Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) telah
menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode
Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para
pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan
kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa
hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin
penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung
di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Perhatian para pembuat kebijakan menunjukkan telah adanya kesadaran bahwa
terdapat potensi timbulnya dampak buruk dari kegiatan usaha. Dampak buruk
tersebut tentunya harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan
kemaslahatan masyarakat sekaligus tetap ramah terhadap iklim usaha.
Konsep selanjutnya dirumuskan pada tahun 1713 oleh kepala Saxon
pertambangan Hans Carl von Carlowitz. Menurutnya pengusaha seharusnya
bertindak sebagai patron dan donatur untuk perbaikan hidup karyawan, misalnya
dengan membangun rumah karyawan, mencukupi kebutuhan dan menjaga
lingkungan alam (Walton, 1967).
Penelitian ilmiah tentang CSR berakar di Amerika Serikat sejak tahun 1950,
diskusi berlangsung tentang isi dan ruang lingkup dari tanggung jawab
perusahaan. Salah satu publikasi pertama pada subyek tanggung jawab sosial
pengusaha dicetuskan oleh Howard R Bowen ditahun 1953. Bowen memberikan
definisi awal dari CSR yaitu kewajiban pengusaha untuk membuat keputusan
yang mengikut-sertakan orang-orang melalui tindakan sosial dalam jangka waktu
tertentu dan terdapat nilai-nilai yang sesuai dalam masyarakat.
Pada tahun 1960 banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi
CSR. Salah satu akademisi CSR yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis.
Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas
hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis. Davis (1960) mengutarakan Iron
Law of Responsibility yang berarti bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama
dengan kedudukan sosial yang mereka miliki dan tanggung jawab sosial
pengusaha harus sepadan dengan kekuatan sosial mereka. Sehingga dalam jangka
panjang pengusaha yang tidak menggunakan kekuasaan dengan bertanggung
jawab akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang.
Tahun 1963 Joseph W. McGuire memperkenalkan istilah Corporate Citizenship.
McGuire menyatakan bahwa Ide tanggung jawab sosial mengandaikan bahwa
korporasi tidak hanya berkewajiban secara ekonomi dan hukum, tetapi juga
memiliki tanggung jawab tertentu kepada masyarakat. McGuire kemudian
menjelaskan lebih lanjut bahwa korporasi harus memperhatikan masalah politik,
kesejahteraan masyarakat, pendidikan, kebahagiaan karyawan dan seluruh
permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya.
16
Tahun 70-an juga ditandai dengan pengembangan definisi CSR.
Prakash Sethi
(1973) memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal dengan social
obligation, social responsibility, and social responsiveness. Menurut Sethi, social
obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh kepentingan pasar dan
pertimbangan-pertimbangan hukum, dalam hal ini social obligatioan hanya
menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social responsibility
merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi
dan hukum saja tetapi harus menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai
dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial.
Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat
mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan
tindakan antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa
social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social
responsivenes bersifat preventif.
1980-an Era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih
mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate responsibility. Peter F.
Drucker membahas secara serius bidang CSR pada tahun 1984. Drucker
berpendapat bahwa tanggung jawab sosial yang tepat dari bisnis adalah mengubah
masalah sosial menjadi peluang ekonomi dan manfaat ekonomi, dalam hal ini
Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan ide baru agar korporasi
dapat mengelola aktivitas CSR yang dilakukannya dengan sedemikian rupa
sehingga tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar