Sabtu, 24 Agustus 2019

Pengertian Hubungan Kerja (skripsi dan tesis)


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Dari pengertian mengenai hubungan kerja ini, dapat dilihat bahwa
hubungan kerja terjadi sebagai akibat adanya perjanjian kerja.
Perjanjian kerja dimaksud harus memenuhi ketentuan Pasal 52 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
yaitu :
1) kesepakatan kedua belah pihak;
2) kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4) pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Mengutip pendapat Asri Wijayanti (2009 : 36), hubungan
kerja adalah suatu hubungan hukum dalam bentuk hubungan kerja
yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum (pengusaha/pemberi
kerja dan pekerja/buruh) mengenai suatu pekerjaan. Hubungan kerja
merupakan inti dari hubungan industrial.
Hubungan antara pengusaha/pemberi kerja dengan
pekerja/buruh didasarkan pada hubungan hukum privat, secara khusus
didasarkan pada hukum perikatan, yang merupakan bagian dari hukum
perdata. Pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepat
dikatakan fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaan hubungan
kerja muncul suatu perselisihan yang tidak dapat mereka selesaikan.
Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan
kerja sesuai dengan Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Wijayanti, 2009 : 36) adalah :
1) adanya pekerjaan (arbeid); pekerjaan itu bebas sesuai dengan
kesepakatan antara buruh dan majikan, asalkan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban
umum.
2) di bawah perintah (gezag ver houding); di dalam hubungan kerja,
kedudukan majikan adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan
sekaligus berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Kedudukan buruh sebagai pihak
yang menerima perintah untuk melaksanakan pekerjaan. Hubungan
antara buruh dan majikan adalah hubungan yang dilakukan antara
atasan dan bawahan, sehingga bersifat subordinasi (hubungan yang
bersifat vertikal, yaitu atas dan bawah).
3) adanya upah tertentu (loan); setiap pekerja/buruh berhak menerima
upah sebagai menjadi imbalan atas pekerjaan yang telah
dilakukannya. Pengertian upah berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir
30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha dari
pemberi kerja kepada pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Selain
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, ketentuan upah juga diatur dalam peraturan
perundang-undangan lainnya, antara lain Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan
Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor PER-01/MEN/1999 Tanggal 12 Januari 1999
tentang Upah Minimum serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-49/MEN/IV/2004
tanggal 8 April 2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.
4) dalam waktu (tijid) yang ditentukan (dapat tanpa batas
waktu/pensiun atau berdasarkan waktu tertentu); artinya, buruh
bekerja untuk waktu yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak
tertentu atau selama-lamanya. Ketentuan mengenai waktu kerja
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, khususnya dalam Paragraf 4. Selain itu,
ketentuan yang mengatur pelaksanaan perjanjian kerja waktu
tertentu, diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-100/MEN/VI/2004
tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Tidak ada komentar: