Sabtu, 24 Agustus 2019

Asas-asas Hukum Perjanjian (skripsi dan tesis)


Asas atau prinsip dalam bahasa Inggris “principle” yang
memiliki hubungan erat dengan istilah “principium” dalam bahasa
Latin yang berarti permulaan, awal, sumber, asal, pangkal, pokok,
dasar, sebab. Sedangkan Principle berarti sumber atau asal sesuatu,
penyebab dari sesuatu, kewenangan, aturan atau dasar terhadap
tindakan seseorang. Suatu pernyataan yang digunakan untuk
menjelaskan sesuatu peristiwa, dengan kata lain asas adalah sesuatu
yang dapat dijadikan dasar, alas, tumpuan, tempat untuk
menyandarkan sesuatu yang hendak kita jelaskan (Mahadi, 2003:119).
Menurut P. Scholten asas hukum merupakan sifat-sifat umum
dengan segala keterbatasannya, sebagai suatu bawaan umum yang
harus ada. Bukan merupakan peraturan hukum konkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang bersifat umum (Sudikno Mertokusumo,
2010:42-43). Asas hukum merupakan unsur yang paling penting dari
peraturan hukum. Asas hukum menjadi landasan yang paling luas bagi
lahirnya suatu aturan hukum, dengan kata lain aturan hukum tersebut
dapat dikembalikan pada asas hukum. Asas hukum tidak akan habis
kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, namun akan
tetap ada dan melahirkan peraturan hukum yang lainnya lagi.
Selanjutnya asas hukum mengandung tuntutan etis, dengan demikian
asas hukum menjadi jembatan antara peraturan-peraturan hukum
dengan cita-cita sosial dan pandangan etis dari masyarakat (Raharjo,
1996:45).
Asas hukum menjadi landasan yang sangat luas untuk lahirnya
suatu peraturan hukum. Asas hukum merupakan pikiran dasar yang
bersifat umum atau merupakan latar belakang peraturan yang konkrit
(Ibrahim dan Sewu, 2007:50). Berdasarkan uraian para ahli di atas,
maka asas hukum adalah dasar, landasan berpijak suatu aturan hukum
yang lebih nyata untuk membatasi perilaku manusia. Berikut ini akan
diuraikan asas-asas di dalam hukum perjanjian, yaitu sebagai berikut.
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak menyatakan bahwa, setiap
orang diberikan kebebasan seluas-luasnya, yang oleh Undang-
Undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, sejauh tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan ketertiban umum
(Naja, 2009:93). Orang dapat membuat perjanjian dengan isi
perjanjian yang bagaimanapun juga, sejauh tidak bertentangan
dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. (Satrio,
1999:36). Hal ini berbeda dengan perjanjian yang bersumber dari
Undang-Undang yaitu, para pihak yang terlibat dalam perjanjian
tersebut, harus tunduk pada peraturan atau ketentuan yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang. (Widjaya, 2008:33)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Asas
kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak,
untuk membuat atau tidak membuat suatu perjanjian; mengadakan
perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian,
pelaksanaan dan persyaratan dalam perjanjian; serta menentukan
bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis. (Salim, 2006:9)
Asas kebebasan berkontrak yang sesuai dengan hukum
perjanjian di Indonesia adalah bebas untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian; bebas untuk menentukan dengan siapa ia
ingin membuat perjanjian; bebas untuk menentukan atau memilih
sebab dari perjanjian yang akan dibuatnya; bebas untuk
menentukan objek perjanjian; bebas untuk menentukan bentuk
perjanjian; dan bebas untuk menerima ketentuan Undang-Undang
yang bersifat opsional (aanvullend, optional) (Sjahdeini, 1993:47).
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah
adanya paham individualisme sejak zaman Yunani, dan
berkembang pesat pada zaman renaisance. Menurut paham
individualisme, setiap orang bebas untuk mendapatkan apa yang
dikehendakinya, yang kemudian dalam hukum perjanjian
diwujudkan dalam kebebasan berkontrak, namun pada
perkembangannya untuk mencegah kebebasan yang sebebasbebasnya, maka substansi perjanjian diatur dan tidak semata-mata
dibiarkan kepada para pihak. Pengaturan ini tidak dimaksudkan
untuk membatasi asas kebebasan berkontrak, melainkan untuk
menjaga keseimbangan kepentingan perorangan dan kepentingan
masyarakat (Salim, 2003:9-10).
Menurut Van Appledoorn, kebebasan membuat perjanjian
merupakan satu diantara beberapa landasan Hukum Perdata. Atas
dasar itu, perlu koreksi dari pengadilan dalam rangka merumuskan
asas hukum tersebut. Hal ini karena semakin kecilnya arti asas
kebebasan untuk berkehendak dan kebebasan membuat perjanjian
dengan adanya standar perjanjian modern, persamaan kedudukan
menjadi tidak konkrit lagi, sehingga diperlukan cara melalui
keputusan politik, yaitu dengan cara pembentukan Undang-Undang
yang berisikan ketentuan-ketentuan normatif yang sifatnya
memaksa. Van Appledoorn merujuk pada pikiran dialektis Hegel
dalam mencari landasan filosofis bagi prinsip kebebasan
berkontrak yang menegaskan bahwa, kebebasan membuat
perjanjian merupakan konsekuensi dari pengakuan akan adanya
hak milik. Hak milik adalah realisasi yang utama dari kebebasan
individu, dengan kata lain, hak milik merupakan landasan bagi
hak-hak lainnya (Syaifuddin, 2012:82-83).
Menurut Hegel kebebasan berkehendak adalah landasan
yang substansial bagi semua hak dan kewajiban. Pemegang hak
milik harus menghormati orang lain yang juga pemegang hak
milik. Adanya saling menghormati hak milik inilah yang menjadi
landasan terjadinya hukum perjanjian (Syaifuddin, 2012:83).
Asas kebebasan berkontrak merupakan landasan para pihak
yang akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Bebas untuk
memilih dengan siapa akan mengikatkan diri, bebas menetapkan
objek dari perjanjian. Bebas menentukan jenis perjanjian apa yang
akan dibuat, bebas untuk menentukan aturan-aturan dalam
pelaksanaan perjanjian serta bebas menentukan akibat hukum apa
yang akan ditimbulkan dalam perjanjian yang dibuat.
2) Asas Konsensualitas
Asas konsesualitas berasal dari kata Latin “consesus” yang
berarti sepakat. Para pihak dalam membuat perjanjian syaratnya
harus ada kesepakatan atau persetujuan mengenai hal yang akan
diperjanjikan. Sepakat adalah persesuaian paham dan kehendak
antara para pihak yang membuat perjanjian. Adanya asas
konsensualitas berarti perjanjian itu ada sejak adanya kesepakatan
(Syaifuddin, 2012:77).
Asas konsensualitas dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mensyaratkan bahwa,
untuk sahnya suatu perjanjian harus ada kesepakatan atau
persesuaian kehendak antara para pihak yang akan terlibat dalam
suatu perjanjian. Asas konsensualitas memiliki paham dasar bahwa
suatu perjanjian itu sudah lahir sejak tercapainya kata sepakat,
dengan kata lain perjanjian lahir pada detik tercapainya
kesepakatan (Wijaya, 2008:35). Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa, perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak
(Salim, 2003:10)
Perjanjian yang tidak menggambarkan bentuk kesepakatan
yang sesungguhnya, dapat terjadi dalam situasi tertentu oleh karena
adanya cacat kehendak (wilsgebreke), karena kesesatan (dwaling),
penipuan (bedrog) atau paksaan (dwang) yang mempengaruhi
lahirnya suatu perjanjian. Atas dasar itu, asas konsensualitas yang
terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan bahwa, cukup dengan adanya
kesepakatan dapat menentukan lahirnya suatu perjanjian, tidak
seharusnya ditafsirkan secara gramatikal semata-mata, tetapi harus
dihubungkan dengan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena jika
syarat lain tidak terpenuhi, maka dapat mengakibatkan perjanjian
itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai
Undang-Undang bagi para pihak (Syaifuddin, 2012:78).
Asas Konsensualitas diilhami dari hukum Romawi dan
hukum Jerman. Meski demikian di Jerman tidak dikenal asas
konsensualitas, melainkan perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan
secara nyata (kontan dalam hukum adat). Sedangkan yang disebut
perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu dalam bentuk tertulis baik berupa akta autentik
maupun akta di bawah tangan. Berdasarkan hukum Romawi
dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat.
Hal ini berarti terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang
telah ditetapkan (Salim, 2006:10) karena perjanjian dalam hukum
Romawi dianggap terbentuk jika kebendaannya telah diserahkan
atau dengan kata lain harus memenuhi sejumlah syarat terlebih
dahulu, baru dapat dikatakan perjanjian (Budiono, 2006:97).
Hukum perjanjian yang dibawah oleh bangsa Jerman ke
dalam wilayah Galia sekitar abad ke-11, hanya terdiri dari fides
facta formil (Budiono, 2006:97) atau Ikrar jaminan dengan
menyerahkan tongkat komando sebagai lambang (Ranuhandoko,
2006:285). Sebagian dari apa yang termasuk dalam hukum
perjanjian, digolongkan semata-mata sebagai praestita, yaitu untuk
sementara menyerahkan suatu kebendaan pada orang lain, dengan
kewajiban mengembalikan kebendaan tersebut, tanpa
diperjanjikannya suatu lawan prestasi, yang saat ini dikenal dengan
perjanjian riil dan formil. Secara berangsur-angsur hukum
perjanjian berkembang sehingga praestita dimengerti sebagai
perjanjian. Hal ini mengakibatkan perundang-undangan yang
muncul kemudian, mulai dibeda-bedakan jenis dari praestita
sekalipun tetap dibawah hukum Romawi. Pemilahan tersebut
beranjak dari isi kewajiban yang diperjanjikan, maka menjadi
sangat penting mengedepankan kesepakatan (Budiono, 2006:97).
Asas Konsensualitas merupakan asas dalam perjanjian,
dimana perjanjian yang dibuat oleh para pihak, harus didasarkan
pada kata sepakat atau saling setuju untuk saling mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian. Kesepakatan para pihak juga dapat menjadi
momentum terjadinya suatu perjanjian.
3) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda terdapat dalam Pasal 1338 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu, “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi para pembuatnya”. Isi pasal ini secara singkat mau
36
mengatakan bahwa, perjanjian yang dibuat sesuai dengan aturan
hukum, menjadi peraturan yang harus ditaati para pihak dalam
melaksanakan perjanjian.
Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas
kepastian hukum. Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa
hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi perjanjian
yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian,
sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Pihak ketiga tidak
boleh melakukan intervensi terhadap substansi perjanjian yang
dibuat oleh para pihak (Salim, 2006:10).
Asas Pacta Sunt Servanda pada mulanya dikenal dalam
hukum gereja, yang menyebutkan bahwa terjadinya suatu
perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan
dikuatkan dengan sumpah. Asas ini memiliki makna yaitu, setiap
perjanjian yang dibuat merupakan perbuatan yang sakral, namun,
dalam perkembangannya asas ini diberi arti pactum, yang berarti
sepakat tidak perluh dikuatkan dengan sumpah dan tindakan
formalitas lainnya. Sedangkan nudus pactum sudah cukup dengan
sepakat saja (Salim, 2006:10).
Asas pacta sunt servanda memiliki ruang lingkup sebatas
pada para pihak yang membuat perjanjian, hal ini ditunjukkan pada
hak yang lahir merupakan hak perorangan (persoonlijk recht) dan
bersifat relatif (Isnaeni, 1996:32), namun pada situasi tertentu asas
37
ini diperluas, sehingga bisa menjangkau pihak-pihak lain,
mengakibatkan hak perorangan yang pada prinsipnya hanya
mengikat para pihak, ternyata dapat diperluas dan mengakibatkan
menguatnya hak perorangan (Prawirohamidjojo dan Pohan,
1978:16)
Asas pacta sunt servanda merupakan akibat hukum dari
para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian. Maksudnya, isi
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, menjadi aturan atau
Undang-Undang yang harus ditaati dan dihormati oleh para pihak
dalam melaksanakan perjanjiannya.
4) Asas Iktikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu, “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan iktikad baik”. Makna iktikad baik dalam
pasal tersebut adalah penerapannya di dalam suatu perjanjian. Hal
ini berarti berbicara sesudah perjanjian itu ada, meskipun ketentuan
mengenai iktikad baik tidak jelas maknanya karena memiliki
pengertian yang abstrak, maksudnya, meskipun orang mengerti
maknanya tetap saja sulit untuk merumuskan definisinya. Pasal
1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini termasuk
pasal yang sangat penting (Satrio, 2001:165-166).
Asas iktikad baik adalah asas yang menyatakan bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan
substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh atau kemauan baik dari para pihak (Salim, 2006:10-11).
Pelaksanaan perjanjian tersebut harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan (Naja,
2009:101).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, iktikad baik
adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh (KBBI Departeman
Pendidikan Nasional, 2012,522). Asas iktikad baik dibagi menjadi
dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak.
Dalam iktikad baik nisbi, orang hanya memperhatikan sikap dan
perilaku yang kelihatan nyata dari subjek atau para pihak,
sedangkan iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) sesuai dengan norma-norma
yang objektif (Salim, 2006:11).
James Gordly berpendapat bahwa, asas iktikad baik
bersumber pada hukum perjanjian Romawi. Iktikad baik mengacu
pada tiga bentuk perilaku para pihak dalam perjanjian. Pertama,
para pihak harus memegang teguh setiap janji dan ucapannya.
Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dari pihak
lain dengan cara yang menyesatkan. Ketiga, para pihak harus
mematuhi kewajiban dan berperilaku sebagai orang yang terhormat
dan jujur, meskipun kewajiban yang dimaksud tidak secara tegas
diperjanjikan. Hal ini ditegaskan oleh Jason Tandal, menurutnya
para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, tidak hanya terikat
pada isi perjanjian yang dengan jelas disepakati saja, melainkan
kepada semua isi naturaly implied (secara alami dibenarkan-tanpa
harus dengan kata-kata) didalam perjanjian mereka. (Khairandy,
2004:132-135)
P. Van Warmelo berpendapat bahwa, dalam iktikad baik
tidak hanya mengacu pada iktikad baik para pihak yang terlibat
dalam suatu perjanjian saja, melainkan harus mengacu pada nilainilai yang berkembang di dalam masyarakat juga. Iktikad baik
adalah bagian dari masyarakat yang mencerminkan standar
keadilan atau kepatutan masyarakat tersebut, sedangkan pendapat
Baldus, dalam mengidentifikasikan iktikad baik adalah dengan
equity (keadilan) dan hati nurani, bahwa tidak ada seorangpun
dibolehkan mengorbankan orang lain untuk memperkaya diri
sendiri (Khairandy, 2004:138-146).
Iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab UndangUndang Hukum Perdata, tidak lain adalah perjanjian harus
dilaksanakan secara pantas dan patut, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Hofmann yaitu dalam Hukum Romawi terdapat
perjanjian negotia banae fidei yang berarti hakim dapat
memperluas atau memperkecil kewajiban-kewajiban para pihak
dalam perjanjian yang bersangkutan, dalam hal demi kepatutan.
Hal ini dimaksud bahwa, pasal tersebut mengandung asas bahwa,
semua perjanjian yang memuat Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah perjanjian negotia bonae fidei (Satrio, 2001:177).
Pernyataan yang lebih dalam lagi dinyatakan oleh Simon Whittaker
dan Reinhard Zimmerman bahwa, hukum alam dan hukum
kebiasaan menentukan bahwa setiap perjanjian adalah bonae fidei
karena kejujuran dan integritas harus selalu ada pada para pihak
dalam semua perjanjian, dimana mewajibkan pemenuhan
kewajiban harus sesuai dengan kepatutan (Khairandy, 2004:132).
Pelaksanaan perjanjian oleh kreditur maupun debitur yang
terikat dalam suatu perjanjian, khususnya perjanjian timbal balik,
wajib melaksanakan perjanjian dengan pantas dan patut, karena
dalam perjanjian timbal balik kedua pihak dalam situasi tertentu
dapat menjadi kreditur maupun debitur, sehingga kedua pihak
harus melaksanakan perjanjiannya dengan iktikad baik.
Maksudnya bahwa kreditur dalam melaksanakan hak-haknya akan
bertindak sebagai kreditur yang baik, yaitu tidak menuntut lebih
dari apa yang seharusnya menjadi haknya, sehingga tidak
membebani debitur dengan biaya-biaya yang lebih dari yang
diperlukan. Begitupun dengan debitur akan melaksanakan
kewajibannya dengan baik, tidak akan membuat penagihan
menjadi sulit dan berbelit-belit (Satrio, 2001:178-179).
Berdasarkan urain di atas, maka yang dimaksudkan disini
adalah iktikad baik objektif (objectief goeder trouw) sebagaimana
menurut Martjin Willem Hesselink, yaitu mengacu kepada suatu
aturan atau norma perilaku para pihak yang terlibat dalam suatu
perjanjian, baik perilaku yang sesuai dengan iktikad baik ataupun
perilaku yang tidak sesuai dengan iktikad baik (Khairandy,
2004:185). Berbeda dengan iktikad baik subjektif (subjectief
goeder trouw) yang berhubungan dengan sikab bathin seseorang
yang dilihat adalah mengenai apakah yang bersangkutan sendiri
menyadari atau tahu, bahwa tindakannya bertentangan dengan
iktikad baik. Iktikad baik objektif berhubungan dengan pendapat
umum atau secara objektif, yaitu dengan melihat apakah secara
umum tindakan seperti itu dianggap bertentangan dengan iktikad
baik (Satrio, 2001:179).
Ketentuan Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tidak dapat dipakai oleh hakim untuk mengubah atau
menghapus hak dan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian,
meskipun terdapat masalah dalam pelaksanaan perjanjian.
Umumnya masalah itu berhubungan dengan terjadinya perubahan
keadaan sesudah perjanjian ditutup, dimana perubahan keadaan
yang dimaksud adalah perubahan keadaan yang tidak dapat
diperhitungkan oleh para pihak sejak semula. Berbeda halnya
apabila perubahan keadaan yang mungkin terjadi telah
diperhitungkan oleh para pihak, dalam hal ini Rutten berpendapat
bahwa, kerugian yang timbul sudah sepatutnya harus dipikul oleh
para pihak itu sendiri oleh karena kecerobohannya. Hakim hanya
mempertimbangkan untuk meninjau pelaksanaan perjanjian sesuai
dengan kata-kata dalam perjanjian, apabila kepatutan menuntut
demikian (Satrio, 2001:180,185).
Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa penerapan
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
berkaitan erat dengan perubahan keadaan yang terjadi dalam
perjanjian, sehingga meskipun perjanjian yang dibuat didasarkan
pada situasi saat perjanjian itu dibuat dan didalam pelaksanaan
perjanjian, ternyata terjadi perubahan keadaan yang besar sekali,
maka kreditur maupun debitur yang baik tentunya tidak menuntut
pelaksanaan haknya, persis seperti yang disebutkan dalam
perjanjian. Hal ini dimaksud agar supaya pantas dan patut, apabila
terdapat perubahan keadaan, maka hak dan kewajiban dari para
pihak yang disebutkan dalam perjanjian, dilaksanakan dengan
mengingat pada perubahan itu. Berdasarkan uraian tersebut, maka
penafsiran perjanjian yang dilakukan oleh hakim, adalah dengan
memperluas arti kata-kata dalam perjanjian untuk menyelesaikan
masalah yang timbul dikemudian (Satrio, 2001:200-201).
43
Hofmann berpendapat bahwa, meskipun dalam tafsiran ada
yang “ditambahkan” atau “diubah”, tidak berarti bahwa isi
perjanjian pun diubah atau ditambah, melainkan justru ditetapkan
berdasarkan anggapan hakim, dimana menurut anggapan hakim
pada sebenarnya dikehendaki oleh para pihak. Hakim harus
memperhatikan kreditur maupun debitur dalam pelaksanaan dan
pemenuhan hak dan kewajibannya, memperhatikan unsur
kepatutan dan ketetapan hakim sebagai penyesuaian hak dan
kewajiban dari para pihak dengan kepatutan, yang dapat berupa
tambahan kewajiban tanpa mengubah kewajiban pokok (Satrio,
2001:208).
Hakim harus mengetahui isi perjanjian serta peristiwa
konkritnya. Mengetahui iktikad baik berdasarkan sebagaimana
yang dikehendaki oleh para pihak, untuk menafsirkan kata-kata
dan kalimat yang tertuang dalam perjanjian, karena perluh diingat
bahwa terhadap isi dari suatu dokumen perjanjian yang dilihat
tidak hanya apa yang tersurat saja, tapi juga apa yang tersirat dalam
isi perjanjian tersebut (Satrio, 2001:212).
Meijers berpendapat bahwa, ketentuan Pasal 1338 ayat 3
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditafsirkan sebagai
ketentuan yang bersifat memaksa dan yang bersifat ketertiban
umum. Para pihak tidak boleh memperjanjikan untuk
menyikirkannya dengan menyepakati bahwa perjanjian yang
mereka tutup tidak boleh ditafsirkan dengan mengingat pada
pelaksanaan perjanjian dengan “iktikad baik”. Hakim dapat
menafsirkan tidak sesuai dengan maksud dari kata-kata dalam
perjanjian, melainkan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
para pihak dengan mengingat pada kepatutan dan kepantasan
(Satrio, 2001:213).
Asas Iktikad baik merupakan dasar dalam melaksanakan
suatu perjanjian. Asas ini berkaitan erat dengan sikap bathin,
dorongan dari dalam diri pribadi para pihak yang terlibat dalam
suatu perjanjian, untuk melaksanakan perjanjiannya dengan baik
sesuai dengan kepatutan dan kepantasan.
5) Asas Kepatutan
Asas Kepatutan dalam perjanjian ditentukan dalam Pasal
1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian tidak
hanya mengikat pada hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam
isi perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan
dan Undang-Undang (Naja, 2009:101). Keterikatan para pihak
dalam suatu perjanjian, tidak hanya terbatas pada kata-kata dalam
perjanjian tersebut, tetapi para pihak terikat juga kepada prinsip
yang patut terhadap perjanjian yang bersangkutan (Fuady,
2007:82).
Asas kepatutan mau menuntun para pihak agar substansi
atau isi perjanjian yang disepakati harus memperhatikan perasaan
keadilan (rechtsgevoel) dalam masyarakat, karena hal inilah yang
akan menentukan hubungan hukum diantara para pihak itu patut
atau tidak patut, adil atau tidak adil. Hazairin berpendapat bahwa,
asas kepatutan disebut juga asas kepantasan pada tataran moral dan
sekaligus pada tataran akal sehat, yang terarah pada penilaian suatu
perilaku atau situasi faktual tertentu. Patut mencakup elemen
moral, yaitu berkaitan dengan penilaian baik atau buruk maupun
elemen akal sehat, yaitu penilaian sesuai dengan hukum, logika
atau yang masuk akal (Syaifuddin, 2012:102).
Asas kepatutan atau kepantasan juga merupakan asas yang
menjadi tolok ukur dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Hal ini
mau menegaskan bahwa, dalam melaksanakan suatu perjanjian
tidak hanya terpusat pada apa yang tertulis, melainkan juga pada
perilaku. Para pihak tidak boleh mengabaikan hal-hal yang wajib
menurut kepatutan dan kepantasan dalam masyarakat.
6) Asas tidak boleh main hakim sendiri.
Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian,
harus dapat dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. Pihak yang
merasa dirugikan dapat menegakkan haknya sesuai prosedur dan
ketentuan hukum yang berlaku. Pihak yang melakukan
pelanggaran terhadap perjanjian, tidak bisa sekehendak hatinya
menggunakan cara-cara sendiri untuk memaksa pihak lain
memenuhi perjanjian. Prosedur dan ketentuan hukum yang
dimaksud adalah melalui pengadilan atau meminta bantuan hakim.
Pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan eksekusi yang
disebut reele executie, yang berarti dengan kuasa atau izin hakim,
pihak yang dirugikan dapat mewujudkan sendiri prestasi yang telah
diperjanjikan, atas biaya pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap perjanjian (Widjaya, 2008:31-32).
Asas tidak boleh main hakim sendiri mau menuntun para pihak
yang terlibat dalam suatu perjanjian, agar supaya jika salah satu pihak
melakukan pelanggaran terhadap perjanjian, maka pihak yang
dirugikan tidak boleh main hakim sendiri. Hal tersebut dimaksud agar
pihak yang dirugikan menyelesaikan persoalannya melalui prosedur
yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Semua asas dalam Hukum Perjanjian yang diuraikan di atas
mau menunjukkan bahwa, siklus suatu perjanjian memiliki asas yang
dijadikan landasan atau dasar oleh para pihak yang akan terlibat dalam
suatu perjanjian. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa, asas
konsensualitas menjadi dasar menentukan momentum terjadinya suatu
perjanjian. Asas kebebasan berkontrak menjadi dasar untuk
menentukan isi maupun objek yang akan diperjanjikan. Asas pacta
sunt servanda merupakan tolok ukur akibat hukum dari perjanjian
yang dibuat para pihak. Asas iktikad baik, asas kepatutan dan asas
tidak boleh main hakim sendiri, merupakan landasan atau dasar
pelaksanaan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian
tersebut.

Tidak ada komentar: