Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang
berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat
desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di
tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku
korporasi demi maksimalisasi laba lazim mempraktekkan cara-cara
yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan
dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Beberapa raksasa
korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi
mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut. Hingga
dekade 1980-90an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya
KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility
9
development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti
diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan
korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan
KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras
meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary
Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup
bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth
Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan
paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic
growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan
dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usahausaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan
rekanan dari masing-masing stakeholder.
Ada lima elemen
sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya
adalah ;
(1) ketersediaan dana,
(2) misi lingkungan,
(3) tanggung
jawab sosial,
(4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat,
korporat, dan pemerintah),
(5) mempunyai nilai
keuntungan/manfaat.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang
dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social
responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu
10
economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini
menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung
jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan
penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007
yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai
penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk
menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang
dikenal dengan corporate social responsibility ( Daniri, 2008)
Munculnya Tanggungjawab sosial Perusahaan atau
Corporate Social Responsibility (CSR) didorong oleh terjadinya
kecenderungan kepada masyarakat industri yang dapat disingkat
sebagai fenomena DEAF sebuah akronim dari Dehumanisasai,
Equalisasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi (Suharto, 2007: 103-
104):
1. Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisme yang semakin
menguat di dunia industri telah menciptakan persoalanpersoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan
tersebut, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. Dan
perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang
Pemutusan Hubungan Kerja dan pengangguran, ekspansi, dan
eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi dan
kerusakan lingkungan yang hebat.
2. Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan
haknya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas
berbagai masalah sosial yang sering kali ditimbulkan oleh
beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut
akuntabilitas perusahaan bukan saja dalam proses produksi,
melainkan pula dalam kaitannya dengan kepedulian perusahaan
terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya.
3. Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja kini semakin
transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan
yang hanya memburu rantai ekonomi dan cenderung
mengabaikan hukum, prinsip etis, dan filantropis tidak akan
mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus,
masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.
4. Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang
bekerja, semakin menuntut penyesuaian perusahaan, bukan saja
terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti
hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja,
melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti
penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau
hilangnya kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya
dilingkungan masyarakat. Pelayanan sosial seperti perawatan
anak, pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak- anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi
remaja merupakan sebuah “kompensasi” sosial terhadap isu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar