Kamis, 24 Januari 2019

Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Diskresi Pada Kepolisian Negara RI (skripsi dan tesis)


Terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya kekurangan dalam pelaksanaan diskresi dalam kepolisian, yaitu[1]:
a.         Manajemen yang berorientasi task oriented.
Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task-oriented) menyebabkan pegawai menjadi tidak termotivasi untuk menciptakan hasil yang nyata dan kualitas pelayanan yang prima. Formalitas dalam rincian tugas organisasi menuntut keseragaman yang tinggi. Akibatnya para aparat kepolisian menjadi takut berbuat salah dan cenderung menyelesaikan pekerjaan-pekerjaannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), walaupun keadaan yang ditemui dalam kenyataan sangat jauh berbeda dengan peraturan-peraturan teknis tersebut.[2] Adanya ketakutan aparat kepolisian untuk mengambil tindakan yang berbeda dari yang telah digariskan oleh aturan yang ada menjadi alasan yang kuat kenapa diskresi tidak dilakukan. Tidak seperti di negara lain yang lebih maju sistem administrasi kepolisiannya.
b.         Adanya budaya patron klien
Budaya patron-klien yang masih melingkupi pelaksanaan tugas dari kepolisian. Budaya kepolisian di Indonesia banyak mengadopsi budaya jawa yang hierarkis, tertutup, sentralistis, dan mempunyai nilai untuk menempatkan pimpinan sebagai pihak yang harus dihormati. Dalam konteks demokrasi pelayanan kepolisian diIndonesia, hubungan tersebut diterjemahkan oleh bawahan sebagai mendahulukan kepentingan pimpinan diatas segalanya.[3] Sesuai dengan akar budaya lama, raja adalah segalanya dan masyarakat adalah abdi. Dalam konteks budaya paternalistik adalah berupa atasan yang memiliki kekuasaan yang besar dan sanggup memberikan apapun bagi bawahannya, sehingga bawahan akan memberikan apapun loyalitas dan pengabdian yang penuh bagi atasannya. Sehingga loyalitas yang seharusnya diberikan kepada masyarkat menjadi milik atasan.
Hal ini akan sangat berpengaruh baik terhadap atasan maupun bawahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Atasan akhirnya tidak memahami apa realitas sebenarnya yang terjadi pada masyarakat, pelayanan seperti apa yang mereka inginkan. Karena informasi yang masuk kepadanya hanya berupa informasi yang baik-baik saja dari bawahan agar atasan menjadi senang. Sedangkan bagi bawahan, menjadikan atasan sebagai patron akan membuatnya tidak berani mengambil tindakan, rasa pakewuh, takut melangkahi dan akhirnya tidak melakukan tindakan apapun. Dalam pelayanan kepolisian sikap menganggap atasan sebagai segalanya menjadikan pelayanan menjadi tidak efisien. Tidak hanya menghabiskan energi waktu saja, dari segi biaya semakin besar rupiah yang harus dikeluarkan masyarakat.
c.         Minimnya reward
Reward yang tidak jelas dari aparat kepolisian ketika ia mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Reward disini dapat berupa penghargaan ataupun bentuk penghormatan, namun dapat juga diartikan sebagai mendapatkan insentif. Tidak adanya sistem insentif yang secara efektif mampu mendorong para pejabat kepolisian untuk bekerja secara efisien dan profesional ikut memberikan kontribusi terhadap kegagalan kepolisian dalam membangun kinerja yang baik. Dalam diskresi beban berat yang pasti muncul terlebih dahulu adalah tidak sesuai dengan aturan. Apapun bentuknya yang dilakukan oleh aparat kepolisian ketika kebijakan yang dia buat itu menghasilkan kebijakan yang akuntabel dan efisien terhadap pengguna jasanya, namun hal tersebut tidak sesuai dengan aturan yang telah ada, yang dia lakukan adalah salah. Inilah pemahaman yang selalu muncul dalam benak para aparat kepolisian ketika ia ingin melakukan diskresi, jangankan mendapatkan penghargaan atas hasil kerjanya. Yang paling minimal ia akan mendapat sikap yang tidak enak dari teman sejawat ataupun dimarahi oleh atasan. Lebih parah lagi ketika diskresi yang dilakukan oleh seorang aparat kepolisian itu membawanya ke pintu penjara.
 Namun disisi lain seharusnya diciptakan suatu sistem dimana pelaksanaan diskresi masuk dalam perhitungan kinerja sehingga mendapatkan pengargaan/reward yang sepantasnya. Hal yang sangat naif, ketika seorang memang berbuat untuk kepolisian yang sebenarnya bukan malahan mendapat reward.
d.        Sumber Daya Aparatur (kompetensi)
Rendahnya kualitas pendidikan dari para aparat kepolisian sangat berpengaruh terhadap pelayanan yang ia berikan. Diskresi itu penting untuk dilakukan jika aparat memahami apa yang ia lakukan. Untuk itu wacana keilmuan dari aparat baik melalui pendidikan formal ataupun informal juga merupakan suatu keharusan. Kebijakan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat kepolisian melalui dukungan pada studi lanjut aparat ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti S1 dan S2, perlu mendapatkan prioritas sebagai bagian dari komitmen pengembangan pegawai. Selain itu, dengan mengikutsertakan pegawai pada program-program pelatihan mengenai dasar-dasar manajemen organisasi terbuka, kepemimpinan dan penerapan model organisasi adaptif diharapkan dapat meningkatkan penguasaan mereka akan konsep-konsep pelayanan kepolisian yang baik.



Tidak ada komentar: