku. Salah satu generasi yang paling
mencolok karena terkenal dengan keragaman yang berada di dalamnya adalah
Generation Y atau yang biasa dikenal dengan “Gema Boomers” atau pun “Millennials”
(Solomon, 2009).Menurut Nickell (2012) dalam Septiari dan Kusuma (2016), generasi
milenial disebut sebagai generasi Y atau Gema boomers. Kelompok ini terdiri dari
individu yang lahir antara tahun 1980 dan 2000, datang dalam usia milenium baru dan
dianggap sebagai kelompok usia terbesar kedua di belakang baby boomer, yang lahir
antara 1946 dan 1964.
Kebanyakan dari “Gema Boomers” ini telah memasuki dunia perkuliahan atau pun
dunia kerja. Mereka juga sadar akan teknologi dan menggunakan email, telpon selular,
dan juga SMS untuk berkomunikasi. Konsumen Generasi Y tergolong sangat sadar
merek dan bersedia untuk "memperdagangkan tingkat kualitas dan rasa yang lebih
tinggi" dengan berinvestasi pada produk mewah menurut Grotts and Johnson (2012);
Silverstein dan Fiske (2008) dalam Giovannini et al., (2015).
Menurut Eastman dan Liu (2012) dalam Giovannini et al., (2015), generasi Y juga
menampilkan tingkat materialisme yang tinggi, tentang pentingnya memiliki produk
bermerek dan cara memilih merek yang disukai berdasarkan karakteristiknya. Maka
dapat dikatakan bahwa generasi Y sebagai generasi yang beragam berdasarkan sifat
dan perilaku pada saat menentukan produk yang disukai. Generasi Y tumbuh pada
dunia yang selalu terhubung selama 24 jam sehingga informasi bagi generasi Y adalah
hal yang cenderung mudah dan cepat didapatkan. Hal tersebut mempengaruhi cara
mereka mencari informasi, memecahkan masalah, cara berkomunikasi dan tentunya
berpengaruh pada perilaku pembelian.

Perilaku Konsumen dalam Pengambilan Keputusan Pembelian (skripsi dan tesis)


Perilaku konsumen ini sangat penting untuk diperhatikan karena akan berhubungan
dengan strategi apa yang akan digunakan oleh perusahaan untuk mempengaruhi
perilaku mereka. Para konsumen sangat beragam dilihat dari segi usia, pendapatan,
tingkat pendidikan dan selera. Maka untuk mengenali perilaku seorang konsumen
sangatlah tidak mudah, sehingga sangat penting bagi para pemasar untuk mempelajari
persepsi, preferensi, dan perilakunya dalam berbelanja.
Menurut Kotler dan Keller (2016:179), mendefinisikan bahwa perilaku konsumen
adalah “perilaku konsumen adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan
organisasi memilih, membeli, menggunakan, dan bagaimana barang, jasa, ide, atau
pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.” Kotler dan Keller
(2016:187) menjelaskan proses pengambilan keputusan oleh konsumen dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang berbeda namun saling terikat.
Pada gambar 2.1, bahwa proses pengambilan keputusan merupakan proses
psikologis dasar yang memainkan peranan penting dalam memahami bagaimana
konsumen secara aktual mengambil keputusan pembelian. Titik awal untuk memahami
perilaku konsumen adalah model rangsangan-tanggapan. Pemasar bertugas untuk
memahami apa yang terjadi dalam kesadaran konsumen antara datangnya rangsangan
luar dan keputusan pembelian akhir. Empat proses psikologis penting yaitu motivasi,
persepsi, pembelajaran dan memori secara fundamental turut mempengaruhi tanggapan
konsumen terhadap berbagai rangsangan pemasaran.

Prestasi Belajar Siswa (skripsi dan tesis)

Setiap kegiatan belajar mengajar akan menghasilkan suatu perubahan yaitu hasil belajar. Hasil belajar ini dapat terlihat dalam bentuk prestasi belajar. Prestasi belajar berkaita erat dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan hingga seberapa jauh kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi ujian untuk menyelesaikan soal-soal dengan baik. Prestasi adalah hasil belajar yang dicapai setelah seorang siswa melakukan kegiatan belajar  (Poerwadarminto, 2007).
Menurut Djamarah (2012: 20-21), prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Dalam buku yang sama Nasrun Harahap, berpendapat bahwa prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada siswa.
Menurut Djaali (2012: 108-109) suatu prestasi berkaitan dengan harapan. Harapan seseorang terbentuk melalui belajar dalam lingkunganya. Suatu harapan selalu mengandung standar keunggulan (standard of execellence). Standar ini memungkinkan lingkungan kultur tempat seseorang dibesarkan. Oleh karena itu, standar keunggulan merupakan kerangka acuan bagi seseorang tatkala ia belajar mengerjakan tugas, memecahkan masalah dan mempelajari keterampilan lainnya.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan seseorang atau kelompok yang telah dikerjakan, diciptakan dan menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan bekerja
Selanjutnya untuk memahami pengertian tentang belajar berikutdikemukakan beberapa pengertian belajar diantaranya menurut Slameto (2003: 2) dalam bukunya Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya bahwa belajar ialah suatu usaha yang dilakukanseseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang barusecara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalaminteraksi dengan lingkungannya. Muhibbin Syah (2010: 136) bahwabelajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yangrelative menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi denganlingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa belajar merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar dan rutin pada seseorang sehingga akan mengalami perubahan secara individu baik pengetahuan, keterampilan, sikap dan tingkah laku yang dihasilkan dari proses latihan dan pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Winkel (2004: 162) prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2012: 130) prestasi belajar merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar (faktor eksternal) individu.  
Menurut Suryabrata (2006: 297), prestasi dapat pula didefinisikan sebagai berikut : nilai merupakan perumusan terakhir yang dapat diberikan oleh guru mengenai kemajuan/prestasi belajar siswa selama masa tertentu. Jadi, prestasi adalah hasil usaha siswa selama masa tertentu melakukan kegiatan. Prestasi belajar menurut Hamalik (2004:45) adalah prestasi belajar yang berupa adanya perubahan sikap dan tingkah laku setelah menerima pelajaran atau setelah mempelajari sesuatu.
Berdasarkan beberapa batasan diatas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai kecakapan nyata yang dapat diukur yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai interaksi aktif antara subyek belajar dengan obyek belajar selama berlangsungnya proses belajar mengajar untuk mencapai hasil belajar

Motivasi Belajar (skripsi dan tesis)

Motivasi adalah kekuatan yang ada dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu dan berperilaku tertentu. Akar permasalahannya adalah kebutuhan. Kebutuhan adalah kondisi yang dialami seseorang berkaitan dengan kelangkaan/ ketidakcukupan/ ketidaklengkapan tentang sesuatu pada situasi/saat tertentu. Tujuan adalah kondisi ideal yang diinginkan yang akan memberikan manfaat untuk memuaskan kebutuhan. Kebutuhan dan tujuan merupakan dua hal yang penting yang bisa memotivasi seseorang. Individu/orang tidak akan memiliki kebutuhan ketika tidak ada tujuan yang ingin dicapai dan tujuan tidak akan memotivasi orang ketika orang tidak melihat ada kebutuhan untuk mencapai hal tersebut. (Uno, 2007:1)
Motivasi belajar menurut Wingkel adalah daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan atau dihayati (Wingkel, 2004:27). Belajar menurut Witherington (2003:10) adalah suatu perubahan pada kepribadian, yaitu pada adanya pola sambutan baru yang dapat berupa suatu pengertian.
Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan  tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Tetapi harus diingat, kedua faktor tersebut disebabkan oleh rangsangan tertentu, sehingga seseorang berkeinginan untuk mel;akukan aktivitas belajar yang lebih giat dan semangat.
Hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa – siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung. Hal itu  mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut : (1) adanya hasrat dan keinginan berhasil; (2) adanya dorongan dan kebutuhan belajar; (3) adanya harapan dan cita-cita masa depan; (4) adanya penghargaan dalam belajar; (5) adanya kegiatan yang menarik dalambelajar; (6) adanya lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik (Uno, 2007:23). Dalam kaitannya dengan pengertian belajar maka motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar mengajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar untuk mencapai suatu tujuan belajar.
Sardirman (2016: 86) mengatakan bahwa motivasi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yakni motivasi yang berasal dalam pribadi sesorang yang disebut motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik yang berasal dari luar diri seseorang.
1)      Motivasi Intrinsik
Motivasi interinsik yaitu motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi intrinsik bila tujuannya inheren dengan situasi belajar dan bertemu dengan kebutuhan dan tujuan peserta didik untuk menguasai nilai-nilai yang terkandung didalam mata pelajaran itu. Peserta didik termotivasi untuk belajar semata-mata untuk menguasai nilai-nilai yang terkandung dalam bahan pelajaran, bukan karena keinginan lain seperti ingin mendapat pujian, nilai yang tinggi, atau hadiah, dan sebagainya.
2)      Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik yaitu motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya rangsangan dari luar. Motivasi belajar dikatakan ekstrinsik apabila peserta didik menempatkan tujuan belajarnya diluar-luar faktor situasi belajar. Peserta didik belajar karena hendak mencapai tujuan yang terletak diluar hal yang dipelajarinya, misalnya untuk mencapai angka tertinggi, diploma, gelar kehormatan, dan sebagainya.
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi sesorang dipengaruhi 2 hal, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri siswa (internal) dan luar siswa (eksternal). Motivasi tersebut sangat berpengaruh terhadap sesorang untuk melakukan sesuatu.
Sardiman (2016: 83) mengatakan bahwa motivasi yang ada pada diri setiap orang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Tekun menghadapi tugas
b.      Ulet menghadapi kesulitan
c.       Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah
d.      Tidak mudah melepas hal yang diyakini itu
e.       Cepat bosan dengan tugas yang rutin
f.       Dapat mempertahankan pendapatnya
g.      Lebih senang bekerja mandiri
h.      Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Dalam penelitian ini ciri-ciri motivasi yang dijadikan sebagai indikator dalam penelitian untuk mengukur motivasi belajar adalah:
a.       Tekun menghadapi tugas
b.      Ulet menghadapi kesulitan
c.       Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah
d.      Cepat bosan dengan tugas yang rutin
e.       Lebih senang bekerja mandiri
Menurut Hamalik (2008), motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang tumbuh dalam diri seseorang untuk melaksanakan sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan. Artinya motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan). Motivasi ada tiga unsur yang berkaitan, yaitu sebagai berikut.
a.       Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi.
Perubahan-perubahan dalam motivasi timbul dari perubahan- perubahan tertentu di dalam sistem neuropisiologis dalam organisme manusia, misalnya karena terjadi perubahan dalam sistem pencernaan maka timbul motif lapar. Tapi ada juga perubahan energi yang tidak diketahui.
b.      Motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan (affective arousal).
Mula-mula merupakan ketegangan psikologis, lalu merupakan suasana emosi. Suasana emosi ini menimbulkan kelakuan yang bermotif. Perubahan ini mungkin bisa dan mungkin juga tidak, kita hanya dapat melihatnya dalam perbuatan. Seorang terlibat dalam suatu diskusi. Karena dia merasa tertarik pada masalah yang akan dibicarakan maka suaranya akan timbul dan kata-katanya dengan lancar dan cepat keluar.


c.       Motivasi ditandai dengan reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.
Pribadi yang bermotivasi mengadakan respons-respons yang tertuju ke arah suatu tujuan. Respons-respons itu berfungsi mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perubahan energi dalam dirinya. Setiap respons merupakan suatu langkah ke arah mencapai tujuan, misalnya si A ingin mendapat hadiah maka ia akan belajar, bertanya, membaca buku, dan mengikuti tes. Oleh sebab itulah mengapa setiap manusia membutuhkan motivasi khususnya dalam kehidupan
Djaali (2012: 109) mengemukakkan siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) menyukai situasi atau tugas yang menuntut tanggung jawab pribadi atas hasil-hasilnya; 2) memilih tujuan yang realitas tetapi menantang dari tujuan yang terlalu mudah dicapai atau terlalu besar resikonya; 3) mencari situasi dimana ia memperoleh umpan balik dengan segera; 4) senang bekerja sendiri dan bersaing untuk mengingguli orang lain; 5) tidak tergugah untuk sekedar mendapatkan imbalan melainkan mencari lambang prestasi, suatu ukuran keberhasialan. Siswa yang mempunyai karakteristik seperti diatas, maka sudah mempunyai potensi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Ciri-ciri motivasi di atas dapat mengetahui atau dijadikan indikator siswa yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi
Yusuf (2009: 23), menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar yaitu:
a.       Faktor Internal
Faktor internal meliputi:
 1)      Faktor Fisik
Faktor fisik meliputi nutrisi (gisi), kesehatan, dan fungsi-fungsi fisik (terutama panca indera).
2)      Faktor Psikologis
Faktor psikologis berhubungan dengan aspek-aspek yang mendorong atau menghambat aktivitas belajar pada siswa.
b.      Faktor Eksternal (yang berasal dari lingkungan)
1)      Faktor Non-Sosial
Faktor non-sosial meliputi keadaan udara (cuaca panas ataudingin), waktu (pagi, siang, malam), tempat (sepi, bising, ataukualitas sekolah tempat belajar), sarana dan prasarana ataufasilitas belajar.
2)      Faktor Sosial
Faktor sosial adalah faktor manusia (guru, konselor, dan orangtua), baik yang hadir secara langsung maupun tidak langsung (foto atau suara). Proses belajar akan berlangsung dengan baik,apabila guru mengajar dengan cara menyenangkan, seprti bersikap ramah, memberi perhatian pada semua siswa, serta selalu membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar. Pada saat di rumah siswa tetap mendapat perhatian orang tua, baikmaterial dengan menyediakan sarana dan prasarana belajar guna membantu dan mempermudah siswa belajar di rumah