Jumat, 13 April 2018

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Infeksi Nosokomial (skripsi dan tesis)

ktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan infeksi nosokomial menurut WHO (2002) antara lain: kerentanan pasien, agen mikrobia, faktor lingkungan dan resistensi bakteri. Berikut ini uraian dari faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi nosokomial.

2.1.2.1 Kerentanan Pasien
Seperti terlihat pada Gambar 2.2 pada kotak berwarna merah menunjukkan faktor internal yang mempengaruhi akuisisi infeksi pasien meliputi:
  1. Usia karena masa kanak-kanak dan usia tua memiliki hubungan dengan penurunan resistensi terhadap infeksi
  2. Status kekebalan, misalnya bagian dari flora bakteri normal dalam manusia dapat menjadi patogen ketika pertahanan kekebalan tubuh terganggu, obat-obatan imunosupresif atau iradiasi dapat menurunkan resistensi terhadap infeksi, luka kulit atau selaput lendir melewati mekanisme pertahanan alam, dan malnutrisi juga risiko terhadap infeksi.
  3. Penyakit kronis yang mendasari pasien seperti tumor ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau Acquired ImmunoDeficiency Syndrome (AIDS) mengalami peningkatan kerentanan terhadap infeksi dengan patogen oportunis
  4. Diagnostik dan intervensi terapeutik, misalnya biopsi, pemeriksaan endoskopi, kateterisasi, intubasi / ventilasi dan suction dan prosedur bedah meningkatkan risiko infeksi. Benda atau bahan yang tercemar dapat diperkenalkan secara langsung ke jaringan atau situs steril normal seperti saluran kemih dan saluran pernafasan bawah.

2.1.2.2 Agen Mikrobia
Pasien dapat terkena berbagai mikroorganisme selama perawatan di rumah sakit. Kontak antara pasien dan mikroorganisme tidak dengan sendirinya selalu menghasilkan perkembangan penyakit klinis. Kemungkinan terkena infeksi tergantung karakteristik dari mikroorganisme seperti perlawanan terhadap agen antimikroba, intrinsik virulensi, dan jumlah (inokulum) dari bahan infektif.

Transmisi agen mikrobia atau mikroorganisme yang menyebabkan infeksi nosokomial dapat diperoleh dalam beberapa cara, yaitu:
  1. Infeksi endogen dari flora normal pasien
Bakteri yang ada di flora normal menyebabkan infeksi karena penularan ke saluran kemih, kerusakan jaringan, terapi antibiotik yang tidak tepat yang memungkinkan pertumbuhan yang berlebihan. Sebagai contoh, bakteri Gram-negatif dalam saluran pencernaan sering mengakibatkan infeksi luka operasi setelah pembedahan perut dan infeksi saluran kemih pada pemasangan kateter.

  1. Infeksi silang atau eksogen dari flora pasien lain atau petugas RS
Bakteri ini menular antar pasien: (a) melalui kontak langsung antara pasien, misalnya tangan, tetesan air liur atau cairan tubuh lain, (b) di udara (droplet atau debu yang terkontaminasi oleh bakteri pasien), (c) melalui staf yang terkontaminasi melalui pasien perawatan yang menjadi pembawa sementara atau permanen, kemudian menularkan bakteri kepada pasien lain melalui kontak langsung selama perawatan, (d) melalui benda-benda yang terkontaminasi oleh pasien, tangan petugas RS, pengunjung dan sumber-sumber lingkungan misalnya air, cairan lain, makanan.

  1. Infeksi endemik dari perawatan kebersihan lingkungan RS
  1. Beberapa jenis mikroorganisme bertahan hidup dalam lingkungan rumah sakit: Dalam air, daerah basah, dan kadang-kadang dalam produk steril atau desinfektan, antara lain Pseudomonas, Acinetobacter, Mycobacterium.
  2. Dalam barang-barang seperti kain linen, peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam perawatan.
  3. Dalam makanan.
  4. Dalam debu dan tetesan nukleus yang dihasilkan oleh batuk atau pada saat berbicara. Hal ini dapat terjadi karena bakteri dengan ukuran diameter lebih kecil dari 10 μm dapat bertahan di udara selama beberapa jam dan dapat dihirup dengan cara yang sama seperti debu halus (WHO, 2002).

Kontaminasi bakteri luka preoperasi diketahui sebagai risiko utama faktor terjadinya ILO. Kualitas mikrobiologi udara ruang operasi adalah salah satu parameter yang signifikan untuk mengendalikan ILO. Menurut Dixon (1981) bahwa pada operasi tulang pinggul ditemukan adanya kesamaan bakteri yang terdapat pada luka pasien dan bakteri yang terdapat di udara, hasilnya antara lain jumlah terbesar yaitu S. epidermidis pada luka pasien terdapat 34 bakteri, sedangkan dari hasil sampel udara sebanyak 37 bakteri. Kemudian diikuti 20 S. aureus yang terdapat di luka pasien, dan 9 bakteri dari sampel udara.

Penelitian dilaksanakan oleh Kaur dan Hans (2007) di tujuh ruang operasi dari sebuah rumah sakit pendidikan perawatan tersier kota India dengan fasilitas 1000 tempat tidur yang dilakukan selama satu tahun. Sebanyak 344 sampel yang diambil berulang kali dari tujuh operasi yang berbeda di ruang operasi, kemudian diproses dengan hasil isolasi bakteri yaitu S. aureus (16%), negatif Coagulase Staphylococcus (26,7%), Acinetobacter spp. (2,03%) dan Klebsiella spp. (0,3%). Berkumpulnya staf medis di ruang operasi, disertai residen dan mahasiswa merupakan masalah penting, bersamaan dengan masalah desain dan ventilasi yang terdapat diruang operasi tersebut.

Di negara berkembang, kekurangan dalam desain bangunan dan ventilasi yang tidak tepat berkontribusi terhadap kontaminasi mikroorganisme di dalam ruang lingkungan RS. Kurangnya udara segar karena peningkatan isolasi bangunan, kurang terpelihara atau dioperasikan sistem ventilasi, kurang diatur suhu dan tingkat kelembaban relatif berkontribusi terhadap kehadiran dan multiplikasi mikroorganisme di udara (Srikanth P., et al. 2008).

Indonesia memiliki peraturan dalam menetapkan atura persyaratan kesehatan lingkungan RS melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004. Peraturan tersebut merupakan pedoman pihak pengelola RS agar bertanggung jawab di dalam mewujudkan lingkungan RS yang sehat.

Untuk mencapai kualitas udara dalam ruang RS yang baik merupakan sebuah tantangan bagi teknisi perawatan bangunan gedung dan petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus berlatih melakukan perawatan medis dengan mengontrol sumber polutan untuk mengurangi emisi polutan, antara lain melakukan diagnosis klinis untuk mengidentifikasi pasien menular dengan isolasi yang tepat. Di sisi lain, teknisi ruangan harus merancang, mengoperasikan, dan memelihara pemanas, ventilasi, dan sistem pendingin ruangan yang efektif dalam upaya pengurangan dan pengenceran polutan udara dalam ruangan (Leung dan Chan, 2006).

2.1.2.3 Faktor Lingkungan
Pasien dengan infeksi atau pembawa mikroorganisme patogen dirawat di rumah sakit adalah sumber potensial infeksi untuk pasien dan petugas RS. Pasien yang terinfeksi di rumah sakit merupakan sumber infeksi lebih lanjut. Kondisi penuh sesak di dalam rumah sakit dan ketika pasien sering transfer dari satu unit ke unit lain sangat rentan terhadap infeksi dalam satu daerah, misalnya bayi yang baru lahir, pasien luka bakar, dan perawatan intensif. Pasien tersebut berkontribusi terhadap perkembangan infeksi nosokomial. Flora mikroba dapat mencemarkan benda, perangkat, dan bahan-bahan yang kemudian menghubungi situs tubuh rentan pasien (WHO, 2002).

Selain itu, petugas kesehatan dan pengunjung juga merupakan sumber infeksi asal udara yang signifikan di antara pasien. Airborne droplet sering mengandung bakteri seperti S. aureus, S. epidermidis, dan bakteri-bakteri batang gram negatif. Bakteri tersebut pada umumnya sebagai penyebab terjadinya infeksi nosokomial luka operasi (Spengler et al, 2000).

Sumber mikroorganisme penyebab penyakit di RS yang paling besar berasal dari tangan petugas dan penderita infeksi. Kemudian melalui beberapa media antara lain air, makanan, dan udara dapat menimbulkan kontaminasi mikroorganisme di rumah sakit. Udara bukan merupakan habitat untuk mikroorganisme. Sel-sel mikroorgansme berada dalam udara sebagai kontaminan bersama debu atau dengan tetesan ludah. Mikroorganisme patogen dipindahkan melalui udara dan masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran respirasi. Hal ini menyebabkan penyakit pada saluran pernapasan. Mikroorganisme patogen asal udara, cenderung untuk berjangkit secara epidemi kemudian muncul secara eksplosif dan menyerang banyak orang dalam waktu singkat sebagai wabah penyakit (Pelczar dan Chan, 1988).

Patogen udara secara alami dapat menimbulkan infeksi melalui beberapa rute tapi umumnya ditransmisikan melalui aerosol yang disimpan di distal saluran udara, misalnya, virus campak dan variola (cacar) virus. Patogen udara oportunis secara alami menimbulkan penyakit melalui rute yang lain (misalnya saluran cerna), tetapi dapat juga menimbulkan infeksi melalui distal paru-paru dan dapat menggunakan partikel halus aerosol sebagai sarana perkembangbiakan di lingkungan yang menguntungkan (Srikanth et al., 2008).

2.1.2.4 Resistensi Bakteri
Banyak pasien menerima obat antimikroba. Seleksi dan pertukaran unsur-unsur resistensi genetik melalui pemberian antibiotik mempromosikan multidrugresistant dengan adanya strain bakteri. Mikroorganisme dalam flora manusia normal yang sensitif terhadap obat ditekan, sedangkan strain resisten bertahan dan dapat menjadi endemik di rumah sakit. Meluasnya penggunaan antimikroba untuk terapi atau profilaksis adalah penentu utama resistensi.

Tidak ada komentar: