Minggu, 15 September 2019

Pergeseran Dari Good Governance ke Sound Governance (skripsi dan tesis)

Pada pertengahan 1900, good governance menjadi salah satu agenda pengembangan yang penting karena besarnya kesadaran bahwa baik pasar maupun demokrasi kurang atau bahkan tidak berfungsi sama sekali kecuali jika pemerintah mampu mendesain dan mengimplementasikan kebijakan publik yang tepat, mengelola sumber daya dengan adil, transparan dan efisien dan respon kepada kesejahteraan sosial dan tuntutan ekonomi dari warga negara. (Grindle, 1997: 5-8) Good governance harus dilakukan dengan kualitas dari sumber daya manusia, organisasi dan institusi dalam sektor publik. Untuk mencapai good governance berarti perlu upaya mengembangkan sumber daya manusia, memperkuat organisasi dan mereformasi (atau menciptakan) institusi di sektor publik. Juga dibutuhkan waktu, komitmen, ide inovatif, pembangunan konsensus, perubahan perilaku dan norma personel yang bekerja dalam institusi, aturan main yang baru, desain dan alokasi sumber daya yang efisien. Menjelang berlangsungnya reformasi politik di Indonesia atau sekitar tahun 1996, beberapa lembaga internasional seperti UNDP dan World Bank, memperkenalkan terminologi baru yang disebut sebagai good public governance atau good governance (Dwiyanto, 2008: 76-81). Governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta atau warga negara yang bisa saja institusi non pemerintah ini memegang peran dominan dalam governance tersebut atau pemerintah tidak mengambil peran apapun –“governance without government”.
Menurut UNDP, good governance memiliki delapan prinsip sebagai berikut:
 a. Partisipasi
b. Transparansi
 c. Akuntabilitas
d. Efektif dan efisien
e. Kepastian hukum
 f. Responsif
 g. Konsensus
 h. Setara dan inklusif
Ada pula yang menyebutkan sepuluh prinsip, mirip dengan daftar di atas, yaitu:
( http://www.goodgovernance.or.id/Sitemap. asp, 22 Januari 2004):
 a. Partisipasi: warga memiliki hak (dan mempergunakannya) untuk menyampaikan pendapat, bersuara dalam proses perumusan kebijakan publik, baik langsung maupun tidak langsung.
b. Penegakan hukum: hukum diberlakukan bagi siapapun tanpa pengecualian, hak asasi manusia dilindungi, sambil tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
c. Transparansi: penyediaan informasi tentang pemerintah(an) bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
d. Kesetaraan: adanya peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk beraktivitas/berusaha.
 e. Daya tanggap: pekanya para pengelola instansi publik terhadap aspirasi masyarakat
 f. Wawasan ke depan: pengelolaa masyarakat hendaknya dimulai dengan visi, misi dan strategi yang jelas.
 g. Akuntabilitas: pertanggungjawaban para penentu kebijakan kepada para warga.
h. Pengawasan publik: terlibatnya warga dalam mengontrol kegiatan pemerintah termasuk parlemen.
i. Efektivitas dan efisiensi: terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya antara lain: pelayanan mudah, cepat, tepat, dan murah.
 j. Profesionalisme: tingginya kemampuan dan moral para pegawai pemerintah termasuk parlemen.
 Dari berbagai prinsip di atas dapat disimpulkan bahwa sistem administrasi good governance harus melibatkan banyak pelaku, dan institusi di luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik. Dengan demikian, dalam penyelesaian masalah kepentingan publik selalu melibatkan multistakeholders dari berbagi lembaga yang terkait dengan masalah dan kepentingan publik itu. Stakeholders dalam tata pemerintahan (governance) tersebut memiliki kedudukan yang setara dan hanya diikat oleh suatu jaringan dan prosedur yang sengaja diciptakan untuk memfasilitasi mereka dalam perumusan, pelaksanaan, monitoring, dan juga evaluasi kebijakan. Dwiyanto (2008: 223-231) menyatakan bahwa praktek good governance mensyaratkan adanya transparansi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Pemerintah dituntut untuk terbuka dan menjamin akses stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses kebijakan publik, alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Terhadap alokasi anggaran, masyarakat dan stakeholders juga memiliki hak untuk mengakses informasi mengenai  jumlah anggaran yang dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu termasuk juga alasan yang melatarbelakanginya sehingga mereka dapat menilai seberapa banyak uang yang dimiliki pemerintah digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak. Dengan memiliki akses terhadap berbagai jenis informasi semacam itu maka masyarakat dan stakeholders dapat menilai apakah pemerintah telah benar-benar mengabdi pada kepentingan masyarakat atau kepentingan pihak lain. Masyarakat secara mudah dapat menentukan apakah akan memberikan dukungan kepada pemerintah, atau sebaliknya mengkritik agar pemerintah lebih berpihak kepada publik. Lebih dari itu, hak untuk memperoleh informasi adalah hak asasi dari setiap warga negara agar dapat melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah secara tepat. Di Indonesia, hak warga negara untuk mengetahui apa yang terjadi dalam suatu birokrasi publik seringkali masih sangat terbatas. Transparansi masih menjadi barang mewah sehingga tidak semua orang dapat menikmatinya. Padahal transparansi memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kemampuan pemerintah untuk mewujudkan berbagai indikator governance yang lain.
Hak publik untuk memperoleh informasi publik sudah mulai dijamin dengan terbitnya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam keterkaitan dengan akuntabilitas publik, warga dapat menilai tindakan pemerintah bersifat akuntabel atau tidak, tergantung pada kemampuan warga untuk memahami dengan mudah apa yang dilakukan 66 oleh pemerintah, mengapa pemerintah melakukannya, dan seberapa jauh tindakan pemerintah itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Di sini transparansi memiliki peran penting dalam pengembangan akuntabilitas publik karena dengan mewujudkan transparansi maka setidak-tidaknya pemerintah mempermudah warga untuk mengetahui tindakannya, rasionalitas dari tindakan itu, serta membandingkan dengan sistem nilai yang ada. Tanpa transparansi maka tidak akan ada akuntabilitas publik. Transparansi juga memberikan implikasi kepada prinsip partisipatif. Warga hanya akan mau dan dapat terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik jika aturan main atau hak dan kewajiban warga dalam kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik itu terbuka dan mudah diketahui oleh warga. Jika hal tersebut dapat diketahui dengan jelas dan mudah maka warga dapat mengambil keputusan apakah perlu terlibat dalam kegiatan tersebut atau tidak. Transparansi juga memiliki kontribusi yang sangat penting terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan praktek KKN. Tidak transparannya proses penegakan hukum berdampak kepada diskriminasi dalam penegakan hukum dan proses peradilan. Rendahnya transparansi sering memberi peluang kepada para pemegang kekuasaan dan pejabat publik untuk menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan praktek KKN.
Karena keterkaitannya dengan ciri-ciri good governance lainnya yang sangat kuat dan kontribusinya terhadap good governance sangat besar, maka transparansi menjadi aspek penting untuk mewujudkan good governance di Indonesia. Keberhasilan dan kegagalan untuk 67 mewujudkan transparansi akan sangat besar artinya bagi upaya memperbaiki pemerintahan dan pengelolaan kekuasaan di Indonesia. Konsep Good Governance dalam perjalanannya menuai banyak kritik. Antara lain pernyataan Presiden Tanzania, Julius K Nyerere di depan Konferensi PBB di Afrika tahun 1998, yaitu: “Good Governance tidak lebih sebagai konsep imperialis dan kolonialis. Good Governance hanya mengkerdilkan struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin besar”. Konsep Good Governance yang awalnya dibawa oleh lembaga-lembaga donor yaitu IMF dan World Bank (Bank Dunia) serta dikembangkan oleh UNDP dinilai terlalu ideologis dan westernized serta diabsolutkan untuk diterapkan di negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dalam Good Governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dan warga negara di negara tertentu. Sementara aktor terbesar yang berkuasa di atas tiga elemen tersebut yaitu “dunia internasional” tidak dimasukkan ke dalam elemen Good Governance. Kegagalan memasukkan variabel-variabel penting yaitu kearifan lokal dan arus globalisasi ke dalam Good Governance berdampak kepada kegagalan menguatkan fundamental ekonomi rakyat. Keberhasilan membangun relasi antara pemerintah, swasta dan warga negara tidak dibarengi dengan pencapaian kesejahteraan masyarakat. Menghadapi kelemahan konsep Good Governance seperti tersebut di atas, muncul paradigma baru yang digagas Farazmand (2004) yaitu  Sound Governance.
Ada tiga alasan utama munculnya paradigma Sound Governance, yaitu:
a. Sound Governance memunculkan pandangan baru yang lebih komprehensif dengan empat faktor yaitu menambah satu dari tiga yang sudah ada dalam konsep Good Governance sehingga inklusifitas relasi politik antara pemerintah, swasta dan warga negara yang sifatnya domestik, dilengkapi dengan satu aktor lagi yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional ini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian inernasional.
 b. Good Governance dianggap terlalu westernized dan dipaksakan. Sound Governance mempunyai pandangan yang berbeda dan mengedepankan penghormatan atas nilai dasar budaya lokal, dicontohkan kebesaran kerajaan Persia dalam pengelolaan pemerintahan sebelum dikuasai oleh budaya barat.
 c. Good Governance menekankan pada prinsip-prinsip yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, yaitu: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, akuntabilitas, konsensus, kesetaraa, efisiensi dan efektivitas serta respon.
Sound Governance lebih fleksibel sehingga memberikan kebebasan untuk melakukan inovasi dalam mencari proses untuk mencapai tujuan meskipun masih menekankan perlunya prasyarat dasar universal terkait demokrasi, transparansi dan akuntabilitas. Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Without policy and administrative innovation, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to governand becomes a target of criticism and failure (Farazmand, 2004)

Tidak ada komentar: