Sabtu, 17 Agustus 2019

PENGUKURAN KEPUASAN KERJA (skripsi dan tesis)


Dalam tulisannya Jewell & Siegell (1990) mengungkap bahwa kepuasan kerja
merupakan sikap yang timbul berdasarkan penilaian terhadap situasi kerja. Lebih lanjut diungkap oleh Jewell & Siegell bahwa karyawan yang puas lebih menyukai situasi kerjanya dibandingkan yang tidak. Lebih lanjut diungkap oleh Jewell & Siegell, mengingat kepuasan kerja adalah sikap, dan karenanya merupakan konstruksi hipotesis sesuatu yang tidak dilihat, tetapi ada atau
tidak adanya diyakini berkaitan dengan pola perilaku tertentu.
Sebagai sesuatu yang bersifat hipotesis dan karenanya tidak dapat dilihat –meski keberadaannya diyakini, serta akan berdampak pada perilaku individu- maka batasan puas tidaknya seseorang serta bagaimana cara mengukur tingkat kepuasan tersebut bervariasi tergantung pada siapa dan kapan hal tersebut dilakukan. Setidaknya ada tiga konsep batasan tentang kepuasan kerja, yaitu (1) kepuasan kerja sebagai konsep global; (2) kepuasan kerja
sebagai konsep permukaan; dan (3) kepuasan kerja sebagai kebutuhan yang terpenuhkan (Jewell & Siegell, 1990).
Bagi Jewell & Siegell (1990) kepuasan kerja sebagai konsep global dimaknai sebagai penilaian positif dari situasi kerja tertentu, dan Jewell & Siegell menyebutnya sebagai konsep  satu dimensi. Dinamakan sebagai konsep satu dimensi karena merupakan ringkasan psikologis dari semua aspek yang disukai atau tidak disukai. Terkait dengan hal ini Jewell & Siegell (1990) mencontohkan model pertanyaan kepuasan kerja sebagai konsep global dengan mengambil contoh dari instrumen yang dikemukakan oleh Vecchio. Dalam penelitiannya Vecchio mengembangkan satu pertanyaan
untuk mengetahui hubungan antara kualitas kerja dan kepuasan kerja, yaitu “secara keseluruhan bagaimana kepuasan anda dengan kerja yang anda lakukan – apakah anda akan mengatakan bahwa anda sangat puas, cukup puas, agak tidak puas atau sangat tidak puas”. Tentu saja dalam menjawab pertanyaan ini seorang responden akan berbeda asumsi yang melatarbelakanginya dengan responden lainnya. Artinya seorang responden menyatakan puas karena gaji yang diterimanya tinggi, sedangkan responden lainnya menjawab puas karena interaksi di antara sesama karyawannya begitu akrab. Dari sini tampak betapa terjadi perbedaan asumsi responden dalam menjawab pertanyaan yang sama, yang seharusnya asumsi tersebut
memiliki parameter yang sama agar tidak terjadi bias.
Menyadari bahwa model instrumen dengan menggunakan satu butir soal saja memiliki banyak persoalan terkait dengan validitas dan reliabilitasnya, diajukanlah kepuasan kerja sebagai konsep permukaan (facet/komponen). Asumsi yang melatarbelakangi munculnya konsep ini, karena sebenarnya kepuasan kerja memiliki pelbagai aspek (komponen) yang daripadanya dapat
diukur tingkat kepuasan kerja yang dimiliki oleh seorang karyawan. Beberapa aspek tersebut antara lain beban kerja, keamanan kerja, kompensasi, kondisi kerja, status dan prestise kerja, kecocokan dengan rekan kerja, kebijaksanaan penilaian perusahaan, praktek manajemen umum, hubungan atasan-bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatn, kesempatan untuk menggunakan
pengetahuan dan ketrampilan, kesempatan untuk pertumbuhan dan pengembangan (Jewell & Siegell,1990).
Lazimnya dalam penelitian yang dilakukan, para peneliti tidak harus menggunakan seluruh komponen tersebut. Hal tersebut sebagaimana diungkap Jewell & Siegell (1990) bahwa untuk pengukuran kepuasan kerja cenderung bervariasi dari satu penyelidikan ke penyelidikan
berikutnya, dan dengan sendirinya jumlah komponen yang diukur juga bervariasi. Pada akhirnya seberapa banyak komponen yang harus disertakan dalam kajian penelitiannya jelas akan tergantung pada bagaimana pertanyaan penelitiannya. Meski demikian, secara umum untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan mutli komponen Dr. Patricia C. Smith telah mengembangkan Job descriptive Index, yang memiliki skala lima facet yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja atau ketidakpuasan
kerja, supervisi, gaji, kesempatan promosi dan rekan kerja. Dengan menggunakan model skala ini, responden cukup menjawab dengan “ya, atau tidak” pada kalimat-kalimat yang telah tersedia. Di samping kelebihannya yang telah digunakan lebih dari dua dasawarsa, model JDI ini juga memiliki kelemahan, karena JDI merupakan deskripsi dari situasi kerja, dan karyawan (individu) diminta untuk merespon situasi tersebut sejauh mana yang bersangkutan merasa puas, atau tidak, sedangkan seperti telah diungkap sebelumnya masalah perasaan adalah relatif antara individu
satu dengan individu lainnya. Dengan begitu adanya unsur ini menjadikan JDI juga bersifat relatif, tergantung pada siapa yang menilai dan kapan situasi itu dinilai. Konsep ketiga adalah kepuasan kerja sebagai kebutuhan yang terpenuhkan. Berbeda dengan dua konsep sebelumnya, yang tampaknya menekankan pada asumsi bahwa semua orang memiliki perasaan yang sama mengenai aspek tertentu dari situasi pekerjaan. Model ini dikembangkan oleh Porter dengan didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan
kerja. Dengan menggunakan 15 butir soal yang terkait dengan kebutuhan akan rasa aman, penghargaaan, otonomi, sosial dan aktualisasi diri sendiri, tiap responden akan menjawab tiga  pertanyaan untuk masing-masing kebutuhan tersebut, yaitu (1) berapa yang ada sekarang?; (2) berapa seharusnya?; (3) bagaimana pentingnya hal ini bagi saya?. Masing-masing pertanyaan
memiliki 7 skala, dengan angka 1 menunjukkan minimal dan 7 sebagai maksimal.
Puas tidaknya seseorang dapat diketahui dari interval antara jawaban berapa yang ada  sekarang, dengan berapa yang seharusnya. Semakin kecil interval, menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi, sedangkan semakin besar intervalnya menunjukkan rendahnya kepuasan kerja yang
dimiliki oleh karyawan yang bersangkutan.Adapun jawaban tentang pertanyaan bagaimana pentingnya hal ini bagi saya? Menunjukkan kekuatan relatif dari masing-masing kebutuhan tersebut bagi karyawan yang bersangkutan.
Seperti telah diungkap pada awal bagian subbab ini, bahwa kepuasan kerja merupakan sikap seseorang yang timbul dari hasil penilaian terhadap situasi tertentu. Disadari bahwa sikap merupakan fenomena subyektif dan individual, sehingga pengukuran tentang kepuasan kerja haruslah berdasar pada penilaian subyektif individual, dan tentunya ini menjadi kesulitan
tersendiri dalam pembuatan instrumennya. Tingkat akurasi tanggapan yang diberikan oleh responden merupakan salah satu
persoalan yang tidak mudah. Banyak faktor yang dapat menjadikan ketidak-tepatan jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan yang diajukan, bahkan kerap terjadi penyimpangan jawaban oleh responden meski hal itu mungkin juga tidak disadarinya-. Beberapa faktor yang diidentifikasi dapat mempengaruhi tingkat akurasi jawaban responden antara lain: (1) tingkat pemahaman responden terhadap materi yang ditanyakan; (2) tingkat kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan; (3) pengantar yang diberikan oleh peneliti melalui; (4) lokasi tempat mengisi kuesioner; (5) waktu mengisi kuesionter; (6) apakah responden diminta untuk bercerita
(mengidentifikasi) dirinya atau tidak; (8) social desirable factors.

Tidak ada komentar: