Terdapat faktor-faktor yang diperkirakan dapat meningkatkan munculnya
perilaku inovatif karyawan. Nijenhuis (2015) mengemukakan beberapa faktor
eksternal maupun faktor internal yaitu :
a. Faktor Eksternal
1) Competitive pressures. Semakin tingginya tekanan untuk berkompetisi
mampu mendorong karyawan untuk bekerja lebih baik dan memiliki
efek positif untuk munculnya perilaku inovatif.
2) Social – Political pressures. Organisasi yang memiliki dukungan dari
pemerintah harus terus memberi hasil kerja yang memuaskan jika tetap
ingin mendapat dukungan. Sehingga pemimpin dan karyawan harus
memuncul perilaku inovasi agar tetap memberi hasil kerja yang terus
berkembang dan lebih baik.
b. Faktor Internal
1) Interaksi dengan atasan (Kepemimpinan),karyawan yang memiliki
hubungan yang positif dengan atasan mereka lebih mungkin untuk
menunjukkan perilaku inovatif kerja dan mampu memberi keyakinan
bahwa perilaku inovatif mereka akan menghasilkan keuntungan kinerja.
Hubungan yang berkualitas sering ditandai dengan saling percaya dan
menghormati.2) Interaksi dengan grup rekan kerja (Team Work), karyawan yang
memiliki hubungan baik dengan rekan kerja lebih mungkin
memudahkan mereka mengimplementasikan ide baru mereka juga
meningkatkan idea generation di dalam sebuah grup rekan kerja
mereka. Dan hal ini memudahkan perilaku inovatif kerja untuk
berkembang.
Pendapat lain tentang faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif menurut
pendapat Etikariena & Muluk (2014) ; yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor tersebut adalah:
a. Faktor Internal
1. Tipe Kepribadian. Menurut Janssen, Van den Ven dan West adalah
orang yang memiliki tipe kepribadian adalah orang yang mampu dan
berani mengambil resiko terhadap perilaku inovatif yang di buat.
2. Gaya individu dalam memecahkan masalah,karyawan yang memiliki
gaya pemecahan masalah yang intuitif dapat menghasilkan ide-ide
sehingga menghasilkan solusi yang baru.
b. Faktor Eksternal
1. Kepemimpinan, banyak bawahan yang kutrang dapat menjaga
hubungannya dengan pemimpinnya, dan hal tersebut dapat membuat
perilaku inovatif sesorang tidak terlihat, namun karyawan yang
memiliki hubungan yang positif dengan pemimpinnya, cenderung
memunculkan perilaku inovatif pada karyawan. Harapan yang tinggi
dari pemimpin agar karyawannya menjadi inovatif juga dapat mempengaruhi munculnya perilaku inovatif pada karyawan (Scott &
Bruce, Dalam Ratnasari Deasi, 2013).
2. Dukungan untuk berinovasi, dukungan dari orang-orang disekitar
individu sangat membantu bagi karyawan tersebut dalam menciptakan
suatu perilaku inovatif, bukan hanya itu dukungan dari orang dalam
organisasi tersebut juga bisa memunculkan perilaku inovatif bagi
karyawan tersebut . (Scott & Bruce,Dalam Ratnasari Deasi, 2013).
3. Tuntutan dalam pekerjaan, tuntutan dari perusahaan cenderung
meningkatkan semangat para karyawannya untuk berperilaku inovatif.
Tuntutan tersebut menjadi dorongan bagi karyawan tersebut. Salah satu
hal yang muncul akibat adanya tingkat tuntutan pekerjaan yang tinggi
tersebut adalah perilaku inovatif. Etikariena & Muluk,( 2014).
4. Iklim psikologis, iklim psikologis menunjukkan kepada bagaimana
lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterpretasikan oleh
karyawan. Etikariena & Muluk,( 2014).
Lebih jelas lagi West dan Farr (1989) membagi sejumlah faktor yang
mendukung dan memfasilitasi perilaku inovatif ke dalam level individu, kelompok,
dan organisasi.
Kemudian, beberapa peneliti seperti Anderson, De Dreu, & Nijstad
(2004) dan Hammond Farr, Neff, Schwall, & Zhao (2011) melakukan studi literatur
pada sejumlah faktor multilevel yang memfasilitasi inovasi. Berikut penjelasan
faktor-faktor yang memfasilitas inovasi pada ketiga level, yaitu:
27
1. Level Individu
Studi metaanalisis yang dilakukan oleh Hammond et al. (2011) dan
Anderson, De Dreu, & Nijstad (2004) menunjukkan sejumlah faktor yang
memfasilitasi inovasi pada level individu. Faktor-faktor ini dibagi kedalam
lima kelompok, antara lain:
a. Kepribadian.
Diketahui bahwa kepribadian kreatif berhubungan dengan
perilaku inovatif. Selain itu, berdasarkan trait kepribadian the Big Five
Factors, keterbukaan (openness) terhadap pengalaman dikaitkan
dengan perilaku inovatif. Individu yang derajat openness yang tinggi
memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, mandiri, dan sensitivitas terhadap
karya senin (McCrae, dalam Hammond et al., 2011). Terlebih individu
dengan openness yang tinggi cenderung lebih berpikir secara divergent.
Selain itu, aspek kepribadian, seperti tolerance of ambiguity, percaya
diri, tidak konvensional, originality, authoritarianism, mandiri
(independence), dan proaktif, turut mempengaruhi inovasi pada level
individu (Anderson et al., 2004).
b. Demografis
Pada aspek demografis, seperti pendidikan dan lamanya masa
kerja, merefleksikan penguasaan pengetahuan terhadap tugas-tugas
melalu pendidikan formal, pelatihan, atau pengalaman kerja (Oldham &
Cummings, dalam Hammond et al., 2011). Individu yang memperoleh
pengetahuan dan pengalaman, lebih akan membangun dan
mengintegrasikan gagasan, fakta, dan peluangpeluang sehingga
28
menghasilkan ide yang kreatif terhadap permasalahan (Amabile, dalam
Hammond et al., 2011).
c. Kemampuan
Dari hasil kajian studi yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, &
Nijstad (2004), ditemukan beberapa faktor kemampuan yang
memfasilitasi perilaku inovasi, yaitu intelegensi di atas rata-rata, taskspecific knowledge, gaya berpikir divergent, dan ideational fluency.
d. Motivasi
Motivasi, baik yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik, memiliki
hubungan positif dengan perilaku inovasi. Motivasi intrinsik merujuk
pada motivasi yang berasal dari engagement individu terhadap tugas,
sedangkan motivasi ekstrinsik berasal dari faktor di luar tugas, seperti
rewards dan kompensasi. Hammond et al., (2011). Selain itu, selfefficacy, baik keyakinan diri individu terhadap kompetensi pekerjaan
maupun kompetensi kreativitas, juga mempengaruhi motivasi individu
untuk terlibat dalam inovasi. Selain itu, tekad untuk berhasil dan
personal initiative juga turut memfasilitasi inovasi (Anderson et al.,
2004).
e. Karakteristik Pekerjaan
Terdapat beberapa karakteristik pekerjaan sebagai prediktor
inovasi, di antaranya kompleksitas pekerjaan, otonomi, time pressure,
dan role requirement. Kompleksitas pekerjaan yang tidak bersifat
rutinitas dan lebih menantang dapat meningkatkan idea generation.
Terdapat hubungan yang postif antara otonomi dan idea generation,
29
pengujian gagasan, serta implementasi inovasi. Dengan memberikan
keleluasaan dan kemandirian pada karyawan dalam menyelesaikan
tugas, dapat menstimulus individu untuk berinovasi (Axtell, dalam
Hammond et al., 2011).
Selain itu, persepsi terhadap ekspektasi atau
persyaratan akan berinovasi juga memiliki korelasi yang positif dengan
perilaku individu (Scott & Bruce, dalam Hammond et al., 2011).
Anderson et al. (2004) menemukan karakteristik pekerjaan lainnya
yang turut mempengaruhi inovasi, yaitu kepuasan kerja, tuntuan
pekerjaan, dukungan untuk berinovasi, mentor guidance, dan
pemberian pelatihan yang sesuai.
2. Level Tim.
Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengklasifikasi variabel
level tim sebagai prediktor inovasi berdasarkan model perfoma tim ke
dalam input-process-output.
a. Variabel Input Tim.
Hülsheger, Anderson, dan Salgado (2009) mengidentifikasi
komposisi dan struktur tim ke dalam keragaman anggota kelompok
(team member diversity), team size, dan tenure. Job-relevant diversity
memiliki kolerasi yang positif dengan inovasi. Jobrelevant diversity
merujuk pada heterogenitas anggota kelompok sesuai dengan pekerjaan
atau tugas yang terkait, seperti function, profesi, pendidikan, tenure,
pengetahuan, keterampilalan, dan kemahiran. Keragamaman semacam
ini menghasilkan inovasi tim. Selain itu, task and goal interdependence
menstimulus interaksi interpersonal, komunikasi, dan kerja sama dalam tim, sehingga mampu memfasilitasi inovasi. Task and goal
interdependence adalah sejauhmana anggota kelompok saling
bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas mereka dan
meraih tujuan bersama. Lalu, team size juga memiliki hubungan positif
dengan inovasi karena dalam tim yang besar memiliki beragam sudut
pandang, keterampilan, dan perspektif. Berbeda halnya dengan team
longevity, tim yang sudah terbangun lama cenderung kurang inovatif
dari waktu ke waktu. Angggota kelompok cenderung lebih rentan
terhadap groupthink, lebih homogen, kurang kritis, dan kurang tertarik
terhadap tantangan. Oleh karena itu, semakin lama suatu tim terbangun,
semakin berkurang inovasi yang ditampilkan.
b. Variabel Proses Tim.
West dan rekan (dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado,
2009) menspesifikan tujuh variabel proses yang meningkatkan inovasi
tim.
Pertama, visi memiliki hubungan positif dengan inovasi. Visi
mengukur sejauhmana anggota kelompok memiliki pemahaman yang
sama terhadap tujuan-tujuan dan menunjukkan komitmen yang tinggi
terhadap tujuan kelompok. Dengan adanya tujuan tujuan yang jelas
membantu anggota kelompok memberikan kontribusinya, memberikan
kebermaknaan kerja, serta memotivasi individu untuk meningkatkan
performa inovasi. Kedua, participative safety juga berkorelasi secara postif dengan
inovasi. Participative safety ditandai dengan partisipasi dalam membuat
keputusan dan intragroup safety. Intragroup safety merujuk pada iklim
psikologis yang tidak mengancam dalam tim, dimana adanya trust dan
mutual support. Psychological safety memiliki tiga fungsi penting
terhadap inovasi tim, yaitu berkontribusi dalam formulasi rencana,
memfasilitasi eksekusi rencana, dan meningkatkan team learning.
Ketiga, dukungan untuk inovasi memberikan pengaruh yang
positif terhadap inovasi. Dukungan untuk inovasi dideskripsikan sebagai
ekspektasi, penerimaan, dan dukungan pelaksanaan dalam
memperkenalkan cara-cara baru dalam melakukan pekerjaan.
Keempat, task orientation berhubungan secara postif terhadap
inovasi. Task orientation, yang biasa disebut climate for excellence,
dideskripsikan sebagai fokus bersama terhadap kualitas perfoma
pekerjaan yang excellent sesuai dengan visi.
Kelima, kohesi pun turut mempengaruhi inovasi. Kohesi
merujuk pada komitmen anggota kelompok terhadap pekerjaan tim dan
hasrat mereka untuk menjaga keanggotaan kelompoknya (Lott & Lott,
dalam Hülsheger, Anderson, dan Salgado, 2009). Para peneliti inovasi
menganggap bahwa kohesi merupakan prasyarat penting untuk
menampilkan perilaku inovatif (West & Farr, 1989; Woodman et al.,
1993). Anggota kelompok yang memiliki belongingness yang kuat dan
32
merasa saling attach dengan sesama anggota kelompok, cenderung lebih
koperatif, saling berinteraksi, dan bertukar ide.
Keenam, komunikasi, baik bersifat internal dan eksternal
diyakini memiliki hubungan postif dengan inovasi. Komunikasi ekternal
yang dimaksud ialah menjalin relasi interpersonal dengan orang-orang
diluar tim atau organisasinya. Hal ini membantu tim dalam memperoleh
pengetahuan dan perspektif baru. Melalui komunikasi, terjadi sharing
informasi dan ide, dimana hal tersebut merupakan sumber inovasi.
Selain itu, komunikasi berperan dalam implementasi ide-ide baru,
dimana adanya mutual monitoring dan umpan balik.
Terakhir, task conflict dianggap memilki hubungan yang postif
dengan inovasi, sebaliknya relationship conflict berhubungan negatif
dengan inovasi. Task-related disagreement dapat memicu anggota
kelompok untuk bertukar informasi, melalui eksplorasi opini yang saling
bertentangan, sehingga membantu proses generation gagasan-gagasan
baru dan solusi serta membantu dalam pemecahan masalah. Sebaliknya,
konflik relasi dapat menyebabkan reaksi psikologis yang negatif, seperti
ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan frustrasi, sehingga mengalihkan
fokus anggota kelompok untuk berinovasi.
3. Level Organisasi
Hasil konten analisis yang dilakukan oleh Anderson, De Dreu, dan
Nijstad (2004) terhadap berbagai penelitian inovasi, menghasilkan
klasifikasi fasilitator inovasi pada level organisasi ke dalam struktur,
33
strategi, sumber daya, dan budaya organisasi. Pertama, struktur organisasi
yang cenderung specialization, dimana memiliki beragam specialist,
pembedaan functional, dan professionalism diasosiasikan secara positif
dengan inovasi organisasi. Disisi lain, organisasi yang centralization dan
formalization, cenderung kurang berinovasi. Kedua, strategi organisasi
dengan prospector type diyakini mendukung berkembangnya inovasi dalam
organisasi. Ketiga, semakin besar jumlah karyawan dalam suatu organisasi,
cenderung lebih berinovasi. Di sisi lain, semakin luasnya market share
(pangsa pasar), justru menurunkan inovasi dalam organisasi. Keempat,
sumber daya (resources), baik dari segi annual turnover dan ketersediaan
sumber daya, turut mempengaruhi inovasi dalam organisasi. Terakhir,
budaya organisasi yang mendukung karyawan untuk bereksperimen, yang
menoleransi terhadap kegagalan ide, dan yang berani mengambil risiko,
mempengaruhi tumbuhnya inovasi dalam organisasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan dengan rekan kerja, dukungan untuk berinovasi dari anggota tim
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku inovatif. Untuk
dapat membangun hubungan kerja yang baik dengan rekan kerja yang
berada dalam sebuah tim dapat dilakukan melalui pelatihan team building.
Team building adalah salah satu aktivitas dalam proses yang dapat
meningkatkan perilaku inovatif, kerjasama yang baik antara masing-masing
anggota tim untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya
yakni peningkatan operasi kerja tim. Dengan demikian, maka yang
dimaksud dengan pelatihan team building adalah suatu metode pelatihan yang bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kesolidan atau
kohesivitas tim dengan membentuk dan mendukung sinergi tim untuk
mampu bekerja secara mandiri dalam mencapai tujuan timnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar