Penegak hukum di Indonesia mengalami
kesulitan dalam menghadapi merebaknya
cybercrime. Hal ini dilatarbelakangi masih
sedikitnya aparat penegak hukum yang
memahami seluk-beluk teknologi informasi
(internet), di samping itu aparat penegak
hukum di daerah pun belum siap dalam
mengantisipasi maraknya kejahatan ini
karena masih banyak aparat penegak
hukum yang gagap teknologi "gaptek" hal
ini disebabkan oleh masih banyaknya
institusi-institusi penegak hukum di daerah
yang belum didukung dengan jaringan
Internet.
Agar suatu perkara pidana dapat sampai
pada tingkat penuntutan dan pemeriksaan
di sidang pengadilan, maka sebelumnya
harus melewati beberapa tindakantindakan pada tingkat penyidik. Apabila ada
unsur-unsur pidana (bukti awal telah
terjadinya tindak pidana) maka barulah dari
proses tersebut dilakukan penyelidikan,
dalam Pasal 1 sub-13 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia penyelidikan
didefinisikan sebagai:"
“serangkaian tindakan penyidik dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya”.5
Penyidikan terhadap tindak pidana
teknologi informasi sebagaimana dimaksud
dalam UU ITE Pasal 42, dilakukan
berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Pasal
43 UU ITE menjabarkan bahwa selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Pemerintahan yang
lingkup tugas dan tanggungjawabnya di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik diberi wewenang khusus sebagai
penyidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar