Materialisme merupakan topik yang menarik untuk dibahas karena faktor
materi berhubungan erat dengan kesejahteraan hidup sehingga materi akan selalu
menjadi hal pokok yang di cari oleh tiap individu. Meskipun faktor materi turut
mendukung kesejahteraan hidup, namun jika individu berorientasi penuh pada
materi maka dapat menimbulkan ketidakpuasan, karena selalu menginginkan yang
lebih lagi dari apa yang sudah diraih (Richins dan Dawson, 1992).
Individu yang materialistiknya kuat, akan lebih berorientasi pada pekerjaan
dan menimbulkan hubungan yang negatif dengan kesejahteraan dan kebahagiaan
(Kasser dan Ahuvia, 2002), dan juga memiliki hubungan negatif dengan
kehidupan keluarga (Ryan dan Dziurawiec, 2001), serta cenderung memiliki
emosi negatif dan minimnya pergaulan (Kashdan dan Breen, 2007). Kesibukan
mengejar materi dapat menjadikan seseorang sulit meluangkan waktu untuk
berinteraksi dengan orang-orang terdekat dan lebih mengutamakan untuk
membangun hubungan dengan para mitra bisnis.
Sementara itu, Kolodinsky et al. (2010) menyarankan bahwa individu yang
sangat materialistis akan lebih fokus pada perolehan kepemilikan harta yang
berwujud serta berkurang interaksinya dengan sesama maupun hubungannya
dengan sosial, lalu jika dibandingkan dengan yang tidak begitu materialistis (less
materialistic) maka individu yang sangat materialistis akan cenderung kurang
menyambut positif kegiatan TJSP. Hal serupa juga didukung oleh Tandon et al.
(2011) yang menyatakan bahwa individu yang sangat materialistis (high
materialistic) akan memiliki kecenderungan untuk menunjukkan nilai-nilai serta
sikap yang bertolak belakang dengan kepekaan terhadap sosial maupun terhadap
dampak sosial dan dengan demikian individu tersebut akan memiliki sikap negatif
terhadap TJSP. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa individu yang
materialistis akan cenderung menolak apabila harus berurusan dengan etika dan
TJSP, dan hal ini berbanding terbalik dengan individu yang non materialistis (less
materialistic
Tidak ada komentar:
Posting Komentar