Selasa, 30 Juli 2019

Asymmetric Information Theory (skrispi dan tesis)

Teori ini diperkenalkan oleh Gordon Donaldson pada awal tahun 1960.
Menurut pendapatnya, asymmetric information menggambarkan kondisi dimana satu pihak mempunyai lebih banyak informasi, dalam hal ini adalah pihak manajemen perusahaan, dibandingkan dengan pihak lain yaitu pihak investor (Lukas, 2003). Jika perusahaan ingin memaksimumkan kemakmuran pemegang saham, maka ada dua tindakan yang akan diambil oleh pihak manajemen, yaitu apabila perusahaan mempunyai prospek yang cerah maka perusahaan akan cenderung menggunakan laba
ditahan untuk membiayai operasinya, sedangkan apabila perusahaan berprospek kurang baik maka perusahaan akan melakukan emisi saham baru. Bagi pihak investor, keputusan untuk menerbitkan saham baru bagi perusahaan yang dianggap telah mapan dan mempunyai alternatif pendanaan lain merupakan sinyal buruk, bahwa perusahaan meragukan prospeknya. Sebagai akibatnya para investor akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah. Karena itu emisi saham baru akan menurunkan harga saham. Dampak yang kemudian terjadi adalah harga saham yang baru diterbitkan akan menurun. Penurunan harga saham ini mengakibatkan biaya modal sendiri (cost of equity) menjadi tinggi, WACC menjadi tinggi, dan nilai perusahaan akan menurun. Sinyal berupa penerbitan saham ditafsirkan harga saham sudah terlalu tinggi sehingga akan terjadi underpricing pada saham baru yang diterbitkan perusahaan (Hendri
Setyawan & Sutapa, 2006). Kecenderungan ini mengakibatkan perusahaan lebih memilih untuk menerbitkan obligasi atau berutang, daripada melakukan emisi saham baru. Namun demikian, perusahaan harus tetap berhati-hati, dan menjaga adanya cadangan kapasitas untuk meminjam, untuk digunakan sewaktu-waktu apabila ada peluang investasi yang baik. Artinya, perusahaan harus menjaga agar jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah utang optimal.

Tidak ada komentar: