Sabtu, 24 Agustus 2019

Sahnya Suatu Perjanjian (skripsi dan tesis)


Perjanjian mengikat para pihak ditentukan oleh, sah atau tidaknya
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. Hal tersebut dengan tegas
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu,
mengatur tentang empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
perjanjian sebagai berikut.
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3) adanya hal atau objek tertentu;
4) suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut terbagi atas dua bagian besar. Syarat
subjektif yang menyangkut para pihak atau subjek hukum dan syarat
objektif yang menyangkut objek atau pokok perjanjian atau mengenai
apa yang diperjanjikan. Berikut ini akan diuraikan keempat hal
tersebut yang akan dibagi kedalam dua bagian, sebagai berikut.
1) Syarat Subjektif untuk sahnya suatu perjanjian
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa syarat pertama
ini dikenal juga dengan adanya konsensus antara para pihak. Hal
ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang artinya adanya persesuaian kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya. Sesuai disini dimaksud
sebagai pernyataan yang cocok, karena kehendak itu bersifat
abstrak. Lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak
yaitu, dengan bahasa yang sempurna dan tertulis; bahasa yang
sempurna secara lisan; bahasa yang tidak sempurna asal dapat
diterima oleh pihak lawan. Kenyataannya seringkali seseorang
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
dimengerti oleh pihak lawannya; bahasa isyarat asal dapat diterima
oleh pihak lawannya dan diam atau membisu, tetapi asal dipahami
atau diterima pihak lawan (Salim, 2006:33).
Sepakat mengadakan perjanjian dimaksudkan bahwa kedua
pihak yang akan terlibat dalam perjanjian haruslah memiliki
kebebasan kehendak, yaitu tidak mendapat tekanan yang dapat
mengakibatkan cacat bagi perwujudan kehendak tersebut
(Badrulzaman, 1994:24). Sebagian besar atau cara yang paling
banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan menggunakan
bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Pembuatan
perjanjian secara tertulis bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna,
apabila terjadi sengketa di kemudian hari (Salim, 2006:33).
Sepakatnya para pihak dalam membuat suatu perjanjian,
merupakan dasar untuk terbentuknya suatu perjanjian. Pasal 1320
ayat (1) ini merupakan pasal yang memiliki hubungan erat dengan
asas konsensualitas, yaitu dasar terjadinya suatu perjanjian.
b) Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian merupakan suatu
kemampuan dalam melakukan perbuatan hukum, dimana
perbuatan hukum yang dimaksud adalah perbuatan yang dapat
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang hendak
mengadakan perjanjian haruslah mereka yang cakap dan memiliki
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang
diatur oleh Undang-Undang yaitu mereka yang sudah dewasa.
Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun dan atau sudah
kawin berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Salim, 2006:33).
Agus Yudha Hernoko berpendapat bahwa, untuk
melakukan perbuatan hukum, termasuk didalamnya membuat
perjanjian, pada umumnya diukur dari usia kedewasaan
(meerderjaring) untuk manusia sebagai subjek hukum (naturlijk
person) dan kewenangan (bevoegheid) untuk badan hukum sebagai
subjek hukum (rechts persoon). Kecakapan bagi subjek hukum
berupa badan hukum cukup dengan memperhatikan
kewenangannya, yaitu kewenangan yang melekat pada orang yang
mewakilinya (Syaifuddin, 2012:124,126).
Contohnya direksi yang adalah organ dari perseroan
terbatas, yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan
perseroan terbatas untuk kepentingan perseroan terbatas sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan terbatas serta mewakili
perseroan terbatas, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai
dengan anggaran dasar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
angka 5 jo. Pasal 92 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Hal tersebut dimaksud, apabila perseroan
terbatas sebagai badan hukum, itu diwakili oleh direksi sebagai
pengurusnya yang berwenang berdasarkan anggaran dasar, maka
badan hukum yang dimaksud mempunyai kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum dalam hal ini untuk membuat
perjanjian. (Syaifuddin, 2012:126-127)
Akibat hukum yang ditimbulkan sebagai akibat dari tidak
terpenuhinya syarat subjektif adalah, suatu perjanjian dapat
dibatalkan. Maksudnya untuk membatalkan perjanjian itu, maka
salah satu pihak harus mengajukannya kepada pengadilan
(Salim,2006:35) yaitu dengan mengajukan gugatan pembatalan
(Syaifuddin, 2012:127).
Kecakapan para pihak dalam suatu perjanjian sangat
menentukan kelangsungan perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka akan memberikan akibat
hukum yaitu, perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
Syarat subjektif untuk sahnya suatu perjanjian, secara
umum merupakan syarat yang menyangkut subjek hukum yaitu,
manusia maupun badan hukum. Apabila syarat subjektif ini tidak
terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dibatalkan dengan cara
mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan.
2) Syarat objektif untuk sahnya suatu perjanjian.
a) Adanya hal atau objek tertentu
Hal atau objek tertentu yang dimaksudkan disini adalah
prestasi yang harus dipenuhi oleh debitur, kepada kreditur
(Widjaya, 2008:49). Prestasi ini terdiri atas perbuatan yang positif
dan perbuatan yang negatif, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
dan tidak berbuat sesuatu. Hal ini diatur dalam Pasal 1234 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Misalnya jual beli rumah yang
menjadi pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas
rumah dan menyerahkan uang sesuai dengan harga pembelian
rumah tersebut (Salim, 2006:34).
Objek atau pokok tertentu ini diatur dalam Pasal 1332
sampai dengan 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Ibrahim dan Sewu, 2007:87). Pasal 1332 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, menentukan: Hanya barang-barang yang dapat
diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian dan
Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menentukan:
Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan
bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian
dapat ditentukan atau dihitung.
Makna pasal tersebut yaitu, barang yang dijadikan objek
perjanjian itu memiliki jumlah yang belum tentu, hal ini tidak
menjadi halangan, asalkan jumlah barang tersebut dikemudian hari
ditentukan atau dihitung. Misalnya hasil panen padi suatu sawah di
musim panen pada tahun mendatang, tentunya sawah yang
dimaksud, sekurang-kurangnya sudah ditentukan letak dan luasnya
serta saat panen tiba. Hal atau objek tertentu adalah paling sedikit
ditentukan jenisnya atau asalkan dikemudian hari jumlahnya dapat
ditentukan atau dapat dihitung (Widjaya, 2008:49).
Akibat hukum apabila hal atau objek tertentu yang diatur
dalam Pasal 1332 sampai dengan 1334 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal
demi hukum. Hal tersebut dimaksudkan bahwa, sejak semula
perjanjian itu dianggap tidak pernah ada (Syaifuddin, 2012:130).
Objek atau hal yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian,
haruslah benar-benar jelas, meskipun objek tersebut belum
diketahui secara pasti saat perjanjian dibuat, namun objek tersebut
harus dapat ditentukan dikemudian hari. Hal ini dimaksudkan agar
perjanjian yang dibuat tidak batal demi hukum.
b) Suatu sebab yang halal atau yang tidak dilarang
Suatu sebab yang halal atau yang tidak dilarang
(geoorloofde oorzaak) mengandung maksud bahwa, isi suatu
perjanjian harus memuat suatu kausa yang dibolehkan atau sesuai
dengan undang-undang, sehingga perjanjian tersebut menjadi valid
dan mengikat para pihak. Selain sesuai dengan Undang-Undang
juga tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum (openbare
orde/public policy) dan kesusilaan (zaden/ morality) (Widjaya,
2008:51).
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
diatur mengenai suatu sebab yang halal atau yang tidak dilarang,
melainkan pada Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
diatur mengenai kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang
apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan
ketertiban umum (Salim, 2006:34).
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Ayat (3)
dan Ayat (4) merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam suatu
perjanjian untuk sahnya suatu perjanjian, apabila tidak terpenuhi,
maka akibat hukumnya adalah batal demi hukum. Artinya sejak
awal tidak pernah lahir suatu perjanjian, sehingga tidak
menimbulkan akibat hukum apapun, sehingga tidak ada dasar
hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan gugatan
atau penuntutan (Widjaya, 2008:55).
Konsekuensi dari suatu perjanjian yang dibuat tanpa ada
objek sama sekali. Bertentangan atau yang berdasarkan pada sebab
yang tidak halal, maka dapat memberikan akibat hukum yaitu,
perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Sahnya suatu
perjanjian harus memenuhi Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata secara utuh.

Tidak ada komentar: