Sabtu, 20 Juli 2019

Pengaruh Pelatihan Manajemen Konflik untuk Peningkatan Keharmonisan Keluarga pada Pasangan Suami Istri (skripsi dan tesis)

Pelatihan manajemen konflik ialah serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk memerluas pengetahuan individu dalam kapasitasnya sebagai suami atau istri dalam menyusun strategi untuk mengendalikan konflik agar dihasilkan resolusi konflik konstruktif yang diinginkan oleh pasangan suami istri.  Pengetahuan tersebut diharapkan akan memengaruhi perubahan perilaku sesuai situasi konflik yang dihadapi pasangan suami istri. Komunikasi yang terjalin di antara pasangan suami istri dalam menangani konflik dapat memupuk keeratan hubungan dalam keluarga.  Proses yang dijalani pasangan dalam mengelola konflik dan komitmen menjalani resolusi konflik juga dapat meningkatkan rasa saling menghargai dan saling memercayai yang pada akhirnya akan memengaruhi keharmonisan keluarga.
Pemahaman mengenai pengelolaan konflik dalam rumah tangga merupakan pengetahuan dan teknik ketrampilan yang diperlukan oleh pasangan suami istri.  Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat dipelajari melalui pendidikan atau pelatihan.  Pelatihan adalah sebuah proses yang direncanakan untuk mengubah sikap, pengetahuan atau keterampilan perilaku melalui pengalaman belajar untuk mencapai kinerja yang efektif dalam berbagai kegiatan atau kegiatan tertentu yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan individu dan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan.  Byadgi (2011) menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik.
Bagaimana pasangan yang memiliki konflik mengatasi konfliknya memengaruhi perkembangan pribadi mereka. Keberadaan konflik tidak otomatis berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan.  Konflik baru akan berdampak negatif jika tidak dikelola dengan baik.  Menurut Supraktiknya (1995) pengelolaan konflik yang baik akan membawa pada perkawinan yang harmonis dan dari proses tersebut akan mendewasakan masing-masing pribadi. Pengelolaan konflik secara sehat dan baik dapat digunakan untuk memertahankan kualitas hubungan dalam perkawinan.
Dalam manajemen konflik, seseorang dapat memilih bermacam-macam strategi. Sebelum memutuskan untuk memilih strategi manajemen konlik yang akan diambil, seseorang harus memikirkan segala resiko dan konsekuensi yang akan didapat. Seseorang akan menjalankan strategi yang benar jika ia telah memersiapkan diri, mengikuti alur konflik dengan baik, mengerti dampak dari pemilihan strategi manajemen konflik, dan mengaplikasikan tahapan-tahapan di dalam manajemen konflik.
Pelatihan manajemen konflik mengacu pada gaya manajemen konflik dari Thomas & Kilmann (2004); yakni competitive, collaboration, compromising, avoiding, dan accomodation.  Dari kelima gaya tersebut, gaya manajemen konflik collaborate dan compromising merupakan gaya manajemen konflik konstruktif.    Dalam gaya collaborate (kolaborasi) pasangan suami istri berusaha menciptakan situasi yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak tercapai dengan tetap memerhatikan keberlangsungan hubungan.  Suami istri bersikap kooperatif dengan bersedia saling terbuka dalam mengkomunikasikan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dan tidak mengesampingkan sudut pandang dan tujuan pasangan.  Gaya kolaborasi memiliki tingkat keasertifan (ketegasan) dan kerjasama yang tinggi dengan tujuan untuk mencari alternatif, bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan kedua belah pihak yang terlibat konflik.
  Selanjutnya gaya manajemen konflik konstruktif compromising (kompromi).  Di dalam gaya kompromi, pasangan suami istri berusaha berunding dengan mengurangi tuntutan masing-masing untuk menemukan jalan tengah bagi masing-masing kepentingan sebagai penyelesaian masalah.  Pada gaya manajemen konflik ini, tercapainya tujuan bersama dan keberlangsungan hubungan memiliki nilai yang sama pentingnya walaupun tujuan yang dicapai tidak maksimal.  Gaya kompromi diterapkan pasangan suami istri dalam merumuskan penyelesaian ketika gaya kolaborasi tidak dapat dijalankan karena adanya keterbatasan.  Gaya kompromi akan menghasilkan jalan keluar yang efektif terutama jika pasangan harus sesegera mungkin memutuskan suatu penyelesaian. Penerapan gaya kolaborasi dan gaya kompromi memerlukan ketrampilan komunikasi yang baik diantaranya kesediaan mendengar, keterbukaan, empati, dan bersikap positif terhadap opini pasangan sehingga tercapai resolusi konflik integratif.
Langkah manajemen konflik mengacu pada pendapat yang dikemukakan Pruitt & Rubin (2004) yaitu memastikan adanya konflik dengan cara memahami kemungkinan terdapat konflik tidak nyata akibat kesalahpahaman, melakukan analisis konflik dengan membicarakan kepentingan pihak yang terlibat, mencari cara untuk merekonsiliasi, dan menurunkan ego dan bernegosiasi.  Di dalam mengelola konflik komunikasi interpersonal yang efektif, bekerja sama, dan saling menahan diri antara pasangan suami istri dilatihkan, sehingga konflik dihadapi dengan kepala dingin dan terdapat komitmen untuk melaksanakan resolusi konflik yang telah diputuskan bersama.  Komunikasi efektif, kesabaran, dan resolusi konflik merupakan aspek-aspek yang membentuk keluarga harmonis menurut Kovikondala dkk. (2015), sehingga pengetahuan dan keterampilan mengelola konflik yang dikuasai oleh pasangan suami istri akan menunjang peningkatan keharmonisan keluarga.
Keharmonisan, salah satunya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas konflik yang minim (Stinnet & DeFrain dalam Hawati, 1996).  Kualitas dan kuantitas konflik yang dialami pasangan suami istri dapat diturunkan melalui pelatihan manajemen konflik.  Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan baru kepada pasangan suami istri untuk digunakan bersama-sama dalam merumuskan resolusi konflik yang konstruktif, sehingga konflik yang dialami pasangan suami istri tidak menjadi destruktif namun menjadi dasar bagi hubungan yang lebih erat dan komunikasi yang lebih efektif.  Melalui pengelolaan konflik yang lebih baik diharapkan akan berdampak pada keharmonisan keluarga (Supratiknya, 1995).  Hal itu didukung hasil penelitian Dewi & Sudhana (2013) yang menyatakan adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal dengan keharmonisan.  Senada dengan Najoan (2015) yang menyatakan bahwa komunikasi terbuka yang didasari kejujuran dan saling percaya antara pasangan suami istri menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Nilai dalam perkawinan dan pemaafan merupakan faktor yang berkontribusi dalam mewujudkan keluarga harmonis (Nancy, dkk., 2012). Pasangan yang menunjung tinggi nilai dalam perkawinan akan memadang perkawinan sebagai sesuatu yang bernilai, berharga dan patut untuk dipertahankan.  Keluarga yang harmonis dicapai melalui usaha bersama dari masing-masing anggota keluarga salah satunya ditandai dengan sikap dan cara yang konstruktif dalam resolusi konflik.  Melalui pelatihan manajemen konflik, pasangan suami istri belajar merumuskan bersama resolusi konflik konstruktif yang pada akhirnya dapat mewujudkan keharmonisan keluarga dengan minimnya kuantitas konflik.

Tidak ada komentar: