Rabu, 25 Desember 2019

Sejarah dan Perkembangan CSR (skripsi dan tesis)

 Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi demi maksimalisasi laba lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut. Hingga dekade 1980-90an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility 9 development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usahausaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. 
Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah ;
 (1) ketersediaan dana, 
(2) misi lingkungan,
 (3) tanggung jawab sosial, 
(4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah),
 (5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat. 
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu 10 economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility ( Daniri, 2008) Munculnya Tanggungjawab sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) didorong oleh terjadinya kecenderungan kepada masyarakat industri yang dapat disingkat sebagai fenomena DEAF sebuah akronim dari Dehumanisasai, Equalisasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi (Suharto, 2007: 103- 104): 
1. Dehumanisasi industri. Efisiensi dan mekanisme yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalanpersoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan tersebut, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. Dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja dan pengangguran, ekspansi, dan eksploitasi dunia industri telah melahirkan polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat. 
 2. Equalisasi hak-hak publik. Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang sering kali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakin menuntut akuntabilitas perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula dalam kaitannya dengan kepedulian perusahaan terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya. 
3. Aquariumisasi dunia industri. Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu rantai ekonomi dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis, dan filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup. 
4. Feminisasi dunia kerja. Semakin banyaknya wanita yang bekerja, semakin menuntut penyesuaian perusahaan, bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya dilingkungan masyarakat. Pelayanan sosial seperti perawatan anak, pendirian fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi anak-  anak, atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja merupakan sebuah “kompensasi” sosial terhadap isu ini. 

Tidak ada komentar: