Sabtu, 24 Agustus 2019

Berakhirnya Suatu Perjanjian (skripsi dan tesis)


Berakhirnya suatu perjanjian dapat disebabkan oleh beberapa
hal. Menurut Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu
perjanjian dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut:
1) Karena pembayaran
Maksud dari pembayaran pada bagian ini adalah
pembayaran yang berupa uang maupun pembayaran yang berupa
penyerahan barang sebagai suatu bentuk pemenuhan prestasi
(Miru, 2011:87-88). Pembayaran merupakan bagian dari
pemenuhan prestasi secara sukarela. Tujuan dari suatu perjanjian
adalah dipenuhinya suatu prestasi. Pihak yang berkewajiban
memenuhi prestasi pada umumnya adalah debitur, namun demikian
dalam Pasal 1382 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat
juga pihak-pihak lain yang dapat memenuhi prestasi (Syahrani,
2004:268-269)
Pihak lain yang dapat terlibat dalam memenuhi prestasi
adalah:
a) Orang yang turut berutang (tanggung-menanggung).
b) Penanggung utang.
c) Pihak ketiga yang tidak berkepentingan.
Poin pertama dan kedua merupakan pihak ketiga yang memiliki
kepentingan karena pihak yang turut berutang dalam tanggung
menanggung, berkepentingan untuk membayar utang mereka
karena sifat perjanjiannya tanggung-menanggung, sehingga semua
pihak yang turut berutang tersebut berkewajiban untuk membayar
utang tersebut. Hal ini dimaksud, apabila salah satu pihak yang
turut dalam perjanjian tanggung-menanggung tersebut, membayar
lunas utangnya maka para pihak yang berutang lainnya turut bebas
dari utangnya terhadap kreditur (Miru, 2011:88).
Pihak ketiga yang tidak berkepentingan dapat
dimungkinkan untuk membayar utang debitur, asalkan di dalam
pembayarannya harus bertindak atas nama debitur, seandainya pun
dalam pembayaran utang debitur pihak ini bertindak atas nama
sendiri juga tetap sah, asal saja tidak menggantikan hak-hak
kreditur (Miru, 2011:88-89). Pembayaran yang dilakukan oleh
pihak ketiga terdapat pengecualiannya, sebagaimana yang diatur
pada Pasal 1383 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatur mengenai pada perikatan untuk berbuat sesuatu, tidak
dapat dipenuhi oleh pihak yang lain (Syahrani, 2004:269).
Penggantian pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga adalah
dalam hal pembayaran tersebut berupa benda atau menyerahkan
sesuatu. Hal mengenai pembayaran berupa jasa yang menyangkut
dengan keahlian seseorang tidak dapat diwakili (Miru, 2011:89).
Berakhirnya suatu perjanjian dapat berupa pembayaran,
baik dengan uang ataupun dalam rupa penyerahan barang atau jasa.
Pembayaran merupakan salah satu cara untuk memenuhi
kewajiban dalam perjanjian, yaitu terjadi serah terima baik berupa
uang, barang ataupun jasa antara para pihak, sehingga apabila
kewajiban dalam perjanjian telah dipenuhi, maka perjanjian
tersebut berakhir.
2) Karena Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan
Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
(cosignatie) caranya diatur pada Pasal 1404 sampai dengan Pasal
1412 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu barang atau
uang yang akan dibayarkan kepada kreditur, ditawarkan oleh
notaris atau juru sita pengadilan yang disertai oleh dua orang saksi.
Notaris atau jurusita membuat rincian barang-barang atau uang
yang akan dibayarkan, selanjutnya pergi ketempat di mana sesuai
dengan perjanjian pembayaran harus dilakukan, apabila tidak ada
perjanjian khusus mengenai hal ini, dapat secara langsung kepada
kreditur pribadi atau di tempat tinggalnya. Notaris atau juru sita
selanjutnya memberitahukan kepada kreditur, bahwa ia atas
permintaan debitur melakukan pembayaran tersebut dengan
menyerahkan barang atau uang yang telah dirinci. Ketentuan Pasal
1404 sampai dengan Pasal 1412 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata hanyalah mengenai perjanjian yang prestasinya berupa
memberi barang–barang bergerak (Syahrani, 2004:274-275).
Hal mengenai perjanjian consignatie, debitur dapat melalui
notaris melakukan pemenuhan prestasi, sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1404 sampai dengan Pasal 1412 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Prestasi yang telah dipenuhi oleh debitur
ini membawa akibat yaitu, berakhirnya perjanjian antara kreditur
dan debitur tersebut.
3) Karena pembaharuan utang (novasi)
Menurut Pasal 1413 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terdapat tiga macam novasi, yaitu:
a) Novasi objektif yaitu dapat terjadi dengan mengubah isi
perjanjian namun para pihak tetap seperti semula. Misalnya X
mempunyai utang kepada Y sebesar Rp2.000.000,00 untuk
membayar utang tersebut, X menawarkan sebuat televisi
kepada Y. Karena perbuatan tersebut, perjanjian pinjammeminjam uang antara X dan Y berakhir, diganti dengan
perjanjian jual-beli barang.
b) Novasi Subjektif pasif yaitu debitur baru menggantikan debitur
yang lama, dimana debitur yang lama dibebaskan dari
kewajiban pembayaran oleh kreditur. Misalnya X berutang
pada Y, keduanya sepakat bahwa yang akan membayar adalah
Z.
c) Novasi Subjektif aktif yaitu krediturnya yang diganti, dimana
kreditur yang lama diganti dengan kreditur yang baru, sehingga
kreditur yang lama tidak memiliki hak lagi untuk menuntut
pembayaran dari perjanjian yang lama. Hal demikian mirip
dengan subrogasi tetapi dalam subrogasi hal tersebut selain
diperjanjikan tetapi juga dapat terjadi karena Undang-Undang.
Sedangkan novasi hanya dapat terjadi karena diperjanjikan
(Meliala, 2008:106).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1415 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, menekankan bahwa suatu pembaharuan utang
harus jelas dan tegas kelihatan atau nyata melalui perbuatan hukum
para pihak, sehingga tidak boleh hanya sebagai anggapan atau
dianggap saja (voorondersteld), tetapi juga tidak harus selalu ada
bukti tertulis, melainkan pembuktian dengan alat-alat bukti lain,
yaitu saksi-saksi dan persangkaan-persangkaan (vermoedens) dapat
digunakan (Prodjodikoro, 2011:139).
Pembaharuan utang harus kelihatan secara nyata dan tegas
dari tindakan atau perbuatan hukum para pihak. Berdasarkan
uraian dan contoh di atas, maka dengan adanya pembaharuan utang
mengakibatkan perjanjian antara pihak yang berutang dengan
pihak yang berpiutang menjadi berakhir.
4) Karena perjumpaan utang (schuldvergelijking compensatie) atau
kompensasi
Berdasarkan Pasal 1425 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, perjumpaan utang merupakan akibat dari suatu keadaan
bahwa seorang X memiliki utang kepada seorang Y, tapi saat itu
juga mempunyai piutang terhadap Y, sehingga posisi X adalah
debitur juga sekaligus kreditur tehadap Y. Hal ini mengakibatkan
terjadinya suatu perjumpaan utang, sehingga membawa perjanjian
dua-duanya hapus atau berakhir (Prodjodikoro, 2011:143)
Perjumpaan utang atau kompensasi adalah salah satu cara
berakhirnya perjanjian, karena keadaan dua pihak yang saling
mempunyai utang satu terhadap yang lain. Misalnya X mempunyai
utang kepada Y sebesar Rp200.000,00 sedangkan Y mempunyai
utang kepada X sebesar Rp150.000,00 diantara keduanya terjadi
kompensasi, dengan demikian utang Y kepada X sebesar
Rp50.000,00 saja. Adapula kedua utang saling menghapuskan
yaitu pada saat utang-utang itu sama-sama ada dan memiliki
jumlah yang sama pula (Syahrani, 2004:278).
Berakhirnya suatu perjanjian dapat terjadi oleh karena
adanya perjumpaan utang antara para pihak sebagaimana
dicontohkan di atas. Hal tersebut membawa akibat hukum yaitu,
dengan adanya perjumpaan utang, maka kedua pihak yang saling
utang dengan nilai utang yang sama, saling menghapuskan
utangnya.
5) Karena pembebasan utang
Pembebasan utang atau pelepasan hak untuk menuntut
prestasi dalam perjanjian terhadap debitur, adalah suatu perbuatan
hukum yang dilakukan oleh kreditur sebagai pihak yang berhak
atas pemenuhan prestasi. Menyatakan secara tegas bahwa dia tidak
lagi menuntut pembayaran utang terhadap debitur sebagai pihak
yang berkewajiban untuk melakukan pemenuhan prestasi. Hal ini
berarti, kreditur melepaskan haknya dan tidak menghendaki lagi
pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang dibuat, serta
membebaskan debitur untuk memenuhi prestasi (Syaifuddin,
2012:430).
Perjanjian pada dasarnya atas kesukarelaan para pihak yang
terlibat didalamnya, sehingga apabila salah satu pihak kemudian
dengan sukarela berniat membebaskan pihak lain dari suatu
perjanjian, pada hakekatnya tidak boleh dihalang-halangi.
Ketentuan Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang, pembebasan utang tidak dapat diperkirakan atau
dipersangkakan saja (vorondersteld) melainkan harus dibuktikan.
Pembuktian yang dimaksud adalah sesuai dengan Pasal 1439 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu mengenai pengembalian
surat tanda utang oleh pihak kreditur kepada pihak debitur, beserta
dengan pihak lain yang turut berutang secara tanggungmenanggung (Prodjodikoro, 2011:193-194).
Perjanjian dapat berakhir karena pembebasan utang.
Pembebasan utang yang diberikan oleh pihak kreditur, harus
disertai dengan bukti yang tertulis untuk mencegah hal-hal yang
tidak diinginkan terjadi dikemudian hari. Pembebasan utang
biasanya dilakukan dengan kerelaan hati oleh kreditur, sehingga
pihak ketiga tidak dapat menghalang-halanginya.
6) Karena musnahnya barang yang terutang
Musnahnya barang yang terutang adalah barang atau benda
yang menjadi objek perjanjian musnah, hilang atau tidak dapat lagi
diperdagangkan sehingga tidak diketahui lagi keadaan, kondisi dan
keberadaan barang tersebut, apakah masih ada atau sudah tidak ada
lagi. Berdasarkan Pasal 1444 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, suatu perjanjian berakhir dengan syarat musnah, hilang
atau tidak dapat lagi diperdagangkannya benda atau barang yang
menjadi objek dalam perjanjian, bukan karena kesalahan debitur
dan sebelum ia lalai menyerahkan benda atau barang dalam rangka
memenuhi prestasinya kepada kreditur. Bahkan dalam hal debitur
lalai menyerahkan benda atau barang objek perjanjian tersebut, ia
dibebaskan dari pelaksanaan perjanjian, apabila si debitur dapat
membuktikan bahwa benda atau barang tersebut musnah, hilang
atau tidak dapat diperdagangkan lagi, karena keadaan memaksa
(overmacht) atau kejadian diluar kuasanya (Syaifuddin, 2012:432-
433).
Berdasarkan Pasal 1445 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata apabila barang atau benda yang terhutang diluar dari
kesalahannya si berutang, musnah, hilang atau lenyap sehingga
tidak lagi dapat diperdagangkan, maka apabila si berutang
mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai
benda atau barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak atau
tuntutan tersebut kepada orang yang memberikan utang kepadanya
(Prodjodikoro, 2011:195-196).
Berakhirnya suatu perjanjian dapat terjadi karena
musnahnya barang yang terutang. Hal ini dapat dipahami secara
sederhana, bahwa apabila objek dari perjanjian telah musnah
karena suatu sebab yang tidak diharapkan atau diduga sebelumnya,
maka perjanjian antara yang berutang dengan yang berpiutang
berakhir.
7) Karena kebatalan dan pembatalan
Kebatalan suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1446 sampai
dengan Pasal 1456 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Terdapat tiga penyebab timbulnya pembatalan perjanjian yaitu,
a) Para pihak yang terlibat dalam perjanjian belum dewasa dan di
bawah pengampuan.
b) Bentuk perjanjian tidak mengindahkan ketentuan dalam
Undang-Undang.
c) Adanya cacat kehendak (wilsgebreken) yaitu kekurangan dalam
kehendak orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi
terjadinya persesuaian kehendak para pihak yang akan terlibat
dalam suatu perjanjian (Salim, 2006:172).
Cacat kehendak dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
kekhilafan (dwaling) adalah suatu penggambaran yang keliru
tentang orangnya atau objek perjanjian yang dibuat oleh para
pihak. Dwaling dibagi menjadi dua macam, yaitu dwaling tentang
orangnya dan dwaling dalam kemandirian benda. Paksaan (dwang)
yaitu ancaman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang lain
atau pihak ketiga, sehingga memberikan kesan dan ketakutan pada
orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya atau
kekayaannya terancam rugi besar dalam waktu dekat (Pasal 1324
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Penipuan (bedrog) yaitu,
salah satu pihak sengaja memberikan gambaran atau fakta yang
salah untuk memasuki suatu perjanjian, selain itu terdapat juga
cacat kehendak berupa penyalagunaan keadaan (undue influence)
yaitu, penyalagunaan keadaan ekonomis dan psikologis (Salim,
2006:172).
Akibat dari pembatalan suatu perjanjian, dilihat dari dua
aspek yaitu, (1) orang-orang yang tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum, dan (2) cacat kehendak. Akibat pembatalan
perjanjian bagi orang-orang yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum dan akibat pembatalan karena cacat kehendak
adalah pulihnya barang-barang dan orang-orang yang bersangkutan
seperti sebelum terjadinya perjanjian. Hal ini di atur dalam Pasal
1451 dan Pasal 1452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Salim, 2006:174).
Kebatalan atau pembatalan suatu perjanjian dapat
dibedakan dalam dua jenis pembatalan, yaitu pertama, pembatalan
mutlak (absolute nietigheid) dalam hal ini perjanjian harus
dianggap batal, walaupun tidak diminta oleh suatu pihak.
Perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap
siapapun juga. Perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian yang
tidak mengikuti cara (vorm) yang mutlak dikehendaki oleh
Undang-Undang, serta kausanya bertentangan dengan kesusilaan
atau dengan ketertiban umum (open bare orde). Kedua,
pembatalan relatif yaitu hanya terjadi apabila dimintakan oleh
pihak-pihak tertentu dan hanya berlaku terhadap pihak-pihak
tertentu (Prodjodikoro, 2011:196).
Secara umum definisi batal adalah tidak berlaku atau tidak
sah, sedangkan batal demi hukum memiliki makna yang khas
dibidang hukum. Makna tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu
tersebut dibenarkan atau dikuatkan menurut hukum atau dalam arti
sempit berdasarkan peraturan perundang-undangan sudah seperti
itu adanya. Batal demi hukum menunjukkan bahwa tidak berlaku
atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi seketika, spontan,
otomatis, atau dengan sendirinya, sejauh persyaratan dan situasi
yang menjadikan batal demi hukum itu terpenuhi. Makna dapat
dibatalkan yaitu, perluhnya suatu tindakan aktif untuk
membatalkan sesuatu karena tidak terjadi secara otomatis atau
dengan sendirinya, melainkan harus dimintakan agar sesuatu itu
dibatalkan (Erawati dan Budiono, 2010:4).
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
terdapat lima kategori alasan untuk membatalkan perjanjian,
sebagai berikut:
a) Untuk perjanjian formil, tidak terpenuhinya persyaratan yang
ditetapkan oleh Undang-Undang, yang berakibat perjanjian
batal demi hukum.
b) Tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian, yang berakibat
perjanjian batal demi hukum, atau dapat dibatalkan.
c) Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat.
d) Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar actio pauliana.
(Erawati dan Budiono, 2010:5)
Berdasarkan uraian di atas, maka suatu perjanjian dapat
berakhir karena dapat dibatalkan yaitu, suatu perjanjian dapat
berakhir dengan memintakan pembatalannya pada pihak yang
berwenang. Hal ini menunjukkan bahwa, harus ada tindakan aktif
untuk dapat memperoleh pembatalan yang dimaksud. Batal demi
hukum yaitu, perjanjian itu batal secara otomatis karena UndangUndang yang telah mengatur demikian. Hal ini tidak memerlukan
tindakan aktif dari salah satu pihak dalam perjanjian.
8) Karena berlakunya syarat batal
Berdasarkan Pasal 1253 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang perjanjian bersyarat, yang dimaksud dengan
“syarat” adalah suatu peristiwa yang masih akan datang, sehingga
peristiwa itu adalah peristiwa yang belum terjadi dan belum tentu
terjadi. Pasal ini berhubungan erat dengan Pasal 1254 yang
menyatakan bahwa “syarat” itu harus mungkin terlaksana, tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan Undang-Undang. Syarat
merupakan peristiwa yang akan dan belum pasti akan terjadi,
namun bila ditinjau dari tutupnya perjanjian, memang mungkin
terjadi, sejauh tidak bertentangan dengan kesusilaan dan UndangUndang (Satrio, 1999:278).
Vollmar berpendapat bahwa, “syarat” merupakan syarat
yang diajukan dan yang disepakati oleh para pihak yang akan
terlibat dalam suatu perjanjian (Satrio, 1999:278). Batal dalam
syarat batal merupakan pembatalan terhadap suatu perjanjian oleh
karena debitur yang wanprestasi. Pembatalan yang dimaksudkan
adalah pembatalan yang memungkinkan dapat dituntut oleh
kreditur terhadap debitur yang wanprestasi (Syahrani, 2004:228).
Pembatalan perjanjian oleh karena debitur yang
wanprestasi, merupakan syarat dalam setiap perjanjian yang timbal
balik, baik dinyatakan secara langsung dalam perjanjian, maupun
tidak dinyatakan secara langsung. Pembatalan tetap harus
dimintakan pada pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bagian ini akan
diuraikan lebih lanjut pada Bab IV. A.
9) Karena lewat waktu
Berdasarkan Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan
maupun yang bersifat perseorangan, dengan lewatnya waktu 30
tahun berakhir karena daluarsa, sedangkan siapa yang
menunjukkan adanya daluarsa itu tidak usah mempertunjukkan
suatu alas hak, lagipula tidak dapatlah diajukan terhadapnya suatu
tangkisan yang didasarkan kepada iktikadnya yang buruk. Maksud
dari peraturan ini adalah untuk melenyapkan situasi keragu-raguan
dalam suatu hubungan hukum, selain itu, apabila selama 30 tahun
tidak terjadi masalah dan baru setelah lewat waktu yang panjang
itu diajukan soal siapakah yang berhak atau berkewajiban, maka
sulit sekali mendapatkan bukti-bukti yang jitu untuk menegakkan
atau merobohkan hak-hak atau kewajiban-kewajiban itu dan yang
dapat dipercaya ketepatannya (Prodjodikoro, 2011:198).
Lewat waktu atau daluarsa berdasarkan Pasal 1946 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, merupakan cara atau sarana
untuk mendapatkan sesuatu atau untuk dibebaskan dari sesuatu
perikatan, oleh karena lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang. Daluarsa
untuk memperoleh hak milik atas suatu barang disebut daluarsa
acquisitif, dan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dinamakan
daluarsa extinctif (Syahrani, 2004:284).
Lewat waktu extinctif jika dihubungkan dengan perjanjian
adalah membebaskan seseorang dari suatu kewajiban atau dengan
kata lain, memberikan hak terhadap seseorang untuk memperoleh
sesuatu hak. Seseorang dibebaskan dari kewajibannya setelah
jangka waktu yang ditentukan lewat, sebagaimana yang diatur oleh
Undang-Undang. Memberikan sesuatu hak kepada seseorang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang, yaitu dengan lampaunya
jangka waktu tertentu dianggap perjanjian telah hapus, sehingga
debitur bebas dari kewajiban pemenuhan prestasi (Harahap,
1986:166-167).
Berakhirnya suatu perjanjian karena lewat waktu dapat
disebabkan oleh jangka waktu yang diperjanjikan dalam perjanjian
telah lewat waktu. Hal ini mengakibatkan debitur menjadi bebas
dari kewajibannya, untuk menentukan telah lewat jangka waktu
adalah berdasarkan pada perjanjian dan Undang-Undang yang
mengatur tentang hal tersebut

Tidak ada komentar: