Sabtu, 20 Juli 2019

Gejala Kecemasan (skripsi dan tesis)

Gejala kecemasan didasarkan pada respon fisiologis serta psikologis yang dihadapi seseorang ketika mengalami kecemasan. Oleh karenanya gejala kecemasan memiliki beberapa variasi tergantung tingkat kecemasan yang dialami seseorang. Menurut Capernito, sindrom kecemasan sendiri dapat diuraikan menjadi seperti di bawah ini[1]:
  1. Gejala fisiologis
Peningkatan frekuensi nadi, TD, nafas, diaforosis, gemetar, mual dan muntah, sering berkemih, diare, insomnia, kelelahan, kemerahan atau pusat pada wajah, mulut kering, nyeri (khususnya dada, leher), gelisah, ringan/pusing, rasa panas.
  1. Gejala emosional
Individu mengatakan merasa ketakutan, tidak berdaya, gugup, kehilangan percaya diri, tegang, tidak mau rileks. Individu juga memperlihatkan peka terhadap rangsangan, tidak sabar, mudah marah, menangis, cenderung menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang lain.
  1. Gejala kognitif
Tidak mampu berkontraksi, kurang orientasi lingkungan, pelupa, memblok pikiran (ketidakmampuan untuk menggigil) dan perhatian yang berlebihan.
Secara langsung kecemasan dapat diekspresikan melalui respons fisiologis dan psikologis dan secara tidak langsung melalui pengembangan mekanisme koping sebagai pertahanan melawan kecemasan[2] :
  1. Respons fisiologis: secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktivasi proses tubuh, sedangkan sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respons tubuh. Reaksi tubuh terhadap stress (kecemasan) adalah “fliht” atau “flight”.
  2. Respons psikologis: kecemasan dapat mempengaruhi aspek interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan mempengaruhi koordinasi dan gerak refleks. Kesulitan mendengarkan akan mengganggu hubungan dengan orang lain. Kecemasan dapat membuat individu menarik diri dan menurunkan keterlibatan dengan orang lain.
  3. Respons kognitif: kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berfikir baik proses pikir maupun isi pikir diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya lapangan persepsi, bingung.
  4. Respons efektif: secara efektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi terhadap kecemasan.
Dampak kecemasan terhadap sistem saraf sebagai neuro transmitter terjadi peningkatan sekresi kelenjar norepinefrin, serotonin, dan gama aminobuyric acid sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan: a) fisik (fisiologis), antara lain perubahan denyut jantung, suhu tubuh, pernafasan, mual, muntah, diare, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, berat badan menurun ekstrim, kelelahan yang luar biasa; b) gejala gangguan tingkah laku, antara lain aktivitas psikomotorik bertambah atau berkurang, sikap menolak, berbicara kasar, sukar tidur, gerakan yang aneh-aneh; c) gejala gangguan mental; antara lain kurang konsentrasi, pikiran meloncat-loncat, kehilangan kemampuan persepsi, kehilangan ingatan, phobia, ilusi dan halusinasi.[3]
Gejala klinis kecemasan baik yang bersifat akut maupun kronik (menahun) merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan kejiwaan atau psychiatric disorder. Orang dengan tipe kepribadian pencemas tak selamanya mengeluh hal-hal yang sifatnya psikis tapi sering juga disertai dengan keluhan-keluhan fisik (somatik) dan juga tumpang tindih dengan ciri-ciri kepribadian depresif, dengan kata lain batasnya sering kali tidak jelas.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan kecemasan antara lain : cemas, khawatir, firasat buruk, takut, banyak pikiran, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut, takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat, keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), jantung berdebar-debar, sesak napas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, dan sakit kepala[4].
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nadia berjudul Kecemasan Pada Penderita Gagal Ginjal Kronis di Laboratorium Dialisis Rumah Sakit Pusat TNI AU dr. Esnawan Antariksa diketahui beberapa gejala kecemasan yang ditemui berupa respon-respon kognitif lebih banyak dialami penderita dibandingkan respon-respon fisiologis dan psikis. Dengan demikian pasien lebih banyak merasakan Secara spesifik maka dalam penelitian tersebut menguraikan bahwa gejala kecemasan dalam menghadapi kematian pada individu yang mengalami penyakit gagal ginjal diantaranya adalah terjadinya perubahan yang drastis dari kondisi fisiknya yang menyebabkan timbulnya penyakit tertentu dan menimbulkan kecemasan. Kecemasan tersebut akan berupa gangguan pencernaan, detak jantung bertambah cepat berdebar-debar akibat dari penyakit yang dideritanya kambuh, sering merasa pusing, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang. Kemudian secara psikologis kecemasan dalam menghadapi kematian pada individu yang mengalami penyakit kronis adalah seperti adanya perasaan khawatir, cemas atau takut terhadap kematianitu sendiri, tidak berdaya, lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak tentram, dan gelisah[5].
Dalam penelitian Devi Dwiawan yang berjudul Dampak Dukungan Sosial Dalam Mengurangi Kecemasan Pada Pasien Wanita Penderita Gagal Ginjal Kronis Di Rumah Sakit Khusus Ginjal RA. Habibie Bandung menunjukkan bahwa salah satu gelaja yang timbul dari seseorang yang menderita penyakit gagal ginjal akan merasa khawatir, merasa tidak berdaya, tegang, takut, bingung, merasa tidak pasti[6].
Oleh karenanya gejala yang timbul dari kecemasan menghadapi kematian seringkali ditemukan dalam bentuk-bentuk gejala kognitif . Gejala ini tidak mengesampingkan munculnya gejala lainnya yaitu gejala fisiologis dan emosional. Oleh karenanya gejala-gejala ini seringkali ditemukan bersamaan dalam satu karakter individu pasien.

Tidak ada komentar: