Jumat, 18 Januari 2019

Persyaratan Modal Bank di Indonesia (skripsi dan tesis)


Menurut Stignum dan Branch (1983) bank tidak dapat beroperasi tanpa modal, hal ini mengindikasikan bahwa modal sangat berperan penting dalam perbankan. Menurut Diamond dan Rajan (2000) bahwa bank dengan sadar bertujuan mencapai rasio modal tertentu, menunjukkan bahwa fungsi modal adalah sangat penting dalam  menentukan kinerja bank dalam  mencapai rasio modal bank yang optimal dan memperkirakan bahwa perubahan rasio modal bank adalah sebagai hasil dari kebebasan dalam menentukan penyesuaian (discretioanary adjustment) ke arah target rasio modal dan faktor eksogen bank.
Modal atau capital merupakan sejumlah dana yang digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha, pada perusahaan umumnya diperoleh dengan menerbitkan saham. Dalam bisnis industri jasa perbankan jumlah kecukupan modal merupakan masalah yang sangat penting. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/18/PBI/2012 tanggal 28 November 2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan Surat Edaran BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia  No 9/33/DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan  Risiko Pasar, adalah modal inti ditambah dengan modal pelengkap. Dana bank yang digunakan sebagai modal operasional dalam kegiatan usaha dapat bersumber dari :
a.              Dana sendiri (dana pihak pertama) yang merupakan modal setor yang berasal dari pemegang saham dapat dikatakan bersifat tetap dalam arti selamanya dapat mengendap dalam bank dan tidak akan mudah ditarik begitu saja oleh penyetornya kecuali melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
b.             Dana pihak kedua merupakan sumber dana bank yang dapat diperoleh melalui pasar uang antar bank dan melalui pasar modal dengan cara menerbitkan obligasi atau surat berharga jangka panjang lainnya.
c.              Dana pihak ketiga merupakan dana yang berasal dari masyarat biasa dan merupakan tulang punggung dari dana yang harus diolah atau dikelola oleh bank untuk memperoleh keuntungan.
d.             Sumber dana berbiaya merupakan dana-dana yang berasal dari masyarakat, baik dana pihak ketiga maupun dana pihak kedua (tidak termasuk penerbitan saham).
Dengan adanya pengelompokan sumber dana tersebut bank dapat mempelajari sifat masing-masing kelompok dan bagaimana cara menghimpunnya, sehingga manjamen bank dalam setiap membuat kebijakan untuk menghimpun dana memiliki strategi yang jitu untuk meningkatkan penghimpunan dananya, apakah berasal dari masyarakat, dari Pasar Uang atau Pasar Modal dan dari Pemilik sendiri atau modal saham dengan cara go public.
Dalam meningkatkan besarnya modal, bank dapat melakukan dengan cara penambahan dana baru dari pemilik atau meningkatkan hasil usaha bank, sedangkan bagi bank yang sahamnya sudah dicatatkan di bursa saham bisa dijual kepada masyarakat luas (Riyadi,2006).
Sejak diperkenalkannya Capital Accord oleh Basel Commitee on Banking Supervision (BCBS) pada tahun 1988, industri perbankan telah melalui berbagai perubahan signifikan. Baik disisi bisnis, manajemen risiko, maupun konsep supervisi. The New Basel Capital Accord atau Basel II pada dasarnya mengandung tiga pendekatan baru , yang secara mendasar merubah apa yang terkandung di dalam Capital Accord atau Basel I.
a.              Berbeda dengan 1988 Capital Accord  yang memfokuskan penghitungan risiko pada satu jenis risiko (Credit Risk), The New Basel Capital Accord menekankan kepada metodologi internal bank, review supervisi dan disiplin pasar dan memiliki cakupan lebih luas terhadap jenis – jenis risiko yang dihadapi oleh bank.
b.             The New Basel Capital Accord  mengandung konsep-konsep yang lebih fleksibel, menawarkan berbagai pendekatan, dan memberikan insentif bagi konsep risk management yang lebih baik, sementara Basel I menetapkan satu konsep yang dianggap sesuai bagian semua (one size fit all)
c.              The New Basel Capital Accord  mengandung konsep yang lebih sensitif terhadap risiko dibandingkan dengan Basel I yang cenderung sensitif terhadap tingkat risiko dalam suatu struktur tingkatan risiko yang sangat umum.
Di Indonesia peraturan mengenai permodalan mengalami beberapa perubahan. Serangkaian paket kebijakan reformasi perbankan sebagai bagian dari liberalisasi sektor keuangan digulirkan dalam periode 1988-1999. Liberalisasi sektor keuangan sejalan dengan diberikannya kebebasan yang lebih besar bagi bank-bank untuk mengalokasikan aset dan menentukan suku bunga. Dalam rangka mengendalikan persaingan diantara bank-bank tersebut, persyaratan permodalan yang merupakan instrumen utama pengawasan bank di Indonesia, dikeluarkan sebagai bagian dari Paket Kebijakan Oktober 1988 atau yang dikenal dengan Pakto ’88.
Kebijakan permodalan yang diterapkan di Indonesia pada waktu itu telah mengacu pada standar yang ditetapkan Basel Capital Accord (Basel I) meskipun dilakukan secara bertahap. Dalam praktik pengawasan perbankan di Indonesia, rekomendasi Basel I tersebut diadopsi oleh Bank Indonesia melalui pengaturan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993. Dalam surat ini diatur tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko yang pemenuhannya dilakukan secara bertahap, yakni sebesar 7% sejak akhir Maret 1993 dan 8% sejak akhir Desember 1993.
Penerapan KPMM  pernah mengalami perubahan setelah melihat kondisi yang ada. Seperti pada tahun 1998 saat terjadinya krisis perbankan yang mengakibatkan penurunan permodalan bank yang cukup besar, dilakukan penyesuaian KPMM dari 8% menjadi 4% melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/146/KEP/DIR tanggal 12 November 1998. Seiring dengan kebijakan tersebut, dilakukan berbagai langkah restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan dengan salah satu tujuan mengembalikan kondisi permodalan bank sesuai dengan standar internasional sebagaimana keadaan sebelum terjadinya krisis perbankan.
Sejalan dengan target program rekapitalisasi perbankan sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 53/KMK.017/1999 dan Nomor 31/12/KEP/GBI tanggal 8 Februari 1999 yang menegaskan pencapaian rasio KPMM sebesar 8% pada akhir tahun 2001, maka dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia  Nomor 3/21/PBI/2001 tanggal 31 Desember 2001 tentang KPMM Bank Umum. Isi pokok ketentuan tersebut adalah kewajiban bank menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko sejak akhir bulan Desember 2001. Peraturan terbaru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia tentang penyediaan modal bank tertuang dalam Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/18/PBI/2012 tanggal 28 November 2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan Surat Edaran BI No. 14/21/DPNP tanggal 18 Juli 2012 tentang Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia  No 9/33/DPNP tanggal 18 Desember 2007 perihal Pedoman Penggunaan Metode Standar dalam Perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan  Risiko Pasar.
Sebagai upaya untuk mencapai sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan, terkait dengan tujuan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) Bank Indonesia mengeluarkan peraturan melalui PBI Nomor 7/15/2005 tentang jumlah Modal Inti Bank Umum. Ketentuan tersebut juga untuk mengantisipasi penerapan Basel Accord II. Inti pokok dari peraturan tersebut adalah mewajibkan bank umum memiliki jumlah modal inti secara bertahap minimal Rp. 80 milyar pada akhir tahun 2007 dan Rp. 100 milyar pada akhir tahun 2010. Bank umum yang tidak memenuhi jumlah modal inti sebagaimana ketentuan tersebut akan mendapatkan konsekuensi berupa pembatasan kegiatan usaha. 
Di dalam penelitian ini modal bank didefinisikan sebagai rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (Capital Adequacy Ratio-CAR) seperti yang digunakan oleh Ahmad,et.al (2008), Damanik (2008) dan Awdeh,et.al (2011) Pemilihan variabel CAR sebagai variabel dependen dikarenakan CAR menggambarkan keputusan bank dalam mengambil risiko sesuai dengan situasi (Rime, 2000). 

Tidak ada komentar: